Analisis Sistem Perikanan Lepas Pantai

193 industri. Tujuan utama usaha perikanan tuna adalah produk dengan kualitas ekspor, khususnya dalam bentuk tuna segar fresh tuna.

7.3.1 Analisis Sistem Perikanan Lepas Pantai

1 Analisis subsistem USAHA Usaha perikanan tuna memerlukan teknologi penangkapan ikan yang canggih, permodalan yang besar, SDM yang terampil dan berpengalaman, serta kebutuhan lainnya yang pada umumnya haruslah berkualitas tinggi. Keberhasilan usaha, akan sangat tergantung pada tiga faktor utama yaitu potensi sumberdaya ikan, faktor teknis usaha dan kelayakan ekonomi dari usaha. 1 Analisis potensi sumberdaya Analisis potensi sumberdaya ikan tuna dilakukan berdasarkan pendekatan nilai catch per unit effort CPUE ikan tuna yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPN Pondokdadap. Hasil analisis menunjukkan, nilai CPUE ikan tuna untuk pancing tonda di PPP Pondokdadap berfluktuasi Lampiran 27a. Produksi ikan tuna meningkat pada tahun 2004 dibandingkan dengan produksi pada tahun 2000, yaitu dari 19.213 kg pada tahun 2000 menjadi 1.738.369 kg pada tahun 2004. Upaya penangkapan meningkat dari 888 trip pada tahun 2000, menjadi 5.011 trip pada tahun 2004. Nilai catch per unit effort CPUE atau produktivitas meningkat dari 21,64 kg per trip pada tahun 2000, menjadi 346,91 kg per trip pada tahun 2004. Produksi ikan tuna di PPS Cilacap berfluktuasi. Produksi pada tahun 1996 berjumlah 216.774 kg, meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2001, yaitu berjumlah 2.112.901 kg. Pada tahun 2003 produksi tuna menurun menjadi 487.450 kg. Penurunan produksi terkait dengan sedikitnya kapal longline yang masuk ke PPS Cilacap, karena terjadinya pendangkalan pada alur masuk ke kolam pelabuhan. Upaya penangkapan berjumlah 41 trip pada tahun 1996, meningkat menjadi 3.773 trip pada tahun 2001. Upaya penangkapan menurun drastis pada tahun 2002 menjadi 429 trip dan 127 trip pada tahun 2003. Nilai catch per unit effort CPUE cenderung menurun selama periode 1996-2001. Produktivitas terendah terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 560,01 kg per trip. Produktivitas 194 meningkat pada tahun 2002 menjadi 3.452,24 kg per trip, dan terus meningkat menjadi 4.703 kg per trip pada tahun 2005 Gambar 16. 1 2 3 4 5 6 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun C P U E to n t ri p Gambar 16 Catch per unit effort tuna di PPS Cilacap. Kegiatan perikanan tuna di PPN Palabuhanratu periode tahun 2000-2002 menggunakan payang dan gillnet, periode 2003-2006 menggunakan unit longline. Produksi berfluktuasi, pada tahun 2000 berjumlah 142.048 kg, menurun menjadi 85.733 kg tahun 2001 dan meningkat menjadi 710.131 kg tahun 2004. Upaya penangkapan berjumlah 4.458 trip tahun 2000, menurun pada tahun 2001 dan meningkat tajam tahun 2002 yaitu sebesar 9.379 trip. Tahun 2003, upaya penangkapan longline sebesar 164 trip, meningkat menjadi 281 trip tahun 2004. Produktivitas rendah pada periode 2000-2002 yaitu sebesar 31,86 kg per trip tahun 2000, menurun menjadi 18,92 kg per trip tahun 2002. Nilai catch per unit effort CPUE meningkat pada tahun 2003 menjadi 668,78 kg per trip, dan terus meningkat menjadi 2.527,16 kg per trip tahun 2004 Lampiran 27b. Potensi sumberdaya ikan pelagis besar, menurut kajian PRPT tahun 2001 sebesar 386.260 ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 188.280 ton atau baru dimanfaatkan 48,74 Tabel 1 Bab 1. Hasil analisis dengan pendekatan CPUE dari tiga lokasi yaitu PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPP Pondokdadap menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan CPUE dan hasil pengkajian stok oleh PRPT tahun 2001, dapat disimpulkan bahwa masih tersedia peluang yang besar untuk pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa. 2 Analisis teknis usaha perikanan 195 Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha penangkapan ikan meliputi kegiatan dari pra produksi, produksi, pasca produksi dan pemasaran. Kondisi existing sub sistem usaha perikanan tuna di Selatan Jawa, telah dideskripsikan pada Bab 5.1.1. a Kegiatan pra poduksi Ketersediaan input produksi merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan lancar. Input produksi pada perikanan tuna meliputi: - Ketersediaan unit penangkapan; - Ketersediaan sumberdaya manusia SDM yang handal dan terampil; - Permodalan: modal investasi dan modal operasi; - Ketersediaan perbekalan: solar, minyak tanah, air tawar, es, dan umpan. Ketersediaan unit penangkapan yang meliputi kapal perikanan, alat tangkap, mesin dan peralatan bantu penangkapan lainnya merupakan faktor yang sangat penting. Kapal memiliki umur teknis yang terbatas. Kapal longline yang terbuat dari kayu, memiliki umur teknis sekitar 15-20 tahun. Pada Tabel 3 dalam Bab 5.1.1, disebutkan bahwa kapal-kapal longline yang ada saat ini dibuat tahun 1996- 2004, maka setiap tahun akan ada kapal yang rusak dan perlu diganti dengan yang baru. Mengingat bahwa saat ini tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis besar di WPP IX baru sekitar 48,74, maka masih diperlukan banyak unit kapal untuk pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di WPP IX. Unit longline memerlukan SDM yang handal, terampil dan berpengalaman. Kebutuhan rata-rata ABK longline adalah 15 orang. Hasil wawancara usia produktif untuk bekerja di kapal longline adalah umur 20-50 tahun. Setiap tahun akan ada regenerasi ABK. Penyediaan SDM harus lebih baik dari kondisi yang ada saat ini, khususnya dari aspek kualitas. Rata-rata ABK yang bekerja di kapal longline saat ini lulus SD dan SMP. Pengetahuan operasi penangkapan, diperoleh berdasarkan pengalaman setelah ikut dalam kegiatan operasi penangkapan ikan. ABK pada unit longline mensyaratkan keahlian dan keterampilan yang khusus, terkait dengan medan yang berat, lautan yang luas dan harus tahan hidup lama di laut. Penyediaan ABK untuk bekerja di kapal longline tidaklah mudah. Satu karakteristik nelayan Selatan Jawa yang mungkin sulit dirubah adalah kebiasaan melakukan trip harian one day trip. Diperlukan adaptasi yang besar 196 untuk berubah menjadi nelayan yang harus melakukan trip bulanan. Sebagian besar nelayan longline yang ada saat ini, berasal dari nelayan Pantai Utara Jawa. ABK longline memerlukan keahlian yang baik, utamanya untuk posisi Fishing MasterNakhoda, Kepala kamar mesin KKM, Kepala pengoperasian alat tangkap dan Kepala penanganan kualitas ikan. Fishing Master bertanggungjawab untuk keberhasilan penangkapan ikan, khususnya dalam pencarian fishing ground yang tepat. Kepala kamar mesin bertanggungjawab menangani mesin kapal, agar operasi penangkapan dapat berjalan lancar. Kepala pengoperasian alat tangkap bertanggungjawab dalam pengoperasian longline. Alat tangkap longline dalam pengoperasiannya, yaitu saat setting harus dilakukan dengan kecepatan tinggi. Kesalahan dalam perangkaian longline dapat berakibat fatal, ABK dapat tercebur ke laut atau tersangkut pancing. Kepala penanganan ikan, bertanggungjawab dalam pengendalian kualitas tuna. Ikan tuna perlu dijaga dalam kondisi fresh dan berkualitas baik, untuk itu diperlukan tenaga yang ahli dalam penanganan tuna. Semua posisi tenaga ABK tersebut memerlukan keahlian dan sertifikasi khusus. Saat ini telah tumbuh sekolah setingkat SMA khusus perikanan. Beberapa diantaranya yaitu di Turen, Kabupaten Malang dan di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Trenggalek. Keberadaan sekolah ini diharapkan dapat menggantikan tenaga-tenaga perikanan yang lebih menguasai ilmu dan teknologi penangkapan ikan. Disamping tenaga-tenaga yang telah dihasilkan sebelumnya dari Sekolah Usaha Menengah Perikanan SUPM yang telah berdiri cukup lama di Tegal, dan juga pusat-pusat pelatihan ketenagakerjaan lainnya. Peran pemerintah diperlukan untuk dapat menjamin bahwa, lulusan sekolah perikanan tersebut memang benar- benar akan bekerja di bidangnya dan tidak bekerja di bidang lainnya. Ketersediaan permodalan merupakan faktor penting lainnya. Biaya investasi yang tinggi untuk pembelian kapal, mesin, alat dan perlengkapan lainnya yaitu sekitar Rp 1.100.000.000,00, menjadikan pengusaha cukup sulit untuk melakukan investasi kembali kapal penangkapan ikannya. Akibatnya banyak digunakan kapal longline yang sebenarnya sudah tidak ekonomis lagi. Biaya operasi penangkapan ikan pada kapal longline tinggi, yaitu sekitar Rp 192.330.000,00 per trip. Jika kapal melakukan rata-rata 6 trip per tahun, maka dibutuhkan biaya operasi sebesar Rp 1.243.782.000,00. Kenaikan BBM yang 197 tinggi yaitu hampir 100 pada tahun 2005, merupakan pukulan berat bagi usaha tuna longline. Banyak kapal longline yang tidak mampu melakukan trip operasi. Kenaikan BBM menyebabkan peningkatan persentase kebutuhan biaya yang cukup signifikan bagi perusahaan. Berdasarkan pengalaman dari PT Bonecom, kenaikan BBM telah menyebabkan meningkatnya persentase biaya BBM dari 33 menjadi 52 dari total biaya yang dikeluarkan perusahaan Tabel 13. Kedepan, diperlukan kajian untuk penggunaan teknologi penangkapan tuna yang hemat BBM. Diperlukan juga kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada usaha perikanan, hal ini mengingat usaha yang beresiko tinggi high risk. Bantuan permodalan dengan bunga rendah, harga BBM yang tidak memberatkan usaha, serta kebijakan lain yang mendukung usaha perikanan sangat diperlukan. Tabel 13 Peningkatan prosentase kebutuhan pembiayaan pada usaha tuna longline No. Kebutuhan Sebelum kenaikan BBM Sesudah kenaikan BBM 1 Biaya ABK 21 15 2 BBM solar 33 52 3 Operasional 35 25 4 Marketing 7 5 5 Administrasi + kantor 4 3 Sumber: Tahmid 2006 Input produksi lainnya yang berperan penting adalah ketersediaan solar, air tawar, es, dan umpan. Kebutuhan solar per unit longline berkisar antara 20-30 kilo liter, kebutuhan es sekitar 300-400 balok, kebutuhan air tawar 10-15 m 3 dan kebutuhan umpan sekitar 2-3 ton. Semakin banyak unit longline yang beroperasi di pelabuhan perikanan, menghendaki pihak pelabuhan untuk dapat menyediakan kebutuhan perbekalan tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan pelanggan. b Proses Produksi Proses produksi pada perikanan tuna mengandung resiko tinggi, dengan hasil yang tidak dapat diprediksi dengan pasti. Berbagai faktor akan berpengaruh terhadap keberhasilan produksi. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: - Ukuran kapal dan mesin kapal Ukuran kapal merupakan fungsi dari panjang L, lebar B dan dalam D. Ukuran kapal berkaitan dengan volume ruangan yang akan mempengaruhi terhadap keleluasaan tata ruang kapal, keleluasaan kerja ABK, keleluasaan dalam 198 melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan, daya muat alat tangkap dan kelengkapannya, kapasitas muat perbekalan maupun hasil tangkapan. Ukuran kapal longline yang mendaratkan ikannya di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, relatif lebih kecil dibandingkan dengan kapal yang mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Jakarta. Ukuran kapal berkisar antara 33-137 GT, sementara itu di PPS Nizam Zachman mencapai 150-200 GT. Ukuran mesin kapal berkaitan dengan kemampuan jelajah kapal, jarak dan luas fishing ground yang dapat dijangkau dan lama operasi penangkapan ikan. Ukuran mesin kapal juga terkait dengan konsumsi bahan bakar, semakin besar ukuran mesin semakin banyak konsumsi bahan bakar. Kapal longline yang berbasis di Selatan Jawa menggunakan mesin berukuran sekitar 250-400 HP. - Palkah ikan dan fasilitas penanganan ikan di atas kapal Ukuran palkah ikan berkaitan dengan kapasitas produksi ikan yang dapat dimuat. Jumlah produksi dibatasi oleh kapasitas palkah ikan yang tersedia, jika palkah ikan sudah terisi penuh kapal akan segera kembali ke fishing base, walaupun perbekalan lainnya masih ada. Ukuran palkah ikan yang semakin besar, kapasitas muat akan semakin besar. Ukuran palkah berkisar antara 8-20 ton. Pada saat ini, kapasitas palkah tidak dimanfaatkan optimal karena produksi per trip rata-rata hanya 8 ton. Perlu dilakukan peningkatan produksi dengan mencari fishing ground yang lebih potensial. Fasilitas penanganan di atas kapal akan berkaitan dengan kualitas ikan. Produksi tuna menghendaki kualitas yang tinggi agar dapat memenuhi standar mutu ekspor. Ketersediaan fasilitas palkah berpendingin atau perbekalan es perlu diperhatikan, disamping ketersediaan ABK yang berkualitas dan profesional dalam melakukan penanganan ikan. Teknik penyimpanan ikan di kapal longline menggunakan teknik chilling water, yaitu penyimpanan di dalam palkah berisi air laut yang didinginkan. Teknik penyimpanan ada dua, yaitu penyimpanan ikan di dalam palkah berisi es dan dicampur air laut, atau menggunakan air laut yang didinginkan dengan menggunakan mesin dan suhunya tetap dijaga dalam kondisi konstan 0 o C. Pada teknik kedua, kapal harus dilengkapi dengan mesin untuk menjaga suhu air laut tetap dalam kondisi konstan. Teknik ini memerlukan biaya investasi tambahan 199 yaitu untuk pembelian mesin, namun akan mengurangi biaya untuk pembelian es. Berdasarkan pada beberapa pengamatan di lapangan, terlihat bahwa penanganan dengan menggunakan teknik kedua mampu menjaga kualitas ikan tuna dengan baik dalam kondisi trip operasi yang lama. - Jumlah mata pancing dan ketersediaan umpan Jumlah mata pancing yang digunakan pada saat setting, akan berkaitan dengan suatu nilai peluang harapan untuk mendapatkan ikan. Semakin banyak mata pancing digunakan, maka peluang untuk mendapatkan ikan semakin besar. Jumlah mata pancing yang digunakan berkisar antara 1.500 -2.500 mata pancing. Umpan merupakan faktor penting. Keterbatasan umpan dapat menjadi faktor pembatas terhadap operasi penangkapan ikan. Jumlah umpan yang dipergunakan berkaitan dengan jumlah setting dan jumlah mata pancing yang digunakan. Umpan yang digunakan adalah umpan mati yang sudah dibekukan. Jenis umpan diantaranya yaitu layang, lemuru dan bandeng. Umpan yang digunakan memiliki ciri, berwarna cerah yang dapat memikat ikan, memiliki daya tahan yang lama di dalam air, tersedia dalam jumlah banyak dan harga relatif murah. - Jumlah trip penangkapan Jumlah trip operasi diharapkan dapat dilakukan secara optimal sepanjang tahun. Jika kapal tidak dapat melakukan trip yang optimal, akan berdampak pada kerugian usaha. Trip operasi berkaitan dengan ketersediaan biaya. Mengingat bahwa biaya operasi pada perikanan longline cukup tinggi, banyak usaha longline yang tidak dapat mengoptimalkan jumlah trip yang seharusnya dilakukan. Kurangnya trip operasi, akan berdampak pada kurangnya pendapatan usaha yang dapat diperoleh, sedangkan fixed cost harus tetap dikeluarkan. - Bahan bakar solar Jumlah bahan bakar yang dibawa, biasanya disesuaikan dengan kapasitas tangki bahan bakar. Persediaan bahan bakar akan berpengaruh terhadap luasan fishing ground yang dapat dijangkau dan lama trip. Semakin banyak perbekalan bahan bakar dibawa, semakin luas fishing ground dapat dijangkau dan semakin lama trip operasi penangkapan, semakin besar peluang produksi dapat diperoleh. Kapal longline yang beroperasi di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, membawa solar relatif lebih sedikit dibandingkan yang mendaratkan ikannya di 200 PPS Nizam Zachman. Kedekatannya dengan fishing ground, merupakan satu keuntungan tersendiri bagi kapal-kapal yang mendaratkan ikannya di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Kapal membawa solar sekitar 20-30 kilo liter, sementara itu yang mendaratkan ikannnya di Jakarta membawa solar sekitar 40-60 kilo liter. Kenaikan harga BBM telah meningkatkan beban biaya operasi yang besar bagi kapal-kapal longline. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi beban pengusaha tuna, melalui sistem transhipment di tengah laut. - Tenaga kerja ABK Tenaga kerja ABK memiliki peran yang sangat penting bagi keberhasilan operasi penangkapan. ABK menangani secara penuh kegiatan produksi di laut. Kejujuran dan komitmen untuk menghasilkan yang terbaik dapat ditanamkan, yang harus diimbangi dengan pemberian gaji dan kesejahteraan yang memadai. Disamping faktor-faktor produksi seperti di atas, terdapat faktor lain yang tidak dapat dikendalikan. Faktor lingkungan berpengaruh penting bagi keberhasilan operasi penangkapan. Keadaan oseanografis seperti arus, pasang, gelombang, suhu, salinitas, produktivitas primer dan keadaan meteorologis seperti angin, hujan, cuaca dapat berubah setiap saat, yang dapat mengacaukan terhadap rencana operasi penangkapan yang telah dilakukan. c Pasca produksi Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal dari proses penanganan tuna. Kesalahan penanganan ikan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Ikan yang sudah terlanjur berkualitas jelek dari atas kapal, akan menjadi produk reject yang tidak memenuhi kualitas ekspor. Ikan tersebut memiliki harga yang berbeda sangat jauh dengan produk kualitas ekspor. Proses penanganan ikan yang benar sejak ikan ditangkap, dimatikan, penanganan di atas kapal, penyimpanan, pembongkaran ikan di pelabuhan dan penanganan pada saat pendistribusian, telah dijelaskan sebelumnya pada Bab 5.1.1. Produk tuna yang akan diekspor harus dilengkapi dengan sertifikat mutu. Sertifikat mutu dapat diperoleh dengan mengajukan permohonan pengujian mutu ke laboratorium pengujian mutu hasil perikanan. Petugas laboratorium akan melakukan pengecekan mutu ke perusahaan, dengan mengambil beberapa contoh atau sampel untuk dilakukan pengujian. Perusahaan tuna akan diberikan sertifikat 201 mutu berdasarkan hasil pengujian sampel. Produk tuna yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Standar Nasional Indonesia SNI. SNI untuk produk tuna ekspor seperti terlihat pada Tabel 14. Tabel 14 Standar Nasional Indonesia SNI untuk produk tuna ekspor No. Jenis uji Tuna beku sashimi Tuna segar fresh tuna Tuna beku 1 Organoleptik - nilai minimum 8 7 2 Uji mikrobiologi - Jumlah bakteri total plate count TPCgram maksimum - E. coli MPNgram maksimum - Vibrio chorella - Salmonella 500.000 3 negatif negatif 500.000 2 negatif negatif 3 Kimia - Histamin mg maksimum - Merkuri Hg mgkg - Kadmium Cd mgkg - Timbal Pb mgkg 20 0,5 50 0,5 0.1 0.4 4 Fisika - Suhu pusat maksimum -50 o C Sumber: BBPMHP 19931994 Kualitas tuna akan terkait dengan harga. Harga tuna paling tinggi adalah kualitas fresh tuna kualitas A untuk bahan sahimi. Kualitas dibawahnya adalah fresh tuna kualitas B + untuk tujuan pasar Amerika dan Uni Eropa. Kualitas B - dan C masuk ke industri pengolahan tuna beku untuk dibuat loin, saku, chunk dan sejenisnya. Tuna yang masuk kualitas ekspor, fresh ataupun beku adalah yang berukuran di atas 10 kg per ekor. Tuna berukuran kecil dan kualitas lebih rendah akan masuk ke industri pengolahan tuna, dengan harga yang jauh lebih rendah. Semakin banyak ikan yang berkualitas A, akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan perusahaan. Nurani et al.1997 menyatakan, komposisi kualitas hasil tangkapan longline adalah 40 kualitas ekspor, 40 reject dan 20 non tuna. Sementara itu Murdaniel 2007 menyatakan, proporsi tuna kualitas ekspor hasil tangkapan longline sebesar 50 dan 50 lainnya produk reject. Peningkatan kualitas produksi tuna sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan penerimaan usaha. Peningkatan persentase kualitas tuna ekspor, diharapkan juga dapat mengimbangi kenaikan biaya akibat kenaikan harga BBM. 3 Analisis finansial usaha perikanan tuna longline 202 Analisis finansial dilakukan menggunakan program Excel. Masukan program meliputi penerimaan usaha, biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Hasil analisis meliputi perhitungan keuntungan usaha, net present value NPV, net benefit cost ratio BC dan internal rate of return IRR. a Penerimaan usaha tuna longline Hasil tangkapan longline meliputi berbagai jenis seperti southern bluefin, bigeye, yellowfin, albacore, marlin, swordfish, dan sailfish. Hasil tangkapan dominan yellowfin, yaitu sekitar 75 dari hasil tangkapan. Southern bluefin merupakan salah satu jenis tuna yang harganya mahal, tetapi jarang ditemukan. Tujuan utama produksi adalah untuk pasar ekspor. Produksi sekitar 10-20 ton per trip, dengan trip sekitar 2-3 bulan. Kondisi saat ini, secara umum baru sekitar 50 dari produksi yang memenuhi standar kualitas ekspor untuk produk fresh tuna. Sementara itu sekitar 50 lainnya adalah untuk dijual lokal. Harga jual ekspor produk fresh tuna berkisar antara 800 yen sampai dengan 1.500 yen per kg, tergantung dari grade tuna yang diekspor. Dalam melakukan ekspor tuna ini, akan dikenakan biaya untuk pengangkutan dengan pesawat terbang, yaitu sekitar 250 yen per kg ikan tuna. Produk lokal memiliki harga yang bervariasi, diantaranya yaitu albacore dijual dengan harga Rp 20.000,00 per kg, yellowfin dengan harga Rp 14.000,00 per kg, swordfish harga Rp 25.000,00 per kg, lemadang harga Rp 9.000,00 per kg, sailfish harga Rp 11.500,00 per kg, dan marlin dengan harga Rp 19.000,00 per kg. Produk lokal akan dikenakan biaya retribusi sebesar 5. Penerimaan usaha sangat bervariasi, dan fluktuasinya dapat sangat tajam. Kurang optimalnya trip per tahun, akan mengakibatkan penurunan penerimaan usaha secara drastis. Demikian pula dengan jumlah produksi, produksi 8 ton dan 6 ton akan memberikan penerimaan usaha yang berbeda secara signifikan. Masukan input sebagai dasar penghitungan kelayakan usaha seperti terlihat pada Tabel 15. Input untuk penerimaan usaha yang disajikan adalah kondisi pada saat ini dan dalam kondisi ideal. Dasar untuk perhitungan penerimaan usaha adalah produksi 8 ton per trip, harga ekspor rata-rata 1.250 yen per kg dengan kurs Rp 76,00 per yen dan harga produk lokal rata-rata Rp 10.000,00. 203 Tabel 15 Input untuk penerimaan usaha perikanan tuna longline per trip No. Input penerimaan usaha Nilai 1 Harga ekspor Rp 76.000,00 2 Harga lokal Rp 10.000,00 3 Retribusi x penerimaan lokal 5 4 Gaji Nakhoda x pendapatan bersih 10 b Pembiayaan usaha tuna longline - Biaya investasi Bisnis perikanan tuna memerlukan biaya yang cukup besar, baik untuk biaya investasi maupun biaya operasional. Biaya investasi bervariasi tergantung pada ukuran kapal, mesin dan jumlah mata pancing yang digunakan. Input untuk penghitungan biaya investasi didasarkan pada biaya untuk kapal berukuran 50-100 GT, mesin 450 PK dengan pancing sekitar 1.500 mata pancing Tabel 16. Tabel 16 Biaya investasi pada usaha perikanan tuna longline No. Rincian investasi Jumlah Rp x 1.000 1 2 3 4 Investasi kapal Investasi Alat tangkap Investasi Mesin kapal Modal Kerja 800.000 125.000 125.000 50.000 Total investasi 1.100.000 - Biaya tetap Biaya tetap meliputi biaya penyusutan, biaya perawatan, biaya operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya perawatan, sangat bervariasi tergantung pada tingkat perawatan atau perbaikan kapal, alat tangkap dan mesin. Biaya perawatan mahal, khususnya saat kapal melakukan docking dan over haul mesin. Perawatan alat tangkap mahal, jika putus akibat tertabrak kapal, atau karena sebab lainnya. Perhitungan biaya tetap dideskripsikan pada Tabel 17. Perhitungan biaya tetap tersebut belum memperhitungkan pajak dan bunga bank. Tabel 17 Biaya tetap pada usaha perikanan tuna longline No. Rincian biaya Jumlah Rp x 1.000 1 Biaya perawatan - Biaya perawatan kapal - Biaya perawatan mesin 100.000 100.000 204 2 3 - Biaya perawatan alat tangkap Biaya penyusutan - Penyusutan kapal - Penyusutan mesin - Penyusutan alat tangkap Biaya kantor 75.000 80.000 12.500 12.500 125.000 Total biaya tetap 505.000 - Biaya variabel Biaya variabel merupakan biaya yang hanya akan dikeluarkan perusahaan jika melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel terdiri atas biaya operasi penangkapan, serta biaya retribusi lelang untuk produk lokal. Biaya variabel mencakup juga biaya untuk nakhoda kapal, yang besarnya 10-15 dari pendapatan bersih per trip. Biaya operasi penangkapan, meliputi biaya untuk pembelian perbekalan solar, olie, es, umpan, gasminyak tanah, air tawar, biaya perjalanan, dokumen kapal, serta gaji ABK. Perhitungan kebutuhan biaya untuk melakukan operasi penangkapan, dengan trip operasi sekitar 80 hari, seperti terlihat pada Tabel 18. Tabel 18 Biaya operasi per trip operasi penangkapan tuna longline No. Rincian kebutuhan Kebutuhan per trip Harga Rp Jumlah Rp x 1.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Solar l Olie l Es balok Umpan - layang dus - lemuru dus - bandeng dus Gasminyak tanah Air tawar ton Konsumsi ABK Biaya perizinan dan perjalanan Gaji dan premi ABK 25.000 400 350 50 100 50 100 10 4.300 8.000 8.000 125.000 85.000 90.000 3.000 18.000 107.500 3.200 2.800 6.250 8.500 4.500 3.000 180 15.000 5.000 36.400 Total 192.330 Anak buah kapal ABK longline dibayar dengan menggunakan sistem gaji ditambah dengan premi. Gaji dan premi diterima ABK hanya jika melakukan trip, gaji dihitung secara harian. Besarnya gaji bervariasi antara Rp 20.000,00 sampai 205 dengan Rp 30.000,00 per hari. Premi diberikan kepada ABK per trip, dengan kisaran antara Rp 500.000,00 sampai dengan Rp 2.000.000,00 per ABK. Nakhoda mendapatkan bagi hasil sekitar 10-15 dari pendapatan bersih per trip. Pada saat ini kapal-kapal longline fresh tuna melakukan trip operasi penangkapan lebih lama, yaitu sekitar 60-120 hari per trip. Terdapat pula kapal yang melakukan trip operasi mencapai 280 hari, yaitu kapal yang beroperasi di perairan internasional di sekitar Perairan Srilangka dan India. Penambahan lama waktu dalam satu trip penangkapan, merupakan langkah yang ditempuh para pengusaha tuna longline untuk mengefisiensikan penggunaan bahan bakar. c Perhitungan kelayakan usaha tuna longline Kriteria untuk perhitungan kelayakan finansial yaitu nilai NPV, BC dan IRR. Perhitungan nilai NPV, dan BC dilakukan dengan menggunakan discount rate 15 Tabel 19. Berdasarkan pada hasil perhitungan kelayakan usaha, usaha perikanan longline saat ini sedang dalam kondisi yang tidak menggembirakan. Nilai NPV sebesar Rp 409.009.625,00 akan sangat sulit bagi perusahaan untuk melakukan investasi kembali. Demikian pula dengan nilai BC dan nilai IRR yang sangat rendah. Nilai BC mengindikasikan kondisi usaha hanya sedikit di atas titik impas. Nilai IRR yang dihasilkan, mengindikasikan perusahaan hanya dapat bertahan pada kondisi suku bunga yang rendah. Tabel 19 Hasil perhitungan kelayakan usaha pada perikanan tuna longline Kriteria kelayakan usaha Nilai Penerimaan usaha per tahun Rp 2.052.000.000,00 Biaya variabel per tahun Rp 1.243.782.000,00 Biaya tetap per tahun Rp 505.000.000,00 Biaya total per tahun Rp 1.748.782.000,00 Keuntungan Rp 303.218.000,00 NPV Rp 409.009.625,00 BC 1,37 IRR 31,00 Program excel untuk penghitungan kelayakan usaha, dapat disimulasikan untuk mengetahui sensitivitas dari berbagai variabel model Lampiran 28. Hasil simulasi menunjukkan, jumlah trip memiliki nilai sensitivitas yang tinggi. Jika operasi penangkapan ikan hanya dilakukan 5 kali trip per tahun, usaha sudah merugi, keuntungan usaha menurun sebesar 44,42, nilai NPV turun sebesar 206 163,90, nilai net BC turun 44,53 dan nilai IRR turun 70,96. Demikian juga jika produksi tuna turun sebesar 5, maka usaha sudah tidak menguntungkan. Produksi turun 5, nilai keuntungan akan turun sebesar 30,45, nilai NPV turun 112,35, net BC turun sebesar 30,66 dan nilai IRR turun 54,84 . Kondisi sebaliknya, jika ada subsidi solar, peningkatan tuna kualitas ekspor atau peningkatan nilai tukar yen terhadap rupiah, maka nilai kelayakan usaha akan meningkat. Subsidi solar sebesar 10 akan meningkatkan keuntungan sebesar 19,14, nilai NPV naik 70,63, nilai net BC naik 18,98 dan nilai IRR naik sebesar 19,35. Kualitas ekspor naik menjadi 60, keuntungan naik sebesar 94,74, nilai NPV naik 349,55, nilai net BC naik 94,89 dan nilai IRR naik sebesar 64,52. Nilai tukar yen terhadap rupiah naik 10, akan meningkatkan keuntungan usaha sebesar 54,14, nilai NPV naik 199,74, nilai net BC naik 54,01 dan nilai IRR naik sebesar 45,16. Berdasarkan hasil simulasi terhadap kelayakan usaha, terlihat dengan sangat jelas bahwa usaha perikanan tuna longline memiliki resiko usaha yang sangat besar. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terhadap kelangsungan usaha, atau kondisi ekonomi yang tidak kondusif sangat beresiko sekali terhadap usaha perikanan tuna longline. Jika kondisi sebaliknya yang terjadi, maka usaha perikanan tuna longline akan dapat berkembang dengan baik. Usaha perikanan tuna memiliki nilai sensitivitas yang sangat tinggi pada variabel persentase produk yang memenuhi standar kualitas ekspor. Peningkatan efektivitas dan efisiensi usaha, dapat dilakukan dengan meningkatkan persentase kualitas ikan tuna yang memenuhi standar kualitas ekspor. Penerapan good manufacturing practices GMP dan standar sanitation operational procedure SSOP, penting untuk diterapkan di kapal tuna longline. 2 Analisis Subsistem PELABUHAN Perikanan tuna longline membutuhkan pelabuhan perikanan yang lebih khusus dibandingkan dengan kegiatan perikanan lainnya. Dalam kaitannya dengan fishing ground, faktor kedekatan dengan fishing ground bukan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kapal mendaratkan ikannya di pelabuhan. Kapal akan lebih mempertimbangkan kondisi pelabuhan dari sisi teknis seperti kondisi 207 fisik pelabuhan dapat nyaman untuk berlabuhnya kapal, ketersediaan kebutuhan operasi penangkapan serta kemudahan pemasaran produk. Ukuran kapal yang besar mensyaratkan alur masuk kolam pelabuhan yang lebar, kedalaman kolam pelabuhan yang dalam dan fasilitas darmaga pelabuhan yang memadai. Tujuan utama hasil tangkapan yaitu produk tuna segar, mensyaratkan adanya fasilitas penanganan ikan yang memadai, serta aksesibilitas yang baik menuju pelabuhan udara untuk pengangkutan ekspor. Analisis subsistem PELABUHAN dimaksudkan untuk menganalis karakteristik pelabuhan perikanan yang diperlukan dalam “Pengembangan Perikanan Lepas Pantai”. Analisis lebih menekankan keterkaitannya dengan fishing ground forward linkages, keterkaitannya dengan akses pemasaran backward linkages dan kebutuhan teknis dari sisi pelabuhannya sendiri. Kondisi existing PPPPI sebagai dasar analisis telah dideskripsikan pada Bab 5.2. 1 Analisis keterkaitan dengan fishing ground Analisis keterkaitan dengan fishing ground dilakukan melalui penilaian PPPPI, berkaitan dengan daya tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PPPPI tersebut. Daya tarik PPPPI akan menimbulkan tarikan pergerakan kapal longline untuk mendaratkan ikannya di PPPPI tersebut. Faktor-faktor yang dapat menjadi daya tarik dibedakan menjadi tiga, yaitu fasilitas perairan, fasilitas darat dan potensi kemudahan pemasaran. Fasilitas perairan meliputi kriteria lebar dan kedalaman alur masuk pelabuhan, serta kedalaman kolam. Fasilitas darat meliputi kriteria fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan. Potensi kemudahan pemasaran meliputi keberadaan industri pengolahan, eksportir dan akses pasar. Input data untuk analisis adalah PPPPI yang menjadi obyek kajian, dengan beberapa karakteristik kriteria sesuai yang dibutuhkan. Input data untuk analisis seperti disajikan pada Lampiran 29. Hasil analisis adalah tingkat daya tarik PPPPI sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh unit longline Lampiran 30. Hasil analisis menunjukkan, PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap memiliki tingkat daya tarik tinggi sekitar 70 dari kriteria yang dibutuhkan bagi kapal longline untuk berlabuh. Kedua pelabuhan perikanan tersebut belum memenuhi 208 100 dari kriteria yang dibutuhkan. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan, masih sedikitnya kapal-kapal yang masuk ke PPN Palabuhanratu maupun PPS Cilacap. Sebagian besar kapal-kapal longline lebih tertarik untuk mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman Jakarta atau ke Pelabuhan Benoa Bali. Daya tarik yang masih belum terpenuhi dari PPN Palabuhanratu adalah fasilitas penanganan produk fresh tuna yang belum tersedia, seperti transit sheed dan fasilitas bongkar tuna yang terlindung dari sinar matahari. Daya tarik lainnya adalah keberadaan industri pengolah tuna masih belum ada di PPN Palabuhanratu. Produk tuna akan dibawa oleh pedagang pengumpul, untuk suplai bahan baku bagi industri pengolahan tuna yang ada di PPS Nizam Zachman Jakarta. Ekspor tuna segar dari PPN Palabuhanratu belum dapat dilakukan dari Palabuhanratu, ekspor harus melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta Jakarta. 2 Analisis aspek teknis pelabuhan Analisis aspek teknis pelabuhan dilakukan melalui analisis dari kebutuhan untuk lokasi sebuah pelabuhan perikanan. Kebutuhan dibedakan menjadi dua, yaitu kebutuhan fasilitas perairan dan kebutuhan fasilitas darat. Kebutuhan fasilitas perairan meliputi profil perairan dan aspek oseanografi perairan dalam keterkaitannya dengan pengaruh gelombang. Aspek darat meliputi bentuk topografi lahan pelabuhan dan luasan lahan yang tersedia untuk pengembangan. Hasil analisis teknis pelabuhan seperti disajikan pada Lampiran 31. Secara teknis pelabuhan perikanan yang dibangun pada suatu lokasi yang terlindung secara alami, akan membutuhkan biaya pembangunan yang relatif lebih murah dibandingkan lokasi pada perairan terbuka. Pembangunan pelabuhan sedikit memerlukan pembangunan breakwater, yang memerlukan biaya besar. Lokasi geologi Indonesia yang sangat rentan terhadap bahaya gelombang tsunami, memerlukan lokasi pelabuhan yang benar-benar terlindung. Lokasi PPS Cilacap telah teruji bebas dari bahaya gelombang tsunami yang menerjang perairan selatan Jawa pada tahun 2006. Sementara itu, di PPI Pasir puluhan kapal nelayan pecah dan beberapa fasilitas pelabuhan PPI Sadeng hancur terkena gelombang tsunami. Hasil analisis menyatakan pelabuhan perikanan yang secara teknis layak untuk pendaratan kapal tuna longline yaitu PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan 209 PPN Prigi. Ketiga pelabuhan yaitu PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap dan PPN Prigi, saat ini secara teknis memenuhi syarat untuk pendaratan kapal longline. Untuk pengembangan kedepan, akan memerlukan penambahan kapasitas dari beberapa fasilitas pokok seperti luas kolam pelabuhan dan darmaga. Secara teknis, PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap tidak layak untuk pendaratan kapal longline. Keempat pelabuhan tersebut memiliki kelayakan teknis yang sangat rendah. Seperti lokasi PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap yang tidak cukup terlindung dari ancaman gelombang besar. Kedua PPIPPP tersebut juga memiliki lahan darat yang berupa dataran cukup sempit, karena belakang pelabuhan berupa daerah perbukitan. Kebutuhan lahan untuk pengembangan industri, harus meratakan perbukitan. Hal ini disamping memerlukan biaya besar, juga harus ada koordinasi dengan Perhutani karena kawasan tersebut merupakan hak pengelolaan Perhutani. Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI Tamperan sangat tidak mendukung untuk pengembangan perikanan tuna. Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI Tamperan selain tidak terlindung, juga berada di muara sungai dengan tingkat pengendapan sangat tinggi. Pengembangan PPPPI tersebut untuk mendukung pengembangan perikanan tuna akan memerlukan biaya pembangunan yang besar. 3 Analisis keterkaitan dengan pasar Analisis keterkaitan dengan pasar dimaksudkan untuk menentukan tingkat aksesibilitas PPPPI dan analisis bangkitan pergerakan untuk menentukan peluang peningkatan aksesibilitas suatu lokasi PPPPI. Analisis meliputi penilaian kondisi aksesibilitas saat ini, dengan input untuk analisis adalah jarak, waktu, biaya, prasarana jalan, sarana transportasi dan hambatan perjalanan Lampiran 32. Hasil analisis terhadap tingkat aksesibilitas lokasi, hanya PPN Palabuhanratu yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi Lampiran 33. PPN Palabuhanratu memiliki jarak, waktu dan biaya yang rendah menuju pelabuhan ekspor yaitu pelabuhan udara Soekarno-Hatta Jakarta. PPN Palabuhanratu memiliki prasarana jalan yang cukup baik, hanya saja hambatan perjalanannya tinggi, yaitu jalan berkelok-kelok, mendaki dan menurun. PPS Cilacap memiliki prasarana jalan, sarana transportasi yang baik dan hambatan perjalanan relatif kecil, namun jarak, 210 biaya dan waktu tempuh relatif tinggi. PPN Prigi, PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat rendah. Model bangkitan pergerakan digunakan untuk mengkaji kemungkinan peluang bangkitan pergerakan dari suatu zona lokasi pelabuhan perikanan di masa datang. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan bangkitan pergerakan yaitu tata guna lahan, jumlah penduduk, keberadaan dan perkembangan sektor perikanan, industri, pariwisata, perdagangan dan pusat pemerintahan Lampiran 34. Hasil analisis peluang bangkitan pergerakan Lampiran 35 menunjukkan bahwa zona lokasi PPN Palabuhanratu, PPS Cilacap, PPI Tamperan dan PPN Prigi. memiliki peluang tingkat bangkitan pergerakan yang tinggi. Peruntukan lahan yang beragam yaitu untuk sektor perikanan, pariwisata, industri dan perdagangan serta perkembangan dari sektor tersebut akan memberikan peluang bangkitan pergerakan yang besar dari orang maupun barang. Jumlah penduduk di tingkat kecamatan yang besar serta zona tersebut sebagai pusat pemerintahan, mempunyai peluang meningkatnya pergerakan dari dan menuju zona tersebut. Sementara itu PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap memiliki peluang bangkitan pergerakan yang rendah. 4 Analisis keseluruhan subsistem PELABUHAN Hasil analisis keterkaitan dengan fishing ground, aspek lokasi pelabuhan dan keterkaitan dengan pasar Lampiran 36, menunjukkan hanya PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap yang memenuhi kebutuhan untuk pengembangan perikanan tuna. PPN Palabuhanratu dari keseluruhan kriteria dapat memenuhi kebutuhan untuk pengembangan perikanan tuna, hanya faktor hambatan perjalanan yang tinggi yang tidak memenuhi kriteria. Lokasi PPS Cilacap, pada aspek keterkaitan pasar tidak memenuhi untuk pengembangan perikanan tuna. Hal ini disebabkan jarak yang terlalu jauh dengan pelabuhan ekspor yaitu Bandara Soekarno-Hatta, yang menyebabkan waktu tempuh dan biaya perjalanan yang mahal. Pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa, menghendaki tersedianya fasilitas pelabuhan udara di lokasi basis penangkapan untuk memudahkan ekspor. Pemerintah Kabupaten Pemkab Sukabumi dan Pemkab Cilacap, telah merencanakan pembangunan pelabuhan udara untuk menunjang pengembangan 211 perikanan tuna di wilayahnya. Pemkab Cilacap merencanakan pengembangan Pelabuhan Udara Tunggul Wulung, menjadi pelabuhan ekspor. Jika rencana terealisasi, pengembangan PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap sebagai basis pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa akan lebih mudah diwujudkan. 3 Analisis Subsistem LEMBAGA Analisis kebijakan dan kelembagaan dimaksudkan untuk dapat menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, yang dapat mendukung pengembangan perikanan tuna. Analisis didahului dengan mengevaluasi keberadaan, serta peran yang telah difungsikan oleh kebijakan dan kelembagaan perikanan tuna yang ada. 1 Analisis kebijakan perikanan lepas pantai Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum. Pendekatan kerangka hukum legal framework dilakukan untuk melihat hukumperaturan perundang-undangan dari sisi struktur legal structure, mandat legal mandate dan penegakan hukum legal enforcement Purwaka 2002. Indonesia telah turut menandatangani berbagai persetujuan internasional maupun konvensi yang berkaitan dengan perikanan. Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982, merupakan salah satu konvensi dimana Indonesia turut meratifikasi dengan UU 171985. Selanjutnya untuk pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, FAO telah memutuskan suatu standar internasional “Code of Conduct for Responsible Fisheries”, yang mulai diberlakukan sejak 1995. Peraturan perundang-undangan untuk pengelolaan tuna di Indonesia, mengacu pada kedua ketentuan internasional tersebut. UNCLOS 1982 pada Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif pada Pasal 56 paragraf 1a menyatakan, suatu negara pantai seperti Indonesia mempunyai hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam hayati dan non hayati yang terkandung di dalamnya. Pasal 61, mensyaratkan kewajiban bagi negara pantai untuk menentukan hasil tangkapan yang diperbolehkan total allowable catch: TAC dari perikanan ZEE. Berkaitan dengan perikanan tuna, sesuai dengan Pasal 64, Indonesia sebagai negara pantai dan negara lain yang turut mengelola sumberdaya tuna di area di luar dan sekitar ZEE Indonesia, berkewajiban bekerjasama secara 212 langsung atau melalui beberapa organisasi internasional untuk menjamin konservasi dan melakukan promosi terhadap pemanfaatan optimum dari sumberdaya tersebut, baik di dalam maupun di luar Perairan ZEE Indonesia. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengembangan perikanan tuna, diantaranya yaitu: a UU 51983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. b PP 151984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. c UU 91985 yang diperbaharui dengan UU 312004 tentang Perikanan. Beserta peraturan perundang-undangan lainnya yang telah banyak dibuat oleh pemerintah, terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan usaha perikanan dan pungutan perikanan seperti telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Pada Bab 5.3.1 telah dideskripsikan bahwa, PP 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota telah dengan jelas menjabarkan pembagian tugas dan wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan KabupatenKota dalam bidang perikanan. Secara umum butir-butir kewenangan tersebut telah dibuatkan peraturan norma atau kebijakannya oleh pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Namun pada level bawah, yaitu pada tingkat provinsi dan kabupatenkota belum secara terinci diatur pelaksanaannya. Hasil analisis pendekatan kerangka hukum terhadap kebijakan dan peraturan yang ada dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Analisis pendekatan kerangka hukum legal framework perikanan lepas pantai No. Kriteria Penilaian 1 Struktur hukum legal structure Peraturan perundang-undangan yang ada di level atas belum sepenuhnya diterjemahkan dalam peraturan kebijakan pelaksanaan pada level bawah, yaitu di tingkat provinsi dan kabupatenkota. 2 Mandat hukum legal mandate Peraturan perundang-undangan yang ada telah memiliki mandat hukum yang jelas, namun yang sering menjadi permasalahan adalah dalam pelaksanaannya sering tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan. 3 Penegakan hukum legal Penegakan hukum terhadap pelanggaran, seperti dalam kasus illegal, unregulated and unreported IUU fishing 213 enforcement masih lemah. Sanksi hukum terhadap pelanggaran, belum memberikan efek jera bagi pelaku. Keterbatasan personil pengawas dan sarana prasarana pengawasan menjadi faktor lainnya, yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum. Sumber: olahan data 2 Analisis kelembagaan perikanan tuna Analisis kelembagaan dilakukan melalui pendekatan kerangka kelembagaan institutional framework. Pendekatan kerangka kelembagaan adalah untuk melihat kinerja dari kelembagaan yang ada. Mandat hukum diberikan kepada lembaga, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat, untuk melaksanakan kegiatan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut Purwaka 2003, kinerja suatu kelembagaan dapat dilihat melalui indikator aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi lihat Bab 2.5.3 dan Bab 3.5.2. Berkaitan dengan upaya kerjasama pengelolaan sumberdaya tuna secara berkelanjutan, berbagai kelembagaan tuna dunia telah dibentuk, diantaranya yaitu: a Indian Ocean Tuna Commision IOTC, organisasi ini secara aktif bekerjasama untuk melakukan konservasi dan pengelolaan tuna di Samudera Hindia. Keanggotaan tidak saja mencakup negara di sekitar Samudera Hindia, melainkan di luar itu seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, Uni Eropa, Perancis dan Inggris. Negara tetangga Indonesia telah turut serta menjadi anggota, diantaranya yaitu Malaysia, Thailand dan Australia. Indonesia telah menjadi anggota IOTC, untuk itu dapat turut serta secara aktif mengambil bagian dalam upaya konservasi dan pengelolaan tuna di Samudera Hindia. b Commision for Conservation Southern Bluefin Tuna CCSBT, merupakan kerjasama konservasi tuna sirip biru selatan antara Australia, Jepang dan New Zealand, meliputi juga daerah Samudera Hindia Selatan Jawa yang termasuk dalam ZEEI. Indonesia belum bergabung, dan diharapkan turut bergabung. Secara nasional kelembagaan untuk pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan telah dibentuk yaitu Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan FKPPS, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian 994KptsKP.150999. Forum bertugas membantu Menteri Pertanian dalam merumuskan dan menetapkan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya ikan di laut lihat Bab 5.3.3. Peran yang telah dijalankan FKPPS diantaranya adalah mengadakan pertemuan anggota, untuk mendiskusikan berbagai hal terkait dengan 214 pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, khususnya di laut lintas provinsi. Forum juga telah berperan memberikan masukan kepada Menteri, dalam upaya menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan. Disamping itu, ada juga kelembagaan yang dibentuk oleh pengusaha perikanan tuna yaitu Asosiasi Pengusaha Perikanan Tuna Indonesia ASTUIN. Pada tingkat provinsi dan kabupaten kota, kelembagaan perikanan tuna belum ada. Secara umum, kinerja dari kelembagaan tuna dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Penilaian kinerja kelembagaan perikanan lepas pantai di Selatan Jawa No. Kriteria Penilaian 1 Politik Kelembagaan perikanan tuna belum memiliki bargaining yang kuat dalam penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional. 2 Sosial Budaya Kelembagaan tuna belum mampu menumbuhkan kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah berakar kuat pada adat tradisi masyarakat. Secara sosial, kelembagaan juga belum mampu menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi diantara stakeholder perikanan serta menjauhkan konflik. 3 Ekonomi Kelembagaan perikanan belum secara nyata memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum. 4 Hukum Kelembagaan perikanan telah memperoleh mandat yang jelas dari hukumperaturan yang ada, baik tata kelembagaan, kerangka kerja maupun kapasitas kelembagaanya. Namun dalam pelaksanaannya, sering tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dilaksanakan. Pelaksanaan kebijakan akan sangat tergantung kepada siapa pemegang jabatan, bukan kepada sistem hukum yang berlaku. 5 Teknologi Kelembagaan yang ada belum memberikan kepedulian yang besar terhadap pengembangan perikanan secara produktif, efisien, berkualitas dan aman. Khususnya dalam jaminan produk perikanan yang bermutu tinggi, dengan sarana dan prasarana penanganan ikan yang mendukung di kapal dan di pelabuhan perikanan. Sumber: olahan data Berdasarkan pemahaman tersebut, maka perlu dibentuk suatu kelembagaan perikanan tuna terpadu, yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan stakeholders. Hal ini juga dalam rangka memenuhi ketentuan UNCLOS 1982 dan Code of Conduct for Responsible Fisheries, supaya ada suatu kelembagaan tersendiri yang memiliki otoritas untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan dan konservasi terhadap sumberdaya tuna di Selatan Jawa.

7.3.2 Permodelan Sistem Perikanan Lepas Pantai