Kontribusi Industri Kelapa Sawit pada Perekonomian Indonesia

278 membuat Malaysia dapat menggunakan 87 kapasitas terpasang pabrik yang mencapai 86 juta ton TBStahun, sedangkan Indonesia 65 ton TBStahun. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 70 dan Tabel 71.

8.5.5. Kontribusi Industri Kelapa Sawit pada Perekonomian Indonesia

Industri minyak nabati, salah satunya adalah kelapa sawit mendorong perekonomian Indonesia. Sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar. Selain itu, komoditi ini menghadapi permintaan dengan jumlah yang selalu meningkat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 1990 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 2.273 orang, sedangkan pada tahun 1993 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 3.854 orang. Pada tahun 1995 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 7.674 orang, kemudian meningkat pada tahun 1999 menjadi 9.232 orang. Namun, pada tahun 2000 tenaga kera yang terserap hanya sebanyak 6.260 orang. Hal ini diakibatkan keadaan ekonomi Indonesia yang sedang dilanda krisis. Nilai tukar rupiah yang jatuh, dan harga barang yang mengalami peningkatan sehingga membuat tingkat upah juga menjadi mahal. Akibatnya, untuk menekan biaya produksi, perusahaan-perusahaan kelapa sawit terpaksa merumahkan beberapa pekerjanya. Namun pada tahun 2005 jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebanyak 170.060 orang untuk industri pengolahan kelapa sawit, sedangkan untuk industri minyak goreng adalah sebanyak 37.621 orang. Perusahaan pengolahan kelapa sawit dengan jumlah sebanyak 58 perusahaan. Begitu juga dengan industri minyak goreng, jumlah perusahaan terbanyak terdapat di Sumatera Utara dengan jumlah sebanyak 57 perusahaan. 279 280 281 Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang terserap, maka tingkat pengangguran menjadi menurun. Penurunan tingkat pengangguran menandakan peningkatan pada individu yang berpendapatan. Oleh karena itu pembeli potensial dalam artian pembeli yang memiliki daya beli menjadi meningkat. Sehingga, tingkat kemiskinan menjadi menurun dan perekonomian juga akan membaik. Diharapkan untuk tahun selanjutnya jumlah tenaga kerja kelapa sawit dapat ditingkatkan kembali. Jika tenaga kerja semakin banyak terserap maka akan dapat mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia. Selain dilihat dari sisi tenaga kerja yang terserap, industri ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan Peningkatan yang tajam terlihat adalah pada tahun 1998, yaitu mencapai Rp. 4.940.692kapita. Dengan melihat data yang ada, penulis menduga peningkatan pendapatan per kapita yang begitu pesat ini akibat terjadinya nilai tukar rupiah yang lemah yang membuat jumlah CPO yang diekspor menghasilkan devisa yang cukup tinggi meskipun yang diekspor hanya dengan jumlah 1.479.280 ton. Sedangkan penawaran untuk domestik sebanyak 4.178.490 ton dan ini melebihi tingkat permintaan CPO pada industri minyak goreng. Akibat kelebihan penawaran CPO di pasar domestik membuat harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih murah. Oleh karena itu, penulis memperkirakan hal inilah yang membuat pendapat per kapita dari industri ini meningkat, yaitu akibat tingginya pendapatan devisa. Penulis menduga bahwa akibat fakta ini, pemerintah yang awalnya menetapkan kebijakan kuota ekspor CPO mengalami dilema, dan akhirnya memperlonggar kebijakan tersebut hingga membuat volume ekspor menjadi 282 lebih tinggi dibandingkan penawaran CPO pada pasar domestik. Hal ini terbukti, dengan adanyan peningkatan volume ekspor CPO, pendapatan per kapita semakin meningkat. Terlebih lagi dengan adanya penawaran domestik yang tidak memenuhi kebutuhan tingkat permintaan domestik, mengakibatkan harga bahan baku minyak goreng ini menjadi lebih mahal. Contohnya saja pada tahun 2004, tingkat permintaan CPO untuk minyak goreng adalah sebesar 4.050.760 ton, sedangkan penawaran domestiknya hanya sekitar 3.453.000 ton di mana penawaran untuk ekspor sebesar 8.661.650 ton. Dengan keadaan seperti itu, pendapatan per kapita pada industri kelapa sawit menjadi lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 10.571.442. Keadaan inilah menurut penulis yang membuat pemerintah Indonesia semakin mengizinkan peningkatan volume CPO untuk diekspor.

8.6. Analisis Ekonometrika SCP Industri Sawit Indonesia