Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro dan

29 murah. Sudono 2000 mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi perah ialah faktor manajemen. Hasil penelitian Siregar 1993 mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. Suprapto et al. 1999 mengemukakan hal serupa, bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun cara beternak. Kebijakan pemerintah mencakup jumlah dan kualitas tenaga pembimbing peternak sapi perah, pendanaan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis, sarana dan prasarana bantuan peningkatan produksi, dan metode kerja aparatur pemerintah di daerah, termasuk teknologi dan peraturan perundangan. Peranan pemerintah sebagai regulator dalam hal penentuan harga susu, transportasi, sebagai pembimbing atau pendukung teknik peternakan sapi perah, dan pembina kerjasama lintas sektoral adalah penting dan turut menentukan kelancaran perkembangan usaha ternak sapi perah di daerah. Suhartini 2001 mengemukakan bahwa usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana terutama adanya pasar baik industri pengolahan susu maupun konsumen langsung. Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat Baga 2003. Rendahnya produktivitas susu di Indonesia disebabkan faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit, dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu di atas 21 C Sudono 2000. Hal serupa dikemukakan oleh Napitupulu 1987 bahwa pengembangan susu sapi perah dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, induk, bibit, dan obat-obatan; demikian pula Soewardi et al. 1990 mengemukakan bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor. Kebijakan perbankan tentang sistem dukungan pendanaan terhadap usaha 30 peternakan sapi perah turut menentukan pula. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi UKMK. Prawiradiputra et al. 2008 mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini 2008 juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Jika kedua kendala ini dapat diatasi maka kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan usaha kecil menengah dan koperasi, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank. Masalah lainnya ialah keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam mencukupi kebutuhan prosedur atau persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi UKMK baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Prasetyo 2008 mengemukakan bahwa peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan kredit program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak. Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan mencakup suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, letak geografis, ketersediaan atau kesuburan lahan, sumberdaya air dan lainnya. Collier et al. 2006 mengemukakan bahwa musim tahunan memiliki dampak besar terhadap kinerja sapi perah, meliputi pertumbuhan, reproduksi, dan menyusui laktasi. Dari sisi iklim dan cuaca, Setiawati 2008 mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah, antara lain musim, indeks suhu dan kelembaban, serta ketersediaan pakan dan air. Rata-rata sentra produksi di dataran tinggi Pulau Jawa memiliki agroklimat yang mendukung perkembangan sapi perah, yaitu suhu yang sejuk, supply konsentrat yang cukup kualitas dan jumlahnya, serta air yang berlimpah. Hanya saja penyediaan pakan hijauan sudah perlu diperhatikan, mengingat luas lahan yang semakin sempit dengan 31 meningkatnya pertumbuhan fisik perumahan, industri, dan sebagainya. Pakan dapat mempengaruhi penampilan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan serta tingkat produksi dan kualitas ternak. Pakan merupakan biaya terbesar dalam usaha budidaya sapi perah, yaitu sebesar 60 sampai 80. Baga 2003 mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat karena iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu. Sarwanto 2004 menyatakan bahwa dataran tinggi lebih berpotensi untuk mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah jika ditinjau dari ketersediaan limbah ternak, produksi susu, ketersediaan air dan ketersediaan hijauan pakan. Demikian pula kesimpulan hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, yang menetapkan area pengembangan peternakan sapi perah dalam 3 area: area yang berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut MDPL dijadikan sebagai pusat produksi susu, dan di tempat ini dikembangkan sapi perah Fries Holland murni sebagai bibit utama grand parent stock –GPS atau parent stock-PS; antara 300 dan 700 MDPL dikembangkan sapi perah hasil budidaya baik yang berasal dari PS yaitu final stock FS; sedangkan yang berada di bawah 300 MDPL dikembangkan sapi perah persilangan dengan lokal. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah ketersediaan modal usaha atau lahan hijauan pakan ternak Harpini 2008. Kendala dalam penyediaan hijauan pakan sepanjang tahun yang dihadapi peternak sapi perah sangat beragam, mulai dari kurang modal, sempitnya lahan, kurangnya tenaga kerja, musim yang tidak mendukung sampai ke rendahnya penguasaan teknologi Prawiradiputra 2008.

2.2.3 Hasil Penelitian Berkaitan dengan Usaha Peternakan Sapi Perah

Studi berkenaan dengan peranan perbankan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup pada sektor UMK telah dilakukan di banyak negara, termasuk oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia The World Bank dan Organisasi Pangan Dunia Food and Agriculture Organization of The United Nations. Kusmuljono 2007 melakukan penelitian tentang sistem pengembangan usaha pertanian berbasis lingkungan didukung 32 lembaga keuangan mikro. Marsuki 2006 menerbitkan buku berupa hasil kajian atau evaluasi tentang efektifitas peran perbankan dalam memberdayakan sektor ekonomi unggulan di Sulawesi Selatan. Reddy et al. 2002 mengemukakan hasil penelitiannya tentang tingkat kinerja usaha dari tiga kategori usaha ternak di India. Mayoritas peternak sapi perah kategori kecil memiliki kinerja usaha yang rendah; peternak sapi perah kategori menengah memiliki kinerja usaha sedang; dan peternak sapi perah kategori besar memiliki kinerja usaha baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa mayoritas peternak sapi perah skala kecil memiliki pengalaman, prestasi, motivasi, inovasi, pengetahuan, rasional, kemampuan pengambilan keputusan dan orientasi manajemen yang rendah. Bardhan et al. 2005 mengemukakan hasil penelitian mereka di India bahwa kegiatan peternakan sapi perah mencakup bidang: pemakanan, manajemen, pembibitan, dan perawatan kesehatan. Para peternak sapi perah sadar terhadap kegiatan atau praktek peternakan secara umum, seperti inseminasi buatan, pentingnya perlindungan hewan ternak terhadap penyakit ektoparasit dan vaksinasi ternak, pentingnya pemberian kolostrum untuk anak sapi dan konsentrat untuk ternak yang sedang bunting, dan pengeringan sapi pada waktunya. Namun demikian para peternak tidak menyadari beberapa praktek peternakan, seperti keunggulan benih pakan ternak, pemakanan jerami yang diolah dengan urea, dan praktek penyapihan anak sapi. Mereka tidak memelihara rekam jejak record proses perkembangan usaha sapi perah mereka; dan juga tidak mengasuransikan sapi perahnya. Reddy et al. 2005 mengemukakan hasil penelitiannya di India bahwa kinerja peternak sapi perah kategori kecil berhubungan secara positif dan signifikan dengan pengalaman menjalankan usaha sapi perah, inovasi, percaya diri, orientasi ekonomi, pengetahuan pengelolaan usaha sapi perah, partisipasi masyarakat, wawasan luas, dan orientasi manajemen. Tentang peternak sapi perah kategori sedang dan besar, semua faktor manajemen, kecuali pengalaman dalam menjalankan usaha sapi perah, yaitu motivasi pencapaian tujuan, berprestasi, inovasi, percaya diri, kemampuan mengambil keputusan rasional, orientasi ekonomi, pengetahuan tentang manajemen usaha sapi perah, partisipasi