Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Minat Menjadi

97 Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1 ada perbedaan antara responden masyarakat yang merasa memiliki ketersediaan lahan untuk USP dengan masyarakat yang merasa tidak memiliki ketersediaan lahan terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Tampak kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP ” responden masyarakat yang merasa memiliki lahan adalah lebih besar dibandingkan dengan responden masyarakat yang merasa tidak memiliki lahan; 2 ada perbedaan antara responden masyarakat kategori “sibuk bekerja” dengan responden masyarakat kategori “tidak sibuk bekerja” terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Tampak kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang “sibuk bekerja” adalah lebih kecil dibandingkan dengan responden masyarakat yang “tidak sibuk bekerja”; 3 ada perbedaan antara responden masyarakat yang terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya dengan responden masyarakat yang tidak merasa terganggu terhadap “minat menjadi pelaku USP”. Ada kecenderungan bahwa “minat menjadi pelaku USP” responden masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya adalah lebih kecil dari responden masyarakat yang selama ini tidak merasa terganggu dengan adanya USP di sekitar rumahnya. Mengenai faktor pengetahuan USP dan tingkat pendidikan formal responden, walaupun secara statistik tidak tampak berhubungan signifikan dalam Alpha 0,05 dengan “minat menjadi pelaku USP” namun secara empiris dalam kenyataan sehari-hari kedua faktor ini penting dan mutlak ditingkatkan terus menerus. Kondisi pengetahuan masyarakat tentang USP yang belum optimal, tergambar dari proporsi responden non peternak yang memiliki pengetahuan “cukup memadai” tentang USP baru mencapai 20, menunjukkan perlunya pemerintah dan stakeholder lain mengintensifkan berbagai upaya, di antaranya ialah upaya peningkatan jumlah dan mutu penyuluhan tentang USP kepada masyarakat. Penyuluhan tersebut dilakukan berdasarkan rencana yang baik, disusun secara terpadu dalam kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa. Dalam rencana itu ditetapkan jadwal, kegiatan, tujuan, pelaksana, metode, alat peraga, indikator keberhasilan, sistem evaluasi, dan hal lain yang diperlukan. Penjadwalan penyuluhan hendaknya diatur sedemikian 98 rupa sehingga benar-benar sesuai dengan situasi dan kesempatan atau kesiapan hadir masyarakat. Dengan penyuluhan yang memadai diharapkan pengetahuan masyarakat tentang USP semakin berkembang baik dan jumlah masyarakat yang berminat dan ikut serta sebagai pelaku USP semakin bertambah. Demikian pula halnya dengan tingkat pendidikan formal masyarakat yang masih rendah, tergambar dari proporsi responden masyarakat menurut pendidikan sebagian besar 68,3 hanya tamat SD, menunjukkan perlunya pemerintah dan stakeholder mencari jalan penyelesaian dengan cara baik sehingga tingkat pendidikan masyarakat semakin tinggi. Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah sedikit banyak akan mempengaruhi terhadap lambatnya daya analisis mereka tentang arti dan pentingnya menjadi pelaku USP. Suprapto et al. 1999 bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun beternak. Belum optimalnya proporsi masyarakat yang berminat ikut serta menjadi pelaku USP, yang tergambar dari proporsi “responden masyarakat bukan peternak” yang belum berminat menjadi pelaku USP sebesar 27,39, hal ini menunjukkan perlunya pemerintah membangun suasana atau kondisi USP yang menggairahkan dan merangsang masyarakat hingga berminat dan ikut serta mengembangkan USP di daerahnya. Adapun kondisi atau suasana yang belum atau kurang menggairahkan masyarakat selama ini, yang perlu diperbaiki oleh pemerintah bersama stakeholder lain, menurut responden ialah: 1 dukungan kemudahan dan keringanan bunga kredit permodalan dari perbankan, 2 penataan ruang dan prasarana wilayah, 3 pengusahaan lahan untuk tanaman pakan ternak, 4 dukungan penyerapan dan pemasaran hasil produksi USP, khususnya biogas dan pupuk organik hasil olahan dari limbah sapi dengan harga jual yang dapat memberi keuntungan yang wajar, 5 dukungan penyuluhan dan bimbingan teknis USP, serta 6 dukungan jaminan keamanan lingkungan USP. Gambaran seperti ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Baga 2001 bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai, dan kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat. 99

5.1.1.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Perkembangan

atau Kemajuan Usaha Sapi Perah” Dari analisis jawaban responden masyarakat peternak diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang berhubungan signifikan secara statistik dalam Alpha 0,05 dengan “perkembangan atau kemajuan USP” yaitu 1 intensitas keikutsertaan peternak atau pelaku USP dalam penyuluhan dan bimbingan teknis USP p-Value: 0,001; 2 pengetahuan peternak tentang USP p-Value: 0,000; 3 praktek atau perilaku peternak dalam mengelola USP p-Value: 0,000; 4 lamanya USP berjalan p-Value: 0,001; 5 alokasi waktu pengurusan USP per hari p-Value: 0,000. Sementara itu faktor yang berhubungan tidak signifikan secara statistik dalam Alpha 0,05 dengan “perkembangan atau kemajuan USP” yaitu modal USP kredit bank atau modal sendiri. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Cheng’ole et al. 2003 di Kenya, bahwa akses terhadap fasilitas kredit tidak mempengaruhi produktivitas. Adapun faktor pembibitan sapi dan prasarana wilayah penunjang USP tidak dapat diuji secara statistik karena semua responden menggunakan cara pembibitan sapi dengan inseminasi buatan, dan berada dalam kondisi prasarana wilayah yang sama. Dari hasil analisis selanjutnya dapat dikemukakan bahwa: 1 Proporsi pelaku USP yang ikut penyuluhan dan bimbingan teknis ”lebih dari 6 kali selama 5 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”, sedangkan proporsi pelaku USP ikut penyuluhan dan bimbingan teknis ”1 sampai 5 kali selama 5 tahun” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP yang sering ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP dengan responden pelaku USP yang jarang ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP yang sering ikut penyuluhan atau bimbingan teknis USP adalah lebih baik dibandingkan dengan responden yang jarang ikut penyuluhan dan bimbingan teknis USP. Informasi ini penting sebagai bahan masukan perencanaan agar semua pelaku USP memperoleh penyuluhan dan bimbingan teknis lebih intensif dan proporsional dari petugas pemerintah 100 atau stakeholder lainnya. Penyelesaian dari pemerintah terhadap masalah ini akan dapat memperlancar peningkatan kinerja USP pada masa depan dan pada gilirannya akan memberi dampak positif bagi masyarakat umum; hal ini sejalan dengan pendapat Reddy et al. 2002 dan Sudono 2000 tentang pentingnya peningkatan pengetahuan para peternak sapi perah. Demikian pula peningkatan pendidikan pelaku USP perlu terus dilanjutkan karena dengan kondisi pendidikan yang rendah akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan USP. Tingkat pendidikan pelaku USP sapi perah yang rendah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan juga rendahnya daya serap peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru Siregar 1993; Suprapto et al. 1999. 2 Proporsi pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” tampak dominan dalam USP kategori “cukup berkembang”; sedangkan proporsi pelaku USP yang berpengetahuan “kurang” tampak dominan dalam USP kategori “kurang berkembang”. Disini tampak ada perbedaan antara responden pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” dengan responden pelaku USP yang berpengetahuan “kurang” terhadap “perkembangan atau kemajuan USP”. Tampak kecenderungan bahwa “perkembangan atau kemajuan USP” responden pelaku USP yang berpengetahuan “sedang” adalah lebih baik dibandingkan dengan responden pelaku USP yan g berpengetahuan “kurang”; bahwa semakin tinggi pengetahuan pelaku tentang USP maka semakin besar peluang USP mereka berkembang atau maju. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Reddy et al. 2005 di India bahwa mayoritas peternak sapi perah suku asli memiliki tingkat pengetahuan praktek peternakan sapi perah yang rendah. Rendahnya pengetahuan pelaku USP besar kemungkinan akan mempengaruhi lambatnya perkembangan atau kemajuan USP yang dikelolanya. Informasi ini menunjukkan bahwa pembinaan pengetahuan pelaku USP perlu senantiasa digiatkan secara optimal hingga berdampak positif terhadap kemajuan USP. Notoatmodjo 1993 mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil penginderaan manusia terhadap obyek di luarnya melalui indera-indera yang dimilikinya pendengaran, penglihatan, penciuman, dan sebagainya. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru,