274
Kartel yang terbentuk dalam bentuk penetapan jumlah output bersama, Malaysia dan Indonesia bersama-sama menentukan jumlah
output yang diproduksi. Tentunya, hal ini mengakibatkan jumlah output yang diproduksi menjadi lebih sedikit dibandingkan jika mereka tidak berkolusi dan
mengakibatkan jumlah yang diproduksi lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat permintaannya. Hal ini berdampak pada industri hilir yang
menggunakan bahan baku CPO, akibatnya harga internasional menjadi mahal. Perilaku kolusif berbentuk kartel ini menurut penulis tidak
mempengaruhi kestabilan harga minyak goreng domestik di Indonesia dan secara tidak langsung justru menguntungkan industri sawit Malaysia.
8.5.4. Kinerja Industri Kelapa Sawit Indonesia
Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dalam industri kelapa sawit ini sebenarnya lebih dirasakan oleh para pengusaha yang berkecimpung di
Industri kelapa sawit ini. Terlebih lagi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa struktur pasar yang terbentuk oleh Industri ini
berdasarkan pengamatan tingkat struktur pasar terbentuk, maka industri ini tergolong oligopoli bahkan mendekati monopoli. Seperti yang telah
dikemukakan oleh Bain, bahwa semakin mengarah ke monopoli semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh. Penulis mencoba menjelaskan
pernyataan yang dikemukakan oleh Bain tersebut melalui grafik berikut dengan membandingkan pergerakan keuntungan dengan tingkat
konsentrasi. Di mana, PCM digunakan sebagai proksi dari keuntungan tersebut dan CR4 sebagai tingkat konsentrasi industri kelapa sawit.
275
Secara rata-rata pergerakan PCM dengan CR4 memiliki hubungan yang positif antara tahun 1990 dengan 1993, tingkat konsentrasi mengalami
penurunan yang awalnya mencapai 0,85 menjadi 0,63, begitu juga antara tahun 1995 dengan 1999, terjadi peningkatan konsentrasi dari 0,56 menjadi
0,69. Hingga pada tahun 2000, tingkat konsentrasi mencapai tingkat 0,72. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan PCM, artinya terbukti CR4 memang
mempengaruhi tingkat keuntungan yang terjadi pada industri ini. Ini artinya, teori Bain dalam industri kelapa sawit Indonesia terbukti kebenarannya.
Tingkat konsentrasi semakin tinggi membuat struktur pasar industri kelapa sawit ini menunjukkan struktur pasar yang oligopoli yang mendorong
terbentuknya perilaku kolusif yang menjadikan mereka bertindak selayaknya pelaku pasar monopoli yang kemudian mengakibatkan keuntungan yang
tercapai juga meningkat. Menurut pemikiran penulis, masalah struktur pasar terkonsentrasi
tidak selamanya menjadi masalah bagi industri. Jika suatu industri menunjukkan adanya keuntungan yang besar didalamnya, maka hal ini justru
akan menarik para pemain baru untuk ikut masuk ke dalam industri tersebut. Apalagi, didukung dengan pasar kelapa sawit yang terus mengalami
pengembangan dengan adanya tingkat permintaan yang meningkat serta tingkat produksi yang juga meningkat. Akibatnya banyak pemain baru yang
tertarik untuk melakukan bisnis ini. Akhirnya, struktur pasar yang tadinya hanya dikuasai oleh beberapa
perusahaan menjadi semakin berkurang dan menimbulkan adanya persaingan dalam pasar. Tingginya tingkat konsentrasi juga tetap bisa
276
terjadi, namun yang berada pada CR4 ini merupakan perusahaan- perusahaan yang berganti-ganti akibat kehebatan dan keunggulannya dalam
berproduksi dan penggunaan teknologinya. Berarti peningkatan tingkat konsentrasi sebenarnya juga bisa membuat struktur pasar menciptakan
adanya persaingan di dalam industri tersebut. Penulis beranggapan tingkat konsentrasi yang tinggi bukan berarti tingkat kompetisi antara pesaing hilang
selama tidak ada hambatan masuk. Oleh sebab itu, jika tingkat yang semakin tinggi mendorong
terciptanya iklim persaingan di industri kelapa sawit, maka seharusnya keuntungan yang dirasakan akan menurun seiring peningkatan tingkat
konsentrasi tersebut akibat adanya persaingan. Selain itu, kondisi ini akan membuat pasar menjadi lebih seimbang akibat menurunnya kecenderungan
monopoli. Namun, berhubung industri kelapa sawit menunjukkan adanya arah yang positif antara PCM dengan CR4, maka perilaku yang terduga kuat
adalah terdapat perilaku kolusi di antara para pesaing di industri ini. Sehingga hal ini mengakibatkan minimnya persaingan yang terjadi pada
industri ini. Pergerakan yang searah antara PCM dan CR4 yang telah disajikan sebelumnya, menunjukkan bahwa perilaku kolusi yang terdapat di
industri ini yang membuat para pesaingnya berperilaku selayaknya monopoli sehingga dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi.
Menurut penulis, kinerja industri kelapa sawit dapat lebih tinggi lagi. Indonesia termasuk pemasok CPO terbesar di dunia. Di sisi Industri Hulu,
Indonesia bisa menciptakan produksi kelapa sawit dengan jumlah yang tinggi. Selain itu, perluasan lahan yang dilakukan Indonesia serta
277
peningkatan jumlah produksi menunjukkan adanya pengembangan di sektor hulunya. Namun, tidak dengan sektor hilir yang tidak mengalami
perkembangan yang nyata. Sebagian besar CPO domestik, yaitu sebesar 79 digunakan untuk industri minyak goreng. Sedangkan Indonesia
mengekspor sebagian besar volume CPOnya ke pasar internasional. Seharusnya, Indonesia mengembangkan industri hilirnya juga agar dapat
menciptakan nilai tambah dari CPO yang dihasilkan di sektor hulu. Menurut teori ekonomi industri oleh Martin, 1993, keuntungan bisa
ditingkatkan dengan melakukan diferensiasi produk. Oleh sebab itu, seharusnya penggunaan CPO tidak hanya digunakan untuk minyak goreng.
Namun lebih dikembangkan lagi ke sektor lain, seperti sabun, biofuel, kosmetik, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Malaysia, negara ini
tidak sepenuhnya mengekspor hasil CPO ke luar negeri, melainkan sebahagin diolah menjadi bahan jadi untuk kebutuhan domestik maupun
ekspor. Sehingga, hal ini membuat Malaysia tidak mengalami gejolak harga minyak goreng dalam negerinya seperti apa yang dialami oleh Indonesia.
Malaysia dalam mengembangkan industri hilirnya dengan mengolah produk hulunya menjadi bernilai tinggi, membuat negeri jiran ini
meningkatkan keuntungan industri kelapa sawitnya. Selain itu, tingkat produksi Malaysia bisa tetap lebih tinggi ketimbang Indonesia yang memiliki
lahan lebih melimpah dan tenaga kerja yang banyak adalah tingkat produktivitas Malaysia yang berjumlah 3,21 tontahun dengan 422 pabrik
pengolahan. Sedangkan Indonesia tingkat produktivitasnya hanya sebesar 2,5 ton CPOtahun dengan 323 pabrik pengolahan. Perbedaan itu juga yang
278
membuat Malaysia dapat menggunakan 87 kapasitas terpasang pabrik yang mencapai 86 juta ton TBStahun, sedangkan Indonesia 65 ton
TBStahun. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 70 dan Tabel 71.
8.5.5. Kontribusi Industri Kelapa Sawit pada Perekonomian Indonesia