Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang USP

12 umumnya belum optimal, terutama tentang pembibitan, pengeloaan pakan ternak; pengelolaan kesehatan ternak, kesehatan lingkungan USP; dan pengelolaan atau pemanfaatan limbah ternak untuk memperoleh nilai tambah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Walaupun demikian sikap para peternak dalam rangka USP pada umumnya cukup positif ditunjukkan oleh semangat, antusiasme, ketekunan, dan keseriusan mereka yang baik dalam beternak.

1.4.1.5 Keterampilan Teknis

Keterampilan teknis dari para pelaku USP dalam beberapa aspek belum optimal, hal ini tampak dari belum mampunya mereka menggunakan strategi efisiensi penggunaan pakan di antaranya ialah penggunaan bahan baku berupa limbah pertanian dan agroindustri yang dikombinasikan dengan penggunaan probiotik, defaunasi, maupun melalui teknis suplementasi Umiyasih et al. 2008; padahal mereka memerlukan pakan olahan berupa konsentrat atau silase yang murah dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan produksi susu sapi mereka. Di samping itu kemampuan teknis mereka dalam mengolah susu segar menjadi aneka produksi makanan relatif masih kurang. Kondisi inipun turut mempengaruhi sulitnya meningkatkan pendapatan para pelaku USP.

1.4.1.6 Praktek atau Perilaku Mengelola USP

Praktek atau perilaku pelaku USP dalam mengelola usahanya pada umumnya relatif baik walaupun belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tampak dari wujud penampilan para pelaku USP dalam: a penempatan kandang sapi perah yang belum memenuhi syarat kesehatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh UURI Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; yakni sebagian besar kandang sapi perah di lokasi ini berjarak kurang dari 3 meter dari rumah penduduk; b pemeliharaan kebersihan dan kesehatan kandang sapi perah yang masih kurang optimal dan berisiko menjadi gangguan kesehatan; ditunjukkan oleh saluran limbah yang terbuka yang mudah terjangkau oleh serangga dan tikus sebagai perantara penular atau penyebar penyakit; c pengelolaan pakan sapi tumbuhan hijau yang masih kurang optimal; hal ini tampak dari usaha mereka selama ini masih terbatas pada perolehan tumbuhan hijau dari ladang dan hutan atau perkebunan sejauh 3 hingga 13 4 km dari tempat tinggal mereka. Setiap hari mereka harus mengeluarkan biaya angkutan relatif besar dan menggunakan waktu relatif lama; d pengelolaan atau pemanfaatan limbah sapi yang belum optimal, hal ini tampak dari banyaknya limbah sapi lama dan baru bercampur dan menumpuk di areal sekitar kandang. Hingga saat ini baru 55 USP 25,94 yang memanfaatkan limbah sapi menjadi biogas; itupun rata-rata masih dalam skala kecil, artinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rata-rata satu sampai dua keluarga saja; atau hanya menyerap limbah dari satu atau dua sapi saja asumsi: biogas hasil satu ekor sapi memenuhi kebutuhan satu keluarga beranggota 5-6 orang. Dengan penghitungan keseluruhan, maka proporsi limbah sapi yang terserap untuk biogas selama ini baru sebagian kecil saja yaitu tidak lebih dari 12,46 110 ekor883ekor100. Ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas pada saat ini baru 1 : 0,52 atau 212 USP memenuhi kebutuhan gas 110 keluarga; masih lebih kecil dari ratio jika seluruh USP dioptimalkan memproduksi biogas yaitu 1 : 4,17 212 USP memenuhi kebutuhan gas 883 keluarga. Sementara itu proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik, selain teknik biogas, juga masih relatif kecil, di bawah 2. Limbah sapi perah yang tidak terserap atau tidak dikelola dengan baik per USP per hari adalah rata-rata 85,54. Limbah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi faktor risiko: a peningkatan emisi gas CH 4 metana yang masuk ke atmosfir sebesar 230 liter per kg kotoran sapi Srinivasan, diacu dalam Meiviana et al. 2004; Olesen et al. 2006; b gangguan kesehatan sapi dan masyarakat LaBlane et al. 2006; Noordhuizen et al. 2005; Kirk et al. 2002, diacu dalam Rosati et al. 2004; Caraviello et al. 2006; Noor 2006; Kusmiyati et al. 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2007; serta c gangguan kenyamanan akibat bau limbah sapi. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC, gas metana adalah salah satu gas rumah kaca GRK utama yang memiliki Global Warming Potential GWP atau indeks potensi pemanasan global sekitar 25 kali CO 2 .