Manfaat dan Pentingnya Usaha Peternakan Sapi Perah

23 dalam pasokan makanan. Selain itu makanan susu menyediakan sejumlah besar nutrisi penting lainnya, termasuk kalium, fosfor, riboflavin, vitamin B12, protein, seng, magnesium, dan vitamin A Huth et al. 2006. Saat ini produksi susu nasional baru mencapai 30 konsumsi nasional. Produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata hanya sekitar 8 sampai 10 liter per ekor per hari, padahal idealnya dapat mencapai sekitar 20 liter per ekor per hari. Bahkan di negara maju produksi susu rata-rata dapat mencapai lebih dari 30 liter per ekor per hari Sembiring 2008. Sapi perah merupakan ternak yang sangat tepat untuk dikembangkan mengingat ternak tersebut dapat menghasilkan sekaligus dua produk utama yaitu susu dan daging. Sapi perah adalah paling efisien dalam mengonversi pakan menjadi produk pangan. Hal ini juga sangat sesuai dengan kondisi sekarang di mana banyak sekali terjadi kasus gizi buruk yang untuk pemulihan status gizi tersebut pemberian susu nampaknya paling tepat. Setiawati 2008 mengemukakan bahwa usaha budidaya sapi perah merupakan salah satu industri berbasis pedesaan dan padat karya sehingga dapat membangkitkan perekonomian masyarakat di pedesaan yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia. Prawiradiputra 2008 mengemukakan hal serupa bahwa dengan melaksanakan usaha budaya sapi perah, peternak bukan hanya memperoleh hasil penjualan dari susu segar yang dihasilkan setiap harinya tetapi juga mendapat hasil samping berupa ternak hidup pedet dan induk afkir dan pupuk kandang. Aviliani 2008 mengemukakan bahwa peranan usaha sapi perah antara lain : 1 pembentukan produk domestk bruto PDB Nasional, 2 menaikkan net ekspor atau mengurangi net impor nasional, 3 penyerapan tenaga kerja, 4 penyediaan pangan nasional, 5 pemerataan pembangunan dan hasil pembangunan, serta 6 pelestarian lingkungan untuk menjamin sustainable development. Hasil samping lainnya yang dapat diperoleh dari peternakan sapi perah ialah feses, urin, dan sisa makanan yang dikonsumsi ternak. Jumlahnya kira-kira 30-40 dari unsur hara yang ditelan oleh sapi perah terdiri atas N, P, K, Na, Cl, Ca, dan unsur lain Sarwono dan Arianto 2002. Selain itu kotoran ternak sapi perah mengandung gas metan yang dapat digunakan sebagai bahan energi. Pembuatan biogas merupakan proses biologis. Bahan dasar kotoran ternak yang 24 berupa bahan organik akan berfungsi sebagai sumber karbon yang merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan bakteri. Dalam keadaan tanpa oksigen, bahan organik akan diubah oleh bakteri untuk menghasilkan campuran gas methan CH 4 , karbondioksida CO 2 , dan sedikit gas lain. Campuran gas-gas tersebut disebut biogas Santoso 2001. Proses pembuatan pupuk organik dari kotoran ternak sapi potong dibuat dengan komposisi sebagai berikut: kotoran sapi 87,5, abu organik atau sekam 10, serbuk gergaji 5, kalsit atau dolokit 2 dan stardek 0,1. Rumah Pemotongan Hewan RPH Cakung di Jakarta sudah membuat pilot project pembuatan pupuk organik dari limbah yang dihasilkan oleh RPH. Dari 5 m 3 limbah yang dihasilkan per hari dapat diolah menjadi pupuk organik sebanyak 1,25 m 3 atau 0,75 ton per hari, yang terjual dengan harga Rp. 150 per kilogram SEMAI 1998. Penggunaan pupuk organik pada lahan pertanian, menurut SEMAI 1998, mampu memperbaiki struktur tanah sehingga aerasi di dalamnya menjadi lancar dan dapat mengikat unsur Al, Mg dan Fe, sehingga unsur pospornya menjadi bebas dan dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Di samping itu, penggunaan pupuk organik dapat mengikat cita rasa dari produk pertanian menjadi lebih enak, biaya produksi menjadi lebih rendah, lebih tahan terhadap serangan hama, dan aman untuk dikonsumsi SEMAI 1998. Dengan demikian, produk pertanian organik memiliki harga