Industri Hilir dan Diferensiasi Produk

307 Oleh sebab itu, jika tingkat yang semakin tinggi mendorong terciptanya iklim persaingan di industri kelapa sawit, maka seharusnya keuntungan yang dirasakan akan menurun seiring peningkatan tingkat konsentrasi tersebut akibat adanya persaingan. Selain itu, kondisi ini akan membuat pasar menjadi lebih seimbang akibat menurunnya kecenderungan monopoli. Namun, berhubung industri kelapa sawit menunjukkan adanya arah yang positif antara PCM dengan CR4, maka perilaku yang diduga kuat terdapat perilaku kolusi di dalam negeri adalah benar yaitu pada tingkat pembeli buyers market di antara para pesaing di industri ini.

9.1.4. Industri Hilir dan Diferensiasi Produk

Menurut penulis, kinerja industri kelapa sawit Indonesia dapat lebih tinggi lagi. Indonesia termasuk pemasok CPO terbesar di dunia. Di sisi Industri hulu, Indonesia bisa menciptakan produksi kelapa sawit dengan jumlah yang beragam dengan nilai tambah yang tinggi. Selain itu, perluasan lahan yang dilakukan Indonesia serta peningkatan jumlah produksi menunjukkan adanya pengembangan di sektor hulunya. Namun, tidak diikuti dengan sektor hilir yang tidak mengalami perkembangan yang nyata. Sebagian besar CPO domestik, yaitu sebesar 79 digunakan untuk industri minyak goreng. Sedangkan Indonesia mengekspor sebagian besar volume CPOnya ke pasar internasional. Seharusnya, Indonesia mengembangkan industri hilirnya juga agar dapat menciptakan nilai tambah dari CPO yang dihasilkan di sektor hulu. Untuk lebih jelas dapat dilihat perbandingan nilai ekspor minyak sawit Malaysia dan produk turunannya dengan nilai ekspor 308 Minyak sawit dan produk turunan Indonesia pada Gambar 21 dan Gambar 22. Gambar 21. Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Produk turunan Indonesia Tahun 1990-2007 dalam USD ribu. Dari Grafik 20 dapat dilihat bahwa nilai ekspor minyak sawit dan produk turunan Indonesia dari tahun 1980 terus menunjukkan kenaikan dari USD 2 540 juta menjadi nilai ekspor USD 9 045 juta pada tahun 2007. Sebagai pembanding, nilai ekspor minyak sawit dan produk turunan sawit Malaysia lebih dari dua kali lipat dari nilai ekspor minyak sawit dan produk turunan sawit Indonesia yaitu USD 3.2 juta pada tahun 1997 naik menjadi USD 21.1 juta pada tahun 2008. - Ekspor CPO USD ribu 309 Gambar 22. Perkembangan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Produk turunan Malaysia Tahun 1990-2007 dalam USD ribu. Menurut teori ekonomi industri oleh Martin, 1993, keuntungan bisa ditingkatkan dengan melakukan diferensiasi produk. Oleh sebab itu, seharusnya penggunaan CPO tidak hanya digunakan untuk minyak goreng. Namun lebih dikembangkan lagi ke sektor lain, seperti sabun, biofuel, kosmetik, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan Malaysia, negara ini tidak sepenuhnya mengekspor hasil CPO ke luar negeri, melainkan sebagian besar diolah menjadi bahan jadi untuk kebutuhan domestik maupun untuk diekspor. Sehingga, hal ini jugalah yang membuat Malaysia tidak mengalami gejolak harga minyak goreng dalam negerinya seperti apa yang dialami oleh Indonesia. - Ekspor CPO USD ribu 310 Malaysia dalam mengembangkan industri hilirnya dengan mengolah produk hulunya menjadi bernilai tinggi, membuat negeri jiran ini meningkatkan keuntungan industri kelapa sawitnya. Selain itu, tingkat produksi real Malaysia bisa tetap lebih tinggi ketimbang Indonesia yang memiliki lahan lebih melimpah dan tenaga kerja yang banyak adalah tingkat produktivitas Malaysia yang berjumlah 3,21 tontahun dengan 422 pabrik pengolahan. Sedangkan Indonesia tingkat produktivitasnya hanya sebesar 2,5 ton CPOtahun dengan 323 pabrik pengolahan. Perbedaan itu juga yang membuat Malaysia dapat menggunakan 87 kapasitas terpasang pabrik yang mencapai 86 juta ton TBStahun, sedangkan Indonesia 65 ton TBStahun.

9.2. Model Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia