Sosial dan Budaya Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya
90
ikan Laut Indonesia adalah sekitar 4,5 juta tontahun. Kemudian, dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI pada 1983 sebagai
keputusan dari UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea
1982, maka potensi produksi lestari sumberdaya ikan Laut Indonesia bertambah sebesar 2,1 juta tontahun menjadi 6,6 juta tontahun. Nilai inilah yang dijadikan
dasar dalam kebijakan pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap di laut sampai tahun 1991 Soewito, et al., 2000.
Pendugaan stok sumberdaya ikan laut berikutnya dilaksanakan pada 1991 oleh Ditjen. Perikanan, Puslitbang Perikanan, dan Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Hasilnya justru nilai MSY sumberdaya ikan laut Indonesia hanya sekitar 6,4 juta tontahun. Namun, informasinya menjadi lebih lengkap, dijabarkan lebih rinci
menurut WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan yang jumlahnya sebanyak sembilan wilayah ketika itu, dan kelompok ikan, yakni pelagis besar, pelagis
kecil, demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, dan lainnya. Laju pemanfaatan sumberdaya ikan laut terus meningkat dari tahun ke
tahun. Pada 1975, tingkat pemanfaatannya baru sebesar 25 persen dari nilai MSY, kemudian meningkat menjadi 38 persen dari nilai MSY, dan mencapai 64 persen
dari nilai MSY pada 1999 Soewito, et al., 2000; Ditjen. Perikanan, 2000. Namun, tingkat pemanfaatannya tidak merata, baik antara wilayah Indonesia
Timur dan wilayah Indonesia Barat maupun antar wilayah pantai, lepas pantai, dan ZEEI. Hal ini disebabkan karena sebagian besar nelayan armada perikanan
merupakan nelayan skala kecil artisanal yang kegiatan operasi penangkapannya berlangsung di perairan pantai dangkal, terutama di Paparan Sunda, seperti Laut
Pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Bali, dan Pantai Selatan Sulawesi. Di wilayah-wilayah laut dangkal ini, sejak awal 1990-an tingkat
pemanfaatannya sudah mencapi titik jenuh fully exploited, dan untuk beberapa jenis stok ikan udang Penaeid dan ikan demersal bahkan sudah overfishing
tangkap lebih. Berdasarkan pada potensi sumberdaya ikan laut dan status pemanfaatannya,
maka berbagai kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan pemerintah sejak 1968 hingga 1999 sebelum dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, berupa:
91
1 kebijakan perlindungan sumberdaya ikan laut, dan 2 kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut.
Kebijakan perlindungan sumberdaya ikan laut memberikan informasi bahwa pengelolaan perikanan tangkap sejak masa Orde Baru sebenarnya sudah mulai
dilakukan, meskipun hanya focus pada aspek pemeliharaan ekosistem mangrove dan aspek sumberdaya ikan dan kegiatan penangkapan ikan. Pada masa itu
pengelolaan mangrove menjadi tanggung jawab Dinas Kehutanan Provinsi dan KabupatenKotamadya, sedangkan rencana pembinaan sumberdaya ikan yang
terkait dengan mangrove oleh Dinas Perikanan setempat. Kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut yang berkaitan dengan sumberdaya ikan dan teknologi
penangkapan ikan menjadi mandate utama Direktorat Jendral Perikanan beserta Dinas Perikanan Provinasi dan KabupatenKotamadya.
Isi dari kebijakan pengaturan penangkapan ikan laut meliputi: pembinaan kelestarian kekayaan laut yang terdapat dalam sumberdaya perikanan Indonesia,
ketentuan lebar mata jaring “purse seine”, jalur-jalur penangkapan ikan, daerah penangkapan kapal trawl dasar, jumlah kapal trawl dasar yang diijinkan
beroperasi di setiap daerah penangkapan, larangan operasi trawl, izin penangkapan udang dengan pukat udang sebagai pengganti jaring trawl, dan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia Lampiran 2. 5.2.4.
Sejak DKPKKP Oktober 1999 – Sekarang
Keinginan agar Indonesia memiliki lembaga setingkat departemen yang khusus membidangi urusan kelautan dan perikanan sudah digagas oleh para ahli,
sarjana dan praktisi bisnis perikanan dan kelautan sejak Konferensi Nasional Kelautan I pada tahun 1987 di Lembaga Oseanologi Nasional LON LIPI,
Jakarta. Rekomendasi utamanya adalah perlunya dibentuk Departemen Kelautan, Departemen Perikanan, atau Departemen Kelautan dan Perikanan.
Hasil Musyawarah Perikanan Nasional yang diselenggarakan oleh Masyarakat Perikanan Nusantara MPN di Hotel Indonesia pada akhir 1996,
mendesak pemerintah agar segera membentuk Departemen Perikanan. Semangat untuk membentuk departemen khusus ini didasari suatu keyakinan dan
professional judgement , bahwa sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di
92
dunia yang memiliki potensi pembangunan ekonomi yang beragam dan sangat besar, sesungguhnya sumber daya kelautan dan perikanan dapat menjadi soko
guru sumber pertumbuhan ekonomi nasional dalam kerangka mewujudkan Indonesia yang maju, makmur dan berdaulat. Namun, saat itu kontribusi sektor
kelautan dan perikanan terhadap perekonomian bangsa PDB masih relatif sangat kecil.
Kesenjangan antara potensi dan pencapaian hasil pembangunan tersebut, bisa jadi disebabkan karena instansi yang menangani urusan kelautan dan
perikanan hanya Direktorat Jenderal Perikanan di bawah Departemen Pertanian. Lembaga selevel Direktorat Jenderal terlalu kecil untuk mengelola wilayah dan
sumber daya kelautan-perikanan yang sangat beragam dan besar, melibatkan begitu banyak pemangku kepentingan stakeholders, dan meliputi rentang
geografis yang sangat luas, dari Sabang sampai Merauke. Presiden Abdurrahman Wahid, yang memimpin Kabinet Persatuan
Indonesia membentuk Departemen Eksplorasi Laut melalui Keppres No.355M1999 tertanggal 26 Oktober 1999. Ditunjuk sebagai menterinya adalah
Ir. Sarwono Kusumaatmaja. Melalui Kepres No.1772000 namanya berubah menjadi Departemen Kalautan dan Perikanan Ministry of Marine Affairs and
Fisheries . Berdasarkan UU No.31September2004 tentang Perikanan,
Departemen Kelautan dan Perikanan DKP juga memiliki tupoksi dalam mengurusi industri pengolahan hasil perikanan dan pengadilan khusus perikanan.
Kondisi sumber daya kelautan dan perikanan yang diwariskan kepada DKP berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, potensi sumber daya perikanan,
terutama perikanan budidaya di laut, perairan payau dan perairan tawar, masih sangat besar dan tingkat pemanfaatannya masih rendah. Ini tentu menjanjikan
prospek ekonomi yang cerah. Di sisi lain, beberapa stok SDI sumber daya ikan, khususnya udang
penaeid, ikan karang konsumsi dan beberapa ikan demersal di beberapa wilayah perairan seperti sebagian Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Selat Bali dan Pantai
Selatan Sulawesi telah mengalami tangkap lebih overfishing. Kondisi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun seagrass beds, estuaria dan habitat
perairan penting lainnya yang menjadi tempat pemijahan spwaning grounds,