266
dalam industri ini, mereka lebih dapat memproduksi dengan biaya minimum dibandingkan dengan pamain pasar yang baru memasuki industri ini. Hal
inilah yang dapat menghambat pemain pasar tersebut untuk menguasai pasar. Berdasarkan teori ekonomi industri, berproduksi pada titik biaya
minimum memerlukan proses waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, meskipun jumlah perusahaan yang masuk ke dalam pasar bertambah
banyak, jika tidak dapat berproduksi dengan biaya minimum yang sama dengan pesaing yang sudah menguasai pasar sejak lama, maka para
pemain lama tersebut dapat lebih meningkatkan pangsa pasarnya.
Prosentase
Gambar 18. Grafik Tingkat Konsentrasi dan Skala Efisiensi Empat Perusahaan Terbesar Indonesia
8.5.3. Perilaku Industri Kelapa Sawit Indonesia
Perkembangan tingkat konsentrasi yang terbentuk pada industri kelapa sawit ini semakin meningkat seiring peningkatan pangsa pasar yang
267
dimiliki para perusahaan terbesar begitu juga dengan hambatan masuk yang juga meningkat bagi pemain baru untuk memasuki industri ini. Berdasarkan
teori SCP, dimana struktur pasar merupakan fungsi dari hambatan masuk dan tingkat konsentrasi, maka hasil penjelasan deskriptif diatas menandakan
bahwa struktur pasar yang terbentuk adalah struktur pasar oligopoli. Dengan struktur pasar yang oligopoli ini maka akan berpengaruh
kepada pembentukan harga oleh perusahaan-perusahaan yang ada. Sehingga, keuntungan yang mereka miliki dapat lebih tinggi lagi dan
menciptakan hambatan pemain baru lain untuk masuk. Struktur pasar yang oligopoli cenderung menciptakan perilaku kolusif
diantara perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang besar. Konsumsi terbesar komoditi kelapa sawit, khususnya CPO terjadi pada industri minyak
goreng. Hal ini terjadi akibat sebagian besar bahan baku minyak goreng adalah CPO. Harga minyak goreng Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini
mengalami fluktuasi. Alasan yang sering dikemukakan adalah jumlah komoditi kelapa sawit lebih banyak diprioritaskan sebagai komoditi ekspor
yang mengakibatkan suplai minyak sawit mentah untuk dalam negeri menjadi lebih sedikit.
Akibatnya, domestik mengalami kekurangan bahan baku minyak goreng. Secara teori ekonomi, tepatnya hukum penawaran, jika suplai
mengalami penurunan dengan keadaan tingkat permintaan yang berlebih, akan membuat harga menjadi lebih tinggi. Begitu juga yang terjadi pada
industri minyak goreng ini, akibat sebagian besar produksi CPO ditujukan untuk ekspor dan membuat sedikitnya jumlah CPO yang ditawarkan di dalam
268
negeri dan kurangnya kuantitas tersebut untuk memenuhi permintaan maka harga CPO menjadi naik. Naiknya harga CPO membuat biaya produksi
dalam menghasilkan minyak goreng menjadi ikut naik. Hal ini terjadi jika memang benar keadaan yang terjadi seperti apa
yang dijelaskan. Namun, berdasarkan data BPS, ditemukan data-data yang tidak menguatkan alasan tersebut. Penulis membandingkan ketiga data
sebagai bukti ketidakkuatan alasan yang selama ini sering terdengar oleh masyarakat Indonesia. Jika data ini valid, maka sesuai dengan mekanisme
pasar, harga minyak goreng menjadi lebih murah. Hal ini dapat dilihat melalui tabel 68.
Menurut data, bahwa pada tahun 1990-1996, Indonesia belum mengarah ke export oriented, hal ini terlihat pada jumlah ekspor CPO yang
lebih kecil dibandingkan jumlah CPO untuk domestik. Namun, sejak tahun 1997-2004, volume CPO untuk ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan
volume CPO untuk dalam negeri. Selain itu lahan perkebunan yang menghasilkan Tanda Buah Segar TBS meningkat yang menyebabkan
produksi CPO meningkat, tingginya ekspor juga dengan pejualan dari keuntungan yang diperoleh dari ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan
penjualan dari dalam negeri. Terlebih lagi pada tahun 1998, di mana terjadi puncak krisis moneter di Indonesia, yang menyebabkan nilai tukar rupiah
mengalami kelemahan, maka terjadi selisih antara nilai tukar rupiah dengan mata uang asing Dolar Amerika yang menyebabkan keuntungan yang
semakin tinggi.
