Berbasis Ketenagakerjaan Berbasis Nilai Ekspor Kebutuhan akan HKI tidak terlalu penting, piracy bukan ancaman Peningkatan kapasitas industri fesyen non mass production, khususnya pada aspek

183

II. K

ONTRIBUSI E KONOMI S UBSEKTOR I NDUSTRI F ESYEN Kontribusi ekonomi Subsektor industri Fesyen ini dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 10 Kontribusi Ekonomi Subsektor Industri Fesyen Indikator Satuan 2002 2003 2004 2005 2006 Rata ‐rata 1. Berbasis Produk Domestik Bruto PDB a. Nilai Tambah Miliar Rupiah 46.853 44.227 47.038 47.233 45.804 46.231 b. Nilai terhadap Industri Kreatif Persen 45,89 44,13 43,39 43,87 43,71 44,18 c. Pertumbuhan Nilai Tambah Persen ‐ ‐5,60 6,35 0,42 ‐3,03 ‐0,47 d. Nilai terhadap Total PDB Persen 3,11 2,80 2,84 2,70 2,48 2,79

2. Berbasis Ketenagakerjaan

a. Jumlah Tenaga Kerja Orang 3.005.010 2.550.826 3.030.107 2.827.498 2.623.675 2.807.423 b. Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Terhadap Industri Kreatif Persen 51,26 50,45 51,81 53,00 53,52 51,98 c. Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Terhadap Total Pekerja Persen 3,28 2,81 3,23 2,98 2,75 3,01 d. Pertumbuhan Jumlah Tenaga kerja Persen ‐ ‐15,11 18,79 ‐6,69 ‐7,21 ‐2,56 e. Produktivitas Tenaga kerja Ribu Rupiah pekerja pertahun 15.592 17.338 15.524 16.705 17.458 16.523

3. Berbasis Nilai Ekspor

a. Nilai Ekspor Ribu Rupiah 36.269.925.755 34.907.639.565 44.480.154.933 50.423.553.242 53.524.336.013 43.921.121.901 b.Pertumbuhan Ekspor Persen ‐ ‐3,76 27,42 13,36 6,15 10,79 c. Nilai ekspor thd industri kreatif Persen 60,29 59,92 63,32 64,81 65,73 62,81 d. Nilai Ekspor thd Total Ekspor Persen 7,1577 6,8801 6,7153 6,3697 6,0024 6,6250

4. Berbasis Jumlah Perusahaan

a. Jumlah Perusahaan Perusahaan 1.524.162 1.244.481 1.548.859 1.373.247 1.233.877 1.384.925 b. Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Persen ‐ ‐18,35 24,46 ‐11,34 ‐10,15 ‐3,84 c. Jumlah perusahaan thd industri kreatif Persen 51,67 51,59 53,30 54,96 56,37 53,58 d. Jumlah perusahaan thd jumlah perusahaan total Persen 3,59 3,01 3,62 3,30 2,92 3,29 Sumber: Studi Pemetaan Industri Kreatif Departemen Perdagangan Indonesia, 2007 diolah dari data BPS dan beberapa sumber data lainnya 184

III. A

NALISIS P EMETAAN K ONDISI S UBSEKTOR I NDUSTRI F ESYEN III.1 Analisis Kondisi Pondasi dan Pilar Subsektor Industri Fesyen

A. P

ONDASI S UMBER D AYA I NSANI P EOPLE Pondasi people pada industri fesyen berada pada rantai kreasi, produksi dan pasar, pada seluruh model bisnis yang ada di subsektor industri fesyen. Beberapa aspek positif pada pondasi SDM Fesyen antra lain: + Para perancang bermutu yang dimiliki merupakan ikon‐ikon kuat di dalam dan luar negeri Jumlah perancang bermutu memang tidak banyak jumlahnya. Akan tetapi pengaruh namanya sebagai simbol‐simbol fesyen Indonesia cukup kuat, di dalam dan luar negeri. Seperti Biyan, Yongki, Poppy Dharsono dan lain‐lain. Mereka‐mereka ini merupakan motor penggerak yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan fesyen nasional. + Jumlah pekerja produksi banyak Jumlah pekerja sablon, pekerja penjahit juga memiliki jumlah yang terbilang banyak hampir di seluruh wilayah Indonesia. Baik perorangan maupun berbentuk perusahaan konveksi. + Transfer knowledge produksi tidak terlalu sulit Lembaga pelatihan informal dan belajar otodidak maupun turun‐temurun merupakan mekanisme umum dalam menciptakan pekerja‐pekerja di rantai produksi ini. Beberapa aspek negatif pada pondasi SDM Fesyen antara lain: − Jumlah perancang pakaian, tas, sepatu dan aksesoris masih sedikit Jumlah orang yang menganggap dirinya sebagai perancang fesyen terbilang banyak. Mereka biasanya adalah orang‐orang yang mengecap pendidikan formal perancang, orang ‐orang yang mengecap pendidikan seni dan desain yang kemudian beralih menjadi perancang, dan orang‐orang yang belajar desain fesyen secara otodidak. Namun dari sekian banyak orang tersebut, hanya sedikit yang terhitung sebagai perancang berkualitas baik, dan hanya berada di sekitar wilayah Jakarta. Konsentrasi tenaga kreatif di kota‐kota besar terutama Jakarta disebabkan oleh keberadaan sekolah fesyen di Jakarta, serta banyaknya tenaga kreatif daerah bermigrasi ke kota‐kota besar, terutama Jakarta. Akibatnya potensi kekayaan lokal tidak tergali dengan baik. Perancang fesyen pakaian yang berkualitas, harus memiliki pengetahuan mengenai desain, bahan baku, produksi sampai kepada trend pasar. Secara tersirat, kualitas perancang terlihat dari model bisnis yang dilakukan. Kualitas perancang cenderung semakin meningkat pada model bisnis mass production, distro, ready to ware sampai kepada model bisnis adi busana dan deluxe. Jumlah perancang sepatu, tas dan aksesoris juga masih minim. Banyak di antara pengusaha ini yang mendapatkan pelatihan singkat di Italia. Namun pengetahuan tersebut lebih kepada teknik produksi, dan standar‐standar ukuran internasional. Sedangkan desain lebih banyak dilakukan dengan meniru desain‐desain produk‐produk terkenal. − Lembaga pendidikan perancang hanya ada di Jakarta, dengan jumlah terbatas 185 Lembaga pendidikan perancang yang ada baru meliputi perancang pakaian jadi saja. Sedangkan lembaga pendidikan perancang spesifik untuk sepatu, tas dan aksesoris belum tersedia. Terdapat 3 pendidikan tinggi utama di Jakarta di bidang desain pakaian, yaitu LaSalle, Esmod dan IIFI. − Kualitas pekerja produksi masih bermasalah, terutama di daerah‐daerah Permasalahan kualitas pekerja masih menjadi isu utama. Kecuali daerah Bandung dan sekitar Jawa Barat, yang merupakan pemasok pekerja‐pekerja handal di rantai ini, selebihnya kualitas pekerja masih kurang. Untuk produksi dengan tingkat kesulitan relatif tinggi, akhirnya para perancang biasanya mencari tenaga produksi ke wilayah Bandung dan sekitar Jawa Barat. Atau melatih sendiri tenaga produksinya melalui in‐ house production, untuk menjamin kualitas pekerja‐pekerja produksi. − Produktivitas rendah pada mass production Untuk model bisnis mass production, produktivitas yang belum cukup tinggi masih menjadi kendala. Sebagai perbandingan, produktivitas tenaga kerja produksi RRT mampu mencapai perbandingan 1:6 terhadap pekerja Indonesia. Produktivitas rendah diikuti dengan upah yang relatif tinggi. Bila negara Bangladesh dan Vietnam hanya membayar upah buruh sebesar US 0,35 jam, Pakistan US 0,40jam, India US 0,6jam, Indonesia membayar lebih mahal yakni lebih dua kalinya Bangladesh dan Vietnam, yakni sebesar US 0,76jam. − Pengusaha kurang memiliki business value Kendala lainnya adalah bahwa produsen lokal sekelas home industry kurang ambisius. Mentalitas lebih mirip pengrajin, bukan entrepeneur. Mereka mampu membuat produk, akan tetapi kurang dalam hal kreasi, komersialisasi dan minimnya kemampuan manajemen bisnis. − Apresiasi pasar terhadap desain fesyen masih rendah, harga dan fungsi merupakan pertimbangan utama Di sisi pasar, salah satu hal yang terpenting dalam fesyen adalah sumber daya manusia yang kreatif yang pembentukannya dapat dilakukan sejak awal sekolah bukan hanya ketika kuliah di bidang fesyen. Ini berdampak terhadap dua hal, pertama mempengaruhi pembentukan pekerja‐pekerja kreatif industri fesyen yang handal, kedua, memicu apresiasi masyarakat terhadap seni, desain dan kreativitas. Apresiasi tinggi masyarakat ini yang nantinya mendongkrak perluasan ukuran pasar domestik.

B. P

ILAR I NDUSTRI I NDUSTRY Beberapa aspek positif pilar industri fesyen antara lain: + Jumlah perusahaan fesyen sangat besar Jumlah perusahaan industri fesyen sangat besar, khususnya perusahaan‐perusahaan UKMIKM yang menitikberatkan pada aktivitas produksi dan retail kulakan. Namun belum terlalu banyak perusahaan yang dimotori oleh perancang‐perancang berkualitas. Untuk industri pakaian jadi, perusahaan sebagian besar berada di sekitar Jakarta dan Jawa Barat. Sedangkan untuk industri fesyen tas, sepatu dan aksesoris, terutama berbahan baku kulit terdapat di Sidoarjo, Garut, Bogor, Bandung, Magetan, Papua, Jakarta, Makassar, dan Medan. 186 + Daya saing di pasar domestik, khususnya distro, kuat Distro merupakan model bisnis yang unik. Boleh dikatakan, persaingan justru terjadi antar pelaku domestik. Lifestyle dan eksklusivitas yang ditawarkan serta volume yang kecil, membuat bisnis ini sesuai untuk entrepeneur domestik, lebih spesifik lagi, sesuai untuk Bandung. Infrastruktur industri fesyen yang lengkap di Bandung memungkinkan model bisnis ini berproduksi di level eksklusif, dengan harga terjangkau. + Potensi pasar di dalam dan luar negeri masih besar + Jalur distribusi di pasar domestik semakin banyak Entry barier distro dan UKMIKM relatif kecil Barier to entry bisnis distro dan UKMIKM yang berproduksi berdasarkan pesanan relatif kecil. Sehingga model bisnis UKMIKM berdasarkan pesanan ini yang menjadi penyumbang terbesar jumlah perusahaan di industri fesyen. Beberapa aspek negatif pilar industri fesyen antara lain: − Daya saing di pasar asing dan domestik umumnya masih kurang Pasar domestik industri fesyen Indonesia masih dikuasai oleh asing, sekitar 70. Terutama pada model bisnis retail ready to ware untuk kelas menengah ke atas. Sisanya dipenuhi oleh industri fesyen lokal, yang sebagian besar adalah UKMIKM. Anehnya, kinerja ekspor industri fesyen Indonesia cukup besar. Produk‐produk Indonesia masih diperhitungkan di pasar luar negeri. Daya saing industri fesyen terutama berada pada aspek kreasi fungsi dan desain dan efisiensi produksi biaya produksi, harga dan kualitas fungsi. Daya saing dari aspek kreasi identik dengan si perancang dan identik pula dengan brand yang digunakan perancang tersebut. Hal ini terjadi terutama pada model bisnis adi busana, deluxe, ready to wear dan juga distro. Brand‐brand terkenal dari luar negeri merupakan pesaing utama industri fesyen domestik. Karena trend berasal dari luar negeri terutama Eropa, perusahaan luar negeri ini terbilang masih unggul di pasar domestik, khususnya retail konsumen menengah ke atas ready to wear. Pada model bisnis mass production, aspek harga masih menjadi pertimbangan utama pasar. Produsen lokal masih kalah efisien dari RRT. Sehingga produk fesyen pakaian jadi RRT merupakan salah satu ancaman serius bagi produk‐produk domestik, khususnya pada model bisnis retail menengah ke bawah. Meskipun tidak terlalu kuat dalam desainkreasi, namun produk RRT baik dalam kualitas fungsi dan murah dalam harga. Pilihan RRT untuk memodifikasi desain‐desain terkenal, untuk kemudian memproduksi dalam jumlah massal, sehingga harga produk menjadi murah, merupakan kekuatan tersendiri dalam persaingan pasar produk fesyen domestik dan luar negeri. Posisi dan daya saing tekstil Indonesia di pasar dunia cukup baik. Pada 2006, Indonesia merupakan pemasok keempat terbesar untuk pasar tekstil AS dengan kontribusi 4,18 US 3,9 juta. Pemasok terbesar di AS adalah China US 27,067 juta, Meksiko US 6,378 juta, dan India US 5,031juta. Posisi perdagangan TPT Indonesia di AS setiap tahunnya cenderung membaik. Peluang Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di AS makin besar karena volume ekspor Indonesia tumbuh rata‐rata 10,67 setiap tahunnya, lebih besar dibanding pertumbuhan volume impor AS yang hanya 10. Sementara di Uni 187 Eropa Indonesia merupakan pemasok TPT kesepuluh terbesar dengan share 1,2 EURO 1,57 juta pada 2006. Pesaing utama Indonesia di Uni Eropa adalah China yang mendominasi pangsa pasar Eropa, diikuti Turki dan India. Posisi Indonesia di Eropa cenderung stagnan. Sebaliknya, posisi negara‐negara yang berdekatan secara geografis dengan Eropa cenderung menguat. Sementara di pasar Jepang Indonesia merupakan pemasok kain benang ketiga terbesar dengan kontribusi 6 USD 349 juta. Pesaing utama Indonesia di Pasar Jepang adalah China yang mendominasi pasar USD 3,037 miliar, diikuti oleh Uni Eropa, Korea, Taiwan dan AS. Posisi perdagangan Indonesia di Jepang cenderung stagnan − Muatan lokal kurang tergali sebagai sumber inspirasi untuk meningkatkan daya saing Sumber inspirasi Fashion Indonesia tidak memiliki ciri khas, kurang aware terhadap history , hanya mengikuti trend internasional. Hal ini juga berdampak pada kurang tergalinya secara lengkap kekayaan dan potensi daerah‐daerah Indonesia. Padahal keunggulan bersaing fesyen Indonesia dapat dibangun melalui inspirasi konten lokal yang sangat beragam. − Daya tawar produsen terhadap jalur distribusi dirasakan lemah Seperti kondisi industri pada umumnya, nilai tambah yang diterima perdagangan memang cukup besar. Demikian juga halnya dengan produk fesyen, biaya yang dikeluarkan produsen untuk mendistribusikan produk di retail‐retail fesyen, terutama di mall, terbilang besar. Selain kemungkinan struktur biaya di retail fesyen memang besar khususnya sewa gedung, juga terdapat keadaan ‘power of place’ dari gerai‐gerai tersebut, semisal Metro, Sogo yang sangat kuat imagenya sebagai tempat untuk produk‐produk fesyen berkualitas, serta Ramayana dan Matahari untuk kelas tersendiri yang lain. Hal ini berakibat daya tawar gerai‐gerai retail ini cenderung lebih besar terhadap produsen fesyen. Namun kondisi ini tidak terjadi pada model bisnis distro yang melakukan sendiri distribusinya, dan model bisnis adi busanadeluxe yang tidak terlalu membutuhkan channel distribusi. Kondisi ini membuat beberapa produsen fesyen berusaha membuat channel ‐channel distribusi sendiri, seperti toko dan butik‐butik. Hal yang sama juga terjadi di galeri‐galeri dan toko di luar negeri. Pemilik gerai luar negeri tersebut yang menentukan produk produsen fesyen domestik mana yang diinginkan untuk dijual di retail luar tersebut. Pemilihan tersebut biasanya dilakukan ketika ada event‐event fesyen di dalam dan luar negeri yang diikuti oleh perancang‐ perancang domestik. − Daya tawar supplier bahan baku lebih besar Kelangkaan bahan baku domestik merupakan salah satu isu sentral industri fesyen. Akibatnya daya tawar supplier bahan baku domestik menjadi lebih tinggi dibanding produsen. Bahan baku menjadi mahal, karena terbatas. Alternatif yang dilakukan adalah melakukan impor bahan baku. RRT merupakan eksportir bahan baku yang besar dan murah, seperti sutra. Tetapi, meskipun bahan baku impor murah, namun menjadi mahal karena biaya transportasi, gudang dan tarif impor, serta semakin lama. − Entry barier memasuki industri fesyen umumnya besar Barier to entry bagi calon entrepeneur baru pada model bisnis adi busanadeluxe dan ready to wear tergolong besar. Nama besar perancang dan citra menjadi barier terbesar jika calon 188 entrepreneur memasuki industri fesyen model ini. Alternatif untuk dapat memasuki model bisnis ini biasanya dimulai dengan mengikuti festival‐festival fesyen, dengan tujuan untuk menjadi semakin dikenal sebagai perancang berkualitas. Barier to entry pada model bisnis retail mass production termasuk juga ready to wear yang semi mass production adalah kebutuhan modal investasi untuk memulai usaha capital requirement yang besar. Skema pembiayaan merupakan salah satu cara mengurangi besar barier di model bisnis ini. Alternatif lain adalah mengikuti pameran‐pameran atau membuka jaringan di luar, dengan tujuan untuk memperoleh order dari buyer luar negeri. Keuntungannya dapat diinvestasikan untuk bisnis mass production fesyen.

