Pendapat Responden Dinas dan Instansi dalam Pengembangan

105 mengemukakan bahwa USP baru akan mencapai tingkat efisien dan ekonomis apabila jumlah sapi perah induk yang dipelihara 8 ekor dengan proporsi laktasi rata-rata 70-80 dan kemampuan berproduksi susu lebih dari 8,2 liter per ekor per hari. b Pakan sapi Pengelolaan pakan sapi, baik pakan hijauan maupun konsentrat, di sebagian besar USP masih belum optimal. Sumber pakan hijauan sebagian besar responden selama ini belum tetap, tetapi berpindah- pindah di areal perkebunan dan hutan sekitar kampung bukan milik peternak; sumber pakan konsentrat adalah beli eceran dari KPSBU. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden dapat dikemukakan bahwa jumlah pemberian pakan per sapi per hari rata-rata masih belum sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55PermentanOT.140102006 Tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik Good Breeding Practice yaitu pemberian pakan hijauan per hari sebanyak 10 dari berat badan dan pemberian konsentrat sebanyak 1,5 – 3 dari berat badan. Menurut Basri et al. 2008 pada umumnya pakan berupa hijau diberikan sebesar 60 dari berat kering dan 40 konsentrat. Apabila berat sapi 450 kg, maka pakan yang diberikan rumput alam 21 kg, rumput gajah pennisetum purpureum 7,5 kg dan konsentrat 6 kg. Kurangnya ketersediaan pakan hijauan ini pada dasarnya terkait dengan sistem pengelolaan lahan tanaman pakan yang belum optimal, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Pakan hijauan selama ini diperoleh pelaku USP dari hasil pengaritan sendiri secara acak di ladang atau perkebunan sekitar permukiman penduduk yang jaraknya rata-rata 3 hingga 4 km dari USP. Kondisi ini menyita waktu yang tidak sedikit dan menghambat kelancaran pelaksanaan tugas-tugas lain berkaitan dengan USP. Kondisi ini hampir sama dengan gambaran yang dikemukakan oleh Sobahi et al. 2008 bahwa jauhnya lokasi hijauan pakan ternak HPT dari kandang membutuhkan biaya transportasi yang mahal dan korbanan waktu yang tinggi yang harus ditanggung mereka. 106 Pengaruh langsung adalah penanganan ternak di kandang oleh petani menjadi terbengkalai, seperti waktu birahi tidak terdeteksi, kurang terjaganya kebersihan kandang dan sapi serta program replacement stock sapi pengganti tidak tertangani dengan baik. Selain itu Sobahi et al. 2008 mengemukakan pula lahan yang dimiliki peternak hanya untuk rumah tinggal dan kandang sapi kapasitas 2 ekor; hal ini menjadi penyebab utama peternakan sapi perah tersebar dan sulit untuk dilakukan pembinaan. Sobahi et al. 2008 berpendapat bahwa peternakan harus berada di satu hamparan dengan formula “100 hektar lahan - 100 peternak - 1.000 ekor sapi - menghasilkan 10.000 liter susu per hari”; artinya lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi pakan satu ekor sapi paling sedikit 1.000 m 2 . Peternak yang menanam pakan di lahan sendiri masih terbatas, bervariasi, dan belum memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan seharusnya. Sutarno 2008 menyatakan bahwa satu ekor induk atau satu satuan ternak membutuhkan 833,33 sampai 1.000 m 2 Sutarno 2003, diacu dalam Nurtini et al. 2008. Kebutuhan per ekor sapi per hari yaitu 10 berat badan sapi Permentan No. 55Permentan OT.140 102006, Martindah 2006. Dalam rangka penyelesaian masalah kekurangan tumbuhan hijau pakan sapi tersebut pihak Pemerintah Kabupaten Subang dan Perum Perhutani serta KPSBU setempat bekerjasama dengan masyarakat tani telah menanam rumput pakan sapi di lahan khusus sekitar hutan di perbatasan kabupaten. Program ini belum dapat mendukung USP di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater karena lokasi penanaman relatif jauh dan untuk menjangkaunya perlu biaya angkutan yang relatif besar dan tidak terjangkau oleh para pelaku USP. Karena itu perlu dikembangkan penelitian untuk menemukan alternatif strategi penanaman tumbuhan pakan lainnya yang hasilnya terjangkau oleh pengelola USP di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater. Selain pakan hijauan, juga pemberian pakan konsentrat masih belum optimal, dalam arti belum sepenuhnya sesuai dengan dosis yang ditentukan. Hal ini berkaitan dengan harga konsentrat yang relatif belum terjangkau oleh sebagian besar pelaku USP. Biaya pengadaan pakan 107 konsentrat per sapi yang dikeluarkan pelaku USP selama ini paling tidak sebesar Rp. 5.100,-- per hari; atau rata-rata Rp.12,89,--per kilogram sapi. Berdasarkan perkiraan berat sapi rata-rata 395 kilogram per ekor maka pengeluaran biaya untuk konsentrat per bulan adalah Rp. 153.000,--. Jumlah pemberian asupan konsentrat ini dapat saja menaik atau menurun; tergantung pada harga konsentrat atau kemampuan daya beli para pelaku USP. Dari data ini diperoleh gambaran bahwa proporsi biaya konsentrat dalam USP relatif besar atau hampir separuh dari seluruh biaya produksi; sejalan dengan hasil penelitian Daryono et al. 1989 di Jawa Barat bahwa biaya konsentrat adalah 54,56 dari seluruh biaya produksi Daryono et al. 1989, diacu dalam Siregar 2008. Akibat harga konsentrat mahal maka jumlah dan jenis yang dibeli sebagian besar peternak di bawah standar kebutuhan mereka untuk meningkatkan kesehatan dan produksi susu per hari relatif banyak. c Produksi susu sapi Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden di lokasi USP diperoleh data dan informasi bahwa jumlah produksi susu rata-rata per ekor sapi laktasi per hari adalah 9 liter; padahal ukuran produksi nasional optimal yaitu sebesar 15 sampai 20 liter per ekor per hari Martindah 2006. Menurut Sembiring 2008, produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata hanya sekitar 8 sampai 10 liter per ekor per hari, padahal idealnya dapat mencapai sekitar 20 liter per ekor per hari; bahkan di negara maju produksi susu rata-rata dapat mencapai lebih dari 30 liter per ekor per hari. Hal senada dikemukakan Sudono 2000 bahwa produktivitas sapi perah di Indonesia umumnya berkisar antara 10 dan 11 liter per ekor per hari, sedangkan di Amerika sudah lebih dari 18 sampai 21 liter per hari. Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat Baqa 2003. Menurut pendapat Basri et al. 2008 rendahnya produksi susu dipengaruhi oleh a faktor kurangnya 108 ketersediaan pakan konsentrat sehingga pakan sapi perah hanya terdiri dari pakan hijauan dari rumput; b faktor sikap dan perilaku peternak yang belum mengarah pada good farming practice, dan c faktor tanggung jawab peternak terhadap USP belum optimal. Hal yang sama dikemukakan oleh Hanifah 2008 bahwa produksi susu rendah disebabkan oleh pakan yang berkualitas serta kuantitas yang tidak berimbang dalam pemberiannya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Baga 2003 bahwa produksi susu berjalan lambat dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu 1 iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu, 2 masih rendahnya skala usaha kepemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2 sampai 4 ekor, 3 kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang terrendah, 4 manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang juga rendah, 5 kesulitan bahan pakan ternak berkualitas, sementara lahan sumber rumput hijau di Jawa sudah semakin sempit, 6 masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat, 7 masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan, 8 kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya transportasi dan 9 masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor. Sehubungan dengan pentingnya peningkatan produksi susu sapi, maka pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan tentang program bantuan penyediaan pakan sapi perah yang berkualitas. Pakan sapi perah yang terpenuhi sesuai standar dan terjangkau oleh pelaku USP akan meningkatkan produksi susu ke arah yang diharapkan. Kondisi yang baik tersebut akan mendukung percepatan peningkatan pendapatan pelaku USP dan keluarganya dan pada gilirannya akan memberi dampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan penduduk secara keseluruhan. d Kesehatan lingkungan USP Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden 109 di lokasi USP dapat dikemukakan bahwa kondisi kesehatan lingkungan USP pada umumnya belum optimal. Sebagian besar 92,2 lokasi kandang sapi berada 5 meter dari rumah hunian; bahkan beberapa di antaranya menempel di dinding rumah pemilik. Alasan mereka menempatkan kandang dekat dengan rumah ialah untuk keamanan dan kemudahan pengurusan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Hall et al. 2004 bahwa para peternak sapi Thailand Tengah memiliki dorongan mengadopsi program manajemen kesehatan kawanan ternak untuk mencegah inefisiensi sosial. Syarat penempatan kandang sapi perah menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55PermentanOT.140102006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik Good Breeding Practice ialah tidak menganggu lingkungan hidup, memenuhi persyaratan hygiene dan sanitasi, dan drainase atau saluran pembuangan limbah baik serta mudah dibersihkan. Begitu pula menurut Anonymous 2008 bahwa jarak kandang dengan rumah hunian seharusnya lebih dari 10 meter Anonimous 2008, diacu dalam Basri et al. 2008. Hal ini ditujukan untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan masyarakat dan sapi. Penempatan kandang seperti ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Harlia 2008 di Pangalengan bahwa rata-rata jarak kandang dengan rumah adalah 3,2 meter dengan variasi 2 sampai 7 meter. Selain lokasi yang tidak memenuhi syarat, juga keadaan kebersihan dan kesehatan ruang dan bangunan serta lingkungannya masih kurang optimal. Banyak feses, urin, dan sisa pakan sapi atau sampah yang belum tertangani dengan baik termasuk saluran air limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan. Hasil penelitian para pakar menunjukkan bahwa banyak dampak negatif yang timbul jika limbah sapi dibuang sembarangan atau tidak dimanfaatkan atau diolah secara baik. Harlia 1990 mengemukakan bahwa eksternalitas negatif atau ekternalitas disekonomi Randal 1987, diacu dalam Harlia 1990 yang timbul dari pemeliharaan sapi perah yaitu polusi pada udara, polusi pada tanah, polusi pada perairan, kesehatan, 110 kebisingan, dan bau limbah. Kerugian dalam bentuk matinya satwa yang dapat dimanfaatkan manusia, meningkatnya gangguan kesehatan atau penyakit pada masyarakat sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan. Menurut Basri et al. 2008 bahwa rendahnya produksi susu dan kurang berkembangnya agribisnis sapi perah disebabkan oleh antara lain sikap dan perilaku peternak yang belum mengarah kepada good farming practice. Kondisi lingkungan yang tidak sehat berpeluang besar sebagai faktor risiko berkembangnya berbagai bibit penyakit, parasit dan juga binatang penular penyakit seperti tikus, lalat dan serangga lainnya. Penyakit Anthrax, yang membahayakan sapi dan manusia, dapat menular melalui feses dan urin sapi. Penyakit Brucellois yang dapat menghambat pengembangan populasi dan produktivitas ternak sapi perah adalah juga penyakit yang dapat menular melalui pakan yang tidak hygienis Noor 2006, diacu dalam Nurhayati et al. 2007. Leptospirosis, yang menyebabkan keguguran pada hewan bunting sampai dengan hepatitis dan nephritis yang berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya, dapat menular melalui kulit lecet atau melalui selaput lendir mata atau hidung atau saluran pencernaan. Percikan air kemih penderita di atas lantai kandang yang keras dapat menyebabkan infeksi lewat pernafasan Kusmiyati et al. 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2007. Penyakit-penyakit yang menyerang sapi ini akan mudah menular kepada penduduk dalam waktu yang singkat melalui lalat, tikus, kecoa dan lainnya dari lingkungan kandang yang tidak sehat; demikian pula sebaliknya penyakit yang menyerang manusia dapat menular kepada sapi melalui tikus dan serangga dari rumah hunian ke lingkungan kandang. Kondisi kesehatan lingkungan yang belum baik pada dasarnya disebabkan banyak faktor di antaranya faktor manusia atau peternak, faktor dana, faktor keamanan, dan faktor ketersediaan lahan. Hanifah 2008 mengemukakan bahwa peternak masih kurang memperhatikan atau menerapkan good farming practice dan rendahnya kesadaran untuk menjaga kebersihan. Akibat dari kebersihan kandang kurang memadai 111 dilaporkan banyak sapi laktasi yang terkena penyakit mastitis. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya penyuluhan, atau insentif harga yang diterima peternak belum mampu mendorong peternak untuk menjalankan manajemen yang baik. Untuk itu menurutnya, perlu pengenalan inovasi teknologi berupa latihan tentang tatacara pemeliharaan yang mengikuti good farming practice. Rendahnya kualitas kesehatan lingkungan kandang mengisyaratkan perlunya peningkatan penyuluhan kesehatan lingkungan kandang kepada para peternak, termasuk sosialisasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 55Permentan OT.140102006 tentang Pedoman Pembibitan Sapi Perah Yang Baik Good Breeding Practice yang menegaskan perlunya upaya pencegahan pencemaran lingkungan dengan cara a mencegah polusi dan gangguan lain seperti bau busuk, serangga, pencemaran air sungai dan lain-lain, b membuat dan mengoperasionalkan unit pengolah limbah peternakan padat, cair, gas sesuai kapasitas produksi limbah yang dihasilkan; dan pada peternakan rakyat dapat dilakukan secara kolektif dalam kelompok. e Pengelolaan limbah sapi Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan responden jumlah feses sapi rata-rata per ekor per hari adalah dalam kisaran 28 sampai 30 kg; dan jumlah urin adalah dalam kisaran 17 sampai 20 liter per ekor per hari. Jumlah ini hampir sama dengan pendapat Van Horn et al. 1994 bahwa satu ekor sapi perah dewasa setiap harinya dapat menghasilkan feses sebanyak 30-40 kg dan urin sebanyak 20-25 kg dengan kandungan bahan organik 6,3 kghari, total nitrogen 0,273 kg dan ammonia 0,050 kg. Jumlah limbah sapi yang telah dikelola menjadi biogas dan pupuk organik baru mencapai 15; sisanya berada di dalam dan sekitar kandang belum diolah dengan baik, bercampur yang lama dan yang baru di tempat terbuka, dan terjangkau oleh serangga atau binatang perantara penyakit. Volume tumpukan limbah akan berkurang ketika beberapa bagian dibuang ke selokan dan sungai, atau terkikis air hujan. Keadaan ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Harlia 2008 di 112 Pangalengan Jawa Barat, bahwa sebagian peternak membuang limbah cair ke sungai dan sebagian besar lainnya membuang ke kebun, sedangkan untuk limbah ditampung pada tempat penampungan khusus tidak jauh dari kandang setelah kumpul kemudian diangkut. Meskipun banyak dampak negatif yang timbul dari pengembangan peternakan sapi perah ini namun seluruh responden non peternak menyatakan tidak keberatan tidak merasa terganggu. Hal ini disebabkan karena faktor kebiasaan dan sifat saling menghormati serta tenggang rasa yang tinggi di antara anggota masyarakat. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu dukungan yang efektif dari pemerintah dan stakeholder lainnya. 2 Dua faktor penting dan menjadi prioritas penyelesaian utama dalam rangka pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang menurut sebagian besar responden ialah faktor pengetahuan masyarakat dan faktor kebijakan perbankan. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Hossain et al. 2005 terhadap peternakan skala kecil di Bangladesh yang menyatakan bahwa peternakan skala kecil menghadapi banyak masalah, antara lain: kelangkaan pakan ternak, tingginya harga konsentrat, dan kurangnya pengetahuan teknis para peternak. Pendapat ini penting dan sesuai dengan gambaran dan kebutuhan di daerah. Dapat dipahami bahwa tinggi rendahnya pengetahuan pelaku USP akan menentukan baik tidaknya manajemen USP; kemudian baik tidaknya manajemen USP akan menentukan tinggi rendahnya produktivitas USP, yang terwujud dalam bentuk menaik tidaknya jumlah dan mutu susu yang dihasilkan atau pendapatan para pelaku USP. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudono 2000 bahwa rendahnya produktivitas sapi perah disebabkan faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu diatas 21 C. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan melakukan pemilihan bibit yang baik dan penempatan sapi perah pada iklim yang cocok untuk sapi perah yaitu pada suhu berkisar antara 15 dan 21 C. Faktor kebijakan perbankan dirasakan sebagai suatu hal yang penting karena berkaitan dengan sistem dukungan pendanaan terhadap usaha peternakan sapi perah yang turut 113 menentukan berkembang tidaknya USP. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi UKMK. Prawiradiputra et al. 2008 mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini 2008 juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan usaha kecil menengah dan koperasi, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan karena keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, di samping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam mencukupi kebutuhan prosedur dan persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi UKMK baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Prasetyo 2008 mengemukakan bahwa peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan kredit program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak. Beberapa kriteria umum untuk menentukan pemberian kredit menggunakan prudential banking yang layak Siswanto 2000, yaitu 1 kredit hanya diberikan pada debitur yang jujur, usaha dikelola secara profesional, mempunyai kemampuan melunasi kredit dari sumber dana yang normal, prospek masa depan bidang usahanya cerah dan dalam hal tertentu didukung oleh jaminan yang cukup; 2 setiap persetujuan kredit harus didukung jadwal pelunasan dalam arsip portofolio kredit yang bersangkutan dan kemudian hari dapat direvisi sesuai dengan perkembangan likuiditas keuangan debitur; 3 selama perjanjian kredit berjalan, bank harus mendapatkan kepastian bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kreditnya. Agar dapat melakukan evaluasi tentang itu, paling 114 sedikit setiap tahun debitur harus menyerahkan laporan keuangannya. Dalam kaitannya dengan kredit bank, Ashari 2009 berpendapat bahwa pemerintah seharusnya memiliki database yang lengkap dan valid tentang kelompok- kelompok tani GAPOKTAN beserta tingkat kemampuan baik secara finansial maupun manajemen produksi, pemasaran, akses modal, dan sebagainya. Data ini bisa dikumpulkan dari akumulasi pengalaman dari berbagai pelaksanaan kredit program bantuan modal yang telah dijalankan selama ini melalui koordinasi dengan instansi atau departemen lain yang terkait, seperti Departemen Koperasi dan UMKM, Departemen Sosial, Departemen Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik, dan sebagainya. 3 Metode efektif peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat, yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah metode pendidikan atau penyuluhan, metode bimbingan teknis, dan metode lomba prestasi kerja. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Sugiarti 1993 bahwa pembinaan peternak dengan melalui penyuluhan dalam beternak sapi perah masih perlu terus dilakukan agar kemampuan peternak untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas ternak dapat lebih cepat berhasil. Pendapat ini dapat dipahami dengan mudah dengan alasan bahwa sukses tidaknya peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat sangat bergantung pada metode penyuluhan atau bimbingan yang digunakan; dengan kata lain akibat kurang tepatnya penerapan metode penyuluhan atau bimbingan teknis sedikit banyak akan mempengaruhi terhadap efektifitas penerimaan pengetahuan oleh masyarakat. Sehubungan dengan itu penerapan metode penyuluhan dan bimbingan, termasuk muatan materi di dalamnya, harus disesuaikan dengan kondisi sasaran atau pelaku USP: tingkat pendidikan, pengalaman, dan lainnya; dengan demikian metode yang digunakan diharapkan benar-benar edukatif dan efektif. Hasil penelitian Siregar 1993 mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. 4 Cara efektif untuk mengembangkan kerjasama lintas program dan sektoral kabupaten sampai tingkat desa atau kelurahan dalam rangka pengembangan 115 USP, yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah pertemuan berkala. Pendapat ini sangat positif dan sejalan dengan pendapat Soewardi et al. 1990 bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor. Dengan keterlibatan berbagai sektor maka perlu diwujudkan kerjasama yang harmonis antar sesama dengan serangkaian tindakan secara bertahap dan teratur melalui sejumlah pertemuan. Hal ini sejalan pula dengan pendapat Ilham 2007 yang mengemukakan bahwa strategi yang dilakukan dalam peningkatan pertumbuhan pendapat domestik bruto PDB sub sektor peternakan di Indonesia tidak hanya melibatkan instansi lingkup Direktorat Jendral Peternakan, juga lingkup subsektor lain dalam Departemen Pertanian, dan lingkup luar Departemen Pertanian. Strategi yang dilakukan tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis peternakan, tetapi juga aspek kelembagaan, dan aspek komunikasi. Pertemuan berkala sangat penting artinya sebagai forum penyusunan atau perumusan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang terpadu; termasuk penyelesaian masalah-masalah dalam proses pengembangan USP di masyarakat. 5 Cara meningkatkan tambahan pendapatan peternak sapi perah yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah dengan penjualan hasil produksi biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah sendiri. Pendapat ini penting dan layak dijadikan masukan bagi pemerintah untuk perumusan kebijakan pengembangan dan pemasaran biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi oleh peternak. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan responden diperoleh gambaran bahwa pengolahan atau pemanfaatan limbah sapi menjadi biogas dan pupuk organik belum optimal; padahal dilihat dari jumlah limbah sapi feses dan urin sangat potensil untuk menambah pendapatan pelaku USP. Sebagai gambaran, dari 115 USP yang diobservasi baru 25 USP 21,7 yang telah mengelola atau umemanfaatkan limbah sapi menjadi biogas; itupun masih terbatas untuk keperluan keluarga sendiri ditambah satu atau dua rumah tetangga; artinya baru dapat menyerap limbah satu atau dua sapi saja, dengan asumsi: biogas hasil satu ekor sapi memenuhi kebutuhan satu keluarga beranggota 5-6 orang Haryati 2006. 116 Dengan demikian proporsi limbah sapi yang terolah untuk biogas selama ini baru sebagian kecil saja yaitu tidak lebih dari 11,82 2 rumah25 USP422 rumah. Ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas saat ini baru 1 : 0,44 atau 115 USP melayani 50 keluarga; masih jauh lebih kecil dari ratio jika seluruh USP dioptimalkan memproduksi biogas, yaitu 1 : 3,67 115 USP melayani 422 keluarga; sementara proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik masih di bawah 2. Alasan mereka tidak memproduksi biogas dan pupuk organik secara optimal ialah karena keduanya tidak bisa dijual atau dipasarkan. Jika diperhitungkan secara ekonomi dan lingkungan maka nilai biogas yang semestinya dapat diraih oleh pelaku USP rata-rata Rp.56.000,-- per sapi per bulan asumsi: produksi gas satu ekor sapi rata-rata 12 kilogram per bulan dan dinilai dengan harga pasar saat ini justru menambah jumlah emisi gas CH 4 ke atmosfir sebesar 230 liter per kg kotoran sapi Srinivasan, diacu dalam Meiviana et al. 2004. Jika biogas dan pupuk organik hasil olahan pelaku USP tertampung dan terpasarkan secara layak serta menguntungkan maka gairah masyarakat untuk memproduksi biogas dan pupuk organik akan semakin menaik; dan hasilnya langsung atau tidak akan berdampak positif terhadap: a menaiknya kesejahteraan pelaku USP; b pengurangan emisi gas CH 4 ke atmosfir c pengendalian faktor risiko gangguan kesehatan sapi dan masyarakat; dan d pengendalian gangguan bau limbah sapi. Keuntungan lain dari pembuatan gasbio dari limbah sapi perah adalah dapat menghilangkan bau busuk mikroorganisme patogen dari limbah ternak serta menghasilkan pupuk organik yang berkualitas tinggi Obias 1985; dapat menurunkan tingkat pencemaran lingkungan sebesar 80 Romaniuk 1992; dan dapat menurunkan tingkat kebauan sampai 84 serta menurunkan bahan organik sekitar 38-53 Pain 1999. 6 Cara meningkatkan dukungan tokoh masyarakat untuk pengembangan USP yang dipilih oleh sebagian besar responden ialah dengan mengaktifkan tokoh masyarakat dalam wadah organisasi desa. Pendapat ini penting dan dapat direalisasikan beriringan dengan perwujudan kerjasama lintas program dan sektoral. Tokoh masyarakat, sebagai bagian penting dari elemen 117 masyarakat perlu ikut aktif menyebarluaskan informasi hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan USPSMWL kepada seluruh masyarakat, terutama tentang pemahaman: bahwa USP merupakan salah satu industri berbasis pedesaan dan padat karya sehingga dapat membangkitkan perekonomian masyarakat di pedesaan yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia Setiawati 2008; dan bahwa dengan usaha budaya sapi perah, peternak bukan hanya memperoleh hasil penjualan dari susu segar setiap harinya tetapi juga mendapat hasil samping berupa ternak hidup pedet dan induk afkir dan pupuk kandang Prawiradiputra 2008. Dari seluruh jawaban responden tersimpul faktor-faktor yang penting diperhatikan sekaligus sebagai kebutuhan untuk pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yaitu peningkatan: 1 jumlah USP dan populasi sapi perah; 2 pengelolaan pakan sapi; 3 produksi susu sapi; 4 kesehatan lingkungan USP; 5 pengelolaan atau pemanfaatan limbah sapi; 6 dukungan kemudahan kredit bank; 7 peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis USP; 8 pertemuan berkala kerjasama lintas program dan sektoral; 9 produksi dan pemasaran biogas hasil olahan limbah sapi perah; 10 dukungan tokoh masyarakat dalam pengembangan USPSMWL. Berdasarkan hasil analisis jawaban responden masyarakat, responden dinas dan instansi tampak gambaran bahwa banyak faktor yang penting dikelola dalam rangka pengembangan usaha sapi perah. Semua faktor tersebut merupakan kesatuan yang utuh, saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling ketergantungan satu sama lain; oleh karena itu perlu penyelesaian masalah menggunakan pendekatan sistem dengan melibatkan para stakeholder.

5.2 Hierarki Tingkat Kepentingan Elemen-Elemen Pengembangan Usaha

Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Berikut ini adalah analisis terhadap elemen-elemen pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang dengan pendekatan AHP dengan struktur hierarki: level 1 yaitu “kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang”; level 2 yaitu “aktor”; level 3 yaitu “faktor”; level 4 yaitu “tujuan”; dan level 5 yaitu “strategi”, sebagaimana tampak pada Gambar 10. 118 Hasil AHP menunjukkan urutan prioritas elemen aktor berdasarkan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang, faktor berdasarkan aktor, tujuan berdasarkan faktor, dan strategi berdasarkan tujuan. Di bagian akhir tampak urutan prioritas dari elemen-elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Hasil ini kemudian digunakan atau dijadikan sebagai bahan masukan untuk analisis selanjutnya dalam rangkaian penyusunan model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang. 5.2.1 Tingkat Peranan Aktor dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang Dari analisis terhadap pendapat para pakar diperoleh hasil urutan prioritas aktor berdasarkan fokus pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang yaitu: urutan pertama ialah pemerintah kabupaten, kecamatan, desa; urutan kedua ialah perbankan, urutan ketiga ialah KPSBU, dan urutan keempat ialah peternak. Perincian perbandingan dan perbedaan nilai keempat elemen tersebut tertera dalam Tabel 13. Tabel 13 Matriks perbandingan antar elemen “Aktor” berdasarkan “kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang” Fokus pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang Urutan prioritas Bobot 1,000 A kt or A 0,105 IV B 0,448 I C 0,283 II D 0,164 III Consistency ratio 0,10 Keterangan Tabel 13: A : Peternak B : Pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa C : Perbankan D : Koperasi Peternak Susu Bandung Utara KPSBU Pemerintah kabupaten, kecamatan, dan desa dinilai memiliki kekuatan strengths, peluang opportunities lebih besar dibandingkan dengan stakeholder lainnya dalam hal penentuan kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten