The policy model of business development of the environmentally sound micro-scale dairy cattle in Subang Regency

(1)

PERAH SKALA MIKRO BERWAWASAN LINGKUNGAN

DI KABUPATEN SUBANG

PETRUS F.T.P. TAMPUBOLON NRP. P062059394

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang adalah karya saya dengan arahan dari Komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Nopember 2011

Petrus F.T.P. Tampubolon


(3)

PETRUS F.T.P.TAMPUBOLON. The Policy Model of Business Development of the Environmentally Sound Micro-Scale Dairy Cattle in Subang Regency. Under the Direction of HERMANTO SIREGAR, MULADNO, and MACHFUD.

Until now, the development of micro-scale dairy cattle business in the District of Sagalaherang and Ciater of the Subang Regency not fully reached the desired level yet. This study intends to build a model of business development policy of the environmentally sound micro-scale dairy cattle in Subang Regency by using System Approach, Quantitative and Qualitative Analysis, Analytical Hierarchy Process (AHP), and Interpretative Structural Modeling (ISM) with 253 respondents during 6 months (January to June 2011). Statistical tests of this study show that factors significantly associated (p-value Alpha  0.05) with the development of environmentally sound micro-scale dairy cattle business (USPSMWL) are: (1) frequency of attending breeding extension, (2) farmers’ knowledge, (3) breeding management behaviour; (4) time length to run the business; and (5) time allocated to manage the business each day. Based on AHP, the main strategy of developing USPSMWL is "improving the readiness of the community/farmers". Based on ISM, the key factor of developing USPSMWL is

“harmonious team-work among farmers, bankers and government officials”. The model simulation result can give a description of the real system behaviour. Of the three formulated scenarios (optimistic, moderate, and pesimistic), the implementation of the optimistic scenario is the most appropriate one.

This study concludes that the policy of USPSMWL development should be focused on: (a) strengthening harmonious cooperation among government institutions, (b) increasing community readiness, (c) designing spatial management for fodder availability, and (d) increasing the number of waste processed to produce bio-gas and organic fertilizer products, including the marketing of those products.

Keywords: Model, policy, development, dairy, cattle, business, micro-scale, environmentally sound.


(4)

PETRUS F.T.P. TAMPUBOLON. Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR, MULADNO, dan MACHFUD.

Tingkat pertumbuhan dan perkembangan usaha sapi perah (USP) skala mikro di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater Kabupaten Subang dalam periode 2005-2010 masih belum sepenuhnya memadai. Pertambahan populasi sapi per tahun sebesar 1% per tahun masih di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29%. Di samping kecilnya pertambahan populasi sapi, juga mutu pengelolaan USP berwawasan lingkungan belum 100% baik. Proporsi USP yang memiliki lahan tanaman hijauan pakan ternak seluas 1.000 m2 per sapi masih belum ada. Proporsi USP yang mengelola limbah sapi (feses dan urin) menjadi biogas baru mencapai 25,94% dari 212 USP dengan cakupan pengguna gas rata-rata 1 – 2 keluarga. Dengan demikian ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas saat ini baru 1 : 0,52; masih jauh lebih kecil dari ratio optimal yang dapat dicapai yaitu 1 : 4,17. Sementara itu proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik, selain teknik biogas, juga masih di bawah 2%.

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten, bersama perbankan dan Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) untuk mengembangkan USP ini termasuk penyelesaian masalah yang dihadapi, namun masih bersifat parsial atau belum dengan pendekatan sistem sehingga hasil yang dicapai belum sepenuhnya sampai pada taraf yang diinginkan.

Penelitian ini bertujuan membangun model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan (USPSMWL) di Kabupaten Subang menggunakan pendekatan sistem, analisis kuantitatif dan kualitatif,

Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu: mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; dan merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Nilai kebaruan dari penelitian ini ialah terbangunnya model kebijakan USPSMWL di Kabupaten Subang menggunakan pendekatan sistem mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologis dengan melibatkan stakeholder. Penelitian dilakukan di Kecamatan Sagalaherang dan Ciater Kabupaten Subang selama 6 bulan (Januari sampai Juni 2011). Jumlah responden 253 orang terdiri atas peternak sapi perah 115 orang (random sampling), bukan peternak sapi perah 115 orang (random sampling), pejabat dinas dan instansi tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa 16 orang (purposive sampling), dan pakar 7 orang (purposive sampling). Data dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner, kemudian dianalis secara deskriptif dan bivariat dengan bantuan software komputer.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa minat menjadi pelaku usaha sapi perah dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1) ketersediaan lahan untuk tanaman pakan sapi perah, (2) status pekerjaan masyarakat, dan (3) bau atau gangguan limbah sapi perah; sedangkan perkembangan atau kemajuan usaha sapi perah dipengaruhi


(5)

oleh faktor-faktor: (1) intensitas keikutsertaan peternak dalam penyuluhan dan bimbingan teknis tentang usaha sapi perah, (2) pengetahuan peternak tentang usaha sapi perah, (3) praktek atau perilaku peternak dalam mengelola usaha sapi perah, (4) lamanya usaha sapi perah berjalan, dan (5) durasi atau alokasi waktu pengurusan usaha sapi perah per hari.

Usaha yang perlu ditingkatkan untuk pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ialah: (1) peningkatan kerjasama harmonis para pelaku usaha sapi perah dengan stakeholder, (2) peningkatan kerjasama lintas program dan sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa atau kelurahan, (3) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis tentang usaha sapi perah, dan (4) peningkatan dukungan dana, sarana, dan prasarana usaha sapi perah.

Urutan tingkat kepentingan elemen strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang berdasarkan Analytical Hierarchy Process (AHP) ialah: (1) peningkatan kesiapan masyarakat peternak untuk usaha sapi perah, (2) peningkatan layanan bimbingan teknis oleh pemerintah, (3) peningkatan layanan penyuluhan oleh pemerintah, dan (4) peningkatan layanan perbankan kepada peternak. Faktor kunci pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang berdasarkan Interpretative Structural Modelling

(ISM) ialah pembinaan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah. Empat faktor penting berikutnya secara berurut yaitu (1) penyediaan tenaga pembimbing teknis usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan, (2) peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa, (3) penyediaan dana dan sarana bimbingan teknis pengelolaan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan sesuai kebutuhan, dan (4) peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak dalam hal pemeliharaan kesehatan

peternak, kesehatan sapi perah, dan penyehatan lingkungan usaha sapi perah”.

Model kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang dibangun dengan dasar pemikiran bahwa tingkat pertumbuhan dan perkembangan USP ditentukan oleh faktor kesiapan masyarakat, dukungan bantuan Pemerintah, dukungan bantuan perbankan, dan kondisi lingkungan. Hasil simulasi berdasarkan kondisi optimistik bahwa jumlah USP pada tahun 2011 sebanyak 212 unit menjadi 685 unit pada tahun 2030; atau pertambahan rata-rata 24 unit per tahun. Populasi sapi pada tahun 2011 sebanyak 883 ekor menjadi 1.895 ekor pada tahun 2030; atau pertambahan rata-rata 51 ekor per tahun. Lahan yang dapat digunakan untuk tanaman hijauan pakan ternak pada tahun 2030 seluas 769 hektar. Jumlah limbah sapi yang tidak terkelola pada tahun 2011 sebanyak 883.011 kilogram per tahun menjadi 117.269 kilogram per tahun pada tahun 2030; atau pengurangan rata-rata 38.287 kilogram per tahun. Jumlah CH4 dari limbah yang tidak terkelola yang lepas ke atmosfer pada tahun 2011 sebanyak 50.773.107 liter per tahun menjadi 4.597.481 liter pada tahun 2030; atau berkurang rata-rata 2.308.782 liter per tahun. Kontribusi pendapatan USP terhadap kebutuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2011 rata-rata 203% menjadi rata-rata 333% pada tahun 2030; atau peningkatan rata-rata 6,5% per tahun. Tingkat kesehatan peternak pada tahun 2011 rata-rata 65,2% menjadi rata-rata 79,8% pada tahun 2030. Tingkat pendidikan peternak pada tahun 2011 rata-rata 79,6% menjadi rata-rata 96,9 % pada tahun 2030.


(6)

Berdasarkan model yang dibangun, disusun beberapa kebijakan dalam rangka pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang, yaitu: (1) Peningkatan kerjasama yang harmonis antara para peternak dengan pihak perbankan dan Pemerintah; (2) Penyediaan pembimbing teknis USPSMWL; (3) Peningkatan kerjasama lintas program dan lintas sektoral tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; (4) Penyediaan dana dan sarana bimbingan teknis pengelolaan USPSMWL sesuai kebutuhan; (5) Peningkatan frekuensi dan mutu penyuluhan dan bimbingan teknis kepada peternak dalam hal pemeliharaan kesehatan peternak, kesehatan sapi perah, dan penyehatan lingkungan USP; (6) Pengelolaan lahan untuk

“tumbuhan pakan” USPSMWL; dan (7) Peningkatan pengelolaan pemanfaatan limbah sapi perah berwawasan lingkungan.

Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) agar segera menjabarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun produk hukum turunan lainnya, terutama berkaitan dengan dukungan permodalan masyarakat peternak, penyediaan lahan untuk tumbuhan hijau pakan sapi perah, dan pemasaran biogas serta pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah. Bupati Subang agar menyempurnakan kebijakan pengembangan usaha sapi perah yang ada di Kabupaten Subang saat ini dengan mempertimbangkan masukan-masukan kebijakan yang disusun dari penelitian ini.

Pihak perbankan agar terus meningkatkan dukungan bantuan pendanaan terhadap usaha sapi perah skala mikro melalui pemberian kemudahan dalam hal persyaratan kecukupan agunan dan penetapan tingkat suku bunga di bawah tingkat suku bunga komersial. Pihak perbankan dapat menjadikan aspek lingkungan hidup sebagai salah satu pertimbangan dalam menilai kelayakan usaha peternak, dalam arti bahwa kelayakan finansial atas hasil produksi biogas dan pupuk organik olahan dari limbah sapi diperhitungkan untuk kepentingan

repayment capacity ke bank. Seiring dengan itu dilakukan pula upaya untuk menginternalisasi karakteristik USP mikro ke dalam skim kredit yang ditawarkan bank.

Adapun saran penelitian lanjutan ialah tentang prospek USPSMWL di Kecamatan Ciater dan Sagalaherang sebagai agrowisata, dan tentang peningkatan produksi dan pemasaran biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah untuk mendukung pendapatan peternak sapi perah.

Kata kunci: Model, kebijakan, pengembangan, usaha, sapi perah, skala, mikro, wawasan, lingkungan


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

PERAH SKALA MIKRO BERWAWASAN LINGKUNGAN

DI KABUPATEN SUBANG

PETRUS F.T.P. TAMPUBOLON

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Etty Riani, MS

2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr 2. Dr. Ir. Muhammad Said Didu


(11)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas selesainya penulisan disertasi ini berjudul Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang. Penulisan disertasi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat studi akhir program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mendesain pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang.

Atas tersusunnya disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis; Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis; Bapak Dr. Ir. Machfud, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing penulis; Bapak Prof Dr.Ir.Cecep Kusmana, MS, selaku Ketua Program Studi PSL-IPB; beserta Staf dan para Dosen di lingkungan Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB yang telah banyak membimbing penulis; Ibu Dr. Ir. Rita N. Suryana dan Ibu Dr. Ir. Sri. Mulatsih selaku penguji Ujian Pra Kualifikasi yang telah banyak membimbing penulis; Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, selaku Penguji Ujian Tertutup; Bapak Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr dan Bapak Dr. Ir. Muhammad Said Didu, selaku Penguji Ujian Terbuka.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih belum sempurna; karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

Bogor, Nopember 2011 Petrus F.T.P. Tampubolon


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Medan pada tanggal 23 Agustus 1972, anak kedua dari enam bersaudara, putra dari pasangan Bapak Drs. Maruhum Tampubolon, MS dan Ibu Gustina Marbun.

Pada tahun 1990 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA St. Thomas 1, Medan. Penulis menamatkan Sarjana (S1) di Institut Pertanian Bogor (IPB), Program Studi Agribisnis pada tahun 1994 dan Pascasarjana (S2) di IPB, Program Studi Industri Kecil Menengah pada tahun 2004.

Sejak tahun 1995 penulis bekerja di PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. dan posisi saat ini sebagai Pemimpin Sentra Kredit Kecil (SKC) Pecenongan, Jakarta dengan jenjang jabatan Assistant Vice President.

Penulis menikah dengan Susanti Mauli Risma Simatupang, SE. pada tahun 1999 dan telah dikaruniai tiga orang anak: Hariara Daniel Parlindungan Tampubolon, Filia Rosalina Tampubolon, dan Natanael Rogate Pandapotan Tampubolon.

Karya ilmiah dengan judul: (1) “Masalah dan Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang” sedang dalam proses untuk dimuat dalam Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB pada Vol.35, No.1, Januari 2012; dan (2) “Strategi Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang” dimuat dalam Jurnal Manajemen Pengembangan Industri Kecil Menengah, ISSN: 2085-8418, Volume 6 No.2 bulan Oktober 2011.

Bogor, Nopember 2011


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Perumusan Masalah ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 17

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 17

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1 Pembangunan Berkelanjutan... 18

2.2 Usaha Peternakan Sapi Perah Berwawasan Lingkungan ... 19

2.2.1 Manfaat dan Pentingnya Usaha Peternakan Sapi Perah ... 22

2.2.2 Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Skala Mikro dan Faktor-Faktor yang Berhubungan ... 28

2.2.3 Hasil Penelitian Berkaitan dengan Usaha Peternakan Sapi Perah ... 31

2.2.4 Kebijakan Pemerintah untuk Pengembangan Usaha Peter- nakan Sapi Perah Skala Mikro ... 37

2.2.5 Kebijakan Perbankan untuk Pengembangan Usaha Peter- nakan Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan ... 45

2.3 Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 48

2.4 Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 51

2.5 Pendekatan Sistem ... 52

2.5.1 Analisis Kebutuhan ... 55

2.5.2 Formulasi Permasalahan ... 55

2.5.3 Identifikasi Sistem ... 55

2.5.4 Pemodelan Sistem ... 56

2.5.5 Validitas dan Sensitivitas Model ... 57

2.6 Kebijakan ... 57

3 METODE PENELITIAN ... 60

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 60

3.2 Desain Penelitian ... 61

3.3 Responden Penelitian ... 61

3.4 Definisi Operasional ... 63

3.5 Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data... 71

3.5.1 Pengumpulan Data ... 71

3.5.2 Pengolahan dan Analisis Data... 74

3.5.2.1 Analisis Deskriptif dan Bivariat (Chi-square) ... 74


(14)

xiv

3.5.2.3 Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 77

3.6 Pendekatan Sistem untuk Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang... 77

3.7 Penyusunan Skenario ... 79

3.8 Implementasi ... 79

4 GAMBARAN UMUM ... 80

4.1 Lokasi Penelitian ... 80

4.1.1 Kabupaten Subang ... 80

4.1.2 Kecamatan Sagalaherang ... 81

4.1.3 Kecamatan Ciater ... 82

4.2 Responden Penelitian ... 83

4.2.1 Karakteristik Responden Masyarakat Peternak ... 83

4.2.2 Karakteristik Responden Masyarakat Bukan Peternak ... 86

4.2.3 Responden Pejabat Dinas/Instansi/Institusi ... 89

4.3 Gambaran Umum Tentang Usaha Sapi Perah di Kabupaten Su- bang ... 89

4.4 Gambaran Keadaan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah di Ka- bupaten Subang ... 94

4.4.1 Keadaan dan Pengelolaan Sumberdaya Air dan Lahan Ta- naman Pakan Hijauan Ternak ... 94

4.4.2 Keadaan dan Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Kandang 95

4.4.3 Keadaan dan Pengelolaan Limbah Sapi Perah ... 95

5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 96

5.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Perah dan Kebutuhan-Kebutuhan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 96

5.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usaha Sapi Pe- rah ... 96

5.1.1.1 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Minat Menjadi Pelaku Usaha Sapi Perah” ... 96

5.1.1.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan “Perkem- bangan atau Kemajuan Usaha Sapi Perah” ... 99

5.1.2 Pendapat Responden Dinas/Instansi/Institusi Tentang Per- kembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 104

5.2 Hierarki Tingkat Kepentingan Elemen-Elemen Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 117

5.3 Faktor Kunci atau Faktor Penting Untuk Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 123

5.4 Pendekatan Sistem dalam Pengembangan Usaha Sapi Perah Ska- la Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang... 128

5.4.1 Analisis kebutuhan ... 128

5.4.2 Formulasi Permasalahan ... 128


(15)

xv

5.4.3.1 Diagram Lingkar Sebab Akibat ... 130

5.4.3.2 Diagram Input-Output ... 133

5.4.3.3 Diagram Alir Model Kebijakan Pengembangan Usa- ha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 134

5.4.4 Simulasi Model ... 141

5.4.4.1 Model Ekonomi ... 141

5.4.4.2 Model Sosial ... 144

5.4.4.3 Model Ekologi ... 148

5.4.5 Validasi Model ... 152

5.4.5.1 Validasi Struktur Model ... 153

5.4.5.2 Validasi Kinerja atau Output Model ... 154

5.4.6 Skenario Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Pe- rah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 155

5.4.6.1 Penyusunan Skenario ... 155

5.4.6.2 Simulasi Skenario Sub-Model Ekonomi ... 161

5.4.6.3 Simulasi Skenario Sub-Model Sosial ... 164

5.4.6.4 Simulasi Skenario Sub-Model Ekologi ... 165

5.4.6.5 Perbandingan Antar Skenario ... 169

5.5 Desain Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang ... 171

5.5.1 Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah di Kabupaten Subang dan Masalah yang Dihadapi ... 171

5.5.2 Kebijakan Alternatif Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan Kabupaten Subang. 177

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 200

6.1 Kesimpulan ... 200

6.2 Saran ... 201

6.3 Saran Penelitian Lanjutan ... 202

DAFTAR PUSTAKA ... 203


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan ... 50 2. Perincian waktu penelitian model kebijakan pengembangan usaha sa-

pi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang .. 60 3. Perincian responden penelitian model kebijakan pengembangan usa-

ha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten

Subang ... 62 4. Form penilaian perkembangan usaha sapi perah skala mikro berwa-

wasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 65 5. Form penilaian pengetahuan responden masyarakat peternak tentang

usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan ... 68 6. Form penilaian perilaku responden masyarakat peternak dalam

mengelola usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan ... 69 7. Distribusi responden masyarakat peternak menurut pengeluaran kon-

sumsi rata-rata anggota keluarganya per bulan ... 85 8. Distribusi responden masyarakat bukan peternak menurut pengeluar-

an konsumsi rata-rata anggota keluarganya per bulan ... 87 9. Alasan responden tidak ikut serta melakukan usaha sapi perah ... 87 10. Distribusi responden menurut jumlah waktu pengurusan per ekor sa-

pi per hari ... 90 11. Distribusi responden menurut hasil perolehan susu segar per hari .. 92 12. Distribusi responden menurut kontribusi pendapatan usaha sapi pe-

rah terhadap upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarganya .... 93 13. Matriks perbandingan antar elemen “aktor” berdasarkan “kebijakan

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang” ... 118 14. Matriks perbandingan antar elemen “faktor” berdasarkan “aktor”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang ... 121 15. Matriks perbandingan antar elemen “tujuan” berdasarkan “faktor”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang ... 121 16. Matriks perbandingan antar elemen “strategi” berdasarkan “tujuan”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-

an di Kabupaten Subang ... 122 17. Nilai driver power (DP) dan dependence (D) sub-elemen “strategi”

pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-


(17)

xvii

18. Analisis kebutuhan stakeholder dalam pengembangan usaha sapi

perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 129 19. Hasil simulasi jumlah tenaga kerja pengelola sapi perah, pengelola

sapi perah, pengolah biogas dan pengolah pupuk tahun 2003-2030.... 142 20. Hasil simulasi perkembangan persentase kontribusi pendapatan usa-

ha sapi perah terhadap kebutuhan konsumsi rumah tangga peternak

tahun 2003-2030 ... 143 21. Hasil simulasi jumlah penduduk dan peternak sapi perah tahun

2003-2030 ... 145 22. Kesehatan penduduk, peternak, perbandingan kesehatan peternak

terhadap penduduk, pendidikan penduduk, pendidikan peternak, perbandingan pendidikan peternak terhadap penduduk tahun 2003-

2030 ... 147 23. Hasil simulasi perilaku berusaha sapi perah tahun 2010-2030 ... 148 24. Hasil simulasi perkembangan sapi perah dan sapi non perah tahun

2003-2030 ... 149 25. Hasil simulasi perkembangan sisa lahan tahun 2010-2030 ... 150 26. Hasil simulasi perkembangan limbah kotoran kering sapi dan limbah

sapi yang tidak terkelola tahun 2003-2030 ... 151 27. Hasil simulasi perkembangan gas metana yang lepas ke atmosfir ta-

hun 2003-2030 ... 152 28. Kondisi perubahan faktor-faktor penentu tingkat kepentingan faktor-

faktor yang berpengaruh ... 158 29 Nilai faktor-faktor pengembangan usaha sapi perah skala mikro ber-

wawasan lingkungan menurut skenario eksisting, optimistik, mode-

rat, dan pesimistik ... 160 30. Keterkaitan faktor-faktor penentu dengan variabel-variabel sub sis-

tem ekonomi, sosial, dan ekologi dalam model yang dibangun ... 160 31. Perbandingan hasil simulasi antar skenario kondisi optimistik, ske-

nario kondisi moderat, skenario kondisi pesimistik dalam rangka pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkung-


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 9

2. Sistem ekonomi sederhana dengan lingkungan alam sebagai kompo- nen integral ... 20

3. Interaksi usaha kecil dengan lingkungan ... 39

4. Siklus produksi pendekatan agribisnis sapi perah... 44

5. Keterkaitan lima sub sistem dalam sistem agribisnis sapi perah ... 45

6. Diagram teknik Interpretative Structural Modelling ... 53

7. Metodologi pemecahan masalah dengan pendekatan sistem ... 54

8. Proses perumusan kebijakan berdasarkan model Eastonian ... 58

9. Diagram alir penelitian ... 61

10. Struktur hierarki antar elemen pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan dengan dukungan perbankan di Ka- bupaten Subang ... 123

11.Nilai driver power sub elemen strategi pengembangan usaha sapi pe- rah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ber- dasarkan Interpretative Structural Modelling ... 125

12. Matriks driver power-dependence sub elemen strategi pengembang- an usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupa- ten Subang ... 126

13. Diagram hierarki peringkat nilai pendapat responden tentang sub elemen strategi pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwa- wasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 127

14. Diagram lingkar sebab-akibat sub sistem ekonomi ... 131

15. Diagram lingkar sebab-akibat sub sistem sosial ... 131

16. Diagram lingkar sebab-akibat sub sistem ekologi ... 132

17. Diagram lingkar sebab-akibat model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Su- bang ... 132

18. Diagram black box (input-output) model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 133

19. Diagram alir sub model ekonomi ... 135

20. Diagram alir sub model sosial ... 137


(19)

xix

22. Jumlah tenaga kerja pengelola sapi, pengelola pupuk dan biogas ... 141

23. Grafik kontribusi pendapatan usaha sapi perah terhadap kebutuhan konsumsi rumah tangga peternak ... 143

24. Grafik perkembangan jumlah penduduk ... 144

25. Grafik perkembangan jumlah peternak ... 144

26. Perbandingan tingkat kesehatan penduduk dengan kesehatan peternak 146 27. Perbandingan tingkat pendidikan peternak dengan penduduk ... 146

28. Grafik perilaku positif peternak dalam mengurus usaha sapi perah .... 147

29. Perkembangan jumlah sapi ... 148

30. Grafik luas lahan yang dapat dikembangkan untuk keperluan tanam tumbuhan pakan sapi ... 149

31. Jumlah limbah kotoran kering sapi dan jumlah limbah yang tidak terkelola ... 150

32. Jumlah CH4 yang lepas ke atmosfir ... 151

33. Simulasi jumlah peternak sapi perah ... 162

34. Simulasi jumlah peternak pengolah biogas ... 163

35. Simulasi jumlah peternak pengolah pupuk organik ... 162

36. Simulasi kontribusi pendapatan usaha sapi perah terhadap kebutuhan konsumsi keluarga peternak ... 164

37. Simulasi tingkat perilaku berusaha sapi perah ... 165

38. Simulasi jumlah sapi piaraan ... 166

39. Simulasi jumlah sapi perah ... 166

40. Simulasi jumlah sapi non perah ... 167

41. Simulasi jumlah sisa lahan untuk tanam pakan sapi ... 168

42. Simulasi limbah kotoran sapi yang tidak terkelola ... 168


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Tabel validasi model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala

mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang ... 215 2. Hasil simulasi kondisi eksisting, skenario optimistik, skenario mode-

rat, dan skenario pesimistik, model kebijakan pengembangan usaha

sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang . 217 3. Persamaan (equation) Powersim model kebijakan pengembangan

usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten

Subang... 228 4. Kontribusi pendapatan usaha sapi perah terhadap kebutuhan kon-


(21)

1.1 Latar Belakang

Pemerintah terus memberikan dukungan kepada masyarakat untuk menumbuhkan dan mengembangkan usaha peternakan sapi perah (USP) di daerah pedesaan dalam rangka meningkatkan jumlah produksi susu di Indonesia. Di Kabupaten Subang Jawa Barat, USP tumbuh dan berkembang sejak tahun 1980 di sejumlah kecamatan, terutama di daerah pegunungan, di antaranya Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater (Badan Pusat Statistik atau BPS Kabupaten Subang 2011). USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater pada awalnya, tahun 1980, berjumlah 5 unit dengan populasi sapi perah 10 ekor; kemudian pada tahun 2008, dengan adanya bantuan permodalan dari bank setempat berupa fasilitas kredit, jumlah USP bertambah banyak menjadi 230 unit dengan populasi sapi perah 828 ekor. Pada tahun 2010 jumlah USP bertambah menjadi 232 unit dengan jumlah populasi sapi perah 865 ekor. Pada tahun 2010 ada 20 USP yang tidak aktif dan pindah lokasi, dengan demikian jumlah USP pada awal tahun 2011 menjadi 212 unit dengan jumlah populasi sapi perah 883 ekor. Produksi susu per ekor sapi laktasi per hari adalah bervariasi dalam kisaran 8 sampai 15 liter dengan rata-rata 9 liter (Dinas Peternakan Kabupaten Subang atau Disnakkab. Subang dan Koperasi Peternak Susu Bandung Utara atau KPSBU 2011). Hasil dari USP tersebut, menurut hasil wawancara dengan beberapa pelaku USP, dirasakan telah memberikan manfaat dan berdampak positif bagi kehidupan diri dan keluarga pelaku USP. Mereka menilai USP telah menjadi lapangan kerja khusus atau sebagai bagian sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa yang cukup memadai.

Seiring dengan keberhasilan yang telah dicapai oleh para pelaku USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater, tampak pula beberapa hal yang masih perlu dikembangkan atau beberapa masalah yang perlu diselesaikan oleh pelaku USP, pemerintah, dan stakeholder lainnya, di antaranya ialah berkaitan dengan (1) jumlah produksi susu per ekor sapi laktasi rata-rata per hari secara keseluruhan belum optimal; dalam arti bahwa produksi sebagian besar USP belum mencapai jumlah produksi ideal rata-rata 20 liter per sapi per hari (Sembiring


(22)

2008); (2) rendahnya persentase peningkatan status skala usaha dari “mikro” ke skala yang lebih tinggi per tahun; dalam arti bahwa selama periode 2008-2011 kepemilikan sapi per USP pada sebagian besar (99%) USP relatif tetap pada angka rata-rata 3-4 ekor; (3) pertambahan USP dalam periode 2008-2010 rata-rata sebesar 0,87% per tahun masih di bawah target Kabupaten Subang sebesar 10% per tahun atau masih di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29%; dan (4) minimnya jumlah USP yang berwawasan lingkungan (Disnakkab. Subang 2011).

Masalah-masalah tersebut yang dihadapi selama ini diduga berhubungan dengan banyak faktor yang saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain, di antaranya ialah: (a) kesiapan masyarakat dalam mengembangkan USP yang kurang optimal; (b) pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk mendukung pengembangan USP yang kurang optimal; (c) kebijakan atau dukungan bantuan dari pemerintah dan pihak perbankan yang kurang optimal. Dengan demikian masalah yang dihadapi tidak sederhana, tetapi bersifat kompleks atau sistemik, sehingga untuk penyelesaiannyapun perlu menggunakan pendekatan sistem (holistik, berorientasi pada tujuan, efektif) yang berbasis pada data dan informasi yang relevan serta bertolak dari kebutuhan stakeholder. Kebijakan yang dirumuskan kemudian diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Dengan terselesaikannya masalah tersebut maka diharapkan perkembangan USP di kedua kecamatan semakin maju ke arah tujuan yang diharapkan dan pada akhirnya berdampak positif bagi kehidupan seluruh masyarakat.

Memperhatikan keadaan, masalah, dan tujuan pengembangan USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater penulis merasa tertarik atau termotivasi untuk melakukan penelitian menggunakan pendekatan sistem berdasarkan kebutuhan para stakeholder. Topik yang dipilih dan ditetapkan untuk penelitian ini ialah Model Kebijakan Pengembangan Usaha Sapi Perah Skala Mikro Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Subang.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ialah terumuskannya model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan (USPSMWL) di Kabupaten


(23)

Subang. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, ditetapkan tujuan khusus yaitu (1) teridentifikasinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; (2) teridentifikasinya kebutuhan-kebutuhan

stakeholder dalam pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang; dan (3) terumuskannya model kebijakan dan strategi pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

1.3 Kerangka Pemikiran

Dalam rangka pembangunan di bidang peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional Indonesia, pemerintah telah menetapkan sejumlah peraturan perundang-undangan, di antaranya ialah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Keputusan Menteri Pertanian No.404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan. Undang-Undang lain yang mendukung penumbuhan dan pengembangan usaha peternakan di daerah-daerah dalam wilayah negara Indonesia ialah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 ditegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dikemukakan bahwa UMKM bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan pada demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Ditegaskan pula bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek: (1) pendanaan, (2) sarana dan prasarana, (3) informasi usaha, (4) kemitraan, (5) izin usaha, (6) kesempatan berusaha, (7) promosi dagang, dan (8) dukungan kelembagaan. Aspek pendanaan ditujukan untuk: (1) memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi UMKM untuk dapat mengakses kredit perbankan dan lembaga keuangan selain bank; (2) memperbanyak lembaga pembiayaan dan


(24)

memperluas jaringan sehingga dapat di akses oleh UMKM; (3) memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan (4) membantu para pelaku UMKM untuk mendapatkan pembiayaan dan jasa atau produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem konvensional maupun sistem syariah dengan jaminan yang disediakan oleh pemerintah.

Kebijakan lain yang mendukung penumbuhan dan pengembangan (UMKM) di Indonesia ialah dari Bank Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 tentang pemberian kredit usaha kecil; yang intinya menganjurkan bank untuk menyalurkan kredit UMKM sesuai business plan. Kebijakan yang terkait tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/39/PBI/2005 perihal Pemberian Bantuan Teknis Dalam Pengembangan UMKM; yang intinya Bank Indonesia memberikan bantuan teknis berupa pelatihan dan penyediaan informasi kepada perbankan, lembaga pembiayaan dan Business Development Service Provider (BDSP).

Dalam rangka pengembangan usaha peternakan di Kabupaten Subang Jawa Barat ditetapkan Peraturan Daerah Kabupaten (Perdakab.) Subang Nomor 14 Tahun 2006 tentang Izin Usaha Peternakan. Maksud dari penetapan peraturan tersebut ialah mendorong peningkatan kesempatan berusaha, kesejahteraan rakyat dan terciptanya iklim usaha yang mampu menunjang pengembangan peternakan; serta menjalankan fungsi di bidang pengendalian dan pengawasan dari pemerintah kabupaten dalam usaha menjamin kepastian dan perlindungan hukum sehingga berdampak positif bagi tertib pengaturan dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Subang. Usaha peternakan yang dimaksud dalam peraturan tersebut adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit atau ternak potong), telur, susu serta usaha menggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan, dan memasarkannya. Dalam peraturan tersebut Kepala Dinas Peternakan atau pejabat yang ditunjuk melakukan bimbingan dan pengawasan kegiatan usaha peternakan. Khusus aturan perundangan tentang usaha peternakan sapi perah golongan kategori pengusaha mikro di Kabupaten


(25)

Subang, berdasarkan pada kriteria Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008, hingga saat ini belum ada secara tertulis. Selama ini aturan yang digunakan bersumber dari aturan umum yang berkaitan (Disnakkab. Subang 2011).

Keseluruhan aturan atau kebijakan yang telah ditetapkan itu pada umumnya telah dan sedang diimplementasikan sesuai dengan kebutuhan daerah berdasarkan situasi dan kondisi masing-masing. Banyak hasil yang telah diperoleh searah dengan tujuan; namun demikian belum sepenuhnya sampai pada taraf yang dikehendaki. Berdasarkan pada data dan informasi dari pejabat Dinas Peternakan Kabupaten Subang dan hasil pengamatan di lokasi bahwa akselerasi perkembangan jumlah dan kualitas USP skala mikro di Kabupaten Subang relatif kurang jika dilihat dari sisi jumlah peternak sapi perah, jumlah populasi ternak sapi perah, jumlah dan kualitas produksi susu per sapi perah per hari, pengolahan limbah sapi perah, pengelolaan hijauan pakan ternak, bimbingan atau dukungan teknis, dukungan dana usaha, kesehatan kandang serta lingkungannya, dan pendapatan peternak sapi perah. Hal ini merupakan masalah dan diduga berkaitan dengan banyak faktor, di antaranya ialah: (1) faktor kesiapan masyarakat, (2) faktor kebijakan pemerintah kabupaten dan kecamatan, (3) faktor kebijakan perbankan, dan (4) faktor kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, saling ketergantungan, dan tidak terpisahkan satu sama lain.

Kesiapan masyarakat mencakup aspek kesehatan jasmani dan rohani, pendidikan, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat. Kesiapan masyarakat juga meliputi keterampilan atau kemampuan teknis peternakan sapi perah dan kemampuan pendanaan. Kegagalan dalam memahami kesiapan masyarakat akan mengakibatkan program pengembangan ternak sapi tidak terarah atau tidak terstruktur. Baga (2003) mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya manusia peternak yang masih rendah; selain itu sikap masyarakat dan juga peternak sapi perah kurang positif terhadap situasi harga susu segar yang tidak menarik dan bersaing dengan harga susu impor yang relatif lebih murah. Kesimpulan serupa dikemukakan oleh Sudono (2000) bahwa salah satu faktor


(26)

penyebab rendahnya produktivitas sapi perah ialah faktor manajemen. Hasil penelitian Siregar (1993) mengemukakan bahwa rendahnya tingkat pendidikan peternak sapi perah mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru. Suprapto et al. (1999) mengemukakan bahwa di daerah Bali pada umumnya petani kecil dengan tingkat perekonomian yang lemah dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga sangat berpengaruh terhadap cara berusaha tani ataupun beternak.

Kebijakan pemerintah yang dimaksud ialah mencakup jumlah dan kualitas tenaga pembimbing peternak sapi perah, pendanaan kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada masyarakat, sarana dan prasarana bantuan untuk usaha ternak, dan metode kerja aparatur pemerintah di daerah, termasuk teknologi dan peraturan perundangan. Dana bantuan pemerintah bisa dimanfaatkan dan dikembangkan oleh kelompok peternak antara lain untuk meningkatkan populasi sapi induk, membeli peralatan, membangun unit biogas, serta menanam rumput unggul. Suhartini (2001) mengemukakan bahwa usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana dan prasarana terutama adanya pasar baik industri pengolahan susu maupun konsumen langsung. Baga (2003) mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor pemasaran susu yang dihasilkan, di mana tingkat konsumsi susu masyarakat yang masih rendah dan juga tingginya persaingan dengan susu impor. Perkembangan produksi susu di Indonesia dipengaruhi oleh faktor kondisi infrastruktur transportasi yang kurang memadai serta kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat. Sudono (2000) mengemukakan bahwa rendahnya produktivitas susu di Indonesia disebabkan oleh faktor manajemen yang berkaitan dengan pemberian pakan, pemilihan bibit, dan penanganan panen serta penempatan peternakan sapi perah pada daerah yang bersuhu di atas 21oC. Hal serupa dikemukakan oleh Napitupulu (1987) bahwa ketersediaan pangan, induk atau bibit dan obat-obatan berpengaruh nyata terhadap pengembangan susu sapi perah. Dari sisi lainnya Soewardi et al. (1990) mengemukakan bahwa pengembangan peternak sapi perah dan pemasaran susu harus dilakukan dengan


(27)

melibatkan berbagai sektor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan pemerintah sebagai regulator dalam hal penentuan harga susu, transportasi, sebagai pembimbing teknik, dan pembina kerjasama lintas sektoral adalah penting dan turut menentukan kelancaran perkembangan USP di daerah.

Kebijakan perbankan mencakup kelayakan finansial, persyaratan dan prosedur kredit, jangka waktu pinjaman, suku bunga pinjaman, dan aspek hukum. Sistem pembiayaan perbankan tetap merupakan sumber pembiayaan utama bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK). Prawiradiputra et al.

(2008) mengemukakan bahwa pada umumnya peternak menghadapi kendala kurangnya modal; bukan hanya untuk pengadaan sapi perahnya saja tetapi untuk pengadaan hijauan pakan. Harpini (2008) juga mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi dalam pengembangan sapi perah rakyat adalah keterbatasan modal usaha dan lahan hijauan pakan ternak. Apabila kedua kendala ini dapat diatasi kemungkinan populasi sapi dapat ditingkatkan. Permasalahan klasik yang selalu muncul dalam rangka pemberdayaan UKMK, salah satunya adalah masalah permodalan, yang umumnya disebabkan oleh keterbatasan akses ke sumber-sumber permodalan, terutama akses ke lembaga keuangan formal seperti bank, di samping keterbatasan pengetahuan atau kemampuan dalam memenuhi prosedur dan persyaratan perbankan. Pelayanan pembiayaan kepada UKMK baik dalam bentuk kredit atau pinjaman, sampai sekarang tetap merupakan topik urgen. Menurut Prasetyo (2008) peningkatan penyediaan dan aksesibilitas kredit perbankan dan program bagi peternak dengan tingkat bunga maksimum 6 persen per tahun perlu dikembangkan. Skim kredit investasi bagi peternak tetap perlu difasilitasi dengan pendampingan teknologi, manajemen usaha, dan pembinaan kemandirian kelompok peternak.

Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan mencakup suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, letak geografis, ketersediaan dan kesuburan lahan, sumberdaya air dan lainnya. Collier et al. (2006) dan Setiawati (2005) mengemukakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas sapi perah antara lain musim, indeks suhu dan kelembaban, serta ketersediaan pakan dan air. Baga (2003) mengemukakan bahwa perkembangan produksi susu di Indonesia berjalan lambat karena iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan


(28)

komoditas susu. Sarwanto (2004) menyatakan bahwa dataran tinggi lebih berpotensi untuk mewujudkan peternakan sapi perah berkelanjutan dibandingkan dengan dataran rendah; berkenaan dengan ketersediaan air, ketersediaan hijauan pakan, dan produksi susu. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor tahun 1990, menetapkan kesimpulan area pengembangan peternakan sapi perah dalam 3 area yaitu: area yang berada di atas ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (MDPL) dijadikan sebagai pusat produksi susu, dan di tempat ini dikembangkan sapi perah Friesian Holstein (FH) murni sebagai bibit utama (grand parent stock–GPS atau parent stock-PS); antara 300 dan 700 MDPL dikembangkan sapi perah hasil budidaya yang baik yang berasal dari PS yaitu final stock (FS); sedangkan yang berada di bawah 300 MDPL dikembangkan sapi perah persilangan dengan lokal.

Masalah pengembangan usaha sapi perah di Kabupaten Subang perlu diselesaikan secara komprehensif dengan pendekatan sistem bukan dengan penyelesaian yang bersifat parsial atau reduksionisme; dengan alasan atau pertimbangan bahwa penyebab masalah tersebut tidak tunggal dan tidak sederhana, tetapi kompleks dan rumit karena berhubungan dengan banyak faktor yang saling mempengaruhi. Pendekatan sistem yang dimaksud yaitu pendekatan dengan tahapan teratur mulai dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, pembuatan program komputer, verifikasi model, implementasi, sampai dengan tahap evaluasi (Manetsch and Park 1977, diacu dalam Marimin 2007). Pada tahap analisis kebutuhan ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholder) yang berbeda-beda atau bertentangan satu sama lain. Pada tahap formulasi permasalahan dilakukan identifikasi kebutuhan stakeholder yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada pencapaian tujuan (Hartrisari 2007). Pada tahap identifikasi sistem dibuat diagram lingkar sebab-akibat (causal loops diagram), diagram input-output (black box diagram), serta diagram alir (flow diagram) untuk menggambarkan hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pemodelan dilakukan dengan


(29)

dasar pemikiran bahwa baik tidaknya perkembangan usaha sapi perah berhubungan erat dengan faktor kesiapan masyarakat, faktor sumberdaya alam dan lingkungan, faktor kebijakan pemerintah, dan faktor kebijakan perbankan. Model ini kemudian divalidasi hingga diperoleh keabsahan sebagai salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah lalu direkomendasikan menjadi kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang. Kerangka pemikiran penelitian ini ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Disain Kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang

Pemanfaatan Limbah Sapi Pendapatan Bank Pendapatan Masyarakat Pengelolaan Pakan Ternak

Kelayakan Usaha Mutu Lingkungan

Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah

Skala Mikro Sumberdaya

Alam dan Lingkungan  Letak geografis

 Topografi

 Sumberdaya Air

 Curah Hujan

 Suhu Udara

 Kelembaban Udara

 Ketersediaan dan Kesuburan Lahan

Kebijakan Peme-rintah Kabupaten

dan Kecamatan

Dana, sarana, tenaga, penyuluhan, bimbingan teknis, dan metode kerja

Kesiapan Masyarakat

- Kondisi Fisik - Pendidikan - Pengetahuan - Sikap dan Perilaku - Kemampuan teknis - Kemampuan dana

Kebijakan Perbankan  Kelayakan Finansial

 Persyaratan dan Prosedur Kredit atau Pinjaman

 Jangka Waktu dan Bunga

 Aspek Hukum

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 14

Tahun 2006 tentang Izin Usaha Peternakan

Keputusan Menteri Pertanian No.404/Kpts/ OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan

Pendaftaran Usaha Peternakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Kebijakan Pembangunan Nasional Republik Indonesia

Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 perihal Pemberian Kredit Usaha Kecil


(30)

1.4 Perumusan Masalah

Masalah yang berhubungan dengan USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater ialah (1) hingga saat ini jumlah produksi susu per sapi laktasi rata-rata per hari pada sebagian besar USP belum optimal atau masih di bawah jumlah produksi ideal sebesar 20 liter per sapi per hari; (2) laju peningkatan status skala USP dari “mikro” (jumlah 1-5 ekor sapi) ke skala USP yang lebih tinggi (jumlah > 5 ekor sapi) selama periode 2008-2011 masih relatif lambat (sekitar 1% per tahun); (3) laju pertambahan USP dalam periode 2008-2010 masih rendah; rata-rata sebesar 0,87% per tahun masih di bawah target Kabupaten Subang sebesar 10% per tahun atau di bawah rata-rata nasional kurun waktu 1997-2004 sebesar 1,29%; dan (4) minimnya jumlah USP yang berwawasan lingkungan. Masalah-masalah ini diduga berkaitan dengan faktor: kesiapan masyarakat, kebijakan pemerintah, sumberdaya alam dan lingkungan, dan kebijakan perbankan.

1.4.1 Kesiapan Masyarakat

Kesiapan masyarakat yang dimaksud mencakup: pendidikan formal masyarakat, kesehatan masyarakat, pendapatan masyarakat, pengetahuan dan sikap masyarakat tentang USP, praktek atau perilaku mengelola USP, keterampilan teknis dan kemampuan dana para peternak sapi perah.

1.4.1.1 Pendidikan Formal Masyarakat

Berdasarkan informasi dari Pemerintah Kecamatan Sagalaherang dan Ciater bahwa pada tahun 2010 angka rata-rata lama sekolah (ARLS) masyarakat di kedua kecamatan yaitu berturut-turut 6,76 tahun dan 7,59 tahun atau masih di bawah standar menurut United Nations Development Program (UNDP) tahun 1990 yaitu 15 tahun. Angka melek huruf (AMH) sebagai indikator indeks pendidikan masyarakat di kedua kecamatan yaitu berturut-turut 94,2% dan 96,9% atau masih di bawah standar UNDP yaitu 100% (BPS Kabupaten Subang 2010). Distribusi masyarakat menurut tingkat pendidikan formal di kedua kecamatan yaitu tamat Sekolah Dasar atau sederajat (SD) berturut-turut 74,94 % dan 68, 89%; tamat Sekolah Menengah Atas atau sederajat (SLA) berturut-turut 8,14% dan 10,68%; tamat Sekolah Menengah Pertama atau sederajat (SLP) berturut-turut 15,66% dan 18,22%; di


(31)

atas SLA berturut-turut 1,26% dan 2,31%. Tingkat pendidikan sebagian besar penduduk hanya tamat SD dan tidak tamat SD; hal ini sedikit banyak mengakibatkan tidak tergarapnya sumberdaya usaha tani sapi perah secara optimal dan rendahnya daya serap peternak-peternak sapi perah itu terhadap teknologi baru (Siregar et al. 2003).

1.4.1.2 Kesehatan Masyarakat

Salah satu indikator kesehatan masyarakat ialah umur harapan hidup (UHH). Pada saat ini UHH masyarakat di kedua kecamatan adalah berturut-turut 68 tahun dan 70,28 tahun atau masih di bawah standar UNDP yaitu 88 tahun. Rendahnya UHH tersebut berkaitan dengan angka kematian ibu melahirkan (AKIM) di kedua kecamatan yang relatif tinggi sebesar 9 dan 10 per seratus ribu atau masih di bawah target nasional yaitu 6 per seratus ribu ibu melahirkan. Rendahnya UHH juga berkaitan dengan angka kematian bayi (AKB) yang masih tinggi, berturut-turut sebesar 46 dan 47 per seribu kelahiran hidup atau masih di bawah target nasional 23 per seribu kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2010). Keadaan ini merupakan masalah yang perlu diselesaikan bersamaan dengan peningkatan pendidikan dan ekonomi masyarakat dalam rangka percepatan peningkatan IPM.

1.4.1.3 Pendapatan Masyarakat

Proporsi keluarga tergolong miskin di kedua kecamatan pada akhir 2010 adalah berturut-turut 6,26% dan 16,93% total seluruh keluarga. Khusus tentang pendapatan USP di kedua kecamatan ini walaupun telah memberi kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga pelaku USP namun belum seluruhnya sampai pada taraf yang diharapkan. Rendahnya pendapatan peternak disebabkan karena selisih harga jual susu segar per liter di tingkat peternak dengan biaya untuk memproduksi per liter susu segar terlalu kecil (Disnakkab. Subang 2010). Rendahnya pendapatan peternak sedikit banyak akan mempengaruhi tingkat pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya, dan pada gilirannya dapat pula menghambat perkembangan USP.

1.4.1.4 Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang USP

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa stakeholder di dua kecamatan dapat dikemukakan bahwa pengetahuan peternak tentang USP pada


(32)

umumnya belum optimal, terutama tentang pembibitan, pengeloaan pakan ternak; pengelolaan kesehatan ternak, kesehatan lingkungan USP; dan pengelolaan atau pemanfaatan limbah ternak untuk memperoleh nilai tambah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Walaupun demikian sikap para peternak dalam rangka USP pada umumnya cukup positif ditunjukkan oleh semangat, antusiasme, ketekunan, dan keseriusan mereka yang baik dalam beternak.