C. P

ILAR T EKNOLOGI T ECHNOLOGY Beberapa aspek positif pilar teknologi antara lain: + Mixing inovation sudah mulai dilakukan untuk memperkaya desain Inovasi dan teknologi bahan baku setengah jadi: Mixing inovation antara batik, tenun, sutera dan kulit ke dalam busana konten lokal. Misalnya: inovasi sepatu batik Adidas. Kemungkinan kombinasi‐konbinasi lain perlu digali lebih baik lagi. Selama ini batik Jogja memiliki ciri warna kecoklatan, batik Jawa Barat hijau daun. Tanpa menghilangkan ciri‐ ciri kedaerahan, tetap perlu fleksibilitas warna, desain bahan baku, agar pilihan yang bisa ditawarkan kepada pasar menjadi lebih beragam + Inovasi dan teknologi bahan baku lain mulai dikembangkan Inovasi ini khususnya pada zat warna alam, ulat sutra, dan potensi‐potensi sumberdaya alam lokal + Keberadaan Akademi Teknik Kulit merupakan peluang untuk mengembangkan teknologi pengolahan bahan baku kulit yang lebih baik + ICT, networking, konektivitas makin membaik Pemanfaatan teknologi informasi seperti internet semakin intensif. Pemanfaatan ICT dalam berbagai hal seperti, inspirasi desain, disseminasi teknologi produksi yang berkualitas, transfer knowledge, informasi pasar sampai kepada pembentukan komunitas. Beberapa aspek negatif pada pilar teknologi antara lain: − Mesin ‐mesin produksi pada mass production menurun produktivitasnya Usia mesin merupakan penyebab utama. Sehingga investasi baru atau inovasi baru untuk meningkatkan produktivitas mesin tersebut perlu dilakukan − Inovasi dan teknologi bahan baku mentah tekstil industri tekstil bermasalah Industri tektstil yang merupakan supplier bahan baku industri produk tekstil fesyen pakaian terutama meliputi industri serat alam, serat buatan, benang filamen, industri pemintalan serta pencelupan spinning. Bahan baku tekstil; mesin‐mesin serat, pemintalan, tenun, rajut, finishing sudah tua. Produktivitas dan kualitas yang dihasilkannya sudah kalah dengan mesin‐mesin yang dimiliki negara lain 189 − Teknologi bahan baku mentah kulit industri penyamakan perlu perbaikan Processing bahan baku dari proses awal perendaman, pengapuran, pembuangan kapur, pengasaman proses finishing yang paling menentukan kualitas kulit kelenturan, kepadatan, dan warna kulit, proses perataan menghilangkan lipatan‐lipatan pada proses sebelumnya, hanya terdapat di dua tempat di Indonesia, dan hampir 90 industri penyamakan ini merupakan UKM, sehingga inovasi cenderung bersifat tradisional

D. P

ILAR S UMBER D AYA R ESOURCES Beberapa aspek positif pilar sumber daya alam antara lain: + Bahan baku kulit Indonesia tergolong salah satu yang terbaik di dunia Kualitas kulit yang dihasilkan dari pengrajin kulit di Jawa tergolong terbaik di dunia. Secara tradisional para peternak seperti sapi dan kambing di Jawa mempunyai kebiasaan memandikan ternaknya hampir setiap hari. Kebiasaan itu secara tidak langsung membuat kualitas kulitnya menjadi unggul Beberapa aspek negatif pilar sumber daya alam antara lain ‐ Bahan baku tekstil terkonsentrasi di Jakarta, Bogor dan Bandung Bahan baku tekstil sebagian besar diperoleh di Jakarta, Bogor dan Bandung, baik industri fesyen yang melakukan produksi maupun industri fesyen perdagangan. Industri fesyen perdagangan ini sebagian besar dilakukan para pelaku usaha UKMIKM. Mereka membeli produk tekstil untuk kemudian dijual kembali. Model bisnis ini sering disebut kulakan. Tanah Abang masih merupakan supplier terbesar untuk industri fesyen berbasis tekstil. Keterbatasan ketersediaan bahan baku di kota‐kota tertentu ini, membuat industri fesyen tekstil cenderung maju hanya di sekitar daerah‐daerah bahan baku tersebut. ‐ Delivery time impor bahan baku lama Keterbatasan bahan baku diatasi dengan usaha melakukan impor. Baik bahan baku tekstil, maupun produk tekstil untuk dijual kembali. RRT merupakan alternatif sumber impor terbaik saat ini. Selain kualitas cukup baik, harganya juga terbilang murah. Persoalan terbesar aktivitas impor ini adalah delivery time yang cukup lama. Selain disebabkan waktu kirim yang memang cukup lama, juga terhambat oleh administrasi impor di pelabuhan‐pelabuhan. Rata‐rata waktu yang dibutuhkan mulai dari melakukan pesanan bahan baku impor, sampai waktu menerima bahan baku tersebut di gudang produksi, membutuhkan sekitar 1,5 bulan bahkan lebih. Padahal trend fesyen Indonesia masih berkiblat ke Eropa, dimana trend berubah 4 bulanan mengikuti musim. Akibatnya, sering terjadi, ketika bahan baku impor diterima, trend sudah mulai berubah. Sehingga bahan baku menjadi tidak produktif. Karena trend juga meliputi aspek trend bahan baku. ‐ Bahan baku pendukung industri kulit tergantung pada impor Indonesia sangat bergantung pada impor bahan kimia untuk penyamakan dan aksesorisnya, sehingga kalah bersaing dengan negara lain. ‐ Lokasi bahan baku kulit mengurangi efisiensi Saat ini, penyamakan kulit hanya ada di Magetan dan Garut. Sehingga, pengrajin kulit di Medan harus menyamakkan kulitnya di Garut, dibawa lagi ke Medan untuk dibuat 190 sepatu dan balik lagi ke Jakarta untuk dijual. Kondisi itu tentunya membuat harga menjadi mahal dan akhirnya kalah bersaing dengan produk China dan Korea. ‐ Bahan baku energi, biaya energi yang mahal. Pada tahun 2005 misalnya, biaya listrik yang dikeluarkan industri TPT Indonesia mencapai US 0.08 8 centkwh, tertinggi dibanding negara lain yang hanya sebesar 7,6 centkwh di China, 7 centkwh di Vietnam, 6,6 centkwh di Pakistan, dan 3 centkwh di Bangladesh dan Mesir. Di samping mahal, kebutuhan listrik juga belum mampu dipenuhi secara optimal oleh PLN.

E. P

ILAR I NSTITUSI I NSTITUTION Beberapa aspek positif pada pilar institusi antara lain:

1. Kebutuhan akan HKI tidak terlalu penting, piracy bukan ancaman

I ndustri fesyen produk tekstil adalah industri lifestyle yang berkembang sangat cepat, sehingga untuk penerapan HKI untuk produk fesyen sangat sulit diterapkan karena perubahan dalam fesyen yang sangat cepat. Sedang pada industri fesyen sepatu, kondisi yang sering terjadi justru adalah pada pemalsuan merek. Tak bisa dipungkiri fakta bahwa pengrajin sepatu lokal mampu menduplikasi sepatu‐sepatu merek terkenal dengan kualitas yang tidak jauh berbeda. Konsumen tidak mudah untuk dapat membedakan produk asli dan palsu tersebut.

2. Community

base jumlahnya cukup banyak, efektif mendongkrak pasar Community base dalam indusri kreatif fesyen, dimana faktor jumlah penduduk Indonesia yang banyak dijadikan sebagai kekuatan dalam industri kreatif dengan cara menularkan virus kreatif dalam komunitasnya. Dalam community base tersebut juga perlu adanya kolaborasi antara manusia kreatif dengan management dan ekonomi sehingga dapat tercipta ekonomi kreatif. Karena kenyataannnya manusia kreatif cenderung tidak memikirkan masalah ekonomi dan management. Efektivitas komunitas di luar asosiasi ini, sangat dirasakan khususnya pada model distro. Semisal KICK, Bandung Creative Forum yang rutin melaksanakan event‐event leisure fair dan festival. Asosiasi ‐asosiasi industri fesyen perlu melakukan revitalisasi peran, dan sinergi antar asosiasi, agar lebih kuat dampaknya terhadap pembangunan industri fesyen. Bukan sekedar subsektor lobi saja. Beberapa asosiasi memang sudah berupaya memperbaiki kondisi industri fesyen domestik, seperti menyelenggarakan festival‐festival desain rutin, menyuarakan kepentingan‐kepentingan pengusaha industri fesyen dan lain‐lain. Namun adalah fakta bahwa beberapa perancang justru masih enggan untuk bergabung dalam suatu asosiasi. Kolaborasi antar asosiasi, komunitas‐komunitas, pemerintah dan lingkungan pendidikan, yang terkait industri fesyen masih belum bersinergi dengan baik. Usaha‐ usaha parsial dari masing‐masing pihak sudah ada. Namun ada hal‐hal yang perlu dilaksanakan bersama untuk menghasilkan energi yang lebih besar. Misalnya apresiasi insan kreatif penghargaan insan kreatif diberikan oleh berbagai jenis asosiasi, komunitas, pendidikan dan pemerintah. Akibatnya mengurangi nilai apresiasi itu sendiri. Memang tidak buruk setiap pihak memberikan penghargaan, namun mestinya akan lebih baik jika terdapat suatu penghargaan yang diakui oleh semua pihak terkait. 191 Beberapa aspek negatif pada pilar institusi antara lain: − Impor ilegal dan prosedur impor yang kurang kondusif masih kendala bagi setiap rantai produksi semua model bisnis, termasuk sisi pasarnya. Model bisnis distro yang paling minim terpengaruh terhadap kekurangkondusifan kondisi tersebut − Kondisi regulasi impor bahan baku dirasakan para pengusaha sebagai penghambat kemajuan industri fesyen domestik. Biaya pelabuhan yang cukup mahal termahal kedua di antara negara‐negara ASEAN dan waktu prosedur yang cukup lama dirasakan mengurangi efisiensi dan daya saing industri. − Selain biaya dan prosedur, regulasi mengenai karantina terhadap impor kulit jadi, dengan pertimbangan akan membawa penyakit kuku dan mulut PMK menjadikan industri berbahan baku kulit kesulitan memperoleh kulit untuk proses produksi sepatu dan tas. Di sisi lain, impor tas kulit, dompet kulit dan sepatu kulit tidak dikenakan ketentuan karantina. Kondisi regulasi ini juga dirasakan memperlemah daya saing industri. − Demikian pula dengan adanya pembebasan ekspor kulit mentah sesuai SK Menkeu No. 241KMK1998 menjadikan industri berbahan baku kulit sulit memperoleh kulit lokal, karena produsen kulit mentah bisa ekspor dengan bebas. Karena memang, mengekspor kulit mentah lebih menguntungkan dibandingkan menjual di dalam negeri. Regulasi ini juga makin menyulitkan pemenuhan bahan baku industri produk fesyen kulit dalam negeri. − Maraknya produk impor ilegal terutama dari RRT juga berpengaruh terhadap daya saing industri lokal di pasar domestik. Jumlah tekstil ilegal ini ditengarai menguasai hingga 50 persen pasar tekstil domestik yang mencapai 1.013 ribu ton pada 2006. Kualitas yang tidak jauh berbeda, serta harga yang jauh lebih murah, membuat tekstil impor ilegal ini diminati di pasar domestik. − Regulasi tenaga kerja dirasakan mengganggu Gangguan ini dirasakan terutama pada rantai produksi industri‐industri fesyen dengan model bisnis mass production. Regulasi tenaga kerja menyebabkan biaya produksi semakin tinggi. Yang akhirnya mengurangi daya saing. Peraturan upah dan hak‐hak lainnya yang memang cenderung melindungi karyawan daripada pengusaha, belum diikuti dengan prouduktivitas tenaga kerja yang baik. Upah yang tinggi diikuti produktivitas tinggi sebetulnya bukan suatu masalah Price = WageMarginal Produtivity of Labor, harga masih dapat bersaing. − Ruang terbuka publik juga masih sangat minim jumlahnya di kota‐kota Indonesia. Mall dan plasa merupakan pesaing utama. Padahal ruang terbuka publik ini perlu sebagai tempat untuk berinteraksi, leisure, dan aktivitas‐aktivitas kreatif lainnya. − Konektivitas antar pelaku usaha, antar sentra dan klaster‐klaster usaha masih minim. Hal ini berakibat pada motivasi untuk maju dan lebih baik dalam desain, produksi dan pasar, menjadi terhambat. Mereka cukup puas membuat produk, memajang di toko‐toko yang juga rumah tinggal untuk dibeli penduduk setempat dan konsumen yang melintasi daerah tersebut. 192 − Otonomi daerah belum optimal mendukung pengembangan fesyen Otonomi daerah bisa menjadi kekuatan jika aware terhadap budaya dan heritage lokal. Namun kondisi saat ini, otonomi daerah belum cukup diberdayakan sebagai suatu energi yang bisa membangkitkan industri fesyen di daerah‐daerah. Kendala utama adalah sdm daerah yang kurang memadai, serta adanya kondisi bahwa memang setiap daerah memiliki industri strategis yang menjadi prioritas masing‐masing. Padahal, kekuatan suatu tempat power of place merupakan faktor vital dalam pembangunan industri kreatif. Baik menarik konsumen maupun menarik pekerja kreatif.

F. P

ILAR L EMBAGA P EMBIAYAAN F INANCIAL I NTERMEDIARY Aspek positif pilar pembiayaan antara lain: + Industri fesyen yang bukan mass production, tidak memerlukan pembiayaan besar. Hal ini membuat peluang model pembiayaan cukup banyak alternatifnya. Bantuan dana lebih dibutuhkan untuk operational expenditure saja, bukan untuk mesin‐mesin industri Aspek negatif pilar pembiayaan antara lain: − Belum ditemukan skema pembiayaan yang tepat untuk UKMIKM fesyen − Pembiayaan model bisnis mass production, khususnya investasi mesin yang sudah tua, dan investasi untuk inovasi, sangat mendesak kebutuhannya. 193 III.2 Pemetaan Kekuatan,kelemahan, Peluang serta Ancaman Subsektor industri Fesyen Pondasi Pilar Strength Weakness Opportunity Threats People + Para perancang bermutu yang dimiliki merupakan ikon‐ikon kuat di dalam dan luar negeri + Jumlah pekerja produksi banyak + Transfer knowledge produksi tidak terlalu sulit − Jumlah perancang pakaian, tas, sepatu dan aksesoris masih sedikit − Lembaga pendidikan perancang hanya ada di Jakarta dalam jumlah terbatas − Kualitas pekerja produksi masih bermasalah, terutama di daerah‐ daerah − Produktivitas rendah pada mass production − Pengusaha kurang memiliki business value − Apresiasi pasar terhadap desain fesyen masih rendah, harga dan fungsi merupakan pertimbangan utama Industry + Jumlah perusahaan fesyen sangat besar + Daya saing di pasar domestik, khususnya distro, kuat + Jalur distribusi di pasar domestik semakin banyak + Entry barier distro dan UKMIKM relatif kecil − Daya saing di pasar asing dan domestik umumnya masih kurang − Muatan lokal kurang tergali sebagai sumber inspirasi meningkatkan daya saing − Daya tawar konsumen terhadap jalur distribusi dirasakan lemah − Daya tawar supplier bahan baku lebih besar − Entry barier memasuki industri fesyen eksklusif umumnya besar + Potensi pasar di dalam dan luar negeri masih besar − Ancaman produk asing, khususnya RRT, semakin besar − Pemahaman yang minim terhadap konsumen luar negeri − Ancaman perusahaan asing di pasar domestik 194 Pondasi Pilar Strength Weakness Opportunity Threats Technology + Mixing inovation sudah mulai dilakukan untuk memperkaya desain + Inovasi dan teknologi bahan baku lain mulai dikembangkan + Keberadaan Akademi Teknik Kulit menguatkan pengelolaan + ICT, Networking, konektivitas makin membaik − Mesin ‐mesin produksi pada mass production menurun produktivitasnya − Inovasi dan teknologi bahan baku mentah tekstil industri tekstil bermasalah − Teknologi bahan baku mentah kulit industri penyamakan perlu perbaikan Resources + Bahan baku kulit Indonesia tergolong salah satu yang terbaik di dunia − Bahan baku tekstil terkonsentrasi di Jakarta, Bogor dan Bandung − Delivery time impor bahan baku lama − Bahan baku pendukung industri kulit tergantung pada impor − Lokasi bahan baku kulit mengurangi efisiensi − Bahan baku energi, biaya energi yang mahal Institution + Kebutuhan akan HKI tidak terlalu penting, piracy bukan ancaman + Community base jumlahnya cukup banyak, efektif mendongkrak pasar − Impor ilegal dan prosedur impor yang kurang kondusif masih kendala − Regulasi tenaga kerja dirasakan mengganggu − Ruang terbuka publik juga masih 195 Pondasi Pilar Strength Weakness Opportunity Threats sangat minim jumlahnya di kota‐ kota Indonesia − Konektivitas antar pelaku usaha, antar sentra dan klaster‐klaster usaha masih minim − Otonomi daerah belum optimal mendukung pengembangan fesyen Financial Intermediary + Industri fesyen yang bukan mass production, tidak memerlukan pembiayaan besar − Belum ditemukan skema pembiayaan yang tepat untuk UKMIKM fesyen − Pembiayaan model bisnis mass production , khususnya investasi mesin yang sudah tua, dan investasi untuk inovasi, sangat mendesak kebutuhannya 196

IV. R

ENCANA S TRATEGIS P ENGEMBANGAN S UBSEKTOR I NDUSTRI F ESYEN

IV.1 Sasaran dan Arah Pengembangan Subsektor Industri Fesyen

Sasaran Sasaran pencapaian dalam pengembangan subsektor industri fesyen adalah perwujudan industri fesyen yang memiliki infrastruktur yang siap menjadi pusat mode Asia tahun 2015. Optimisme pencapaian sasaran ini dilatarbelakangi kondisi bahwa; bersaing di mass production sangat berat melawan efisiensi dan produktivitas China. Regulasi tenaga kerja Indonesia yang dinilai tidak labor market flexible, masih menjadi kendala dan sulit diubah. Karena itu, lebih mudah menjadikan Jakarta menjadi pusat mode Asia. Di Asean sendiri, sudah ada indikasi bahwa Indonesia unggul. Perancang‐perancang Indonesia di’impor’ di beberapa negara ASEAN, misalnya Biyan di Singapura. Arah Tiga arah utama untuk mencapai sasaran pengembangan subsektor industri fesyen adalah:

1. Peningkatan kapasitas industri fesyen non mass production, khususnya pada aspek

people, institusi, dan produksi. Ikon ‐ikon industri fesyen menjadi modal untuk push the influence kepada mereka yang menganggap dirinya perancang, agar menjadi perancang yang lebih baik. Sistem lokomotif dapat dilakukan. Kendala produksi diatasi dengan kontrol pemberi order ikon ‐ikon, sembari memberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai. Peningkatan kapasitas ini juga dilakukan dari pengurangan inefisiensi, khususnya akibat institusi dan industri pendukung. Revitalisasi regulasi dan kemungkinan relokasi industri atau industri pendukung, merupakan alternatif yang feasible untuk dilakukan.

2. Penguatan riset budaya warisan budaya, riset produksi bahan baku