42
coastal and ocean engineering and constructions , konservasi keanekaragaman
hayati biodiversity conservation, dan mitigasi dan adaptasi bencana alam Clark, 1992; Dahuri, et al., 1996; Chua, 2007; dan White, et al., 2007.
2.5 Karakteristik Masyarakat Nelayan
Karakteristik masyarakat nelayan yang hidup di kawasan pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris. Hal ini disebabkan oleh karakteristik
sumberdaya alam yang menjadi tumpuan hidup mereka juga berbeda. Masyarakat agraris menghadapi sumberdaya alam yang dapat dikontrol, mobilitas usaha relatif
rendah dan elemen resikopun tidak terlalu besar. Sedangkan nelayan yang bekerja menangkap ikan di laut menghadapi sumberdaya alam yang terbuka dan sulit
dikontrol, keadaan ini menyebabkan mereka harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, elemen resikonya menjadi sangat tinggi, akibatnya
nelayan memiliki karakteristik yang keras dan tegas Satria, 2002. Masyarakat nelayan digambarkan sebagai masyarakat yang relatif tertinggal
dan terpinggirkan, mereka hidup dalam berbagai keterbatasan, baik keterbatasan ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Keterbatasan ekonomi dapat kita lihat
pada tingkat pendapatan nelayan yang pada umumnya masih rendah. Keterbatasan sosial terwujud pada ketidak mampuan masyarakat nelayan dalam
mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan, pola hubungan patron-client yang sudah lama terjalin antara nelayan dengan juragan
sangat tidak menguntungkan bagi nelayan. Adanya sistem nilai yang dipaksakan dari atas mengakibatkan terjadinya keterbatasan politik dari masyarakat nelayan,
yang terwujud pada tidak dilibatkannya nelayan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
penentuan pengurusan KUD Mina yang tidak dipilih oleh masyarakat nelayan, tetapi ditentukan dari atas. Adapun keterbatasan pendidikan tercermin pada
kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah, terutama jika dibandingkan dengan komunitas lain di luar nelayan. Wahyono, et al. 2001, mengatakan
rendahnya sumberdaya masyarakat nelayan disamping disebabkan oleh jauhnya fasilitas pendidikan dari wilayah mereka, juga disebabkan oleh kondisi ekonomi
43
mereka yang tidak memungkinkan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dalam konteks masyarakat tradisional, nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut sebagai mata
pencahariannya. Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat dipengaruhi oleh kondisi alam terutama angin, gelombang, dan arus laut.
Menurut Kusnadi 2002, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari 3 tiga sudut pandang: 1 penguasaan alat-alat produksi peralatan
tangkap, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan pemilik atau juragan orenga dan nelayan buruh pandhiga; 2 tingkat skala investasi
modal usaha, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil; 3 tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan,
struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional.
Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki modal dan sarana penangkapan. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga
kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Pola hubungan nelayan buruh dengan juragan disebut sebagai patron-client. Pola hubungan ini
sudah lama terjadi dan sangat tidak menguntungkan bagi nelayan buruh, karena pola tersebut menyebabkan nelayan buruh sangat tergantung pada juragan sebagai
patron. Juragan sebagai rentenir dengan suku bunga yang tinggi perbulan, sekaligus penampung hasil tangkapan dengan harga termurah.
Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya milik umum commons property resources
yang pemanfaatannya terbuka untuk siapapun. Hal ini mendorong kebebasan yang penuh bagi setiap individu atau kelompok masyarakat
untuk memanfaatkannya secara optimal tanpa memperhatikan kerusakan sumberdaya perikanan serta akibat-akibat serius yang akan ditimbulkannya. Para
pemilik modal dan alat-alat produksi memiliki jangkauan kapasitas penangkapan ikan yang lebih besar dibandingkan nelayan buruh. Ketimpangan kapasitas ini
akan menimbulkan konflik sosial yang terjadi karena kecemburuan sosial, yang dipicu oleh kenyataan bahwa salah satu pihak memperolah bagian terbesar dari
eksploitasi sumberdaya perikanan sedangkan pihak yang lain justru sebaliknya.