Selain itu, pada kondisi MEY, jumlah stok ikan di perairan menghasilkan jumlah yang paling banyak sehingga pengelolaan sumberdaya ikan secara statik di
perairan Jakarta sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner
. Tabel 17. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan
sumberdaya ikan pelagis dengan metode estimasi CYP
Rezim Pengelolaan x ton
h ton E trip
π juta Rp Sole Owner MEY
8.823,85 6.244,92
41.715,85 40.970,44
Open Acces OAY
759,28 1.074,74
83.431,70 -
MSY 8.444,21
6.257,57 43.679,64
40.879,65
Aktual
3.515,88 201.360,07
6.618,56 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Pada kondisi MEY Sole Owner, jumlah stok ikan pelagis adalah 8.823,85 ton dengan hasil tangkapan sebesar 6.244,92 ton, jumlah upaya tangkap yang
diperbolehkan sebanyak 41.716 trip agar mendapatkan nilai rente yang sebesar Rp40.970,44 juta. Rezim Open Access hanya menghasilkan biomassa optimal
pada sumberdaya ikan pelagis sebanyak 759,28 ton dengan tingkat produksi optimal yang bisa didapat adalah sebesar 1.074,74 ton, jumlah upaya tangkap
pada rezim open access sebanyak 83.431,70 trip tetapi rente ekonomi yang diperoleh jika menerapkan rezim ini adalah Rp 0,-. Pada kondisi MSY, stok ikan
pelagis adalah 8.444,21 ton dengan hasil tangkapan optimal sebesar 6.257,57 ton dan jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 43.680 trip dengan rente
ekonomi optimal yang didapat sebesar Rp 40.879,65 juta. Pada Gambar 20, terlihat effort pada kondisi aktual berada di atas kondisi
MEY, MSY dan open access. Rata-rata effort aktual sudah melebihi dua kali lipat dari kondisi optimal MEY. Berdasarkan Gambar 20 juga terlihat bahwa
peningkatan jumlah effort tidak diikuti dengan penambahan jumlah produksi bahkan jumlah produksi semakin berkurang. Padahal penambahan effort akan
meningkatkan biaya operasional yang berdampak pada penurunan tingkat keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan perbadingan kondisi aktual dengan
kondisi optimal maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas penangkapan sumberdaya ikan pelagis di Provinsi DKI Jakarta telah mengalami biological dan
economic overfishing.
Gambar 20. Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Jakarta menurut metode estimasi CYP
Sumber : Hasil Analisis Data 2013
6.1.7 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagis
Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi untuk sumberdaya ikan pelagis dapat dilihat pada Lampiran 17. Pada sumberdaya ikan pelagis, koefisien rata-rata
laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun secara berturut-turut mencapai 0,65 dan 0,67. Nilai rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan
pelagis berada di atas batas toleransinya. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di Perairan Jakarta telah terdegradasi dan terdepresiasi. Secara grafis
ditunjukkan Gambar 21. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis berfluktuatif,
Tahun 1997 sampai dengan Tahun 1999, laju degradasi dan depresiasi berada di atas batas toleransinya. Pada tahun 2000 sampai dengan Tahun 2007, laju
degradasi dan depresiasi berada di bawah batas angka toleransinya tetapi kemudian meningkat tajam pada Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2011.
- 5.000,00
10.000,00 15.000,00
20.000,00 25.000,00
30.000,00 35.000,00
40.000,00 45.000,00
- 50.000,00
100.000,00 150.000,00
200.000,00 250.000,00
MEY OAY
MSY Aktual
Produksi Effort
Rente Ekonomi
ca tc
h to
n ,
e ffo
r t
tr ip
ren te
e ko
no m
i j
ut a
R p
Gambar 21. Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Pada Gambar 21 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis yang hampir sama karena besaran nilai keduanya yang
tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi,
ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan pelagis akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan.
6.2 Sumberdaya Ikan Demersal
Sumberdaya ikan demersal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua ikan yang termasuk dalam kelompok ikan demersal dan kelompok udang,
cumi dan rajungan menurut Naamin 1987. Untuk sumberdaya ikan demersal maka jumlah produksi ikan yang akan dianalisis adalah jumlah produksi ikan
yang ditangkap oleh muroami termasuk bagan dan sero, bubu, rampus dan dogol. Pemilihan alat tangkap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa alat
tangkap ini masih dominan digunakan oleh nelayan Jakarta dan sebagian besar hasil tangkapannya bersumber dari perairan Jakarta. Muroami dimasukkan dalam
perhitungan bioekonomi dengan pertimbangan bahwa 1 muroami masih banyak digunakan oleh nelayan Jakarta walaupun jumlah dan produksinya pada Tahun
2012 tidak dicantumkan dalam buku statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012, 2 hingga Tahun 2010, data produksi dan jumlah trip muroami
0,00 0,20
0,40 0,60
0,80 1,00
1,20
Laju Degradasi Laju Depresiasi
Bench Marking
Laj u De
g radas
i, Laj
u De
pr e
si as
i