Perkembangan Ekspor Indonesia Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia

254 tingkat kontribusi sebesar 49,83 yang kemudian diikuti oleh PR sebesar 34,91. Produk turunan dari kelapa sawit untuk bahan makanan terbesar di Indonesia adalah pada industri minyak goreng, sedangkan untuk non- makanan terbesar adalah pada industri farmasi dan tekstil sedangkan di Malaysia digunakan untuk membuat minyak RBD dan RBD Olein, kemudian diekspor ke pasar internasional.

8.4.3. Perkembangan Ekspor Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peranan sangat penting dalam perdagangan minyak sawit dunia. Saat ini Indonesia menempati urutan kedua setelah Malaysia sebagai eksportir minyak sawit. Dari tahun ke tahun, volume ekspor minyak sawit mengalami peningkatan, bahkan semenjak krisis ekonomi volume ekspor komoditi tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pesatnya ekspor minyak sawit Indonesia terjadi akibat lemahnya nilai tukar mata uang Indonesia terhadap mata uang dolar. Dengan melemahnya rupiah membuat pendapatan dari hasil jual ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan hasil jual di dalam negeri. Hal ini diakibatkan oleh selisih antara nilai tukar rupiah terhadap dolar yang cukup besar dibandingkan dengan menjual komoditi di dalam negeri. Hal ini jugalah yang mendorong para produsen untuk meningkatkan tingkat produksi minyak sawit, terutama untuk ekspor. Namun, tidak selamanya keuntungan tersebut dapat dinikmati mereka. Dari tahun ke tahun, volume ekspor memang mengalami peningkatan namun 255 tidak sejalan dengan nilai ekspor komoditi minyak sawit yang mereka peroleh. Volume ekspor CPO mengalami penurunan yang sangat tajam dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu tahun 1997. Pada tahun 1997, volume ekspor CPO mencapai 2.967.589 ton dengan nilai US 1.466.100.000. Sedangkan, pada tahun 1998 volume ekspor CPO mencapai 1.479.278 ton dengan nilai ekspor US 745.277.000. Artinya, volume ekspor antara tahun 1997 dan tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 1.488.311 ton. Salah satu penyebab hal ini terjadi adalah pemberlakuan kebijakan pemerintah berupa pajak ekspor dan pembatasan jumlah komoditi CPO untuk diekspor. Hal ini dilakukan pemerintah dengan alasan menjaga suplai dalam negeri agar dapat memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri. Selama ini, terutama semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia, para produsen lebih tertarik untuk menjual komoditinya ke pasar internasional dibandingkan dijual di dalam pasar domestik. Seperti yang sudah disinggung di atas, salah satu faktor pendorongnya adalah nilai tukar rupiah yang melemah yang menjadikan para pengekspor dapat menikmati keuntungan yang cukup besar. Penurunan volume tersebut tidak berlangsung lama, pada tahun berikutnya yaitu tahun 1999, volume ekspor kembali berhasil ditingkatkan dengan mencapai 3.298.987 ton dengan nilai US 1.114.242. Semenjak itu, volume ekspor CPO terus mengalami peningkatan hingga tahun 2005 yaitu dengan volume ekspor sebesar 10.375.792 ton dengan nilai US 3.756.557.000. Penjelasan ini dapat memperlihatkan kepada kita bahwa 256 secara kasat mata nilai ekspor mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya. Disisi lain, sebenarnya kenaikan nilai ekspor CPO tidak berbanding lurus dengan kenaikan yang dialami oleh volume ekspor. Ketidakselarasan ini diakibatkan harga CPO dunia mengalami fluktuatif. Pada tahun 1998, nilai ekspor sempat mengalami peningkatan, yaitu menjadi US 678ton di mana pada tahun 1997 mencapai US 545ton. Namun, pada tahun 1999 harga CPO dunia mengalami penurunan yang cukup tajam, yaitu mencapai US 438ton. Penulis memperkirakan bahwa penyebab peningkatan volume ekspor CPO tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai ekspor akibat harga CPO dunia yang diterima oleh para eksportir menurun akibat adanya pajak ekspor yang diterapkan pemerintah. Penurunan harga CPO yang diterima produsen berlangsung hingga tahun 2001, di mana pada tahun ini mencapai US 275ton. Pada tahun 2002, harga CPO yang diterima para eksportir kembali mengalami peningkatan, yaitu mencapai US 388ton. Peningkatan tersebut terus berlangsung hingga tahun 2005, yaitu mencapai US 482ton. Meskipun meningkat, namun nilai ekspor tidak berbanding lurus dengan peningkatan volume ekspor. Namun, dilihat dari segi volume ekspor, menunjukkan bahwa Industri Kelapa Sawit Indonesia lebih mengarah ke export oriented. Begitu juga dengan produk kelapa sawit berupa PKO, volume ekspor komoditi ini juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya meskipun volume ekspornya tidak sebesar CPO. Perkembangan volume dan nilai ekspor PKO dapat dilihat pada Tabel 66. 257 Indonesia mulai mengekspor PKO sejak tahun 1981. Sejak itulah, tingkat produksi PKO untuk ekspor mengalami peningkatan. Pada Tabel 66, penulis menunjukkan perkembangan volume ekspor PKO sejak tahun 1990. Pada Tabel tersebut dapat dilihat volume PKO terus meningkat hingga pada tahun 1997 dengan jumlah 502.979 ton dengan nilai sebesar US 294.255.000. Pada tahun 1998, volume ekspor mengalami penurunan, yaitu menjadi 347.009 ton dengan nilai US 195.477.000. Namun, pada tahun 1999 volume PKO dapat kembali ditingkatkan, yaitu menjadi 597.842 ton dengan nilai sebesar US 347.975.000. Pada tahun 2001 volume ekspor mengalami peningkatan sehingga mencapai angka 581.926 ton, namun tidak dengan nilai ekspornya, yaitu hanya mencapai angka US 146.259.000. Hal ini menjelaskan adanya peningkatan nilai ekspornya. Peningkatan yang cukup tajam terjadi pada tahun 2004, di mana pada tahun 2003 volume ekspor PKO mencapai 659.864 ton meningkat menjadi 904.327 ton dengan nilai sebesar US 502.681.000.

8.5. Analisis Deskriptif Industri Kelapa Sawit Indonesia