250
Dilihat dari kedua bentuk produk, PBN memiliki tingkat produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua jenis perkebunan lainnya.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pertanian, mengatakan bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan usia tanam yang sebagian besar
merupakan tanaman produktif usia matang. Selain itu, pola tanam yang dimiliki oleh PBN lebih baik dibandingkan dengan kedua perkebunan lainnya.
Sebahagin besar tanaman kelapa sawit yang dikelola oleh perkebunan rakyat sebagian besar masih berusia muda, sehingga produktivitas yang
dimiliki belum maksimal. Selain itu, pengelolaan yang dilakukan oleh perkebunan bersifat non-intensif, seperti rendahnya kualitas bibit serta
pemeliharaan dan pemupukan yang tidak memenuhi standar.
8.4.2. Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Tingkat produksi kelapa sawit, khususnya untuk produksi CPO, di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini terjadi akibat
lonjakan tingkat permintaan akan produksi CPO baik dalam pasar domestik maupun pasar internasional. Seperti yang kita ketahui, CPO merupakan
minyak sawit mentah yang digunakan sebagai bahan baku dari minyak goreng, sedangkan di pasar internasional CPO juga digunakan sebagai
bahan baku lainnya, seperti kosmetik, sabun, bahkan bahan bakar alternatif. Kelangkaan serta tingginya harga minyak dunia membawa pengaruh kepada
tingkat permintaan CPO. Akibat tingginya harga minyak dunia, membuat negara maju seperti Amerika Serikat untuk memproduksi biofuel, bahan
bakar alternatif pengganti BBM. Bahan baku pembuat biofuel itu adalah
251
CPO. Oleh sebab itu permintaan CPO kian meningkat dan membuat harga CPO dunia juga ikut meningkat.
Hal ini membuat Indonesia dan negara penghasil kelapa sawit, terutama CPO untuk meningkatkan hasil produksinya. Indonesia dari tahun
ke tahun terus mengalami peningkatan tingkat produksi, ditambah lagi sejak tahun 1980an dimana pada tahun ini perusahaan kelapa sawit dibagi ke
dalam tiga kelompok perusahaan, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta. Tingkat produksi kelapa sawit
tersebut dapat disimak melalui Tabel 65. Tabel 64. Tingkat Produksi CPO dalam Ton menurut Pengelola
Tahun 1980-2005
Tahun Tingkat Produksi
PR PBN
PBS TOTAL
1990 376.950 1.247.156
788.506 2.412.612
1991 413.319 1.360.363
883.918 2.657.600
1992 699.605 1.489.745 1.076.900
3.266.250 1993
582.021 1.469.156 1.370.272 3.421.449
1994 839.334 1.571.501 1.597.227
4.008.062 1995
1.001.443 1.613.848 1.864.379 4.479.670
1996 1.133.547 1.706.852 2.058.259
4.898.658 1997
1.282.823 1.586.879 2.578.806 5.448.508
1998 1.344.569 1.501.747 3.084.099
5.930.415 1999
1.547.811 1.468.949 3.438.830 6.455.590
2000 1.905.653 1.460.954 3.633.901
7.000.508 2001
2.798.032 1.519.289 4.079.151 8.396.472
2002 3.426.740 1.607.734 4.587.871
9.622.345 2003
3.517.324 1.750.651 5.172.859 10.440.834
2004 3.847.157 1.617.706 5.365.526
10.830.389 2005
4.500.769 1.449.254 5.911.592 11.861.615
2006 5.130.635 1.935.826 6.324.346
13.390.807 Sumber : Deptan, 2007.
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat produksi kelapa sawit untuk produk CPO terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya.
252
Secara total tingkat produksi Indonesia, pada tahun 2006 mencapai 13.390.807 ton. Diperkirakan tingkat produksi ini akan terus mengalami
peningkatan di tahun-tahun berikutnya. Hal ini dimungkinkan karena lahan yang memiliki tanaman belum menghasilkan yang masih luas.
Peranan perkebunan swasta dalam produksi CPO Indonesia terlihat paling besar, kemudian diikuti dengan PBN dan PR. Awalnya, pada tahun
1990, PBN memiliki kontribusi yang paling tinggi yaitu sebesar 52, kemudian diikuti PBS sebesar 32 dan 16 oleh PR. Namun, sejak tahun
1994, PBS memiliki kontribusi terbesar, yaitu sebesar 40, kemudian diikuti dengan PBN sebesar 39, dan PR sebesar 12.
Kontribusi PBS terlihat semakin mengalami peningkatan. Sedangkan kontribusi PBN mengalami penurunan dan kontribusi PR justru mengalami
peningkatan. Hal ini terlihat pada tahun 1999, kontribusi PBS sebesar 53, kemudian PR sebesar 24 dan PBN sebesar 23. Pada tahun 2000, PBS
mengalami sedikit penurunan dalam kontribusinya terhadap produksi CPO, namun tetap menjadi kontributor yang paling besar, yaitu sebesar 52.
Sedangkan di tahun yang sama, kontribusi PR sebesar 27 dan PBS sebesar 21. PBN terus mengalami penurunan dalam kontribusinya
terhadap produksi CPO, hingga pada tahun 2006 kontribusi PBN sebesar 15 sedangkan PBS sebesar 47 dan PR sebesar 38.
Di masa berikutnya PBS akan terus menjadi kontributor terbesar dalam produksi CPO Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena besarnya
peluang PBS untuk meningkatkan luas lahan perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan PBN. Padahal, awalnya tadi sudah disinggung bahwa
253
produktivitas PBN lebih tinggi dibandingkan dengan kedua jenis perkebunan lainnya. Apalagi, jika PBS meningkatkan produktivitas lahannya, maka
tingkat produksinya juga dapat ditingkatkan lagi. Begitu juga yang dialami oleh produk minyak inti sawit berupa PKO.
Meskipun tingkat produksi kelapa sawit untuk produk PKO tidak sebanyak produk kelapa sawit, tapi tingkat produksi PKO semakin tahun
memperlihatkan adanya peningkatan. Pada tahun 1990, total PKO Indonesia mencapai 503.803 ton dan
terus mengalami peningkatan hingga tahun 1996, yaitu menjadi 1.084.676 ton. Peningkatan ini terus terjadi hingga pada tahun 2005 jumlah produksi
PKO Indonesia mencapai 2.474.532 ton dan pada tahun 2006 mencapai 2.792.059 ton. Dalam memproduksi PKO, tentunya diproduksi oleh ketiga
jenis perkebunan, yaitu PBN, PBS dan PR. PBN pada awalnya, yaitu tahun 1990 menduduki posisi yang dominan
dalam memproduksi PKO, dengan kontribusi sebesar 49,51, kemudian diikuti dengan PBS sebesar 35,53 dan PR sebesar 14,96. Meskipun
tingkat produksi PKO Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ketahunnya, tetapi tingkat kontribusi PBN mengalami PBN mengalami
penurunan, tepatnya semenjak tahun 1996, yaitu sebesar 36,59. Sedangkan kontribusi PBS sebesar 41,89 dan PR sebesar 21,52.
Penurunan kontribusi PBN berjalan terus, hingga pada tahun 2006 PBN berkontribusi sebesar 15,25 terhadap produksi PKO Indonesia. Sedangkan
di tahun yang sama, PBS terus menjadi kontributor yang dominan, dengan
254
tingkat kontribusi sebesar 49,83 yang kemudian diikuti oleh PR sebesar 34,91.
Produk turunan dari kelapa sawit untuk bahan makanan terbesar di Indonesia adalah pada industri minyak goreng, sedangkan untuk non-
makanan terbesar adalah pada industri farmasi dan tekstil sedangkan di Malaysia digunakan untuk membuat minyak RBD dan RBD Olein, kemudian
diekspor ke pasar internasional.
8.4.3. Perkembangan Ekspor Indonesia