Kerangka Pemikiran The policy model of business development of the environmentally sound micro-scale dairy cattle in Subang Regency

4 memperluas jaringan sehingga dapat di akses oleh UMKM; 3 memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan 4 membantu para pelaku UMKM untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa atau produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan lain yang mendukung penumbuhan dan pengembangan UMKM di Indonesia ialah dari Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 32PBI2001 tentang pemberian kredit usaha kecil; yang intinya menganjurkan bank untuk menyalurkan kredit UMKM sesuai business plan. Kebijakan yang terkait tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 839PBI2005 perihal Pemberian Bantuan Teknis Dalam Pengembangan UMKM; yang intinya Bank Indonesia memberikan bantuan teknis berupa pelatihan dan penyediaan informasi kepada perbankan, lembaga pembiayaan dan Business Development Service Provider BDSP. Dalam rangka pengembangan usaha peternakan di Kabupaten Subang Jawa Barat ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Perdakab. Subang Nomor 14 Tahun 2006 tentang Izin Usaha Peternakan. Maksud dari penetapan peraturan tersebut ialah mendorong peningkatan kesempatan berusaha, kesejahteraan rakyat dan terciptanya iklim usaha yang mampu menunjang pengembangan peternakan; serta menjalankan fungsi di bidang pengendalian dan pengawasan dari pemerintah kabupaten dalam usaha menjamin kepastian dan perlindungan hukum sehingga berdampak positif bagi tertib pengaturan dan peningkatan pendapatan asli daerah PAD Kabupaten Subang. Usaha peternakan yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak ternak bibit atau ternak potong, telur, susu serta usaha menggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan, dan memasarkannya. Dalam peraturan tersebut Kepala Dinas Peternakan atau pejabat yang ditunjuk melakukan bimbingan dan pengawasan kegiatan usaha peternakan. Khusus aturan perundangan tentang usaha peternakan sapi perah golongan kategori pengusaha mikro di Kabupaten 5 Subang, berdasarkan pada kriteria Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, hingga saat ini belum ada secara tertulis. Selama ini aturan yang digunakan bersumber dari aturan umum yang berkaitan Disnakkab. Subang 2011. Keseluruhan aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan itu pada umumnya telah dan sedang diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing. Banyak hasil yang telah diperoleh searah dengan tujuan; namun demikian belum sepenuhnya sampai pada taraf yang dikehendaki. Berdasarkan pada data dan informasi dari pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Subang dan hasil pengamatan di lokasi bahwa akselerasi perkembangan jumlah dan kualitas USP skala mikro di Kabupaten Subang relatif kurang jika dilihat dari sisi jumlah peternak sapi perah, jumlah populasi ternak sapi perah, jumlah dan kualitas produksi susu per sapi perah per hari, pengolahan limbah sapi perah, pengelolaan hijauan pakan ternak, bimbingan atau dukungan teknis, dukungan dana usaha, kesehatan kandang serta lingkungannya, dan pendapatan peternak sapi perah. Hal ini merupakan masalah dan diduga berkaitan dengan banyak faktor, di antaranya ialah: 1 faktor kesiapan masyarakat, 2 faktor kebijakan pemerintah kabupaten dan kecamatan, 3 faktor kebijakan perbankan, dan 4 faktor kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, saling ketergantungan, dan tidak terpisahkan satu sama lain. Kesiapan masyarakat mencakup aspek kesehatan jasmani dan rohani, pendidikan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat. Kesiapan masyarakat juga meliputi keterampilan atau kemampuan teknis peternakan sapi perah dan kemampuan pendanaan. Kegagalan dalam memahami kesiapan masyarakat akan mengakibatkan program pengembangan ternak sapi tidak terarah atau tidak terstruktur. Baga 2003 mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang masih rendah; selain itu sikap masyarakat dan juga peternak sapi perah kurang positif terhadap situasi harga susu segar yang tidak menarik dan bersaing dengan harga susu impor yang relatif lebih murah. Kesimpulan serupa dikemukakan oleh Sudono 2000 bahwa salah satu faktor 6 penyebab rendahnya produktivitas sapi perah ialah faktor manajemen. Hasil penelitian Siregar 1993 mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. Suprapto et al. 1999 mengemukakan bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun beternak. Kebijakan pemerintah yang dimaksud ialah mencakup jumlah dan kualitas tenaga pembimbing peternak sapi perah, pendanaan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada masyarakat, sarana dan prasarana bantuan untuk usaha ternak, dan metode kerja aparatur pemerintah di daerah, termasuk teknologi dan peraturan perundangan. Dana bantuan pemerintah bisa dimanfaatkan dan dikembangkan oleh kelompok peternak antara lain untuk meningkatkan populasi sapi induk, membeli peralatan, membangun unit biogas, serta menanam rumput unggul. Suhartini 2001 mengemukakan bahwa usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana terutama adanya pasar baik industri pengolahan susu maupun konsumen langsung. Baga 2003 mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, di mana tingkat konsumsi susu masyarakat yang masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor. Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai serta kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat. Sudono 2000 mengemukakan bahwa rendahnya produktivitas susu di Indonesia disebabkan oleh faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit, dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu di atas 21 o C. Hal serupa dikemukakan oleh Napitupulu 1987 bahwa ketersediaan pangan, induk atau bibit dan obat-obatan berpengaruh nyata terhadap pengembangan susu sapi perah. Dari sisi lainnya Soewardi et al. 1990 mengemukakan bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan 7 melibatkan berbagai sektor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan pemerintah sebagai regulator dalam hal penentuan harga susu, transportasi, sebagai pembimbing teknik, dan pembina kerjasama lintas sektoral adalah penting dan turut menentukan kelancaran perkembangan USP di daerah. Kebijakan perbankan mencakup kelayakan finansial, persyaratan dan prosedur kredit, jangka waktu pinjaman, suku bunga pinjaman, dan aspek hukum. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi UKMK. Prawiradiputra et al. 2008 mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini 2008 juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan UKMK, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan oleh keterbatasan akses ke sumber- sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, di samping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam memenuhi prosedur dan persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada UKMK baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Menurut Prasetyo 2008 peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak. Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan mencakup suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, letak geografis, ketersediaan dan kesuburan lahan, sumberdaya air dan lainnya. Collier et al. 2006 dan Setiawati 2005 mengemukakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah antara lain musim, indeks suhu dan kelembaban, serta ketersediaan pakan dan air. Baga 2003 mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat karena iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan 8 komoditas susu. Sarwanto 2004 menyatakan bahwa dataran tinggi lebih berpotensi untuk mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah; berkenaan dengan ketersediaan air, ketersediaan hijauan pakan, dan produksi susu. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, menetapkan kesimpulan area pengembangan peternakan sapi perah dalam 3 area yaitu: area yang berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut MDPL dijadikan sebagai pusat produksi susu, dan di tempat ini dikembangkan sapi perah Friesian Holstein FH murni sebagai bibit utama grand parent stock –GPS atau parent stock-PS; antara 300 dan 700 MDPL dikembangkan sapi perah hasil budidaya yang baik yang berasal dari PS yaitu final stock FS; sedangkan yang berada di bawah 300 MDPL dikembangkan sapi perah persilangan dengan lokal. Masalah pengembangan usaha sapi perah di Kabupaten Subang perlu diselesaikan secara komprehensif dengan pendekatan sistem bukan dengan penyelesaian yang bersifat parsial atau reduksionisme; dengan alasan atau pertimbangan bahwa penyebab masalah tersebut tidak tunggal dan tidak sederhana, tetapi kompleks dan rumit karena berhubungan dengan banyak faktor yang saling mempengaruhi. Pendekatan sistem yang dimaksud yaitu pendekatan dengan tahapan teratur mulai dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, pembuatan program komputer, verifikasi model, implementasi, sampai dengan tahap evaluasi Manetsch and Park 1977, diacu dalam Marimin 2007. Pada tahap analisis kebutuhan ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem stakeholder yang berbeda-beda atau bertentangan satu sama lain. Pada tahap formulasi permasalahan dilakukan identifikasi kebutuhan stakeholder yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada pencapaian tujuan Hartrisari 2007. Pada tahap identifikasi sistem dibuat diagram lingkar sebab-akibat causal loops diagram, diagram input-output black box diagram, serta diagram alir flow diagram untuk menggambarkan hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pemodelan dilakukan dengan 9 dasar pemikiran bahwa baik tidaknya perkembangan usaha sapi perah berhubungan erat dengan faktor kesiapan masyarakat, faktor sumberdaya alam dan lingkungan, faktor kebijakan pemerintah, dan faktor kebijakan perbankan. Model ini kemudian divalidasi hingga diperoleh keabsahan sebagai salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah lalu direkomendasikan menjadi kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Kerangka pemikiran penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 1. Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Disain Kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang Pemanfaatan Limbah Sapi Pendapatan Bank Pendapatan Masyarakat Pengelolaan Pakan Ternak Kelayakan Usaha Mutu Lingkungan Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro Sumberdaya Alam dan Lingkungan  Letak geografis  Topografi  Sumberdaya Air  Curah Hujan  Suhu Udara  Kelembaban Udara  Ketersediaan dan Kesuburan Lahan Kebijakan Peme- rintah Kabupaten dan Kecamatan Dana, sarana, tenaga, penyuluhan, bimbingan teknis, dan metode kerja Kesiapan Masyarakat - Kondisi Fisik - Pendidikan - Pengetahuan - Sikap dan Perilaku - Kemampuan teknis - Kemampuan dana Kebijakan Perbankan  Kelayakan Finansial  Persyaratan dan Prosedur Kredit atau Pinjaman  Jangka Waktu dan Bunga  Aspek Hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 14 Tahun 2006 tentang Izin Usaha Peternakan Keputusan Menteri Pertanian No.404Kpts OT.21062002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Kebijakan Pembangunan Nasional Republik Indonesia Peraturan Bank Indonesia Nomor 32PBI2001 perihal Pemberian Kredit Usaha Kecil 10

1.4 Perumusan Masalah

Masalah yang berhubungan dengan USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater ialah 1 hingga saat ini jumlah produksi susu per sapi laktasi rata-rata per hari pada sebagian besar USP belum optimal atau masih di bawah jumlah produksi ideal sebesar 20 liter per sapi per hari; 2 laju peningkatan status skala USP dari “mikro” jumlah 1-5 ekor sapi ke skala USP yang lebih tinggi jumlah 5 ekor sapi selama periode 2008-2011 masih relatif lambat sekitar 1 per tahun; 3 laju pertambahan USP dalam periode 2008-2010 masih rendah; rata-rata sebesar 0,87 per tahun masih di bawah target Kabupaten Subang sebesar 10 per tahun atau di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29; dan 4 minimnya jumlah USP yang berwawasan lingkungan. Masalah-masalah ini diduga berkaitan dengan faktor: kesiapan masyarakat, kebijakan pemerintah, sumberdaya alam dan lingkungan, dan kebijakan perbankan.

1.4.1 Kesiapan Masyarakat

Kesiapan masyarakat yang dimaksud mencakup: pendidikan formal masyarakat, kesehatan masyarakat, pendapatan masyarakat, pengetahuan dan sikap masyarakat tentang USP, praktek atau perilaku mengelola USP, keterampilan teknis dan kemampuan dana para peternak sapi perah.

1.4.1.1 Pendidikan Formal Masyarakat

Berdasarkan informasi dari Pemerintah Kecamatan Sagalaherang dan Ciater bahwa pada tahun 2010 angka rata-rata lama sekolah ARLS masyarakat di kedua kecamatan yaitu berturut-turut 6,76 tahun dan 7,59 tahun atau masih di bawah standar menurut United Nations Development Program UNDP tahun 1990 yaitu 15 tahun. Angka melek huruf AMH sebagai indikator indeks pendidikan masyarakat di kedua kecamatan yaitu berturut-turut 94,2 dan 96,9 atau masih di bawah standar UNDP yaitu 100 BPS Kabupaten Subang 2010. Distribusi masyarakat menurut tingkat pendidikan formal di kedua kecamatan yaitu tamat Sekolah Dasar atau sederajat SD berturut-turut 74,94 dan 68, 89; tamat Sekolah Menengah Atas atau sederajat SLA berturut-turut 8,14 dan 10,68; tamat Sekolah Menengah Pertama atau sederajat SLP berturut-turut 15,66 dan 18,22; di 11 atas SLA berturut-turut 1,26 dan 2,31. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk hanya tamat SD dan tidak tamat SD; hal ini sedikit banyak mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru Siregar et al. 2003.

1.4.1.2 Kesehatan Masyarakat

Salah satu indikator kesehatan masyarakat ialah umur harapan hidup UHH. Pada saat ini UHH masyarakat di kedua kecamatan adalah berturut- turut 68 tahun dan 70,28 tahun atau masih di bawah standar UNDP yaitu 88 tahun. Rendahnya UHH tersebut berkaitan dengan angka kematian ibu melahirkan AKIM di kedua kecamatan yang relatif tinggi sebesar 9 dan 10 per seratus ribu atau masih di bawah target nasional yaitu 6 per seratus ribu ibu melahirkan. Rendahnya UHH juga berkaitan dengan angka kematian bayi AKB yang masih tinggi, berturut-turut sebesar 46 dan 47 per seribu kelahiran hidup atau masih di bawah target nasional 23 per seribu kelahiran hidup Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010. Keadaan ini merupakan masalah yang perlu diselesaikan bersamaan dengan peningkatan pendidikan dan ekonomi masyarakat dalam rangka percepatan peningkatan IPM.

1.4.1.3 Pendapatan Masyarakat

Proporsi keluarga tergolong miskin di kedua kecamatan pada akhir 2010 adalah berturut-turut 6,26 dan 16,93 total seluruh keluarga. Khusus tentang pendapatan USP di kedua kecamatan ini walaupun telah memberi kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga pelaku USP namun belum seluruhnya sampai pada taraf yang diharapkan. Rendahnya pendapatan peternak disebabkan karena selisih harga jual susu segar per liter di tingkat peternak dengan biaya untuk memproduksi per liter susu segar terlalu kecil Disnakkab. Subang 2010. Rendahnya pendapatan peternak sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya, dan pada gilirannya dapat pula menghambat perkembangan USP.

1.4.1.4 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang USP

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa stakeholder di dua kecamatan dapat dikemukakan bahwa pengetahuan peternak tentang USP pada