Definisi Subsektor Industri Fesyen Rantai Nilai Subsektor Industri Fesyen

175 FESYEN

I. P

EMAHAMAN U MUM S UBSEKTOR I NDUSTRI F ESYEN

I.1 Definisi Subsektor Industri Fesyen

Industri Kreatif Subsektor fesyenmode adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. Usulan Definisi Definisi berdasarkan KBLI 2005 di atas dirasakan belum cukup, karena belum mencakup: asal bahan fesyen, desain atau pola fesyen, dimana semua aspek tersebut merupakan hal penting dalam industri fesyen.

I.2 Rantai Nilai Subsektor Industri Fesyen

Pada umumnya aktivitas‐aktivitas dan pihak‐pihak yang terkait dalam subsektor industri fesyen adalah seperti ditunjukkan pada gambar berikut. Gambar 18 Rantai Nilai Subsektor Industri Fesyen Dari bagan di atas terlihat bahwa subsektor industri fesyen terdiri dari perusahaan‐ perusahaan produsen fesyen fashion company dan perusahaan jasa perdagangan produk fesyen channel distribusi. Produsen produk fesyen memiliki model bisnis mass production, distro, ready to wear deluxe dan adi busanadeluxe. Keempat model bisnis tersebut dibedakan oleh tingkat keeksklusifan masing‐masing, dan jenis konsumen yang dilayani. Produsen fesyen ini terdiri dari industri fesyen pakaian jadi dan aksesorisnya, industri fesyen produsen tas, sepatu dan aksesoris. Industri fesyen produsen pakaian jadi dan aksesorisnya Model bisnis jenis ini terdiri dari adi busana dan deluxe, ready to wear deluxe, mass production dan distro, serta model‐model bisnis lain. Perbedaan model bisnis industri fesyen terlihat dari konsumen yang dilayani dan tingkat keeksklusifannya. 176 Adi busana dan deluxe sangat eksklusif. Satu desain untuk satu atau beberapa produk, dan harganya sangat mahal. Sehingga konsumen di model bisnis ini adalah masyarakat kelas atas. Model ini hanya terdapat pada industri fesyen pakaian, tidak pada tas, sepatu dan aksesoris. Beberapa perancang hanya mengerjakan desain, sementara aktivitas produksi disubkontrakkan. Namun beberapa perancang, selain merancang, ada juga yang memiliki unit produksi sendiri. Model bisnis ready to wear deluxe terbilang eksklusif dan semi mass production. Hanya saja, produk ‐produk ini dijual untuk konsumen menengah ke atas, dimana toko‐toko tempat produk ini didistribusikan adalah toko‐toko tertentu yang berkelas, seperti Metro dan Sogo. Citra ‐citra established dari perancang‐perancang terkenal, baik dalam dan luar negeri menguasai pasar di model bisnis ini. Pada model bisnis ready to wear, perusahaan‐ perusahaan biasanya sudah melakukan aktivitas kreasi dan produksi sendiri. Model bisnis mass production cenderung lebih mengutamakan volume daripada desain. Konsumen yang dijangkaunya juga adalah masyarakat menengah ke bawah, dengan jalur distribusi yang sesuai untuk kelas masyarakat tersebut semacam Ramayana. Berbeda dengan yang lain, model bisnis distro biasanya mencakup aktivitas kreasi, distribusi dan komersialisasi, sebagai suatu perusahaan. Karena kecilnya skala produksi, aktivitas produksi umumnya berada pada perusahaan‐perusahaan konveksi subkontrakmaklun. Masih terdapat model‐model bisnis lain yang dilakukan oleh UKMIKM, seperti; model penjahit ‐penjahit berdasarkan pesanan konsumen yang banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain model bisnis produksi, juga terdapat model bisnis kulakan, dilakukan dengan mengambil produk‐produk pakaian jadi di pusat‐pusat grosir seperti Tanah Abang untuk dijual kembali. Industri fesyen sepatu, tas, aksesoris, khususnya dari bahan baku kulit Kecuali model bisnis adi busanadeluxe yang hanya ada pada industri pakaian, pada dasarnya industri fesyen sepatu, tas dan aksesoris berbahan baku kulit kurang lebih berbentuk sama dengan model bisnis yang dijelaskan di atas. Kecuali model distro yang beraktivitas mulai dari rantai kreasi sampai distribusi, perusahaan ‐perusahaan fesyen umumnya melakukan aktivitas di rantai kreasi‐produksi‐ komersialisasi produsen, dan rantai distribusi jasa perdagangan melalui channel distribusi. Rantai kreasi menghasilkan ide kreasi, yang kemudian dituangkan menjadi rencana produk fesyen pola dan gambar. Sumber‐sumber ide kreasi yang saat ini banyak digunakan adalah: mengikuti trend dunia, citra terkenal, dan preferensi konsumen. Pemanfaatan warisan budaya lokal sebagai sumber ide kreasi masih terbatas pada desain batik. Diperlukan riset sosial, sejarah dan budaya yang lebih intensif, untuk bisa menghasilkan pola ‐pola desain yang bercorak Indonesia. Aktivitas utama pada rantai kreasi adalah merancang desain, baik pakaian, tas, sepatu maupun aksesoris, sampai kepada merencanakan produksi. Khusus untuk fesyen, aktivitas memilih bahan dan warna, sampai kepada merencanakan produksi, juga termasuk di dalam rantai kreasi. Aktivitas ini dilakukan oleh perancang. 