Keadaan dan Pengelolaan Limbah Sapi Perah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah dan

Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan di Kabupaten Subang Untuk lebih memperjelas gambaran umum dan kebutuhan-kebutuhan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang, berikut ini diketengahkan hasil analisis data berdasarkan jawaban responden masyarakat pelaku USP, bukan pelaku USP, dan responden dinas dan intansi termasuk pembahasannya.

5.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah

Dari analisis data atau uji hubungan secara statistik dapat diketahui sejumlah faktor yang berhubungan dengan “minat masyarakat menjadi pelaku USP” dan “perkembangan atau kemajuan USP” dalam kontekstual pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Untuk keperluan uji hubungan dengan “minat menjadi pelaku USP” digunakan data dari jawaban responden masyarakat bukan pelaku USP; sedangkan untuk keperluan uji hubungan dengan “perkembangan atau kemajuan USP” digunakan data dari jawaban responden masyarakat pelaku USP. Hasil analisis dan pembahasan ini diperlukan untuk memperkaya bahan- bahan masukan pengambilan keputusan dalam rangka perumusan disain kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yang tepat.

5.1.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Minat Menjadi

Pelaku Usaha Sapi Perah ” Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan signifikan secara statistik dalam Alpha 0,05 dengan “minat menjadi pelaku USP” yaitu ketersediaan lahan p-Value: 0,000; status pekerjaan p-Value: 0,000; terganggu bau limbah p-Value: 0,000. Sementara faktor yang berhubungan tidak signifikan secara statistik dalam Alpha 0,05 dengan “minat menjadi pelaku USP” yaitu pengetahuan tentang USP p-Value: 0,146 dan tingkat pendidikan formal p-Value: 0,186. Adapun keterampilan responden dan permodalan USP tidak dapat diuji secara statistik karena semua responden menyatakan tidak terampil mengelola USP dan tidak memiliki dana atau modal untuk berusaha sapi perah. 97 Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1 ada perbedaan antara responden masyarakat yang merasa memiliki ketersediaan lahan untuk USP dengan masyarakat yang merasa tidak memiliki ketersediaan lahan terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Tampak kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP ” responden masyarakat yang merasa memiliki lahan adalah lebih besar dibandingkan dengan responden masyarakat yang merasa tidak memiliki lahan; 2 ada perbedaan antara responden masyarakat kategori “sibuk bekerja” dengan responden masyarakat kategori “tidak sibuk bekerja” terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Tampak kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang “sibuk bekerja” adalah lebih kecil dibandingkan dengan responden masyarakat yang “tidak sibuk bekerja”; 3 ada perbedaan antara responden masyarakat yang terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya dengan responden masyarakat yang tidak merasa terganggu terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Ada kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya adalah lebih kecil dari responden masyarakat yang selama ini tidak merasa terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya. Mengenai faktor pengetahuan USP dan tingkat pendidikan formal responden, walaupun secara statistik tidak tampak berhubungan signifikan dalam Alpha 0,05 dengan “minat menjadi pelaku USP” namun secara empiris dalam kenyataan sehari-hari kedua faktor ini penting dan mutlak ditingkatkan terus menerus. Kondisi pengetahuan masyarakat tentang USP yang belum optimal, tergambar dari proporsi responden non peternak yang memiliki pengetahuan “cukup memadai” tentang USP baru mencapai 20, menunjukkan perlunya pemerintah dan stakeholder lain mengintensifkan berbagai upaya, di antaranya ialah upaya peningkatan jumlah dan mutu penyuluhan tentang USP kepada masyarakat. Penyuluhan tersebut dilakukan berdasarkan rencana yang baik, disusun secara terpadu dalam kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dalam rencana itu ditetapkan jadwal, kegiatan, tujuan, pelaksana, metode, alat peraga, indikator keberhasilan, sistem evaluasi, dan hal lain yang diperlukan. Penjadwalan penyuluhan hendaknya diatur sedemikian