Permodelan Sistem Perikanan Lepas Pantai

214 pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya di laut lintas provinsi. Forum juga telah berperan memberikan masukan kepada Menteri, dalam upaya menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Disamping itu, ada juga kelembagaan yang dibentuk oleh pengusaha perikanan tuna yaitu Asosiasi Pengusaha Perikanan Tuna Indonesia ASTUIN. Pada tingkat provinsi dan kabupaten kota, kelembagaan perikanan tuna belum ada. Secara umum, kinerja dari kelembagaan tuna dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Penilaian kinerja kelembagaan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa No. Kriteria Penilaian 1 Politik Kelembagaan perikanan tuna belum memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional. 2 Sosial Budaya Kelembagaan tuna belum mampu menumbuhkan kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat. Secara sosial, kelembagaan juga belum mampu menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi diantara stakeholder perikanan serta menjauhkan konflik. 3 Ekonomi Kelembagaan perikanan belum secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum. 4 Hukum Kelembagaan perikanan telah memperoleh mandat yang jelas dari hukumperaturan yang ada, baik tata kelembagaan, kerangka kerja maupun kapasitas kelembagaanya. Namun dalam pelaksanaannya, sering tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan akan sangat tergantung kepada siapa pemegang jabatan, bukan kepada sistem hukum yang berlaku. 5 Teknologi Kelembagaan yang ada belum memberikan kepedulian yang besar terhadap pengembangan perikanan secara produktif, efisien, berkualitas dan aman. Khususnya dalam jaminan produk perikanan yang bermutu tinggi, dengan sarana dan prasarana penanganan ikan yang mendukung di kapal dan di pelabuhan perikanan. Sumber: olahan data Berdasarkan pemahaman tersebut, maka perlu dibentuk suatu kelembagaan perikanan tuna terpadu, yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan stakeholders. Hal ini juga dalam rangka memenuhi ketentuan UNCLOS 1982 dan Code of Conduct for Responsible Fisheries, supaya ada suatu kelembagaan tersendiri yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi terhadap sumberdaya tuna di Selatan Jawa.

7.3.2 Permodelan Sistem Perikanan Lepas Pantai

215 Permodelan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa, atau untuk selanjutnya diberi nama SIMPELA. Model dibangun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan pada kondisi existing sistem saat ini, seperti telah dianalisis pada Bab. 7.3.1. Model dibangun untuk memberikan solusi atau memperbaiki kondisi sistem yang ada. Pembangunan model dilakukan dengan mengintegasikan tiga submodel yaitu 1 submodel usaha perikanan USAHA, 2 submodel pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas PELABUHAN dan 3 submodel kebijakan dan kelembagaan LEMBAGA. 1 Submodel USAHA Submodel USAHA dibangun dalam sebuah model sistem dinamis, dengan struktur model seperti telah dideskripsikan pada Gambar 14, pada Bab 3.5.2. Model sistem dinamis ini bersifat sangat fleksibel. Model akan menghasilkan output sesuai dengan input yang dimasukkan ke dalam model. Model sistem dinamis tersebut dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sumberdaya ikan di berbagai perairan, dengan melakukan modifkasi pada input yang disesuaikan dengan kondisi dari sumberdaya perikanan di masing-masing perairan. Model sistem dinamis pada kajian ini, telah disimulasikan untuk pengelolaan sumberdaya tuna di Selatan Jawa. Model dapat digunakan untuk memperkirakan atau memproyeksikan, berapa jumlah kapal yang akan diberikan izin untuk memanfaatkan sumberdaya tuna di Perairan ZEE Indonesia. Batasan target produksi akan menjadi faktor pembatas bagi maksimal jumlah effort unit kapal tuna longline yang boleh beroperasi. Simulasi telah diujicobakan kedalam model untuk pengembangan perikanan tuna di Perairan Selatan Jawa, dengan menggunakan target produksi sebesar 8.000 ton. Target produksi ini disesuaikan dengan hasil tangkapan tuna saat ini, yang berkisar antara 4.000-5.000 ton per tahun. Berdasarkan asumsi tingkat pemanfaatan saat ini sekitar 48,7, yaitu sesuai dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis besar di Selatan Jawa PRPT 2001. Target produksi sebesar 8.000 ton, adalah sesuai dengan aturan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB atau total allowable catch TAC yang besarannya adalah sekitar 80 dari besarnya potensi. 