119
Tabel 27. Manfaat Ekonomi dari Pemanfaatan Hasil Alam di TWA Gunung Meja
Hasil Interaksi Produksi
KKTahun Harga
satuan Jumlah KK
Pemanfaat Total
Penerimaan 1. PerladanganKebun
Masyarakat
• Pertanian : Tanaman Sayuran
dan Ubi-ubian. • Tanaman
Holtikultura : Kakao, Kopi,
Kelapa dan Cengkeh.
• Buah-buahan : Langsat, Durian,
Rambutan, mangga, Alpokat,
Nangka dan Pisang
0,813 ton 0,46 ton
0,55 ton Rp. 5.000.000,-
Rp. 8.000.000,-
Rp. 5.000.000,- 33
10
30 Rp. 30.195.000,-
Rp. 36.800.000,-
Rp. 82.500.000,-
2. Pengambilan Kayu
• Kayu Bakar • Kayu Bangunan
• Kayu Non Bangunan
223 m
3
13 m
3
33 m
3
Rp. 30.000,- Rp. 500.000,-
Rp. 200.000,- 27
23 11
Rp. 180.630.000,- Rp. 149.500.000,-
Rp. 72.600.000,-
3. Top Soil dan Batu Karang
• Top Soil • Batu Karang
120 karung 100
Tumpukan Rp. 50.000,-
Rp. 100.000,- 15
5 Rp. 90.000.000,-
Rp. 50.000.000,-
Total Rp. 692.225.000,-
Sumber : Potret TWA Gunung Meja 2004
Berdasarkan tabel 26 terlihat bahwa total pemanfaatan hasil alam TWA Gunung Meja dari hasil kebunladang oleh masyarakat berupa pertanian, tanaman
holtikultura dan buah-buahan, pengambilan kayu berupa kayu bakar, kayu bangunan dan non bangunan, serta pengambilan top soil dan batu karang sebesar
Rp. 692.225.000,- per tahun. Pemanfaatan hasil alam di TWA Gunung Meja tersebut merupakan suatu
pelanggaran mengingat Gunung Meja merupakan kawasan lindung, sehingga kegiatan pemanfaatan dalam kawasan dianggap suatu kegiatan ilegal.
Pemanfaatan hasil alam oleh masyarakat masih terus berlangsung di dalam kawasan karena tekanan ekonomi, karena tidak ada alternatif kegiatan ekonomi
lainnya dimana kegiatan wisata di TWA Gunung Meja saat ini belum mampu
120
menjadi alternatif ekonomi bagi masyarakat. Selain itu, masalah kearifan lokal masyarakat yang menganggap Gunung Meja sebagai “Ayamfos” atau “Dapur
hidup” sehingga tingkat ketergantungan mereka terhadap hasil alam yang masih tinggi, meskipun pada tahun 2004 pemerintah sudah membayar kompensasi
kepada masyarakat terhadap hak ulayat mereka di Gunung Meja. Persoalan lain adalah tidak adanya blok atau zonasi khusus untuk pemanfaatan tradisional yang
seharusnya diperhatikan pemerintah dalam pembagian blok atau zonasi dalam kawasan konservasi. Berdasarkan pedoman pengembangan wisata alam di
kawasan Taman Wisata Alam Wahyuningsih, 2001 seharusnya dalam pembagian blok atau zonasi dalam kawasan Taman Wisata Alam untuk kegiatan
wisata alam, selain zona pemanfaatan untuk kegiatan wisata dan zona perlindungan, juga harus ada zona pemanfaatan tradisional yaitu kawasan yang
bisa digunakan oleh masyarakat lokal yang sudah bermukim sebelum kawasan tersebut dijadikan kawasan konservasi.
7.1.2. Pembuangan Sampah dalam Kawasan
Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Meja saat ini menjadi tempat pembuangan sampah liar. Ada beberapa kantong-kantong plastik besar berisi
sampah menumpuk di beberapa titik jalan aspal di kawasan TWA Gunung Meja dari daerah Sarinah hingga ke Kampung Ayambori di Distrik Manokwari Barat.
Tumpukan sampah juga terdapat di kawasan hutan TWA Gunung Meja, yaitu di sepajang jalan setapak dari pintu masuk Sarinah menuju daerah Amban.
Pembuangan sampah yang biasanya dilakukan pada malam hari bukan hanya dilakukan oleh warga Kota Manokwari tetapi juga oleh petugas kebersihan
di Manokwari. Hal ini diketahui karena beberapa waktu lalu warga Kampung Ayambori menemukan truk sampah milik Dinas Pekerjaan Umum Manokwari
akan membuang sampah ke hutan Gunung Meja. Menurut Polisi Kehutanan sekaligus Kepala Resort Manokwari Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Manokwari Papua Barat, perilaku membuang sampah di TWA Gunung Meja sudah berlangsung lama. Namun
sejauh ini upaya pencegahan hanya terbatas imbauan, belum ada tindakan tegas sehingga pembuangan sampah ke dalam kawasan sampai saat ini masih tetap
121
dilakukan. Hal ini tentunya akan mengurangi daya tarik dan estetika TWA Gunung Meja sebagai objek wisata alam.
7.1.3. Keterbatasan Fasilitas Umum dan Penunjang dalam Kawasan
Fasilitas umum dan penunjang dalam kawasan wisata merupakan salah satu faktor pendukung dalam berkembangnya suatu objek wisata. Salah satu faktor
yang menyebabkan kurangnya jumlah pengunjung ke TWA Gunung Meja dibandingkan dengan objek wisata lain seperti Pasir Putih dan Pantai Bakaro
adalah tidak tersedianya fasilitas umum dalam kawasan. Berdasarkan hasil survei terhadap wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut, fasilitas umum yang
tidak tersedia dalam kawasan namun sangat dibutuhkan oleh wisatawan adalah fasilitas MCK, tempat parkir, tempat pembuangan sampah, tempat istirahat, pusat
informasi dan tempat penjualan makanan. Selain tidak tersedianya fasilitas umum dan penunjang untuk kegiatan
ekowisata di kawasan TWA Gunung Meja, ada beberapa fasilitas yang sudah tersedia namun tidak dijaga dan dipelihara keberadaannya. Tugu Jepang sebagai
objek wisata dan situs bersejarah yang merupakan salah satu daya tarik kegiatan wisata di kawasan ini, saat ini dalam keadaan memprihatinkan karena tidak
dirawan dengan alasan kekurangan anggaran oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan anggaran untuk pemeliharaan dan pengembangan wisata di Manokwari sebagian
besar dialokasikan untuk objek wisata Pasir Putih. Selain itu, jalan setapak dalam kawasan, yaitu jalan yang menghubungi pintu masuk dari daerah Sarinah menuju
situs bersejarah Tugu Jepang dalam keadaan sangat parah. Hal ini menyebabkan beberapa masyarakat yang berniat mengunjungi Tugu Jepang melalui daerah
Sarinah harus melalui daerah Amban yang jaraknya jauh dari situs bersejarah, bahkan ada beberapa yang akhirnya mengurungkan niat untuk mengunjungi situs
bersejarah Tugu Jepang. Tidak adanya petugas yang berjaga dan memberikan informasi bagi
pengunjung di pintu masuk, merupakan salah satu kendala bagi wisatawan terutama bagi wisatawan asing atau wisatawan dari luar Manokwari serta
wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi kawasan tersebut untuk melakukan perjalanan wisata dalam kawasan. Bahkan pusat informasi yang
terletak disamping pintu masuk kawasan saat ini dalam keadaan rusak karena