jual yang lebih tinggi dari pada produk pertanian yang menggunakan pupuk anorganik. Ini berarti, limbah yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan sapi potong jika diolah menjadi pupuk organik tidak akan mencemari lingkungan, akan tetapi justru memberikan manfaat terhadap perbaikan mutu lingkungan dan peningkatan pendapatan petani. Pengelolaan limbah ternak sapi perah merupakan upaya yang dilakukan dalam menangani limbah berupa limbah padat yaitu feses dan limbah cair yang berasal dari urine dan air untuk sanitasi. Tujuan pengelolaan limbah ternak adalah untuk menghindari pencemaran lingkungan udara, air dan tanah sekaligus dapat memberikan nilai tambah pada usaha peternakan yang dijalankan. Pemilihan sistem pengelolaan limbah ternak didasarkan pada usaha peternakan yang dijalankan. Pemilihan sistem pengelolaan limbah didasarkan pada banyak faktor antara lain biaya, potensi pencemaran air dan udara, kebutuhan tenaga kerja, 25 pertimbangan lokasi, pertimbangan wilayah pembuangan, selera operator, fleksibilitas sistem dan dapat dipertanggung jawabkan Rusdi dan Kurnani 1994. Lanyon 1994 menjelaskan bahwa pengelolaan limbah ternak untuk melindungi kualitas air bergantung pada manajemen setiap usaha peternakan yang meliputi sumberdaya alam, struktur dan fasilitas yang tersedia dan tujuan dari usaha peternakan. Pencemaran air terjadi pada air permukaan dan air tanah. Upaya untuk mengatasinya adalah melaksanakan perbaikan pemeliharaan ternak mulai dari perkandangan, pemberian pakan sampai pemanfaatan limbah ternak. Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat dilakukan dengan pengurangan produksi limbah melalui peningkatan efisiensi dalam proses produksi, sehingga akan menurunkan produksi limbah berupa cair, padat dan limbah gas yang dibuang secara langsung ke lingkungan. Namun demikian, di dalam pengelolaan limbah sangat bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat. Van Horn et al. 1994 menyatakan bahwa pada saat ini upaya yang harus dilakukan adalah melindungi kualitas air dari pencemaran limbah ternak terutama nitrogen. Pemberian pupuk dari limbah ternak dalam jumlah yang memadai dapat menghindari larutnya nitrogen melalui air permukaan dan air tanah serta mempunyai nilai ekonomis. Satu ekor sapi perah dewasa setiap harinya dapat menghasilkan feses sebanyak 30-40 kg dan urin sebanyak 20-25 kg dengan kandungan bahan organik 6,3 kghari, total nitrogen 0,273 kg dan ammonia 0,050 kg. Oleh karena itu, supaya pengelolaan limbah dapat optimal perlu diketahui beberapa faktor yaitu 1 produksi dan karakteristik serta komponen limbah, 2 komponen lingkungan, antara lain ketersediaan dan kualitas air, bau yang ditimbulkan, emisi NH 3 dan CH 4 serta 3 metode proses dan pemanfaatan sumberdaya yang meliputi pengelolaan limbah untuk padang pengembalaan dan tanaman pertanian, pengomposan dan biogas. Hasil penelitian Juhaeni 1999 menunjukkan bahwa proses pengolahan secara fisik dan biologis lumpur aktif dapat menurunkan tingkat pecemaran limbah cair peternakan sapi perah mencapai sekitar 51,65-86,25. Tamminga 1992 menyarankan agar pencemaran limbah ternak berupa gas metana dan unsur nitrogen dapat dikurangi dengan meningkatkan penyerapan nitrogen dalam tubuh 26 ternak dan memanipulasi fermentasi dalam rumen melalui pakan. Muller 1980 menyatakan bahwa proses yang dapat dilakukan dalam menangani limbah ternak adalah dengan cara dehidrasi atau mengurangi kadar air, feses, menggunakan feses sebagai campuran pembuatan silase, penambahan bahan kimia seperti para-formaldehid, lumpur aktif, pengomposan dan diproses sebagai pakan yang terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalkun dan meningkatkan produksi telur. Penggunaan dalam ransum ternak unggas memberikan pengaruh yang baik apabila diberikan sekitar 5-10 dari total ransum. Haga 1999 mengklasifikasikan limbah ternak menjadi tiga macam, yaitu limbah padat, semi padat dan cair. Limbah padat dimanfaatkan sebagai kompos yang mempunyai kualitas tinggi. Limbah ternak sapi perah yang limbahnya semi padat dan cair dibuang langsung ke lahan pertanian, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga perlu dilakukan pengelolaan limbah berupa pengomposan yang mengandung N=2,1, P 2 O 5 = 2,2 dan K 2 O = 2,3. Pengolahan limbah ternak yang paling umum dilakukan adalah dengan cara pengomposan. Pengomposan adalah dekomposisi biologis bahan organik yang terkendali, sehingga menjadi bahan yang stabil Merkel 1981. Tujuan utama pengomposan adalah untuk mengubah feses ternak menjadi produk yang mudah ditangani dan aman untuk kesehatan manusia. Feses yang masih basah tidak cocok untuk pemupukan oleh baunya yang menjijikkan karena adanya senyawa sulfur seperti hidrogen sulfida. Pada proses pengomposan suhu akan naik lebih dari 60 C, sehingga akan dapat menumbuhkan bakteri patogen, parasit dan rumput liar. Tujuan lain dari pengomposan adalah mengubah feses menjadi pupuk organik yang aman untuk tanah dan tanaman Harada et al. 1993. Menurut Haga 1998 kompos merupakan produk utama dari limbah peternakan di Jepang, karena kompos dapat menstabilkan bahan organik, mengurangi bau yang menyengat, membunuh benih rumput liar, menghilangkan mikroorganisme patogen dan cocok untuk lahan pertanian. Oleh karena itu, dalam pembuatan kompos perlu memperhatikan kondisi untuk pengomposan, fasilitas pengomposan dan kualitas kompos. Di Hongkong, kompos adalah pupuk alternatif yang dapat meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanaman jagung. Kompos banyak mengandung unsur 27 hara makro seperti N,P,K, Ca dan Mg serta beberapa unsur hara mikro yaitu Cu, Zn dan Mn Wong et al. 1999. Nisizhaki et al. 1997 telah menggunakan teknologi maju dalam pembuatan kompos di Jepang yaitu dengan menggunakan window farming car dan compos turner dengan reaktor yang dapat menekan biaya pemrosesan, mengurangi tenaga kerja dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Hasil penelitian Hall 1991 menunjukkan bahwa pengomposan yang baik akan dapat mengurangi tingkat pencemaran lingkungan sebesar 11. Padang rumput yang luas dapat mengurangi pencemaran nitrogen apabila pembuangan limbah dalam jumlah optimum. Kekurangan nitrogen menyebabkan rumput mempunyai produktivitas yang rendah, sedangkan apabila berlebihan dapat mencemari air dan meningkatkan kadar nitrat hijau pakan. Tingginya kadar nitrat dalam hijau pakan dapat meracuni ternak ruminansia karena dalam lambung nitrat diubah menjadi nitrit. Padang rumput pada umumnya dapat menyerap nitrogen limbah sampai 23 Kimura dan Kurasima, 1991. Limbah ternak mengandung bahan organik tinggi yaitu 80 dari bahan kering. Pemanfaatan limbah ternak sebagai energi pada umumnya sebagai bahan bakar ternak kering mengandung energi sekitar 3.000 kkalkg, dapat menghemat bahan bakar sampai 70 dan abunya dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya unsur kalsium dan fosfor. Biogas dapat dihasilkan dengan memanfaatkan fermentasi mikroorganisme dalam kondisi anaerob, dengan suhu 35 C, dan pH netral 6-8. Produksi biogas terdiri atas 60 metana dan 40 CO 2 dan bahan 5.500 kkalm 3 , sehingga dapat digunakan untuk bahan bakar dan sumber tenaga Haga 1998. Pengelolaan limbah ternak melalui biogas telah dilakukan di Maya Farm, Metro Manila Filipina dan digunakan untuk sumber energi mesin giling pembuatan pakan ternak, pengeringan dan pompa air. Keuntungan lain dari pembuatan biogas adalah menghilangkan bau busuk mikroorganisme patogen dari limbah ternak serta menghasilkan pupuk organik yang berkualitas tinggi Obias 1985. Hasil penelitian Romaniuk 1992 memperlihatkan bahwa biogas dapat menurunkan tingkat pencemaran lingkungan sebesar 80. Penelitian Pain 1999 menunjukkan bahwa biogas dapat menurunkan tingkat kebauan sampai 84. Pengelolaan limbah secara anaerob seperti biogas dapat menurunkan bahan organik sekitar 38-53. 28

2.2.2 Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro dan

Faktor-Faktor yang Berhubungan Menurut Baga 2003 perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu 1 iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu, 2 masih rendahnya skala usaha pemilik sapi oleh peternak, di mana rata-rata hanya 2 sampai 4 ekor, 3 kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang terendah, 4 manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah, 5 kesulitan bahan pakan ternak berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijau di Jawa sudah semakin sempit, 6 masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat, 7 masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan, 8 kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi dan 9 masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor. Salah satu masalah yang menyebabkan tidak berkembangnya peternakan sapi perah adalah harga susu yang tidak menarik dan bersaing dengan susu impor yang relatif lebih murah. Pengembangan peternakan sapi perah merupakan suatu sistem usaha yang tidak sederhana tetapi kompleks; dan keberhasilannya ditentukan oleh banyak faktor yang saling berkaitan atau saling mempengaruhi, di antaranya ialah faktor kesiapan masyarakat dan peternak; faktor kebijakan pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa; faktor kebijakan perbankan, selaku pendukung dana; dan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Kesiapan masyarakat mencakup berbagai aspek: kesehatan jasmani dan rohani, pendidikan, pengetahuan, sikap, kemampuan teknis, kemampuan pendanaan, dan perilaku yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat. Baga 2003 mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang masih rendah. Selain itu sikap masyarakat peternak sapi perah kurang positif terhadap situasi harga susu segar yang tidak menarik dan bersaing dengan harga susu impor yang relatif lebih 29 murah. Sudono 2000 mengemukakan bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi perah ialah faktor manajemen. Hasil penelitian Siregar 1993 mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. Suprapto et al. 1999 mengemukakan hal serupa, bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun cara beternak. Kebijakan pemerintah mencakup jumlah dan kualitas tenaga pembimbing peternak sapi perah, pendanaan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis, sarana dan prasarana bantuan peningkatan produksi, dan metode kerja aparatur pemerintah di daerah, termasuk teknologi dan peraturan perundangan. Peranan pemerintah sebagai regulator dalam hal penentuan harga susu, transportasi, sebagai pembimbing atau pendukung teknik peternakan sapi perah, dan pembina kerjasama lintas sektoral adalah penting dan turut menentukan kelancaran perkembangan usaha ternak sapi perah di daerah. Suhartini 2001 mengemukakan bahwa usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana terutama adanya pasar baik industri pengolahan susu maupun konsumen langsung. Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat Baga 2003. Rendahnya produktivitas susu di Indonesia disebabkan faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit, dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu di atas 21 C Sudono 2000. Hal serupa dikemukakan oleh Napitupulu 1987 bahwa pengembangan susu sapi perah dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, induk, bibit, dan obat-obatan; demikian pula Soewardi et al. 1990 mengemukakan bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor. Kebijakan perbankan tentang sistem dukungan pendanaan terhadap usaha