177 Pada model bisnis eksklusif dan retail menengah ke atas, para perancang di rantai kreasi merupakan perancang‐perancang berkualitas tinggi yang memperoleh pendidikan formal mengenai desain. Nama dari para perancang merupakan jaminan kualitas produk. Sedang pada retail menengah ke atas, perancang biasanya memperkenalkan citra atau merek. Merek inilah yang kemudian menjadi kekuatan dan jaminan kualitas produk. Sementara model bisnis mass production, lebih mengedepankan volume. Hal ini bukan berarti desain tidak baik. Biasanya pelaku di model bisnis masal memilihmemodifikasi beberapa desain yang sedang trend, atau desain dari perancang terkenal, untuk kemudian diproduksi dalam jumlah besar. Hal yang sama juga terjadi di model distro. Hanya saja kreasi dan modifikasi desain tersebut diproduksi dalam jumlah kecil, sehingga tergolong sebagai eksklusif. Pada rantai kreasi pakaian jadi, trend merupakan aspek penting. Saat ini kiblat para perancang Indonesia masih ke arah Eropa. Trend Eropa sangat dipengaruhi jenis musim. Empat musim setahun per periode 4 bulanan, menyebabkan munculnya minimal 4 trend dalam setahun. Trend biasanya meliputi motif, warna dan bahan. Selain itu trend yang diadopsi di Indonesia juga tergantung dari mana perancang perancang itu belajar ilmu fashion . Misalnya saja bila perancang Indonesia belajar di Italia, maka dia akan terpengaruh dengan konsep detail fashion di negara itu. Hal ini berdampak pada kurang tergalinya konten lokal sebagai sumber inspirasi trend. Beberapa isu pada rantai kreasioriginasi antara lain: 1. Jumlah perancang berkualitas sangat sedikit dan sebarannya terkonsentrasi di Jakarta. 2. Pengetahuan bahan baku masih terbatas 3. Sekolah desain fesyen yang sangat terbatas jumlahnya, juga terkonsentrasi di Jakarta 4. Prosedur impor bahan baku yang lama; ketika sampai di Indonesia, trend sudah berganti 5. Sumber inspirasi kreasi sangat banyak dimiliki Indonesia, yaitu keragaman hayati, budaya dan lain‐lain, yang tersebar di daerah‐daerah. Namun konten lokal di daerah‐ daerah menjadi tidak tergali, salah satunya disebabkan tidak terdapat para perancang di daerah tersebut, untuk mengangkat konten lokal. 6. Desain kreatif dan eksklusif membuat produk menjadi mahal, sementara daya beli masyarakat masih jauh di bawah harga tersebut. 7. Lemahnya riset trend fesyen di Indonesia Di rantai produksi, dukungan industri bahan baku sangat penting untuk keberlanjutan dan kualitas produksi. Industri pendukung utama adalah: industri kancing, zat warna, industri serat, industri tenun, dan industri konveksi bordir dan jahit. Aktivitas utama pada rantai produksi adalah penyablonan, bordir, jahit dan finishing termasuk bentuk dan press pada produk tas dan sepatu. Pada model bisnis yang mengusung eksklusifitas, termasuk distro, biasanya aktivitas produksi dilakukan terpisah dari kreasi. Aktivitas produksi disubkontrakkan pada perusahaan perusahaan konveksi, yang menerima pesanan dari berbagai pelanggan, termasuk para perancang. Namun ada juga beberapa perancang yang memiliki sendiri tenaga ‐tenaga produksi, atau disebut sebagai in‐house production. Pada model retail seperti ready to wear dan mass production, aktivitas produksi biasanya dilakukan sendiri. Kedua 178 model bisnis terakhir ini masih merupakan yang terbanyak menyumbangkan produknya di pasar. Beberapa isu pada rantai produksi antara lain: 1. Biaya produksi tinggi: biaya energi, biaya tenaga kerja 2. Biaya bahan baku tinggi akibat kelangkaan bahan baku tekstil dan kulit domestik dan biaya impor yang cukup besar 3. Mesin ‐mesin produksi tekstil dan produk tekstil sudah tua 4. Prosedur ekspor dan impor bahan baku tekstil dan kulit 5. Jumlah pekerja produksi banyak, namun kualitas dan produktivitas masih belum memadai, terutama untuk produksi fesyen pakaian jadi 6. Kualitas bahan baku kulit Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di dunia indegenous skill dalam peternakan sapi dan domba Di rantai komersialisasi, pameran, show, festival, brosur dan media merupakan mekanisme‐ mekanisme utama yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri. Mekanisme tersebut bisa dilakukan atas usaha pengusaha sendiri, fasilitasi dari asosiasi atau fasilitasi pemerintah. Hal yang berbeda terjadi pada model distro. Selain channel‐channel distribusi di atas, komersialisasi juga terjadi melalui aktivitas di berbagai komunitas‐komunitas. Memang, distro menawarkan produk bundling satu paket yang disebut sebagai lifestyle pakaian, sepatu sampai kepada musik, disesuaikan dengan gaya hidup komunitas yang disasar. Bandung merupakan pusat model bisnis distro di Indonesia. Beberapa isu pada rantai komersialisasi antara lain: 1. Akses informasi terhadap event‐event luar negeri masih kurang 2. Kurang koordinasi dalam aktivitas promosi ke luar negeri 3. Pemilihan produk dan perusahaan untuk dikedepankan di event luar negeri masih bermasalah 4. Kurangnya ruang terbuka publik, untuk wahana berinteraksi antar komunitas. Interaksi ini merupakan proses komersialisasi. Sementara itu di rantai distribusi, jasa perdagangan produk fesyen dilakukan oleh galeri, toko, pasar modern dan tradisional, distro, factory outlet, kulakan maupun grosir. Model bisnis eksklusif ataupun made to order, belum terlalu membutuhkan channel‐channel distribusi. Karena inventori tidak terjadi. Bisnis ini cukup memiliki ruang tertentu untuk kebutuhan memajang sampel‐sampel produksi mereka, dan mulai berproduksi ketika menerima pesanan. Pada model bisnis retail, baik menengah ke atas maupun menengah ke bawah, distribusi di pasar domestik terutama dilakukan melalui galeri‐galeri fesyen di mall, pasar dan toko‐toko. Saat ini sudah terbentuk persepsi konsumen, untuk membedakan channel distribusi untuk kelas menengah ke atas dan kelas menengah ke bawah. Biasanya, channel distribusi menengah ke atas tidak mengijinkan produk‐produk atau citra yang dijual di channel distribusi menengah ke bawah, dijual di channel tersebut. Sebaliknya, channel menengah ke 179 bawah dengan senang hati akan menjual citra atau produk yang dijual di channel distribusi menengah ke atas. Produk perancang Indonesia di pasar luar negeri dapat ditemukan di galeri‐galeri kota‐kota terkenal di Amerika dan Eropa. Event‐event internasional masih merupakan arena memamerkan kemampuan perancang atau memamerkan produk‐produk dalam negeri. Order dari para buyer luar negeri ini merupakan target utama yang ingin dicapai, baik dengan citra milik produsen lokal, maupun produk lokal dengan citra milik buyer galeri luar negeri tersebut. Sehingga bukan hal yang aneh menemukan produk‐produk perancang Indonesia dijual di galeri‐galeri luar negeri, akan tetapi sudah bermerek luar negeri. Beberapa isu utama pada rantai distribusi antara lain: 1. Mahalnya biaya distribusi melalui gerai‐gerai di mall, sehingga sulit dijangkau oleh produsen ‐produsen lokal. Akibatnya produk dan citra luar negeri yang mengisi sebagian besar gerai tersebut. 2. Channel distribusi produk‐produk fesyen sudah tersebar hampir di seluruh kota‐kota di Indonesia Pada sisi pasar dan konsumen, terjadi segmentasi menjadi: kelompok konsumen kelas atas, menengah ke atas, dan menengah ke bawah. Segmentasi ini tercermin dari tempat channel distribusi dimana konsumen memperoleh produk. Pasar domestik industri fesyen, baik fesyen pakaian, sepatu, tas maupun aksesoris masih didominasi oleh produsen‐produsen luar negeri. Gerai‐gerai fesyen terutama kelas menengah ke atas dipenuhi oleh produk‐produk bermerek luar. Sementara untuk kelas menengah ke bawah, produk RRT dan produk impor legal merupakan saingan terbesar. Akan tetapi sinyal bahwa produsen domestik mulai berkembang di pasar domestik mulai kelihatan, meskipun cenderung masih merupakan konsumen asing yang berada di Indonesia. Salah satu sinyal ini adalah hadirnya Visa Indonesia sebagai sponsor suatu event fesyen. Visa Indonesia melaporkan pada November 2007, pembelanjaan turis mancanegara di Indonesia mencapai Rp 5,6 trilyun, dengan pembelanjaan kedua terbesar adalah pada kategori ritel, yaitu pakaian pria dan perempuan yang mencapai Rp 138 miliar. Potensi pembelanjaan oleh turis asing itulah yang mendorong Visa ikut mempromosikan karya perancang Indonesia. Lembaga, organisasi terkait industri fesyen antara lain: 1. Asosiasi perancang, asosiasi pertekstilan, asosiasi sepatu dan asosiasi penyamak kulit 2. Balai ‐balai industri, penelitian bahan baku dan teknologi produksi 3. Pemerintah dalam hal regulasi dan komersialisasi 4. Lembaga pendidikan dan pelatihan 5. Event organizer: show, festival, pameran 180

I.3 Lapangan Usaha dan Industri yang terkait dengan Subsektor Industri