1.4.1.5 Keterampilan Teknis

Keterampilan teknis dari para pelaku USP dalam beberapa aspek belum optimal, hal ini tampak dari belum mampunya mereka menggunakan strategi efisiensi penggunaan pakan di antaranya ialah penggunaan bahan baku berupa limbah pertanian dan agroindustri yang dikombinasikan dengan penggunaan probiotik, defaunasi, maupun melalui teknis suplementasi (Umiyasih et al.

2008); padahal mereka memerlukan pakan olahan berupa konsentrat atau silase yang murah dalam jumlah yang cukup untuk meningkatkan produksi susu sapi mereka. Di samping itu kemampuan teknis mereka dalam mengolah susu segar menjadi aneka produksi makanan relatif masih kurang. Kondisi inipun turut mempengaruhi sulitnya meningkatkan pendapatan para pelaku USP.

1.4.1.6 Praktek atau Perilaku Mengelola USP

Praktek atau perilaku pelaku USP dalam mengelola usahanya pada umumnya relatif baik walaupun belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini tampak dari wujud penampilan para pelaku USP dalam: (a) penempatan kandang sapi perah yang belum memenuhi syarat kesehatan

dan syarat-syarat yang ditentukan oleh UURI Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; yakni sebagian besar kandang sapi perah di lokasi ini berjarak kurang dari 3 meter dari rumah penduduk; (b) pemeliharaan kebersihan dan kesehatan kandang sapi perah yang masih

kurang optimal dan berisiko menjadi gangguan kesehatan; ditunjukkan oleh saluran limbah yang terbuka yang mudah terjangkau oleh serangga dan tikus sebagai perantara penular atau penyebar penyakit;

(c) pengelolaan pakan sapi tumbuhan hijau yang masih kurang optimal; hal ini tampak dari usaha mereka selama ini masih terbatas pada perolehan tumbuhan hijau dari ladang dan hutan atau perkebunan sejauh 3 hingga


(33)

4 km dari tempat tinggal mereka. Setiap hari mereka harus mengeluarkan biaya angkutan relatif besar dan menggunakan waktu relatif lama;

(d) pengelolaan atau pemanfaatan limbah sapi yang belum optimal, hal ini tampak dari banyaknya limbah sapi lama dan baru bercampur dan menumpuk di areal sekitar kandang. Hingga saat ini baru 55 USP (25,94%) yang memanfaatkan limbah sapi menjadi biogas; itupun rata-rata masih dalam skala kecil, artinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rata-rata satu sampai dua keluarga saja; atau hanya menyerap limbah dari satu atau dua sapi saja (asumsi: biogas hasil satu ekor sapi memenuhi kebutuhan satu keluarga beranggota 5-6 orang). Dengan penghitungan keseluruhan, maka proporsi limbah sapi yang terserap untuk biogas selama ini baru sebagian kecil saja yaitu tidak lebih dari 12,46% (110 ekor/883ekor*100%). Ratio jumlah USP dengan jumlah keluarga pengguna biogas pada saat ini baru 1 : 0,52 (atau 212 USP memenuhi kebutuhan gas 110 keluarga); masih lebih kecil dari ratio jika seluruh USP dioptimalkan memproduksi biogas yaitu 1 : 4,17 (212 USP memenuhi kebutuhan gas 883 keluarga). Sementara itu proporsi USP yang mengolah limbah sapi menjadi pupuk organik, selain teknik biogas, juga masih relatif kecil, di bawah 2%. Limbah sapi perah yang tidak terserap atau tidak dikelola dengan baik per USP per hari adalah rata-rata 85,54%.

Limbah yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi faktor risiko: (a) peningkatan emisi gas CH4 (metana) yang masuk ke atmosfir sebesar 230 liter per kg kotoran sapi (Srinivasan, diacu dalam Meiviana et al.

2004; Olesen et al. 2006); (b) gangguan kesehatan sapi dan masyarakat (LaBlane et al. 2006; Noordhuizen et al. 2005; Kirk et al. 2002, diacu dalam Rosati et al. 2004; Caraviello et al. 2006; Noor 2006; Kusmiyati

et al. 2005, diacu dalam Nurhayati et al. 2007); serta (c) gangguan kenyamanan akibat bau limbah sapi. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change - UNFCCC), gas metana adalah salah satu gas rumah kaca (GRK) utama yang memiliki Global Warming Potential


(34)

Meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer pada akhirnya menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi secara global; yang menimbulkan dampak negatif berupa (1) mencairnya es dan gletser di seluruh dunia, terutama di Kutub Utara dan Selatan, yang kemudian menyebabkan peningkatan permukaan air laut; (2) pergeseran musim; (3) krisis persediaan makanan akibat tingginya gagal panen, (4) krisis air bersih, (5) meluasnya penyebaran penyakit tropis: malaria, demam berdarah dan diare; (6) kebakaran hutan, serta (7) hilangnya jutaan spesies flora dan fauna karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan suhu di bumi.

Salah satu penyebab kurangnya pemanfaatan atau penyerapan limbah sapi perah tersebut ialah karena kurangnya gairah pelaku USP membuat atau mengolah biogas dan pupuk organik akibat hasil yang diperoleh kemudian tidak dapat dipasarkan seperti halnya elpiji.

1.4.1.7 Kemampuan Dana

Kemampuan dana sebagian besar pelaku USP untuk pengembangan USP pada dapat dikatakan rendah, hal ini tercermin dari perkembangan populasi sapi per USP dalam kurun waktu 2008-2010 relatif tetap rata-rata 3-4 ekor. Hasil pendapatan USP pada umumnya digunakan sebagian besar pelaku USP untuk keperluan konsumsi (belanja pangan, listrik, air, telepon, pajak, retribusi, iuran sosial, transport, pendidikan, kesehatan, dan lainnya); akibatnya pemupukan modal untuk pengembangan USP dalam bentuk simpanan sangat rendah.

1.4.2 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah yang dimaksud ialah berkaitan dengan sarana dan prasarana, keamanan lingkungan, dan layanan penyuluhan dan bimbingan teknis tentang USP.

1.4.2.1 Sarana dan Prasarana

Bantuan sarana yang pernah diberikan oleh pemerintah kepada para pelaku USP di Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater yaitu milk-can, ember perah sapi, milk-cooling 2.500 liter dan alat pembuat eskrim. Jumlah bantuan ini kurang memadai dibandingkan dengan jumlah dan jenis kebutuhan untuk pengembangan USP. Alat pembuat eskrim dan milk-cooling yang diberikan


(35)

kepada pelaku USP hingga saat ini belum digunakan oleh pelaku USP karena alasan teknis dan kesulitan pemasaran hasil produksinya.

Dukungan pemerintah dalam hal pengelolaan pakan masih kurang; padahal pakan merupakan faktor penting dalam USP (Eastridge 2006); semakin memadai kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan, semakin memadai pula jumlah dan kualitas sapi dan produknya; dan semakin menambah pendapatan para pelaku USP dan keluarganya. Pakan sapi perah yang tersedia sesuai dengan jumlah dan jenis yang dibutuhkan, langsung atau tidak langsung akan menggairahkan peternak memajukan USP ke arah yang diharapkan; dan sekaligus dapat merangsang atau memotivasi anggota masyarakat umum lainnya turut serta mengembangkan USP.

Dukungan pemerintah dalam hal penyaluran atau pemasaran biogas dan pupuk organik hasil olahan limbah sapi perah belum ada; karenanya pelaku USP yang memiliki instalasi pengolahan selama ini memproduksi biogas bukan untuk komersial tetapi terbatas untuk keperluan konsumsi keluarga sendiri dan tetangga dekatnya.

1.4.2.2 Keamanan Lingkungan

Layanan pemerintah kecamatan atau desa dalam sistem keamanan lingkungan USP dirasakan masyarakat masih kurang; hal ini tampak dari kondisi penempatan kandang sapi pada umumnya berdekatan dengan rumah pemilik masing-masing dengan alasan belum optimalnya keamanan lingkungan.

1.4.2.3 Layanan Penyuluhan dan Bimbingan Teknis

Frekuensi dan mutu penyuluhan serta bimbingan teknis tentang pengembangan USP oleh pemerintah kepada para pelaku USP selama ini menurut para peternak masih kurang memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan pengembangan USP secara efektif. Penyuluhan dan bimbingan teknis selama ini dominan dilakukan oleh petugas KPSBU dan petugas kesehatan hewan setempat dengan jadwal atau frekuensi yang tidak teratur. Hasil penyuluhan dan bimbingan teknis tersebut belum banyak memberi perubahan ke arah penampilan USP yang diharapkan, terutama dalam hal kebersihan atau kesehatan lingkungan USP.


(36)

Menurut keterangan petugas Dinas Peternakan Kabupaten Subang, kurangnya layanan penyuluhan dan bimbingan teknis tersebut ialah karena keterbatasan dana, sarana, dan tenaga; di samping itu kerjasama lintas program sektoral tingkat kabupaten dan kecamatan masih kurang optimal.

1.4.3 Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan di antaranya ialah belum optimalnya penggunaan lahan untuk penanaman tumbuhan hijau untuk pakan ternak sapi perah. Dalam beberapa tahun belakangan ada wacana untuk memanfaatkan lahan PERHUTANI di sekitar Kecamatan Sagalaherang dan Kecamatan Ciater namun hingga kini belum terwujud.

1.4.4 Kebijakan Perbankan

Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan perbankan ialah bahwa hingga saat ini belum ada suatu kebijakan khusus dari perbankan tentang bantuan pengembangan USPSMWL. Masalah yang dihadapi ialah bahwa para peternak yang membutuhkan pada umumnya ingin memperoleh dana dalam waktu cepat, persyaratan dan prosedur yang mudah, dan bunga yang ringan; sementara pihak perbankan atau lembaga keuangan berpegang teguh pada persyaratan atau prosedur baku untuk mendapatkan profit secara proporsional.

Berdasarkan tujuan, keadaan dan masalah yang dihadapi tersebut penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang?

2. Bagaimana pendapat pejabat dinas dan institusi tentang upaya yang perlu ditingkatkan dalam rangka pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang?

3. Bagaimana urutan tingkat kepentingan elemen-elemen pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang berdasarkan pendapat pakar?

4. Apa faktor kunci dan faktor penting lain dari strategi pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang berdasarkan pendapat pakar?


(37)

5. Model kebijakan seperti apakah yang perlu dibangun untuk pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang?

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini penulis harapkan bermanfaat:

1. Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Kabupaten Subang Jawa Barat dalam rangka pengambilan keputusan tentang pengembangan USPSMWL; 2. Sebagai bahan masukan bagi pihak perbankan dalam merumuskan kebijakan

pengembangan USPSMWL; dan

3. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang kebijakan pengembangan USPSMWL di Kabupaten Subang.

1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Kebaruan yang terkandung dalam penelitian ini ialah model kebijakan pengembangan usaha sapi perah skala mikro berwawasan lingkungan di Kabupaten Subang yang dibangun dengan menggunakan pendekatan sistem mencakup aspek ekonomi, sosial, dan ekologis dengan melibatkan stakeholder.


(38)

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (World Commission on Environment and Development - WCED 1987). Komisi Brundtland pada tahun 1987 (Our Common Future), menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan

adalah “pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa

mengorbankan kepentingan generasi mendatang”. Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan

didefinisikan sebagai: “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan

hidup, termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi kini dan generasi depan”.

Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dimaknai sebagai sebuah pendekatan pembangunan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik untuk masa kini dan mendatang. Dalam pelaksanaannya, pembangunan berkelanjutan senantiasa berlandaskan “tiga pilar utama” (ekonomi, sosial dan lingkungan) yang berlaku secara simultan yakni bahwa setiap kegiatan pembangunan haruslah layak secara ekonomi (economically viable), dapat diterima secara sosial (socially acceptable), serta ramah lingkungan (environmentally-friendly).

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses yang dinamis dari pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya, pemanfaatan teknologi untuk pembangunan, kelembagaan dan perubahan sosial budaya termasuk populasi, dan pembangunan investasi (ekonomi) untuk keharmonisan dan keseimbangan saat ini dan potensi masa depan dari kesejahteraan umat manusia. Empat prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu: (1) prinsip efisien dalam pemanfaatan sumberdaya, sumberdaya tidak boleh dieksploitasi tanpa pemanfaatan secara maksimal; (2) prinsip pemenuhan, yaitu pemanfaatan sumberdaya dibatasi hanya untuk kebutuhan yang tidak berlebihan dengan memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang; (3) prinsip konsistensi, yaitu subsistem harus dapat bersatu dengan subsistem lainnya tanpa ada yang merasa lebih ataupun kurang


(39)

dalam ekosistem dunia; (4) prinsip berhati-hati, yaitu adanya ancaman yang serius atau kerusakan yang tidak dapat diperbaiki jika pemanfaatan sumberdaya alam tidak hati-hati, dan kesenjangan atau keterbatasan ilmu pengetahuan jangan menjadi alasan untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan.

Munasinghe (1993) menyebutkan paradigma pembangunan berkelanjutan adalah dilihat dari tiga pilar yang saling berkaitan yaitu: tujuan ekonomi yang berkaitan dengan efisiensi dan pertumbuhan, tujuan ekologis yang berkaitan dengan pemeliharaan sumberdaya alam dan tujuan sosial yang berkaitan dengan hak kepemilikan dan keadilan.

2.2 Usaha Peternakan Sapi Perah Berwawasan Lingkungan

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1977 dikemukakan bahwa usaha peternakan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan menghasilkan ternak (ternak bibit atau ternak potong), telur, susu, serta usaha menggemukkan suatu ternak termasuk mengumpulkan, mengedarkan, dan memasarkannya. Usaha peternakan rakyat adalah suatu usaha di bidang peternakan yang dapat diselenggarakan sebagai usaha sampingan dan cabang usaha yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis maksimal jumlah minimum yang ditetapkan untuk perusahaan peternakan.

Pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan yang mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumberdaya alam untuk menopangnya. Mengacu pada definisi tersebut maka usaha peternakan sapi perah berwawasan lingkungan dapat didefinisikan sebagai kegiatan pembangunan peternakan sapi perah yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang menjamin keberlanjutan sumberdaya. Tidak tercemarinya lingkungan oleh limbah ternak dan optimalisasi pemanfaatan limbah ternak merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan peternakan yang berkelanjutan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mempunyai produksi ternak yang berkualitas tinggi, dapat mensejahterakan peternak dan menjaga kesehatan ternak, menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat, serta harus menjamin sumberdaya alam yang berkelanjutan.


(40)

Usaha sapi perah sebagai salah satu bentuk usaha perekonomian rakyat tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan. Djajadiningrat (1997) mengemukakan peran pendukung dari lingkungan alam dapat digolongkan dalam tiga kategori: (1) persediaan bahan baku; (2) wadah untuk limbah; dan (3) penyedia fasilitas. Keterkaitan ekonomi dengan lingkungan secara skematis digambarkan seperti tampak pada Gambar 2.

Ketika limbah dibuang ke dalam lingkungan dalam batas-batas tertentu dapat diassimilasikan oleh lingkungan dan mempertahankan mutu lingkungan; namun jika melebihi maka akan mengurangi kemampuan assimilasi hingga lingkungan tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai wadah pembuangan limbah, dan juga berarti tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai penyedia bahan baku dan fasilitas. Hal ini akan mengganggu kelancaran proses usaha dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Peternakan sapi perah yang berkelanjutan dengan perhatian ke arah pelestarian sumberdaya alam dan kesehatan masyarakat telah dikembangkan sejak tahun 1997 di Swedia yang dikenal dengan peternakan sapi perah organik. Adapun ciri-ciri peternakan sapi perah organik adalah: (1) mengutamakan

Sumber: Djajadiningrat (1997)

Gambar 2 Sistem ekonomi sederhana dengan lingkungan alam sebagai komponen integral.


(41)

pemberian hijauan pakan yang tinggi; (2) tersedianya lahan hijauan pakan atau padang pengembalaan; (3) mengutamakan keamanan dan kualitas air susu; dan (4) meningkatkan perilaku ternak secara alami (Cederberg dan Mattsson 2000).

Webster (2001) mengemukakan "lima kebebasan" sehubungan dengan kesejahteraan hewan, yaitu bahwa hewan harus bebas dari: (1) kehausan, kelaparan dan makanan yang tidak tepat; (2) ketidaknyamanan fisik dan fisiologis; (3) nyeri, cedera, penyakit; (4) takut, tertekan, stres kronis; (5) keterbatasan fisik mengekspresikan perilaku normal (Webster 2001, diacu dalam Noordhuizen et al.

2005). Noordhuizen et al. (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa dalam konteks perkembangan saat ini pada tingkat Uni Eropa dan pengecer Eropa dapat disimpulkan bahwa perlindungan konsumen dan keamanan pangan, telah menjadi gerakan yang paling relevan dalam kaitannya dengan produksi makanan berasal dari hewan. Kesehatan dan kesejahteraan hewan mengikuti sebagai prioritas berikutnya. Perlindungan di daerah ini diperlukan dan pertanggungjawaban atau jaminan produk harus dipaksakan. Peternak harus menunjukkan status peternakan mereka sehubungan dengan keamanan pangan dan kesehatan masyarakat serta kesehatan dan kesejahteraan hewan. Sehubungan dengan itu pula maka perlu ditetapkan lokasi yang sesuai dan memenuhi kebutuhan penting seperti dikemukakan Stirm et al. (2003) yaitu: (1) kemampuan pasokan air tawar; (2) ketersediaan lahan untuk pengelolaan limbah; (3) rata-rata harga susu; (4) kualitas pasokan air tawar; dan (5) kompleksitas hukum yang mengatur pengelolaan limbah.

Untuk bidang peternakan, istilah berkelanjutan diperlukan untuk menjamin produktivitas ternak, karena peternak kurang menyadari pentingnya menjaga kondisi lingkungan. Devendra (1994) menyatakan bahwa peternakan berkelanjutan penting untuk dikembangkan melalui teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas ternak tanpa merusak sumberdaya alam. Naipospos (2004) menyatakan bahwa peternakan yang berkelanjutan di Indonesia ternyata banyak mengalami permasalahan yaitu belum adanya pengaturan tata ruang atau kawasan peternakan secara wilayah atau nasional, sehingga kawasan peternakan sering tergusur. Hal ini menyebabkan ketidakpastian dalam usaha peternakan. Selain itu usaha peternakan yang kurang intensif dan tradisional masih tetap


(42)

berkembang pada beberapa wilayah di Indonesia. Tingkat produksi ternak dalam sistem ini ditentukan oleh ketersedian sumberdaya lokal. Peningkatan permintaan akan hasil ternak menyebabkan penggunaan sumberdaya yang dapat melampaui daya dukung wilayah tersebut. Untuk menjamin keberlanjutan pengembangan sistem budidaya sapi perah jangka panjang dan lintas generasi, maka penerapan konsep pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab dari generasi sekarang terhadap hak-hak generasi yang akan datang. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam suatu kegiatan pembangunan menjadi lebih komprehensif untuk menjelaskan pengertian dari suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan. Dengan demikian usaha ternak sapi perah berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi dari konsep pembangunan berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial-budaya.

2.2.1 Manfaat dan Pentingnya Usaha Peternakan Sapi Perah

Suzuki et al. (2005) mengemukakan bahwa usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu sektor yang paling diatur di banyak negara karena berbagai alasan. Pertama, susu secara historis telah dianggap sebagai produk makanan dasar, terutama untuk anak-anak. Kedua, susu merupakan produk dengan karakterisitik yang unik: bersifat bulky, mudah rusak, dan karena itu harus segera dibawa ke pasar untuk diolah dan didistribusikan. Ketiga, struktur pasar susu bersifat oligopsoni, artinya jumlah pembeli susu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penghasil susu. Dalam hal ini, para peternak berada dalam posisi sebagai price taker dan tidak memiliki kendali dalam menentukan harga susu yang mereka hasilkan. Keempat, perbedaan daya saing yang sangat besar pada tingkat global. Untuk menjaga harga susu dalam negeri, pemerintah memberlakukan kebijakan kuota impor dan tarif untuk menghindari masuknya susu impor dengan harga yang lebih murah ke pasar domestik. Kelima, kekuatan lobi secara politis. Para peternak sapi perah bergabung dalam koperasi, dimana koperasi memiliki pengaruh suara dalam proses legislasi atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Susu yang dihasilkan sapi perah telah diakui sebagai bahan pokok dari makanan manusia sejak revolusi pertanian sekitar 8000 SM. Susu adalah sumber utama kalsium dalam makanan, menyediakan lebih dari 70% kalsium tersedia


(43)

dalam pasokan makanan. Selain itu makanan susu menyediakan sejumlah besar nutrisi penting lainnya, termasuk kalium, fosfor, riboflavin, vitamin B12, protein, seng, magnesium, dan vitamin A (Huth et al. 2006).

Saat ini produksi susu nasional baru mencapai 30% konsumsi nasional. Produksi susu pada peternakan tradisional rata-rata hanya sekitar 8 sampai 10 liter per ekor per hari, padahal idealnya dapat mencapai sekitar 20 liter per ekor per hari. Bahkan di negara maju produksi susu rata-rata dapat mencapai lebih dari 30 liter per ekor per hari (Sembiring 2008). Sapi perah merupakan ternak yang sangat tepat untuk dikembangkan mengingat ternak tersebut dapat menghasilkan sekaligus dua produk utama yaitu susu dan daging. Sapi perah adalah paling efisien dalam mengonversi pakan menjadi produk pangan. Hal ini juga sangat sesuai dengan kondisi sekarang di mana banyak sekali terjadi kasus gizi buruk yang untuk pemulihan status gizi tersebut pemberian susu nampaknya paling tepat. Setiawati (2008) mengemukakan bahwa usaha budidaya sapi perah merupakan salah satu industri berbasis pedesaan dan padat karya sehingga dapat membangkitkan perekonomian masyarakat di pedesaan yang merupakan jumlah terbesar dari penduduk Indonesia. Prawiradiputra (2008) mengemukakan hal serupa bahwa dengan melaksanakan usaha budaya sapi perah, peternak bukan hanya memperoleh hasil penjualan dari susu segar yang dihasilkan setiap harinya tetapi juga mendapat hasil samping berupa ternak hidup (pedet dan induk afkir) dan pupuk kandang.

Aviliani (2008) mengemukakan bahwa peranan usaha sapi perah antara lain : (1) pembentukan produk domestk bruto (PDB) Nasional, (2) menaikkan net ekspor atau mengurangi net impor nasional, (3) penyerapan tenaga kerja, (4) penyediaan pangan nasional, (5) pemerataan pembangunan dan hasil pembangunan, serta (6) pelestarian lingkungan untuk menjamin sustainable development. Hasil samping lainnya yang dapat diperoleh dari peternakan sapi perah ialah feses, urin, dan sisa makanan yang dikonsumsi ternak. Jumlahnya kira-kira 30-40% dari unsur hara yang ditelan oleh sapi perah terdiri atas N, P, K, Na, Cl, Ca, dan unsur lain (Sarwono dan Arianto 2002). Selain itu kotoran ternak sapi perah mengandung gas metan yang dapat digunakan sebagai bahan energi. Pembuatan biogas merupakan proses biologis. Bahan dasar kotoran ternak yang


(1)

232 Lanjutan Lampiran 3

aux Pet_Sht = Kes_Pet*Jml_Pet_SP

doc Pet_Sht = jumlah peternak yang memiliki kesehatan baik

unit Pet_Sht = jiwa

aux PKPtPddk = Kes_Pet/Kes_Pddk

doc PKPtPddk = perbandingan kesehatan peternak terhadap penduduk

unit PKPtPddk = no unit

aux PP = Jml_Pet_SP*FPPP

doc PP = jumlah peternak pengelola pupuk

unit PP = jiwa

aux PPB = (PB/Jml_Pet_SP)*PBO

doc PPB = jumlah biogas yang terkelola

unit PPB = no unit

aux PPPBPBO = PPB/PBO

doc PPPBPBO = perbandingan jumlah biogas yang terkelola dengan biogas

yang dihasilkan dari sapi secara optimal

unit PPPBPBO = no unit

aux PPPtPddk = Pdk_Pet/Pdk_Pddk

doc PPPtPddk = perbandingan pendidikan peternak terhadap penduduk

unit PPPtPddk = no unit

aux RTH = ARTH*LAP

doc RTH = ruang terbuka hijau (RTH) minimal yang harus dimiliki

unit RTH = hektar

aux SLK = LAP-RTH-Penggunaan_Lahan_Total

doc SLK = sisa lahan yang dapat dikembangkan

unit SLK = hektar

aux Tot_Biaya = Tot_Sapi*Biaya

doc Tot_Biaya = Biaya rata-rata yang dikeluarkan dalam mengelola sapi per

tahun

unit Tot_Biaya = rupiah

aux Tot_Nilai_Jual = Tot_Sapi*NJS

doc Tot_Nilai_Jual = total nilai jual sapi

unit Tot_Nilai_Jual = rupiah

aux Tot_Sapi = SNP+SP

doc Tot_Sapi = jumlah total sapi (sapi perah dan non perah)

unit Tot_Sapi = ekor

const A_Keb_Lhn_PB = 0.0796

doc A_Keb_Lhn_PB = angka kebutuhan lahan permukiman dan bangunan

unit A_Keb_Lhn_PB = hektar per orang

const A_Keb_Lhn_S = 0.1

doc A_Keb_Lhn_S = angka kebutuhan lahan untuk sapi

unit A_Keb_Lhn_S = hektar per sapi

const ARTH = 0.3

doc ARTH = persentase minimal RTH suatu kawasan

unit ARTH = hektar

const Biaya = 7500 Lanjutan Lampiran 3


(2)

233

doc Biaya = Biaya rata-rata yang dikeluarkan dalam mengelola per ekor per

hari

unit Biaya = rupiah

const FBE = 0.92

doc FBE = nilai biogas terhadap elpiji

unit FBE = kg per hari

const FCH4 = 230

doc FCH4 = angka CH4 yang dikeluarkan sapi (liter per kilogram kotoran

sapi)

unit FCH4 = liter

const FIPd = 3000000

doc FIPd = angka penjualan anak sapi per ekor

unit FIPd = rupiah

const FKKS = 0.35

doc FKKS = fraksi limbah kotoran kering sapi yang dapat dimanfaatkan

menjadi pupuk

unit FKKS = no unit

const FKPB = 0

doc FKPB = fraksi berkurangnya jumlah peternak yang mengolah biogas

unit FKPB = no unit

const FKSNP = 0.0135

doc FKSNP = fraksi kematian sapi non perah

unit FKSNP = no unit

const FKSP = 0.0135

doc FKSP = fraksi kematian sapi perah

unit FKSP = no unit

const FP = 3.5

doc FP = jumlah pupuk yang dapat dimanfaatkan per sapi per hari

unit FP = kg per hari

const FPBO = 2

doc FPBO = fraksi biogas yang dihasilkan dari sapi

unit FPBO = m3 per hari

const FPL = 0.217

doc FPL = fraksi pengelola limbah pupuk dan biogas

unit FPL = no unit

const FPPddk = 0.6831

doc FPPddk = fraksi perilaku trhadap pendidikan

unit FPPddk = no unit

const FPPP = 0.35

doc FPPP = angka pertambahan jumlah peternak yang mengolah biogas

unit FPPP = no unit

const FPS = 9

doc FPS = produksi susu sapi perah per hari

unit FPS = liter

const HE = 6250

doc HE = prakiraan harga elpiji per kg


(3)

234 Lanjutan Lampiran 3

const HP = 1500

doc HP = perkiraan harga pupuk per kg

unit HP = rupiah per kg

const HPS = 3300

doc HPS = nilai jual produk dan jenis dari sapi susu

unit HPS = rupiah

const LAP = 215421

doc LAP = luas areal pengembangan yang menerapkan sapi perah

unit LAP = hektar

const Limbah_Sapi = 10

doc Limbah_Sapi = jumlah limbah per sapi per hari

unit Limbah_Sapi = kg per hari

const NJS = 6500000

doc NJS = rata-rata nilai jual sapi

unit NJS = rupiah

const NMK = 1

doc NMK = nilai maksimal kesehatan penduduk

unit NMK = no unit

const NMK_Pet = 1

doc NMK_Pet = nilai maksimal kesehatan peternak

unit NMK_Pet = no unit

const NMP = 1

doc NMP = nilai maksimal pendidikan penduduk

unit NMP = no unit

const NMP_Pet = 1

doc NMP_Pet = nilai maksimal pendidikan peternak

unit NMP_Pet = no unit

const Pglr_Pet = 757500

doc Pglr_Pet = Tingkat pengeluaran peternak untuk konsumsi rata-rata per

orang per bulan


(4)

Lampiran 4.


(5)

Lanjutan Lampiran 4.


(6)

Lanjutan Lampiran 4.