Kemiskinan Masyarakat Nelayan dan Penyebabnya

56 politik yang tersedia hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan, sedangkan sebagian besar nelayan tetap dalam kemiskinan, khususnya nelayan tradisional atau nelayan buruh. Studi-studi tentang kemiskinan nelayan yang telah dilakukan menunjukkan, bahwa kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung selama ini justru meningkatkan ketimpangan pendapatan, kesenjangan sosial, dan kemiskinan di kalangan nelayan Suyanto, 1993. Nelayan yang bisa bertahan atau meningkat kesejahteraan hidupnya adalah nelayan-nelayan bermodal besar, yang kemampuan jelajah penangkapannya hingga ke lepas pantai off-shore. Jumlah mereka relatif kecil, sebaliknya nelayan tradisional atau nelayan buruh dengan modal usaha dan kepemilikan peralatan yang terbatas, harus puas dengan kenyataan hidup dan persaingan yang semakin keras dalam memperolah hasil tangkapan. Melihat kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan strategis pembangunan selama ini belum mampu dilaksanakan secara efektif dan belum berhasil secara optimal meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan, maka perlu mengkaji kembali kebijakan-kebijakan strategis tersebut. Sebaiknya kebijakan pembangunan masyarakat nelayan harus dilihat dalam perspektif yang luas dan integratif dengan memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, struktur sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda. Kebijakan modernisasi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan yang sudah digulirkan harus disertai dengan sosialisasi pilihan teknologi penangkapan yang adaptif serta pemahaman yang baik terhadap kelestarian lingkungan kelautan. Untuk mengatasi konflik dalam memperebutkan sumberdaya perikanan penegakan peraturan harus dilakukan dan diiringi dengan penegakan hukum. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 607KptsUm91976, yang menetapkan secara jelas jalur-jalur penangkapan nelayan tradisional dan nelayan modern merupakan perlindungan terhadap hak-hak nelayan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan. Begitu juga dengan Keppres No. 391980 dimaksudkan untuk menyelamatkan kerusakan sumberdaya perikanan akibat pengoperasian pukat harimau yang tidak bersifat selektif terhadap sumberdaya hayati laut, dan dapat menyebabkan keresahan sosial nelayan-nelayan tradisional. 57 Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah propinsi, kabupaten, dan atau kota mempunyai kewenangan dalam mengelola wilayah lautnya, hingga batas yang telah ditetapkan, yaitu 12 mil wilayah laut dari garis pantai berada di bawah kewenangan pemerintah propinsi dan sepertiganya 4 mil menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupatenkota. Agar tidak timbul permasalahan atau konflik sesama pemanfaat sumberdaya, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perbatasan, baik antar propinsi, kabupaten ataupun kota, maka dalam pengelolaannya harus dilakukan secara baik dan hati-hati. Kemiskinan benar-benar merupakan masalah multi- dimensi yang memerlukan kebijakan dan program intervensi multi-dimensi, agar supaya kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.

2.9 Penelitian Terdahulu Tentang Kemiskinan Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir yang hidup di wilayah pesisir dalam hal ini nelayan, memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat yang bukan nelayan. Karakteris masyarakat nelayan yang memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain terkait dengan ketergantungan atau hasil interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Ketergantungan yang tinggi terhadap kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan akar kemiskinan nelayan. Disamping itu rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan nelayan untuk melakukan diversifikasi usaha menyebabkan tingkat pendapatan nelayan rendah, hal ini juga memberikan kontribusi terhadap kemiskinan masyarakat nelayan. Istiqlaliyah Muflikhati 2010 dalam disertasinya mengatakan bahwa , karakteristik keluarga di Pantai Utara Pantura dan Pantai Selatan Pansela Jawa Barat berbeda secara signifikan, begitu juga dengan keluarga nelayan dan bukan nelayan berbeda secara signifikan. Keluarga nelayan di Pantura memiliki jumlah keluarga, total aset, pendapatan dan pengeluaran perkapita lebih besar dibandingkan dengan keluarga nelayan di Pansela. Sebaliknya tingkat pendidikan ayah dan ibu pada keluarga nelayan di Pantura lebih rendah dibandingkan dengan keluarga nelayan di Pansela. Jika kesejahteraan hanya diukur dari sisi ekonomi 58 maka tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Pantura lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga nelayan di Pansela. Beberapa hasil-hasil penelitian terdahulu lainnya tentang karakteristik dan kemiskinan masyarakat pesisir khususnya nelayan manyatakan bahwa, angka kemiskinan masyarakat pesisir terus meningkat. Hasil penelitian di pesisir Kabupaten Subang menyatakan 80 penduduknya dalam kemiskinan multidimensi, 36 diantaranya kronis Rochana, 2010. Hery Edy 2004 dalam disertasinya mengatakan bahwa, pendapatan riil masyarakat pesisir di Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Boalemo berada di bawah upah mínimum regional UMR, oleh sebab itu masyarakat perlu diberdayakan. Hasil penelitian identifikasi bentuk kemiskinan nelayan di Desa Eretan Wetan melalui kajian sosial budaya, mampu mengidentifikasi bentuk kemiskinan yang terjadi. Kemiskinan absolut memerlukan kebijakan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan mínimum sebelum mereka mampu untuk memberdayakan dirinya sendiri Hartono, 2006. Berdasarkan profil sosial budaya masyarakat nelayan perairan laut Indonesia, menunjukkan bahwa masyarakat nelayan masih memiliki karakter masyarakat pedesaan. Namun demikian telah tampak pula adanya transisi sosial budaya dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban. Kajian sosial budaya terhadap nilai dan norma, kepercayaan lokal, sistem produksi diketahui bahwa masyarakat nelayan di Desa Pasauran, Kabupaten Serang Banten masih merupakan masyarakat dengan karakter modal sosial terikat. Sementara itu hasil penelitian Purwanti 2009 tentang prilaku ekonomi rumah tangga nelayan skala kecil dalam mencapai ketahanan pangan di pedesaan pantai Jawa Timur, menunjukkan bahwa kredit nelayan dari bakul ikan lebih banyak digunakan untuk konsumsi pangan daripada untuk peralatan melaut Lampiran 1. 3 METODOLOGI PENELITIAN Metoda penelitian pada dasarnya mencakup teknik pengumpulan, pengolahan, dan analisis data secara ilmiah untuk membuktikan kebenaran hipotesis atau untuk memenuhi tujuan dalam penelitian ini. Dalam rangka menentukan jenis dan jumlah data yang diperlukan untuk membuktikan hipotesis atau memenuhi tujuan penelitian tersebut, maka diperlukan kerangka pendekatan pemecahan masalah.

3.1 Kerangka Pendekatan

Sebagaimana telah diungkapkan bahwa tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis akar permasalahan atau faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan. Kemudian, hasil analisis ini diharapkan dapat dijadikan dasar penyusunan model pengelolaan perikanan tangkap untuk penanggulangan kemiskinan nelayan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mencakup pekerjaan identifikasi dan analisis faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan Gambar 1, dan analisis hubungan kualitatif deskriptif pengaruh faktor-faktor kultural, struktural dan alamiah terhadap kesejahteraan nelayan. Pada dasarnya kesejahteraan nelayan ditentukan oleh pendapatan dan pengeluaran nelayan. Seorang atau sebuah rumah tangga nelayan dikatakan sejahtera, dalam hal ini, jika pendapatannya lebih besar dari pada pengeluarannya selama masa hidupnya. Pendapatan seorang nelayan ditentukan oleh hasil tangkapan, harga jual, sistem bagi hasil, dan biaya produksi melaut. Pendapatan nelayan juga dapat bertambah dari hasil usaha non-nelayan yang dilakukan oleh dia sendiri maupun anggota keluarganya seperti istri dan anak-anaknya. Sementara itu, pengeluaran nelayan ditentukan oleh jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan, manajemen keuangan, dan perilaku kehidupan keluarga. Selanjutnya, setiap faktor variable yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran tersebut ditelusuri faktor-faktor yang mempengaruhinya Gambar 3. 60 Gambar 3 Kerangka Pendekatan Sistem dalam Menentukan Peubah-Peubah yang Mempengaruhi Kesejahteraan Nelayan Kondisi Habitat Utama Pencemaran Marine Protected Area Dinamika Musim Pencurian Ikan Prasarana Sarana Cold Chain System Tingkat Konsumsi Perkapita Pasar Domestik Sistem Bagi Hasil Kuantitas Input Harga Input Stok Ikan Teknologi Penangkapan Kualitas Ikan Pasar Global Biaya Produksi Hasil Tangkap Harga Jual Pengelolaan - Perilaku manusia - Teknologi - Dana - Prasarana sarana - Kelembagaan - Hukum Jarak dengan Produsen Karakter Pasar Kualitas Lingkungan Dinamika Populasi Kapal Ikan Alat Tangkap Handling Processing Konsumsi Domestik Pendapatan Nelayan Sejahtera Pengeluaran Jumlah Penduduk Anggota Keluarga Perdaga - ngan Int’l Konsumsi Global Negara Produsen Pesaing Pendapatan Non Nelayan Perdaga - ngan Int’l Konsumsi Global Negara Produsen Pesaing Jumlah Penduduk Standar Kehidupan standard of living Perdaga - ngan Int’l Konsumsi Global Negara Produsen Pesaing : Ruang lingkup penelitian Keterangan: 61 Kelompok pekerjaan selanjutnya adalah menentukan faktor-faktor kultural, struktural, dan alamiah yang mempengaruhi kesejahteraan nelayan. Ini dilakukan dengan cara meneliti desa-desa pesisir di Kabupaten Cirebon dimana para nelayan bermukim dan wilayah perairan laut yang merupakan wilayah penangkapan para nelayan di Kabupaten Cirebon. Sehubungan dengan keterbatasan waktu, biaya dana penelitian, dan informasi, maka penelusuran faktor-faktor variables penyebab kemiskinan nelayan hanya mencakup hal-hal dari sisi pendapatan yakni: hasil tangkapan, harga jual ikan hasil tangkap, ukran ikan hasil tangkapan, pendapatan non- nelayan, biaya produksi melaut, dan system bagi hasil; stok ikan, teknologi penangkapan, kualitas ikan, pasar domestik, harga input sarana produksi melaut, dan kuantitas input produksi; dan dinamika populasi ikan, kapal ikan, alat tangkap, kualitas lingkungan kondisi mangrove dan kualitas air perairan laut, karakter pasar, jarak pasar dengan lokasi pendaratan ikan nelayan, dan kualitas penanganan dan pengolahan hasil. Sedangkan dari sisi pengeluaran yakni: anggota keluarga dan standar kehidupan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian lapang dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai bulan Maret 2011, mengambil lokasi di wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon. Batas lokasi penelitian adalah Semenanjung Losari Sungai Cisanggarung di sebelah timur, dan Sungai Luwunggesik di sebelah barat. Sedangkan, wilayah perairan laut yang menjadi batas daerah penelitian ini mencakup wilayah perairan laut 12 mil dari garis pantai, yang merupakan wilayah fishing grounds para nelayan Cirebon. Sedangkan wilayah darat mencakup desa-desa pesisir dimana para nelayan bermukim Gambar 4. 62 Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon