Tingkat Kesejahteraan Petani Malaysia dan Indonesia

234 Berkembangnya Industri hilir minyak sawit Malaysia memacu naiknya ekspor produk minyak sawit mentah Malaysia, di mana volume ekspor oleokimia Malaysia sebesar 2,4 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US 1.1 juta. Sedangkan di Indonesia, volume ekspor oleokimia sebesar 0,82 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US 0,24 juta. Hal ini menunjukkan strategi Malaysia dalam mengekspor produk kelapa sawit dengan cara mendiferensiasi produknya merupakan hal yang tepat dalam menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Sedangkan Indonesia lebih banyak menjual produk kelapa sawit mentah, jika pasar internasional berfluktuatif tidak memberi pengaruh yang signifikan kepada industri kelapa sawit Indonesia.

8.1.3. Tingkat Kesejahteraan Petani Malaysia dan Indonesia

Dilihat dari segi kesejahteraan petani Malaysia dan Indonesia, terlihat pada Tabel 62. bahwa petani Malaysia lebih sejahtera. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu, jumlah kepemilikan lahan rata-rata petani sawit Malaysia lebih besar dari pada di Indonesia, tingkat produktivitas CPO, dan harga yang diterima oleh petani. Pertama, petani Malaysia secara rata-rata memiliki lahan perkebunan sebesar 4,5 ha, sedangkan petani Indonesia hanya 2 ha. Kedua, tingkat produktivitas CPO Malaysia adalah sebesar 4.08 tonHatahun, sedangkan Indonesia sebesar 3,14 tonhatahun. Ketiga, harga TBS dari harga CPO yang diterima petani Malaysia lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yaitu sebesar 90, sedangkan petani Indonesia hanya sebesar 83. Hal ini pada akhirnya menyebabkan pendapatan rata- rata petani menjadi lebih besar dibandingkan petani Indonesia, yaitu sebesar 235 US 570hatahun, sedangkan petani Indonesia sebesar US 533 hatahun. Sehingga jika dibandingkan kembali dengan kepemilikan lahan perkebunan, maka satu orang petani malaysia memperoleh pendapatan rata-rata sebesar US 2.542tahun, sedangkan pendapatan petani Indonesia lebih rendah hanya sebesar US 1.066tahun. 8.2. Kebijakan yang berkembang pada Industri Kelapa Sawit Malaysia Kinerja industri kelapa sawit baik di Malaysia maupun di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan yang diterapkan pada industri ini, tentunya kebijakan yang dibuat haruslah mendukung industri kelapa sawit tersebut, bukan sebaliknya, malah menjadi bumerang bagi industri tersebut. Pengelolaan Industri sawit Malaysia berdasarkan pada hukum yang kuat untuk mewujudkan rencana kebijakan pembangunan pertanian nasional “The Third National Agricultural Policy 1992-2010” dan master plan prerencanaan industri “Second Industrial Master Plan 1996-2005”. Sejak tahun 2001, Malaysia tidak lagi menerapkan pajak ekspor. Hal ini dilakukannya guna meningkatkan daya saing industri kelapa sawit Malaysia dengan negara lain. Selain itu, Malaysia juga memfasilitasi kebijakan counter trade guna mendorong ekspor, juga menerapkan kebijakan yang mempermudah para importir untuk melakukan impor dari Malaysia. Kebijakan tersebut dikenal dengan nama POCPA atau Palm Oil Credit and Payment Arrangement. Kebijakan ini mengizinkan para importir dalam mengimpor komoditi kelapa sawit, terutama produk CPO secara kredit. Perjanjian tersebut akan disepakati oleh pemerintah Malaysia dengan 236 pemerintah negara pengimpor, antara Bank Negara Malaysia dengan bank sentral negara pengimpor yang bersangkutan, serta antara eksportir dengan importir dari negara importir yang bersangkutan. Kebijakan tersebut dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh dukungan dari tiga kelembagaan yang bergerak dibidang perkelapasawitan Malaysia. Kelembagaan tersebut adalah PORLA atau Palm Oil Registration and Licencing Authority, PORIM atau Palm Oil Research Institute of Malaysia, kemudian digabung menjadi MPOB atau Malaysian Palm Oil Board dan MPOPC atau Malaysian Palm Oil Promotion Council. Ketiga lembaga ini memiliki tugas masing-masing. PORLA khusus menangani pelaksanaan perjanjian, produksi, transportasi, penyimpanan, penjualan, maupun ekspor. Sedangkan PORIM memiliki tugas untuk penelitian dan pengembangan, dan MPOPC berperan dalam bidang promosi, advokasi, dan public relation. Ketiga lembaga ini dibiayai oleh dana yang diperoleh melalui CESS, di mana 5,0 RM untuk PORIM, 1,75 RM untuk PORLA, dan 1 RM untuk MPOPC. Bahkan pada tahun terakhir ini MPOB mendapat RM 13 per ton ekspor CPO keluar negeri. Dari segi dana, terlihat Malaysia sangat perhatian terhadap penelitian dan pengembangan. Ini memang sesuai dengan perkembangan teori ekonomi yang menyatakan RD sangat menunjang kemajuan suatu bisnis, dalam kasus ini adalah industri kelapa sawit. Dengan RD, suatu industri semakin tahu bagaimana memproduksi suatu barang dan jasa dengan cara yang terbaik dalam memenuhi kebutuhan konsumen, serta menggunakan teknologi yang up-to-date. Seperti yang kita ketahui teknologi mengalami perubahan dan pengembangan yang 237 begitu cepat. Jika suatu industri hanya menggunakan teknologi yang itu-itu saja maka pertumbuhan industri tersebut akan terhambat. Kebijakan yang diharapkan Malaysia sangatlah solid dibandingan Indonesia.

8.3. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Malaysia