Hasil Penelitian Berkaitan dengan Usaha Peternakan Sapi Perah
32
lembaga keuangan mikro. Marsuki 2006 menerbitkan buku berupa hasil kajian atau evaluasi tentang efektifitas peran perbankan dalam memberdayakan sektor
ekonomi unggulan di Sulawesi Selatan. Reddy et al. 2002 mengemukakan hasil penelitiannya tentang tingkat
kinerja usaha dari tiga kategori usaha ternak di India. Mayoritas peternak sapi perah kategori kecil memiliki kinerja usaha yang rendah; peternak sapi perah
kategori menengah memiliki kinerja usaha sedang; dan peternak sapi perah kategori besar memiliki kinerja usaha baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta
bahwa mayoritas peternak sapi perah skala kecil memiliki pengalaman, prestasi, motivasi, inovasi, pengetahuan, rasional, kemampuan pengambilan keputusan dan
orientasi manajemen yang rendah. Bardhan et al. 2005 mengemukakan hasil penelitian mereka di India
bahwa kegiatan peternakan sapi perah mencakup bidang: pemakanan, manajemen, pembibitan, dan perawatan kesehatan. Para peternak sapi perah sadar terhadap
kegiatan atau praktek peternakan secara umum, seperti inseminasi buatan, pentingnya perlindungan hewan ternak terhadap penyakit ektoparasit dan
vaksinasi ternak, pentingnya pemberian kolostrum untuk anak sapi dan konsentrat untuk ternak yang sedang bunting, dan pengeringan sapi pada waktunya. Namun
demikian para peternak tidak menyadari beberapa praktek peternakan, seperti keunggulan benih pakan ternak, pemakanan jerami yang diolah dengan urea, dan
praktek penyapihan anak sapi. Mereka tidak memelihara rekam jejak record proses perkembangan usaha sapi perah mereka; dan juga tidak mengasuransikan
sapi perahnya. Reddy et al. 2005 mengemukakan hasil penelitiannya di India bahwa
kinerja peternak sapi perah kategori kecil berhubungan secara positif dan signifikan dengan pengalaman menjalankan usaha sapi perah, inovasi, percaya
diri, orientasi ekonomi, pengetahuan pengelolaan usaha sapi perah, partisipasi masyarakat, wawasan luas, dan orientasi manajemen. Tentang peternak sapi perah
kategori sedang dan besar, semua faktor manajemen, kecuali pengalaman dalam menjalankan usaha sapi perah, yaitu motivasi pencapaian tujuan, berprestasi,
inovasi, percaya diri, kemampuan mengambil keputusan rasional, orientasi ekonomi, pengetahuan tentang manajemen usaha sapi perah, partisipasi
33
masyarakat, wawasan luas dan orientasi manajemen berhubungan secara positif dan signifikan dengan kinerja beternak sapi perah. Peternak sapi perah yang lebih
berpengalaman, berpikir inovatif, dan yang berkeinginan untuk mendapatkan untung lebih banyak, lebih mudah mengadopsi inovasi teknologi. Faktor-faktor
lain seperti tingginya partisipasi sosial, wawasan luas, dan manajemen usaha sapi perah yang ilmiah mengarah kepada kinerja usaha yang lebih baik.
Bordoloi et al. 2005 mengemukakan kesimpulan penelitan mereka di India bahwa ukuran keluarga dan status pendidikan peternak sapi perah meningkat
seiring dengan meningkatnya kepemilikan tanah. Ketiga kategori peternak peternak tak bertanah, peternak marjinal, dan peternak kecil menginvestasikan
sejumlah uang yang sama dalam unit usaha mereka masing-masing, tapi peternak tak bertanah secara komparatif bisa memperoleh pendapatan lebih banyak
daripada para peternak marjinal dan kecil. Subrahmanyeswari et al. 2005 mengemukakan meskipun sejumlah
teknologi inovatif telah dikembangkan dan diperkenalkan untuk meningkatkan produksi susu, namun sangat sedikit peternak yang bisa memperoleh manfaat dari
mereka. Penerimaan atau penolakan teknologi tertentu oleh peternak tergantung pada karakteristik teknologi, kualitas dan jumlah personil penyuluhan. Sebelum
mengadopsi suatu inovasi, peternak biasanya membandingkan inovasi baru dengan inovasi tradisional atau inovasi yang sudah ada dalam hal keuntungan
relatif, kompatibilitas, dan biaya awal. Bragg et al. 2004 mengemukakan bahwa ada empat variabel yang secara
signifikan mempengaruhi keputusan untuk keluar atau berhenti dari usaha sapi perah, yaitu umur produsen yang semakin tua, pendapatan di luar usaha
peternakan lebih tinggi, perolehan pendapatan yang semakin rendah, dan diversifikasi pendapatan yang lebih besar.
Olesen et al. 2006, mengemukakan bahwa pertanian merupakan kontributor penting bagi emisi global gas rumah kaca GRK, khususnya
metana CH
4
dan nitrogen oksida N
2
O. Sumber utama CH
4
di bidang pertanian adalah fermentasi enterik dari hewan ruminansia dan hasil anaerob padi sawah,
sedangkan fermentasi anaerob dari pupuk kandang adalah sebesar 8 dari emisi CH
4
pertanian.
34
Rosati et al. 2004 mengemukakan bahwa faktor ekonomi merupakan kekuatan pendorong bagi petani Eropa untuk berubah dari sistem konvensional ke
sistem manajemen organik. Keamanan pangan, kualitas produk, dan hal penting relatif lainnya merupakan isu terpenting bagi pertanian Eropa untuk berubah dari
sistem konvensional ke sistem peternakan organik. Pasar organik juga akan melindungi para petani Eropa dari persaingan global. Sistem peternakan organik
lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan sistem manajemen konvensional. Cheng’ole et al. 2003 mengemukakan hasil penelitiannya di Kenya
bahwa ukuran tanah yang luas tidak krusial untuk meningkatkan produktivitas sapi perah. Peternakan intensif adalah opsi terbaik, dan karena itu berkurangnya
kepemilikan lahan akibat pertambahan jumlah penduduk bukan merupakan alasan yang cukup bagi rendahnya produktivitas di Kenya.
Eastridge et al. 2006 mengemukakan bahwa berbagai studi telah memberikan kemajuan penting untuk meningkatkan efisiensi pakan dan kesehatan
hewan dengan memperbaiki
kualitas pakan, menambah
bahan pakan,
mendefinisikan interaksi antar bahan pakan, mengidentifikasi bahan pakan alternatif, mendefinisikan kebutuhan gizi, dan meningkatkan efisiensi fermentasi
rumen. Pakan ternak mencakup pakan rumput forage, tanaman biji-bijian cereal grains, hasil sampingan by-products, dan zat aditif feed additives.
Sistem pemakanan dilakukan dengan sistem penyediaan kawasan lahan dan tanaman hijauan untuk sapi perah, pemakanan tumbuhan dan tanaman biji-bijian
secara terpisah. Pemberian pakan pada waktu dan jumlah yang tepat, dan mutu kolostrum merupakan hal penting bagi pertumbuhan dan kesehatan anak sapi.
Barnouin et al. 2006 mengemukakan hasil penelitian di Perancis bahwa kawanan ternak yang memikili angka kejadian penyakit mastitis yang rendah
memiliki karakteristik: 1 pemisahan atau penyingkiran sapi yang mengalami lebih dari tiga kali kasus mastitis dalam satu masa laktasi; 2 pengalaman
mengurus usaha sapi perah lebih dari dua tahun; 3 keseimbangan konsentrat dalam pemberian makanan dasar.
Hall et al. 2004 mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa para peternak sapi perah di Thailand memiliki insentif untuk mengadopsi program
manajemen kesehatan kawanan ternak. Dengan mengadopsi program tersebut,
35
inefisiensi sosial tidak produktif karena sakit dapat dikurangi, sebagai hasil dari kebijakan publik tentang sapi perah. Pemerintah Thailand memberikan dukungan
program kepada usaha peternakan sapi perah: menetapkan harga susu, menetapkan kuota impor susu tiap tahun, mewajibkan perusahaan-perusahaan
yang terlibat dalam program pemberian susu bagi sekolah-sekolah untuk membeli susu produk lokal dalam jumlah tertentu, dan memberikan subsidi bagi jasa
pelayanan kesehatan hewan dan inseminasi buatan. Suzuki et al. 2006 mengemukakan hasil penelitiannya di Vietnam bahwa
praktek beternak antara satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya seperti dalam hal pemanfaatan produk sampingan pertanian untuk upaya pemakanan
dan kesehatan hewan. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan geografis akibat faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kegiatan pertanian seperti
kendala penggunaan lahan dan akses terhadap sumberdaya air. Bentuk dukungan pemerintah seperti pelayanan penyuluhan pertanian dan lembaga keuangan juga
berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Reddy et al. 2005 mengemukakan hasil studi mereka di India bahwa
karena mayoritas peternak lokal memiliki tingkat pengetahuan yang rendah tentang praktek beternak sapi perah, maka pemerintah dan petugas penyuluh harus
memberi perhatian yang lebih untuk mengedukasi peternak lokal melalui pendidikan untuk menghapuskan buta huruf, kunjungan ke rumah dan ke lokasi
usaha peternakan, dan program-program media massa. Penguatan edukasi dapat dilakukan melalui studi banding, kunjungan lapang dan program-program
pelatihan yang menghasilkan akuisisi pengetahuan, peningkatan keterampilan dan akhirnya meningkatkan produksi.
Chase et al. 2006 menyatakan bahwa peserta penyuluhan di bidang peternakan saat ini membutuhkan informasi yang lebih spesifik dan informasi
yang berbasis riset, dan program penyuluhan dengan tipe workshop. Informasi yang bersifat umum tidak diminati lagi oleh peserta penyuluhan.
Nuareni et al. 2006 mengemukakan hasil penelitannya bahwa potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia, dan sarana penunjang dapat mendukung
usaha peternakan sapi perah. Keuntungan peternak adalah sebesar Rp.2.005.000,- per masa laktasi.
36
Hidayatullah et al. 2005 mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa ada nilai tambah dari pengelolaan limbah sapi perah; bahwa produksi bersih dapat
memberikan keuntungan yang cukup signifikan yaitu BC lebih besar dari satu. Mandaka et al. 2005 mengemukakan hasil penelitiannya bahwa usaha
peternakan sapi perah skala kecil relatif kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha peternakan sapi perah skala menengah dan besar. Sekitar 90,32
peternak menjadikan usaha ternaknya sebagai mata pencaharian utama. Sistem pemerahan susu sapi mereka masih bersifat manual menggunakan tangan. Nilai
pinjaman yang diperoleh peternak ialah Rp.6.000.000,-- sampai Rp.12.000.000,-- dengan agunan yang dipakai ialah sapi; masa pengembalian kredit 7 tahun dengan
suku bungan 0-1 per bulan. Ridwan 2006 melakukan penelitian mengenai model agribisnis
peternakan sapi perah berkelanjutan pada kawasan pariwisata di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian tersebut antara lain menyebutkan bahwa dengan adanya
pengolahan limbah feses dan sisa pakan menjadi kompos, maka seluruh skala usaha peternakan sapi perah memenuhi kriteria finansial, IRR internal rate of
return dan BCR benefit cost ratio pada tingkat discount factor 20. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengembangan kebijakan harus memperhatikan
atribut keberlanjutan, antara lain memelihara harga susu segar di tingkat peternak, mengembangkan teknologi pengolahan limbah, dan mendorong petani budidaya
tanaman untuk menggunakan pupuk kandang. Sofyar 2004 melakukan penelitian tentang pengembangan kebijakan
usaha kecil yang berbasis produksi bersih bahwa terdapat lima dimensi dalam atribut keberlanjutan. Dimensi tersebut terdiri atas dimensi ekonomi, ekologi,
hukum dan kelembagaan, teknologi dan sosial budaya. Sarwanto 2004 menyatakan bahwa ditinjau dari ketersediaan limbah ternak, produksi susu, air
dan hijauan pakan dataran tinggi lebih berpotensi mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah.
Jayaraman dan Lanjouw 2004 melaporkan hasil studi kasus di Brazil tentang keterkaitan antara industri skala kecil, peraturan lingkungan hidup dan
kemiskinan. Centner 2002 melakukan studi tentang pengembangan kebijakan atau aturan-aturan yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak pencemaran air
37
akibat dari usaha peternakan di Amerika Serikat. Billiot dan Daughtery 2001 melakukan studi untuk mengevaluasi beban
kewajiban yang timbul akibat kerusakan lingkungan environmental liability dengan mengenakan premi risiko terhadap fasilitas pinjaman yang diperoleh para
pelaku usaha sektor agribisnis. Dasgupta, Lucas dan Wheeler 1998 melakukan penelitian di Brazil dan Meksiko tentang hubungan antara industri manufaktur
kecil, polusi dan kemiskinan. Salah satu hasil penelitian bahwa industri kecil lebih polutif dibandingkan dengan pabrik besar; dan industri kecil tersebut
umumnya di daerah-daerah dengan pendapatan lebih rendah miskin. Pargal dan Wheeler 1995 melakukan studi tentang peraturan informal
yang berkaitan pencemaran industri di Indonesia, yang antara lain menyatakan bahwa tingkat pencemaran pada kawasan masyarakat yang lebih miskin dan
kurang berpendidikan lebih tinggi. Gudger dan Barker 1993 menerbitkan buku yang mengkaji tentang pentingnya peranan perbankan dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan.