50
melaut karena angin kencang, gelombang besar, arus kuat sehingga kondisi ini sangat mempegaruhi pendapatan mereka musim paceklik. Disamping itu,
mereka tidak mempunyai alternatif pekerjaan lain karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia nelayan, mereka tidak memiliki keterampilan lain selain
menjadi nelayan. Kelangkaan sumberdaya perikanan dapat terjadi akibat kerusakan ekosistem laut karena faktor alam maupun aktivitas manusia. Hal
ini terjadi karena sumberdaya pesisir secara “de-facto” bersifat akses terbuka dan dipengaruhi kondisi lingkungan dan musim Dahuri, 2002.
Ketergantungan terhadap lingkungan dan musim itu mengakibatkan setiap kegiatan pembangunan yang mengganggu atau mencemari lingkungan akan
menekan ketersediaan sumberdaya perikanan dan menyebabkan aktivitas produksi menjadi fluktuatif. Kerusakan ekosistem laut juga tidak terlepas dari
akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas sosial-ekonomi di kawasan daratan dan pesisir. Pabrik-pabrik atau pertambangan di kawasan
hulu yang sering membuang limbah ke laut melalui sungai-sungai terdekat sangat membahayakan kelangsungan ekosistem laut, pencemaran yang terjadi
akan menyebabkan sumberdaya hayati rusak dan punah. Untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan harus berlayar jauh ke laut lepas dan hal ini tentunya
meningkatkan biaya operasional, sedangkan hasil tangkapan yang diperolah belum tentu bisa menutupi biaya operasional. Jadi jelas secara sistematis,
kerusakan lingkungan baik oleh faktor alam maupun aktivitas manusia dapat menimbulkan proses pemiskinan masyarakat nelayan.
Penyebab kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi dikalangan masyarakat nelayan dilaterbelakangi oleh sebab-sebab yang kompleks. Menurut
Kusnadi 2003, sebab-sebab yang kompleks tersebut dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu sebab yang bersifat internal dan sebab eksternal. Kedua
kategori sebab kemiskinan tersebut saling berinteraksi dan melengkapi. 1 Sebab kemiskinan yang bersifat internal, berkaitan dengan kondisi didalam
sumberdaya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Sebab-sebab internal ini mencakup masalah: 1 keterbatasan kualitas sumberdaya manusia
nelayan, 2 keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan, 3 hubungan kerja antara pemilik perahu dengan nelayan buruh
51
dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, 4 kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, 5
ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan 6 gaya hidup yang dipandang ”boros” sehingga kurang berorientasi ke masa depan.
2 Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal, berkaitan dengan kondisi diluar diri dan aktivitas kerja nelayan. Sebab-sebab eksternal ini mencakup masalah: 1
kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional dan parsial, 2 sistem
pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara, 3 kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran, praktek
penangkapan dengan bahan kimia, perusakan terumbu karang, dan konvensi hutan bakau di kawasan pesisir, 4 penggunaan peralatan tangkap yang tidak
ramah lingkungan, 5 penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, 6 terbatasnya teknologi pengolahan hasil tangkapan pascapanen,
7 terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor nonperikanan yang tersedia di desa-desa nelayan, 8 kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak
memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun, dan 9 isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal, dan manusia.
Sehubungan dengan sebab-sebab kemiskinan yang dikemukakan Kusnadi 2003, maka kemiskinan struktural dan kemiskinan alamiah dapat disebut sebagai
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor eksternal, sedangkan kemiskinan kultural disebabkan oleh faktor internal yang ada dalam diri masyarakat nelayan itu
sendiri.
2.7 Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Walaupun Indonesia memiliki potensi besar dalam hal sumberdaya laut, namun kita masih belum mampu mengubah sumberdaya potensial itu menjadi
sumberdaya yang kongkrit. Kekayaan sumberdaya kelautan kita tidak mencerminkan wujud kesejahteraan SDM kelautan nelayan. Pada umumnya
masyarakat nelayan masih hidup dalam keterbatasan, baik keterbatasan ekonomi, sosial, politik, maupun pendidikan. Keterbatasan ekonomi nampak pada tingkat
pendapatan nelayan yang pada umumnya masih rendah. Keterbatasan sosial
52
terwujud pada ketidakmampuan masyarakat nelayan dalam mengembangkan organisasi ke luar lingkungan kerabat mereka Boedhisantoso, 1999. Karena
itulah nelayan mengalami nasib terpinggirkan dari proses kemajuan. Ketidakmampuan nelayan mengembangkan organisasi merupakan akibat
dari adanya sistem nilai yang dipaksakan dari atas top down terhadap masyarakat lokal, sehingga menyebabkan tatanan masyarakat tidak berkembang
dengan baik. Sistem nilai yang dipaksakan dari atas ini juga mengakibatkan terjadinya keterbatasan politik dari masyarakat nelayan, yang terwujud pada tidak
dilibatkannya mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, walaupun keputusan tersebut untuk kepentingan mereka sendiri.
Keterbatasan pendidikan dapat dilihat pada kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah. Surya, et al. 2002 mengatakan bahwa 85 persen tenaga kerja
yang bergerak disektor penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional. Berdasarkan kondisi masyarakat nelayan yang masih termarjinalkan
tersebut, maka pemberdayaan masyarakat pesisir merupakan paradigma yang penting dalam pelaksanaan pembangunan guna peningkatan kesejahteraan
nelayan. Di dalam pemberdayaan masyarakat nelayan, faktor yang paling penting adalah bagaimana mendudukkan masyarakat nelayan pada posisi pelaku subjek
pembangunan yang aktif. Pendekatan yang dilakukan adalah menjadikan nelayan sebagai subjek penuh dari setiap pengembangan. Artinya nelayan harus
merumuskan permasalahan yang dihadapi, dan sedapat mungkin mencari alternatif pemecahaannya, sedangkan pemerintah membantu agar alternatif
pemecahan itu bisa dilaksanakan. Ada dua elemen terpenting di dalam konsep pemberdayaan yaitu mempertemukan peran pemerintah dan masyarakat nelayan
secara egaliter. Masyarakat nelayan dengan potensi sosialnya dan pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama-sama akan memberi corak warna terhadap
pengelolaan sumberdaya. Menurut Hikmat 2001, sebenarnya masyarakat memiliki banyak potensi,
baik dari sumber-sumber daya alam yang ada maupun dari sumber-sumber sosial budaya. Masyarakat memiliki kekuatan yang bila digali dan disalurkan akan
berubah menjadi energi yang besar untuk mengatasi masalah yang mereka alami. Masyarakat lebih memahami kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi.
53
Untuk itu, harus diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhan- kebutuhannya dan dilatih untuk dapat merumuskan rencana-rencananya serta
melaksanakan pembangunan secara mandiri dan swadaya. Meskipun demikian sangat sulit bagi masyarakat nelayan untuk keluar dari kemiskinan tanpa adanya
uluran tangan dari pihak lain. Hal ini terjadi karena adanya ketergantungan nelayan pada bakul yang menyebabkan pendapatan nelayan tidak maksimal,
karena mereka harus menjual hasil tangkapan kepada pedagang ikan dengan harga yang ditentukan secara sepihak. Ketergantungan ini menyebabkan nelayan
terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diterobos tanpa bantuan pihak lain. Oleh karena itu Wahyono, et al. 2001, menyatakan bahwa langkah pertama
yang perlu dilakukan untuk memberdayakan nelayan adalah keberadaan suatu lembaga yang mampu menggantikan peran yang selama ini dilakukan oleh bakul,
terutama dalam pemberian pinjaman uang, baik untuk modal maupun untuk kebutuhan yang lain. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan lembaga
keuangan, sehingga nelayan dapat memenuhi kebutuhan modalnya dari lembaga keuangan tersebut.
Menurut Satria 2002, pemberdayaan masyarakat pesisir paling tidak memiliki dua dimensi pokok, yaitu dimensi kultural dan dimensi struktural.
Dimensi kultural mencakup upaya-upaya perubahan perilaku ekonomi, orientasi pendidikan, sikap terhadap perkembangan teknologi, dan kebiasaan-kebiasaan.
Pemberdayaan kultural ini diperlukan untuk mengatasi kemiskinan kultural. Dimensi struktural mencakup upaya perbaikan struktur sosial sehingga
memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal nelayan. Perbaikan struktural umumnya berupa penguatan partisipasi nelayan untuk selanjutnya dapat
berhimpun dalam suatu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Wahyono, et al. 2001, menyatakan bahwa penerapan
program pemberdayaan nelayan tidak dapat dilakukan secara nasional, melainkan harus bersifat regional bahkan lokal. Ini disebabkan masing-masing nelayan
memiliki permasalahan yang spesifik, yang belum tentu sama antara satu daerah dengan daerah lain. Kondisi ketidakberdayaan dan kemiskinan nelayan sangat
terkait dengan karakteristik lingkungan sumberdaya yang melingkupi mereka, dan relasi-relasi sosial ekonomi. Oleh sebab itu dalam penerapan pemberdayaan