Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Perkembangan
100 atau stakeholder lainnya. Penyelesaian dari pemerintah terhadap masalah ini
akan dapat memperlancar peningkatan kinerja USP pada masa depan dan pada gilirannya akan memberi dampak positif bagi masyarakat umum; hal ini
sejalan dengan pendapat Reddy et al. 2002 dan Sudono 2000 tentang pentingnya peningkatan pengetahuan para peternak sapi perah. Demikian
pula peningkatan pendidikan pelaku USP perlu terus dilanjutkan karena dengan kondisi pendidikan yang rendah akan berdampak kurang baik
terhadap perkembangan USP. Tingkat pendidikan pelaku USP sapi perah yang rendah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi
perah secara optimal dan juga rendahnya daya serap peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru Siregar 1993; Suprapto et al. 1999.
2 Proporsi pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” tampak dominan dalam
USP kategori “cukup berkembang”; sedangkan proporsi pelaku USP yang
berpengetahuan “kurang” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP
yang berpengetahuan “sedang” dengan responden pelaku USP yang berpengetahuan “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”.
Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” adalah lebih baik
dibandingkan dengan responden pelaku USP yan g berpengetahuan “kurang”;
bahwa semakin tinggi pengetahuan pelaku tentang USP maka semakin besar peluang USP mereka berkembang atau maju. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Reddy et al. 2005 di India bahwa mayoritas peternak sapi perah suku asli memiliki tingkat pengetahuan praktek peternakan sapi perah yang
rendah. Rendahnya pengetahuan pelaku USP besar kemungkinan akan mempengaruhi lambatnya perkembangan atau kemajuan USP yang
dikelolanya. Informasi ini menunjukkan bahwa pembinaan pengetahuan pelaku USP perlu senantiasa digiatkan secara optimal hingga berdampak
positif terhadap kemajuan USP. Notoatmodjo 1993 mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia terhadap obyek di
luarnya melalui indera-indera yang dimilikinya pendengaran, penglihatan, penciuman, dan sebagainya. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru,
101 ia harus “tahu” terlebih dahulu arti dan manfaat perilaku baru tersebut bagi
diri, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. Adapun indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan pelaku USP di
antaranya tentang: 1 cara meningkatkan produksi susu sapi di daerahnya; 2 manfaat USP; 3 modal pengembangan USP; 4 dampak
positif bagi anak yang cukup asupan susu sapi; 5 dampak negatif jika anak kekurangan asupan susu sapi; 6 dampak negatif dari limbah sapi perah
dibiarkan sembarangan; 7 dampak negatif jika jarak kandang sapi dengan rumah hunian atau sumber air bersih terlalu dekat 10 meter; 8 cara
mengelola limbah sapi berwawasan lingkungan; 9 pemanfaatan limbah sapi untuk menambah pendapatan keluarga; 10 peran Pemerintah dalam
pengembangan USP; 11 peran perbankan dalam pengembangan USP; 12 tanda-tanda sapi sehat; 13 tanda-tanda sapi sakit; 14 penyebab sapi
sakit; 15 jenis-jenis penyakit sapi; 16 gejala penyakit anthrax dan cara pencegahannya; 17 cara pencegahan agar sapi terhindar dari penyakit;
18 penerapan USP berwawasan lingkungan; 19 alasan vaksinasi sapi; 20 jumlah pemberian vaksinasi selama kebuntingan sapi; 21 alasan
pemberian vitamin kepada sapi; 22 jumlah pemberian vitamin kepada sapi; 23 alasan bahwa sapi harus bebas dari kecacingan; 24 jumlah
pemberian obat anti kecacingan kepada sapi; 25 syarat kandang sapi yang baik: konstruksi bahan, ukuran, atap, dinding, lantai, selokan; lokasi jarak
minimal dari rumah hunian dan sumber air minum; kebersihan, cahaya, kelembaban dan suhu udara; keamanan dari pencurian, kebakaran, longsor
dan sebagainya; ketersediaan air bersih; 26 tanda-tanda susu sapi yang bermutu baik; 27 manfaat limbah sapi perah; 28 inseminasi buatan dan
pemeriksaan kesehatan sapi selama bunting; 29 akibat jika sapi tidak diperiksa kesehatannya secara rutin; 30 syarat pakan sapi perah yang baik;
31 cara meningkatkan produksi susu sapi; 32 alasan bahwa pemerah susu harus sehat; 33 tanda-tanda susu sapi yang rusak; 34 kebersihan dan
kesehatan lingkungan sekitar kandang sapi; 35 cara pengolahan limbah sapi menjadi biogas dan pupuk organik.
Beberapa jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan di atas dinilai
102 masih kurang tepat atau kurang lengkap, di antaranya yaitu jawaban tentang:
1 syarat-syarat kandang sapi perah yang baik; 2 cara mengelola limbah sapi secara berwawasan lingkungan; dan 3 penerapan USP berwawasan
lingkungan. Proporsi responden atas jawaban syarat kandang sapi yang baik, adalah 47,82 dalam
kategori “nilai kurang” median skor dalam skala 1 sampai 4; terdiri atas 5,21 responden pelaku
USP “cukup berkembang
”; dan 42,61 responden pelaku USP “kurang berkembang”. Proporsi responden atas jawaban pengelolaan limbah berwawasan
lingkungan adalah 46,96 dalam kategori “nilai kurang” median skor
dalam skala 1 sampai 4; terdiri atas 5,22 responden pelaku USP “cukup
berkembang ”; dan 41,74 responden pelaku USP “kurang berkembang”.
Proporsi responden, atas jawaban penerapan USP berwawasan lingkungan adalah 98,26 dalam kategori
“nilai kurang” median skor dalam skala 1 sampai 4; terdiri atas 42,60 responden pelaku
USP “cukup berkembang; dan 55,66 responden pelaku
USP “kurang berkembang”. Walaupun jawaban mereka belum seluruhnya memuaskan namun beberapa
jawaban di antaranya dinilai baik; sebagai contoh pengetahuan tentang pengolahan biogas; pada umumnya pelaku USP dapat menjelaskan atau
memahami secara umum tentang limbah sapi dan biogas. 3 Proporsi pelaku USP dengan praktek kategori
“sedang” tampak dominan dalam USP kategori
“cukup berkembang” sedangkan proporsi pelaku USP dengan praktek kategori
“kurang” tampak dominan dalam USP “kurang berkembang”. Tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP dengan
praktek kategori “sedang” dengan responden pelaku USP dengan praktek
kategori “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak
kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP dengan praktek kategori
“sedang” adalah lebih baik dibandingkan dengan responden pelaku USP dengan kategori
“kurang”. 4 Proporsi USP yang telah berjalan
“lebih dari 3 tahun” tampak dominan dalam USP kategori
“cukup berkembang” sedangkan proporsi USP yang berjalan
“baru 1 sampai 3 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Ada perbedaan antara USP telah berjalan “lebih dari
103 3 tahun” dengan USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun” terhadap
“perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” yang telah berjalan “lebih dari 3 tahun”
adalah lebih baik dibandingkan USP yang berjalan “baru 1 sampai 3 tahun;
bahwa semakin lama USP berjalan semakin besar peluangnya berkembang atau maju. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Reddy et al. 2005 bahwa
peternak sapi perah yang lebih berpengalaman, berpikir cenderung inovatif, berkeinginan lebih beruntung untuk lebih mengadopsi inovasi teknologi.
5 Proporsi waktu pengurusan rata-rata “3 jam per ekor sapi per hari” tampak
dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”. Waktu 3 jam per ekor
sapi per hari ialah hasil penghitungan rata-rata dari jumlah piaraan 3 sampai 4 ekor sapi yaitu: memberi pakan 3 kali 5 menit, memandikan sapi 2 kali 10
menit, membersihkan kandang 2 kali 10 menit, memerah sapi dan penyetoran susu 2 kali 35 menit, cari pakan hijauan 1 kali 60 sampai 80
menit hasil dari pembagian 240 menit kepada 3 atau 4 ekor sapi. Waktu mencari pakan hijau diperhitungkan selama 4 jam per kali operasi
berdasarkan jarak dan lokasi tanaman pakan. Mengenai sumber modal USP, walaupun secara statistik dalam Alpha 0,05
berhubungan tidak signifikan dengan “perkembangan atau kemajuan USP” namun secara empiris dalam kenyataan faktor ini penting diperhatikan. Selama
ini sumber modal pelaku USP di Kabupaten Subang sebagian besar 60 dari bank dan sebagian kecil 40 dari modal sendiri. Kondisi ini perlu
ditindaklanjuti dan dikendalikan oleh pemerintah beserta stakeholder lainnya agar persentase bantuan permodalan dari perbankan semakin lama semakin kecil
dan persentase permodalan dari masyarakat semakin lama semakin besar. Faktor pembibitan sapi perah merupakan hal yang penting dan turut
menentukan kualitas atau perkembangan USP. Dalam hal pembibitan sapi perah, seluruh responden telah menerapkan inseminasi buatan dengan bantuan teknis
petugas peternakan setempat. Sebagian besar responden mampu menjelaskan tujuan dan waktu pelaksanaan inseminasi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Bardhan et al. 2005 di India bahwa para peternak menyadari pentingnya inseminasi buatan. Pemahaman mereka pada dasarnya tidak berbeda dengan
104 prinsip-prinsip atau hakekat inseminasi buatan yaitu harus mampu menghasilkan
selang beranak yang tidak kurang dan tidak lebih dari setahun dengan panjang laktasi yang optimal yakni sekitar 10 bulan
Cheng’ole et al. 2003; Barret dan Larkin 1974, diacu dalam Sugiarti et al. 1998. Panjang laktasi yang melampaui
10 bulan akan menjadi tidak ekonomis karena nilai dari pertambahan produksi susu tidak seimbang dengan biaya produksinya. Deteksi birahi yang tepat dan
akurat dan inseminasi yang tepat waktu yakni sekitar 9 sampai 24 jam setelah tanda birahi terlihat. Dengan demikian perlu diusahakan agar mengawinkan sapi
tepat waktu sehingga 85 hari setelah beranak bunting lagi. Dengan pengetahuan dan aplikasi yang memadai maka langsung atau tidak langsung akan
berdampak positif bagi perkembangan atau kemajuan USP.