216 Pada analisis usaha dalam bagian sebelumnya, telah diperoleh faktor-faktor teknis yang berperan penting bagi keberhasilan usaha perikanan tuna. Faktor- faktor teknis tersebut, selanjutnya dijadikan input bagi model sistem dinamis dari submodel USAHA. Nilai parameter dari variabel teknis yang digunakan pada model sistem dinamis seperti terlihat pada Tabel 22. Tabel 22 Input faktor teknis untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA No. Faktor Produksi Kebutuhan 1 Tenaga Kerja ABK orang 15 2 Solar liter 25.000 3 Umpan ton 2 4 Es balok 350 5 Air tawar m 3 10 6 Jumlah trip per tahun trip 6 7 Produksi per trip ton 8 8 Produksi kualitas eskpor 50 9 Produksi lokal 50 Pada bagian sebelumnya, dari hasil analisis finansial usaha perikanan tuna telah diperoleh besaran-besaran nilai untuk kelayakan finansial usaha. Besaran tersebut selanjutnya diintegrasikan dengan hasil analisis teknis, yang digunakan secara bersama sebagai input model sistem dinamis untuk membangun submodel USAHA. Input hasil analisis finansial usaha yang dimasukkan ke dalam model sistem dinamis submodel USAHA, seperti terlihat pada Tabel 23. Output model sistem dinamis akan memberikan gambaran hubungan antara jumlah effort unit kapal yang diizinkan beroperasi, dengan berbagai variabel lainnya. Variabel yang ada dalam model adalah jumlah produksi, jumlah keuntungan, nilai retribusi, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan, solar, jumlah kebutuhan es dan jumlah kebutuhan air tawar per tahun. Tabel 23 Input kelayakan finansial untuk program sistem dinamis pada submodel USAHA No. Rincian Kebutuhan 1 Harga ikan ekspor Rp 76.000,00 2 Harga ikan lokal Rp 10.000,00 3 Biaya total Rp 1.748.782.000,00 4 Retribusi penerimaan lokal 5,00 5 Inflasi per tahun 0,06 217 Output model sistem dinamis akan memberikan gambaran hubungan antara jumlah effort unit kapal yang diizinkan beroperasi, dengan berbagai variabel lainnya. Variabel yang ada dalam model adalah jumlah produksi, jumlah keuntungan, nilai retribusi, kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan, solar, jumlah kebutuhan es dan jumlah kebutuhan air tawar per tahun. Gambar 17 menampilkan simulasi perubahan jumlah effort, jumlah produksi dan keuntungan sebagai fungsi dari perubahan waktu. Berdasarkan target produksi 8.000 ton ikan tuna per tahun, maka peningkatan jumlah produksi hingga mencapai target, akan dapat terpenuhi dalam periode waktu sekitar 30 tahun. Asumsi dasar yang digunakan pada simulasi model sistem dinamis adalah, jumlah produksi tuna saat ini yang didaratkan di PPPPI selatan Jawa berjumlah 5.000 ton dan kenaikan rata-rata per tahun unit longline adalah 10. Kenaikan keuntungan relatif kecil di periode awal, meningkat relatif tinggi pada periode tahun berikutnya, meningkat terus sampai terpenuhinya target produksi. Perubahan kenaikan yang tinggi pada keuntungan di periode akhir, disebabkan perubahan nilai mata uang akibat pengaruh faktor inflasi. Time effort 10 20 30 40 50 100 120 140 160 Time produksi_tuna 10 20 30 40 50 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000 Time keuntungan 10 20 30 40 50 2e11 4e11 6e11 8e11 Gambar 17 Simulasi jumlah effort, produksi, keuntungan pada pengembangan perikanan tuna menggunakan model sistem dinamis. Jumlah effort atau unit kapal longline optimal yang diberikan izin beroperasi di Selatan Jawa, sebesar 170 unit. Berdasarkan perkembangan yang terjadi sekitar 10 tahun terakhir, yaitu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2005, perkiraan jumlah kapal tuna yang ada saat ini adalah sekitar 90 kapal, yaitu sekitar 60 unit kapal berada di PPS Cilacap dan 30 unit kapal di PPN Palabuhanratu. 218 Berdasarkan pertimbangan pembagian kuota 50, maka kapal tuna di PPS Cilacap akan bertambah sekitar 25 unit dan di PPN Palabuhanratu bertambah 55 unit, menjadi masing-masing 85 unit. Perhitungan belum memperhatikan jumlah kapal yang beroperasi di Selatan Jawa, tetapi mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Muara Baru Jakarta dan di Pelabuhan Benoa Bali. Pada Gambar 18, terlihat output hasil simulasi yang menggambarkan keterkaitan antara perubahan effort dengan perubahan kebutuhan input produksi, diantaranya terkait dengan kebutuhan solar, umpan, es, air tawar dan tenaga kerja. Kenaikan effort menjadi 170 unit, akan meningkatkan kebutuhan solar menjadi sekitar 24.000 kilo liter, umpan meningkat menjadi 1.920 ton, kebutuhan es berjumlah 336.000 balok dan kebutuhan air tawar sekitar 840.000 m 3 per tahun. Kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan untuk operasi 170 unit kapal longline, berjumlah 2.400 orang. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus tersedia, dengan basis operasi penangkapan tuna di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. effort k ebutuhan_es 100 160 200,000 250,000 300,000 350,000 effort k ebutuhan_s ola r 100 160 15,000,000 20,000,000 25,000,000 effort k ebutuhan_umpan 100 160 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 effort k ebutuhan_air_tawa r 100 160 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 Gambar 18 Simulasi kebutuhan input produksi pada pengembangan perikanan tuna menggunakan model sistem dinamis. 2 Submodel PELABUHAN Berdasarkan hasil analisis pada subsistem PELABUHAN, telah ditetapkan bahwa pelabuhan perikanan yang dapat mendukung kebutuhan pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa adalah PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Untuk kebutuhan pengembangan perikanan tuna, kedua pelabuhan perikanan tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan kualitas tuna berstandar kualitas 219 ekspor. Penerapan good manufacturing practices GMP dan standar sanitation operational procedure SSOP, penting diterapkan di kedua pelabuhan tersebut. Hasil simulasi model sistem dinamis dari submodel USAHA seperti telah disebutkan di atas, menyatakan jumlah effort atau unit kapal longline optimal yang diberikan izin sebesar 170 unit kapal longline. Kuota perizinan dibagi sama yaitu 50 untuk PPS Cilacap dan 50 untuk PPN Palabuhanratu, dengan asumsi bahwa PPN Palabuhanratu nantinya akan dikembangkan menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera PPS. Peningkatan jumlah unit penangkapan yang akan mendaratkan ikannya di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, menjadikan perlunya peningkatan fasilitas kepelabuhanan. Beberapa contoh fasilitas yang perlu ditingkatkan adalah kedalaman kolam pelabuhan, dan lebar alur masuk pelabuhan. Kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m, sedangkan lebar alur masuk pelabuhan sekitar 43,44-57,92 m. Untuk dapat memenuhi kebutuhan perbekalan, perlu ditambah fasilitas penyediaan BBM solar, umpan, air tawar dan es. Kebutuhan BBM solar yang perlu disediakan per tahun sekitar 24.000 kilo liter, kebutuhan umpan 1.920 ton, kebutuhan es 336.000 balok, air tawar berjumlah 840.000 m 3 dan kebutuhan ABK berjumlah 2.400 orang. Pemenuhan kebutuhan tersebut dibagi dua, yaitu untuk PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap. 3 Submodel LEMBAGA Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa, akan dapat berhasil dengan baik, dengan membentuk suatu kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan terpadu. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya terpadu, dimaksudkan untuk dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dari para pelaku sistem. Pengelolaan hendaknya dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan ZEE Indonesia Selatan Jawa, tidak dilakukan secara parsial per provinsi atau per kabupaten. Bentuk kelembagaan yang akan diwujudkan, dapat mencontoh dari beberapa bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan di berbagai perairan lain di dunia. Kelembagaan tentunya perlu dimodifikasi dengan karakteristik yang dimiliki perikanan tuna di Selatan Jawa. 220 Satu contoh bentuk pengelolaan sumberdaya terintegrasi adalah organisasi pengelolaan sumberdaya perikanan The Western Pacific Regional Fishery Management Council WPRFMC. Organisasi WPRFMC merupakan salah satu dari delapan dewan regional yang dibentuk oleh US Fishery Conservation and Management Act pada tahun 1976 Magnuson Act Leung 1998. Organisasi pengelolaan perikanan WPRFMC merupakan organisasi yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan perikanan di Perairan ZEE Hawai. Organisasi ini bertanggungjawab kepada pemerintah pusat dan lokal, dalam setiap kebijakan atau keputusan yang diambil. Struktur organisasi WPRFMC terdiri atas empat unsur utama yaitu Scientific and Statistical Committee SSC, Fishing Industry Advisory Panel AP, Fishery Management Plant PTs dan Standing Committees SCs. Keempat unsur dalam struktur organisasi, mewakili keanggotaan dari unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah dan industri perikanan. Keanggotaan WPRFMC meliputi sekitar 70 anggota, berasal dari latar belakang yang berbeda dalam industri perikanan di Hawai. Fishery Management Plant PTs terdiri atas 15 anggota, yang terbagi dalam empat tim, yaitu tim perencanaan pengelolaan perikanan pelagis, perikanan demersal, perikanan crustacea dan perikanan ikan karang. Fungsi utama PTs yaitu melakukan evaluasi dan mengorganisir isu-isu, dan membuat laporan tahunan. PTs juga diharuskan, untuk dapat menghasilkan rekomendasi riset dan data yang diperlukan bagi penelitian dan evaluasi alternatif-alternatif kebijakan perikanan. Advisory Panel AP juga terbagi dalam empat tim. Fungsi AP adalah memberikan arahan atau dorongan kepada industri perikanan, untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya. Keanggotaan AP terdiri atas sekitar 50 anggota. Dalam kenyataannya, AP lebih berfungsi sebagai wahana komunikasi antara masyarakat perikanan dengan pembuat kebijakan. Scientific and Statistical Committee SSC terdiri atas 15 anggota, yang memiliki fungsi utama untuk mereview rekomendasi ilmiah dan data statistik yang diberikan oleh PTs. Hal ini dimaksudkan agar rekomendasi maupun data statistik, yang akan digunakan dalam perencanaan atau perubahan kebijakan memiliki tingkat validitas yang tinggi. Sebagai dewan penasehat ilmiah, pada kenyataannya rekomendasi yang diberikanan SSC secara umum meyakinkan. 221 Standing Committees SCs terdiri atas 9 Bagian yang meliputi Bagian eksekutif, Bagian perikanan demersal dan seamount groundfish, Bagian anggaran dan program, nelayan lokal, ikan karang, ekosistem pesisir, crustacea, pelagis dan Bagian pelaksana. Fungsi SCs adalah membantu Dewan dalam memahami dan mencerna informasi dan isu-isu yang berkembang dalam setiap pertemuan. Secara administratif WPRFMC mempunyai satu direktur eksekutif, staf profesional dan sekretaris yang bertanggungjawab mengorganisir, menyediakan draft perencanaan pengelolaan perikanan dan tugas-tugas administratif lainnya. Organisasi WPRFMC memiliki struktur, fungsi dan tugas yang jelas seperti terlihat pada Gambar 19. Gambar 19 Struktur organisasi The Western Pacific Regional Fishery Management Council WPRFMC Leung 1998. “Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa” secara kelembagaan dapat mencontoh struktur kelembagaan WPRFMC. Struktur kelembagaan dibentuk dengan melibatkan seluruh pelaku sistem stakeholder, sehingga kinerja kelembagaan nantinya akan dapat mengakomodir kepentingan para pelaku sistem. 222 Unsur pembentuk struktur kelembagaan perikanan lepas pantai terdiri atas beberapa unsur, yang merupakan pelaku stakeholder perikanan tuna di Selatan Jawa meliputi kelompok 1 pengusaha atau industri bussiness, 2 pemerintah goverment, 3 akademisipeneliti academic, 4 pemodal financing, dan 5 masyarakat community. Kelompok pengusaha atau industri meliputi 1 usaha penangkapan ikan; 2 usaha pengolahan; 3 usaha transportasi dan pemasaran; 4 usaha penyedia perbekalan atau penyedia input produksi. Kelompok masyarakat mencakup masyarakat nelayan dan bukan nelayan. Pemodal meliputi lembaga-lembaga pemberi modal, seperti perbankan Gambar 20. Kelembagaan bekerja menjalankan fungsi-fungsi manajemen pengelolaan sumberdaya tuna, yaitu membuat perencanaan pengelolaan, membuat program kerja, melaksanakan program kerja, melakukan pengawasan dan evaluasi serta memberikan kontribusi kebijakan-kebijakan pengelolaan yang tepat kepada pemerintah. Untuk itu sebagai badan pelaksana pengelolaan sumberdaya tuna di Selatan Jawa, kelembagaan memiliki struktur yang terdiri atas 1 Bagian riset dan pengembangan, 2 Bagian perencanaan dan manajemen perikanan, 3 Bagian advokasi atau penasehat industri perikanan tuna, dan 4 Komite Pelaksana yang terdiri atas: Bagian anggaran, Bagian kebijakan, Bagian program, Bagian pembinaan nelayan, Bagian penegakan hukum, serta Bagian monitoring dan evaluasi. Kunci sukses dari kelembagaan ini akan tergantung pada net working, kepercayaan dan komunikasi antar stakeholder yang terlibat. 223 Gambar 20 Struktur kelembagaan “Pengelolaan Perikanan Tuna di Selatan Jawa”. Secara nasional telah dibentuk FKPPS lihat Bab 5.3.3, namun hingga saat ini FKPPS belum berperan optimal dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Beberapa kelemahan menjadi sebab belum optimalnya peran dari FKPPS, diantaranya yaitu: 1 Mandat yang diberikan kepada FKPPS adalah membantu menteri dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan pengelolaan perikanan. Forum tidak memiliki otoritas melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan; 2 Keanggotaan FKPPS baru dari unsur pemerintah, belum melibatkan unsur dari pelaku sistem yang lain. Oleh karena itu, masukan kebijakan belum mewakili aspirasi seluruh pelaku sistem stakeholder; 3 Forum tidak dapat cepat merespon isu-isu terbaru, karena pertemuan anggota tidak dapat dengan cepat dilaksanakan. Cakupan bahasan permasalahan dan masukan kebijakan yang dihasilkan juga tidak akan optimal. Bentuk kelembagaan yang diusulkan ini, diharapkan dapat berperan lebih optimal. Kelembagaan bertugas seperti halnya suatu manajemen perusahaan, yang memiliki kewenangan atau otoritas penuh untuk melaksanakan pengelolaan dan pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa. Kelembagaan bertanggungjawab 224 langsung kepada pemerintah. Kelembagaan, dapat saja sebagai penyempurnaan dari FKPPS. Syaratnya, keanggotaan diperluas dengan melibatkan seluruh pelaku sistem stakeholder dan bentuk struktur kelembagaan seperti pada Gambar 20. 4 Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai Integrasi dari submodel USAHA, submodel PELABUHAN dan submodel LEMBAGA membentuk Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa SIMPELA Gambar 21. Model merekomendasikan: 1 Pengembangan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa, dilakukan dengan terlebih dahulu membangun usaha perikanan tuna skala industri. Perikanan tuna menggunakan kapal longline berukuran 30 GT, didukung dengan manajemen usaha yang baik. Usaha memerlukan dukungan ketersediaan input produksi berupa kapal, alat tangkap beserta perlengkapannya serta perbekalan operasi. Usaha dilakukan berdasarkan pada prinsip efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Standar good manufacturing practices GMP dan standar sanitation operational procedure SSOP penting diterapkan di kapal longline. 2 Jumlah kapal yang direkomendasikan untuk Selatan Jawa, dengan basis penangkapan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu adalah 170 unit longline. Kuota dibagi rata yaitu 50 atau 85 unit, dengan asumsi bahwa PPN Palabuhanratu akan ditingkatkan statusnya menjadi PPS. Fasilitas di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu perlu ditingkatkan. Kebutuhan utama terkait dengan fasilitas pokok yaitu lebar alur masuk pelabuhan, dan kedalaman kolam pelabuhan. Kebutuhan lebar alur masuk pelabuhan adalah 43,44-57,92 m, sedangkan kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m. 4 Kebutuhan input produksi yang harus dipenuhi di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu untuk mendukung kegiatan perikanan tuna longline, diantaranya yaitu terkait dengan kebutuhan solar, umpan, es, air tawar dan kebutuhan ABK. Kebutuhan per tahun yang harus disediakan yaitu solar sekitar 24.000 kilo liter, 1.920 ton umpan, 336.000 balok es, air tawar berjumlah 840.000 m 3 . Kebutuhan ABK berjumlah 2.400 orang, dengan kompetensi memiliki sertifikasi pelaut internasional sesuai standar SCTW Standar of Training Certification Watch Keeping for Seaferers. 225 5 Kedua pelabuhan perikanan sebagai basis perikanan tuna, yaitu PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu perlu dikembangkan menjadi pelabuhan perikanan berskala internasional. Hal ini dilakukan dengan pembangunan pelabuhan yang dikhususkan hanya untuk perikanan skala industri, kelengkapan fasilitas kepelabuhanan, manajemen kepelabuhanan yang baik yang dilakukan oleh Pengelola Pelabuhan yang kompeten, serta penerapan sistem mutu yang teruji, khususnya penerapan GMP dan SSOP. 6 Peraturan perundang-undangan serta kebijakan perikanan perlu dibuat untuk dapat mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal berkelanjutan. Peraturan dan kebijakan dibuat secara sinergi antara pusat dan daerah, disertai dengan mandat yang jelas, serta penegakan hukum yang adil. 7 Perlu dibentuk kelembagaan tuna terpadu, untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya tuna terintegrasi, yang dapat mengakomodasikan kepentingan antar wilayah provinsi dan kabupaten, serta antar stakeholder. Kelembagaan berperan sebagai pelaksana pengelolaan dan pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa secara berkelanjutan. 226

7.4 Model Pengembangan Perikanan Pantai