143
Selanjutnya, untuk menilai apakah kebijakan pengurangan upaya tangkap tersebut tepat on the right track, maka perlu pemantauan CPUE setiap bulan
dalam jangka waktu sedikitnya lima tahun ke depan. Jika, kecenderungan trend CPUE bulanan tersebut konstan mendatar, tidak naik atau turun, maka berarti
kebijakan pengurangan tersebut sudah tepat. Apabila kecenderungannya menurun, maka perlu pengurangan upaya tangkap yang lebih besar. Sebaliknya,
bila kecenderungannya naik, maka penambahan upaya tangkap diperbolehkan secara bertahap. Selain CPUE, indikator lain yang perlu dipantau dan dapat
dijadikan sebagai bahan evaluasi adalah ukuran rata-rata dari jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh setiap armada kapal ikan. Apabila ukuran rata-rata ikan yang
tertangkap justru semakin mengecil, maka berarti telah terjadi recruitment overfishing
. Implikasinya adalah perlu pengurangan upaya tangkap yang lebih besar. Indikator lainnya adalah lokasi daerah penangkapan ikan fishing ground
dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan volume ikan tertentu. Pemantauan dan evaluasi dari sebuah kebijakan semacam ini sesungguhnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap sistem manajemen, tidak terkecuali manajemen perikanan tangkap. Sayangnya, otoritas pengelola
perikanan tangkap di Indonesia belum pernah atau belum serius melakukan program pemantauan dan evaluasi ini.
8.2 Pemeliharaan Kualitas dan Daya Dukung lingkungan Laut
Untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan laut, maka faktor-faktor yang menambah stok ikan dalam rumus dinamika populasi ikan diatas, yakni
rekruitmen, pertumbuhan individu ikan, dan imigrasi ikan harus diperbesar. Pada saat yang sama, faktor-faktor yang mengurangi yaitu mortalitas alamiah dan
emigrasi harus diminimalisir. Seperti telah diuraikan diatas, bahwa rekruitmen ikan baru melalui proses
reproduksi dan kelangsungan hidup survival rate ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan dan keberadaan ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu
karang, dan estuari. Sementara itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik kualitas perairan laut Kabupaten Cirebon maupun kondisi ekosistem pesisir
mangrove telah mengalami pencemaran dan kerusakan.
144
Oleh karena itu, perlu program penanaman kembali dan rehabilitasi mangrove sesuai dengan UU No. 242007 tentang Penataan Ruang yang
mensyaratkan bahwa 30 persen wilayah KabupatenKota, Provinsi, atau Negara harus dialokasikan untuk kawasan lindung, termasuk jalur hijau green belt
mangrove di sepanjang pantai yang karakteristik tanah dan lahannya sesuai suitable. Program restocking dan stock enhancement pengkayaan stok dengan
spesies-spesies asli lokal perlu dilakukan secara benar dan cermat, agar tidak terjadi spesies baru yang ditebar dimasukkan ke laut justru mengalahkan spesies
lokal, baik melalui persaingan memperebutkan pakan, habitat tempat hidup maupun pemangsaan.
Secara simultan, beban pencemaran yang masuk ke wilayah laut Kabupaten Cirebon harus dikurangi, dan limbah yang sifatnya B
3
Bahan, Berbahaya, dan Beracun tidak boleh dibuang ke laut. Hal ini dapat dilakukan dengan
menerapkan teknologi 3 R Reduce, Reuse, dan Recycle, termasuk pembangunan
IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah secara individual bagi industri besar maupun secara kolektif untuk rumah tangga, perkotaan, pertanian, dan industri
kecil.
8.3 Penerapan Teknologi Penangkapan Ikan yang Efisien dan Ramah
Lingkungan serta Skala Ekonomi dalam setiap Unit Usaha Perikanan Tangkap
Agar efisien dan menguntungkan, setiap unit usaha bisnis, termasuk usaha perikanan tangkap, harus memenuhi skala ekonomi. Selain itu, teknologi
penangkapan ikan fishing technology yang mencakup alat tangkap fishing gears
dan kapal ikan fishing vessel pun harus yang efisien dan sekaligus ramah lingkungan. Karena, hanya dengan teknologi penangkapan ikan yang efisien,
produktivitas hasil tangkapan per satuan upaya per satuan waktu akan tinggi. Namun, produktivitas teknologi penangkapan ikan yang tinggi, kalau tidak ramah
lingkungan, maka dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa sebagian besar nelayan di
Kabupaten Cirebon 82,50 menggunakan kapal ikan berukuran antara 0-10 GT dan mesin tempel outboard motor, sehingga daya jangkau jelajah dan efisiensi
pun relatif rendah. Sedangkan, alat tangkap yang termasuk dalam kategori kurang
145
ramah lingkungan adalah arad dan garok, yang keduanya digunakan untuk menangkap kelompok ikan demersal dan moluska. Lebih dari itu, kapal ikan
berukuran kurang dari 5 GT dengan outboard motor hanya mampu beroperasi di zona-1, dan sebagian kecil sampai zona-II, dimana kedua zona tersebut telah
mengalami overfishing. Untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan di zona-1 dan zona-II,
maka sebagian kapal ikan harus didorong untuk beroperasi menangkap ikan di luar kedua zona tersebut, lebih ke tengah laut diluar 12 mil laut dari pantai.
Dengan demikian, efisiensi, produktivitas dan skala ekonomi usaha perikanan tangkap akan terpenuhi di luar zona-1 dan zona-II. Pada saat yang sama,
sumberdaya ikan yang telah mengalami overfishing di zona-1 dan zona-II
diharapkan akan pulih kembali.
8.4 Peningkatan Kapasitas SDM dan Kelembagaan Nelayan
Keempat tujuan utama management perikanan tangkap pilar di atas akan berhasil, jika nelayan sebagai subyek pelaku perubahan berkenan willing
menerima dan mampu untuk melaksanakan segenap pilar manajemen perikanan tangkap yang baik dan benar. Untuk itu, program peningkatan kapasitas capacity
building nelayan harus dilakukan secara terencana, sistematis, dan
berkesinambungan. Program ini harus mampu memperbaiki pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan skills nelayan dalam menerapkan praktek
penangkapan ikan yang bertanggung jawab sesuai dengan Code of Conduct for
Responsible Fisheries FAO, 1995, memelihara daya dukung dan kualitas
lingkungan ekosistem pesisir dan lautan, cara-cara penanganan ikan hasil tangkapan yang terbaik Best Handling Practices, berusaha sesuai skala ekonomi,
dan menerapkan supply chain management. Selain itu, program peningkatan kapasitas nelayan juga harus mampu
memperbaiki cara pandang mindset, etos kerja, dan akhlak nelayan di Kabupaten Cirebon agar lebih baik dan positip, sehingga mereka mau menerima hal-hal baru
inovasi bagi perbaikan, kemajuan, dan kesejahteraan hidup mereka secara berkelanjutan. Perubahan cara pandang dan etos kerja yang diperlukan dari
nelayan yang terkait dengan temuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
146
Pertama, bahwa sebagai konsekuensi logis dari status pemanfaatan
sumberdaya ikan yang umumnya telah mengalami overfishing, maka harus dilakukan pengurangan intensitas laju penangkapan ikan, sehingga jumlah kapal
ikan dan nelayan yang boleh beroperasi di wilayah perairan laut Kabupaten Cirebon pun harus diturunkan. Oleh karena itu, sebagian kapal ikan dan nelayan
harus dipindah-usahakan ke wilayah-wilayah perairan laut lainnya yang masih underfishing
, seperti zona di luar 12 mil laut dari pantai, perairan laut Selatan Jawa, wilayah laut dalam, wilayah perbatasan, dan ZEEI. Sejak program
transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru sampai program relokasi nelayan yang diadakan oleh pemerintahan reformasi c.q. Departemen Kelautan dan
Perikanan 2001 – 2004, sangat sedikit nelayan dari Kabupaten Cirebon yang mau berhijrah dan pindah usaha ke wilayah Indonesia lainnya. Kalaupun ada
sekitar 10 keluarga nelayan dari Cirebon yang mau transmigrasi ke Irian Jaya pada 1980-an dan 50 orang nelayan mau relokasi ke Tual, Maluku pada 2003,
sebagian besar dari mereka kembali lagi ke Cirebon. Padahal, penghasilan mereka di daerah baru lebih baik dari pada sebagai nelayan di Cirebon. Hal ini
disebabkan karena mayoritas nelayan Cirebon memiliki moto ’mangan ora mangan kumpul ning umah
’ meskipun tidak makanmiskin, yang penting asal tetap tinggal bersama keluarga di kampung halaman sendiri, Cirebon.
Kedua, sebagian besar nelayan di daerah penelitian tidak mau bekerja di
sektor matapencaharian lain pada saat musim paceklik atau pada kondisi sekarang, dimana sumberdaya ikan sudah overfishing dan hasil tangkapan per
satuan upaya serta pendapatan mereka cenderung menurun.
Ketiga, banyak keluarga nelayan yang pola hidupnya ’lebih besar pengeluaran dari pada pendapatan
’, sehingga mereka tidak mampu menabung. Pada saat musim banyak ikan panen raya, banyak nelayan di daerah penelitian
mengeluarkan uangnya untuk main judi domino, gapleh, dan lainnya, mengkonsumsi miras minuman keras, bahkan beberapa sudah kecanduan
narkoba.