269
Tabel 68. Tingkat Penawaran dan Ekspor CPO serta Permintaan CPO Oleh Industri Minyak Goreng tahun 1990-2004
Tahun Penawaran CPO
Ekspor CPO Permintaan Industri
Minyak Goreng
1990 1623,20
815,58 981,60
1991 1527,77
1167,70 1302,31
1992 2544,74
1030,30 1498,55
1993 1941,34
1632,00 1508,46
1994 2500,54
1631,20 1788,37
1995 3264,49
1265,00 2014,06
1996 3334,30
1671,96 2811,64
1997 2504,59
2967,59 3051,90
1998 4178,49
1479,28 3288,14
1999 2691,85
3298,99 3625,30
2000 2283,38
3937,82 3909,43
2001 3493,40
4903,22 4082,81
2002 3298,14
6333,71 3901,78
2003 4058,44
6386,41 3910,66
2004 3453,36
8661,65 4050,76
Sumber : BPS, 2005 Pada tahun 1990-1996 tingkat penawaran CPO untuk domestik lebih
besar dibandingkan dengan tingkat permintaan CPO domestik untuk Industri Minyak Goreng. Hal ini menunjukkan bahwa bahan baku penghasil minyak
goreng ini mengalami ekses penawaran yang sesuai dengan teorinya dapat terjadi penurunan harga pada bahan baku tersebut. Sehingga harga minyak
goreng dapat ditekan menjadi lebih murah. Namun, sesuai dengan data yang diperoleh, faktanya hukum tersebut seolah-olah tidak berlaku pada industri
kelapa sawit, khususnya CPO ini. Penulis membandingkan tingkat permintaan CPO untuk minyak
goreng domestik. Setelah dibandingkan ketiga variabel tersebut, ternyata tingkat harga minyak goreng domestik terus mengalami peningkatan dari
tahun 1990-1996 seiring dengan tingkat suplai yang melebihi tingkat permintaannya. Pada tahun 1990 harga minyak goreng domestik mencapai
270
tingkat harga sebesar Rp. 708,30kg, kemudian pada tahun 1991 mencapai Rp 822,60kg.
Pada tahun 1992, harga minyak goreng kembali mengalami peningkatan, yaitu menjadi Rp. 961kg. Hal ini terus terjadi hingga tahun
1996 dengan tingkat harga minyak goreng domestik sebesar Rp. 1.821kg. Berarti alasan yang sering terdengar bahwa meningkatnya harga minyak
goreng domestik akibat harga bahan baku yang meningkat yang disebabkan oleh ekses permintaan, tidak terbukti kebenarannya dalam industri kelapa
sawit Indonesia. Hal ini terjadi karena peningkatan ekses suplai akan komoditi CPO tahun 1990-1996 diikuti dengan peningkatan harga minyak
goreng domestik. Pada tahun 1998, harga minyak goreng mengalami peningkatan yang
sangat tajam, yaitu mencapai level Rp. 5.449kg. Jika dilihat dari segi excess demand, kenaikan harga yang terjadi sangat wajar akibat suplai CPO
domestik yang tidak mencapai kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng. Namun, sebenarnya hal yang sama terjadi pada tahun 1999 yang juga
terdapat kelebihan permintaan CPO. Tetapi tidak begitu adanya, yang terjadi malah penurunan harga.
Pada tahun 1999, harga minyak goreng adalah sebesar Rp.4.143kg. Hal ini terus terjadi hingga tahun 2003 dengan tingkat harga sebesar
Rp 4.625kg. Penulis mengasumsikan terjadinya penurunan harga ini akibat adanya kebijakan pemerintah dalam bentuk operasi pasar ataupun subsidi,
atau bisa saja terjadi akibat penggunaan kelebihan bahan baku CPO untuk minyak goreng pada tahun sebelumnya. Namun, ketika penulis mencoba
271
membandingkan perkembangan harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional, timbul suatu kecurigaan adanya dugaan perilaku
kartel dalam industri kelapa sawit Indonesia ini. Berikut Tabel 70 tentang perkembangan harga CPO internasional dan harga minyak goreng domestik.
Dengan membandingkan harga CPO internasional dengan harga minyak goreng domestik, terlihat sejak tahun 1997-2004 terjadi pergerakan
yang searah dan sebanding antara kedua tingkat harga tersebut, padahal, jika dilihat dari segi penawaran dan permintaan akan CPO ini, seharusnya
hal ini lebih mempengaruhi tingkat harga yang terbentuk dalam pasar domestik. Ternyata yang ditemukan oleh penulis adalah adanya pergerakan
yang searah dan sebanding antara harga minyak goreng domestik dengan harga CPO internasional. Sehingga, harga minyak goreng tidak terbentuk
berdasarkan permintaan dan penawaran menurut mekanisme pasar. Dengan melihat data tersebut, penulis menduga adanya unsur perilaku kartel yang
terbentuk pada Industri Kelapa Sawit ini. Sebenarnya, Indonesia mengalami peningkatan produksi sekitar bulan
Juni dan Juli setiap tahunnya, yang dikarenakan musim panen pada bulan ini, ditambah lagi semenjak November curah hujan tinggi dan turunnya hujan
mempengaruhi jumlah produksi kelapa sawit. Sehingga tingkat produksi kelapa sawit bertambah, seharusnya keadaan ini dapat memenuhi
permintaan domestik dan membuat harga minyak goreng tetap melambung tinggi. Pada tahun 2007, harga minyak goreng domestik bahkan mencapai
angka Rp. 9.000 – Rp. 11.000,-kg, sedangkan harga internasional CPO adalah US 750 Agustus 2007. Dibandingkan dengan harga internasional
272
CPO tahun tersebut harga CPO tahun lalu adalah sebesar US 500. Kenyataan inilah yang membuat penulis menduga adanya unsur kartel dalam
industri ini. Terlebih lagi teori ekonomi industri, struktur pasar yang oligopoli cenderung membentuk perilaku kolusif.
Tabel 69. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga Internasional CPO tahun 1990-2004
Tahun Harga Minyak
Goreng Rupiah
Harga Internasional USD 1990
708,30 279,88
1991 822,60
333,03 1992
961,40 290,75
1993 987,70
406,85 1994
1250,00 524,55
1995 1463,00
648,95 1996
1821,40 531,81
1997 2000,00
545,03 1998
5449,12 678,13
1999 4143,58
438,39 2000
3418,54 310,44
2001 3527,27
275,66 2002
4337,99 388,89
2003 4625,76
447,61 2004
4905,99 482,19
Sumber : Deperindag, 2005.
Berdasarkan Tabel 69, harga CPO internasional dengan harga minyak goreng domestik diatas, harga CPO internasional mengalami peningkatan
yang tidak signifikan. Sedangkan, harga minyak goreng domestik mengalami gejolak harga yang berfluktuatif. Penulis menduga kartel yang terbentuk lebih
mengarah kepada kartel output dibandingkan dengan kartel harga. Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan volume produksi. Namun
ternyata, 80 dari total keseluruhan produksinya, masih merupakan
273
Rp USD
gabungan dengan industri sawit Malaysia. Hal inilah yang melatarbelakangi Indonesia mau berkartel dengan Malaysia.
Gambar 19.
Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga CPO Internasional Tahun 1990-2004
Indonesia takut jika tidak melakukan kartel dengan Malaysia, karena akan mencabut investasinya dari Indonesia yang pada akhirnya akan
mengurangi volume produksi kelapa sawit yang dapat dihasilkan. Hal ini dapat menyebabkan keuntungan yang diperoleh Indonesia jadi menurun.
Begitu juga dengan Malaysia, negara jiran ini takut jika tidak melakukan kesepakatan dengan Indonesia akan membuka peluang Indonesia untuk
mengalahkan Malaysia. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki potensi untuk memperluas lahan untuk penanaman kelapa sawit, sedangkan Malaysia
tidak, akhirnya kartel terbentuk diantara keduanya.
274
Kartel yang terbentuk dalam bentuk penetapan jumlah output bersama, Malaysia dan Indonesia bersama-sama menentukan jumlah
output yang diproduksi. Tentunya, hal ini mengakibatkan jumlah output yang diproduksi menjadi lebih sedikit dibandingkan jika mereka tidak berkolusi dan
mengakibatkan jumlah yang diproduksi lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat permintaannya. Hal ini berdampak pada industri hilir yang
menggunakan bahan baku CPO, akibatnya harga internasional menjadi mahal. Perilaku kolusif berbentuk kartel ini menurut penulis tidak
mempengaruhi kestabilan harga minyak goreng domestik di Indonesia dan secara tidak langsung justru menguntungkan industri sawit Malaysia.
8.5.4. Kinerja Industri Kelapa Sawit Indonesia