Implikasi Karakteristik Aspek Sosial-Ekonomi

182 pancing dengan umpan hidup atau umpan palsu yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal Farid et al. 1989. Subani dan Barus 1988 menyatakan, tonda dioperasikan pada siang hari dengan cara menduga-duga, berlayar kesana kemari dengan terlebih dahulu mencari kawanan ikan seperti tongkol dan cakalang, operasi dapat juga dilakukan disekitar rumpon. Perkembangan perikanan tonda di Malang, telah mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten lain untuk mengembangkan rumpon. Pemasangan rumpon pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam hal ini Diskanlut Jawa Timur. Pemasangan rumpon dilakukan di Perairan Selatan Malang, dengan pusat pendaratan di PPP Pondokdadap. Keberhasilan program ini telah mendorong Dinkanlut Jawa Timur menempatkan rumpon di tempat lain, yaitu di Perairan Trenggalek dan Pacitan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta Gunung Kidul dan Jawa Barat Sukabumi, juga terdorong untuk melakukan hal yang serupa. Saat ini telah berkembang kegiatan perikanan tonda di PPN Prigi, PPI Sadeng dan PPN Palabuhanratu. Perkembangan perikanan tonda ini patut diwaspadai, karena hasil tangkapan umumnya berukuran kurang dari 10 kg. Jika kondisi ini dibiarkan berkembang tanpa perencanaan dan pengendalian yang tepat, dikuatirkan akan membahayakan bagi keberlanjutan sumberdaya tuna. Implikasi dari karakteristik teknologi penangkapan ikan yang ada di Selatan Jawa adalah: 1 diperlukan pengembangan teknologi, dengan skala usaha yang lebih besar; 2 jenis ikan tujuan tangkap akan menentukan terhadap jenis teknologi yang digunakan; 3 pengembangan perikanan pancing tonda untuk memanfaatkan sumberdaya tuna dengan pemasangan rumpon laut dalam yang sedang gencar dikembangkan oleh beberapa pemerintah daerah patut diwaspadai terhadap keberlanjutan sumberdaya tuna.

6.4 Implikasi Karakteristik Aspek Sosial-Ekonomi

Mayoritas penduduk di Wilayah Selatan Jawa, khususnya yang bermukim di Provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur adalah Suku Jawa. Bahasa sehari-hari penduduk adalah Bahasa Jawa. Mayoritas penduduk Provinsi Jawa Barat adalah Suku Sunda, bahasa sehari-hari Bahasa Sunda. Komunitas campuran terlihat sangat jelas pada daerah-daerah perbatasan, seperti di Cirebon dan Ciamis. 183 Pada kedua daerah ini, bahasa yang digunakan adalah campuran Bahasa Jawa dan Sunda. Agama sebagian besar penduduk adalah Agama Islam. Karakteristik sosial budaya masyarakat Selatan Jawa secara umum adalah bersifat jujur, nrimo, apa adanya, mudah diatur, berdisiplin tinggi, beretos kerja tinggi, menjunjung nilai-nilai kegotongroyongan dan kekeluargaan, serta berakhlak mulia. Kehidupan bergotongroyong dan kekeluargaan masih melekat di masyarakat. Pepatah Jawa yang mengatakan “mangan ora mangan asal kumpul” makan tidak makan asal berkumpul, sepertinya masih dianut oleh sebagian besar masyarakat. Walaupun dalam perkembangannya banyak juga anggota masyarakat yang kemudian merantau untuk mencari nafkah di kota, namun keterikatan dengan masyarakat desa asal tidak dapat dihilangkan. Perantau ini yang kemudian membawa karakter masyarakat perkotaan ke desa asal dan membawa perubahan- perubahan sosial-ekonomi, baik dalam hal positif maupun negatif. Dalam kehidupan bermasyarakat, toleransi dan tenggang rasa diantara penduduk sangat besar. Selain itu, karakter individu penduduk pedesaan di sebagian besar wilayah kajian memiliki sifat ramah, mudah menerima inovasi, menjunjung nilai-nilai agama dan menghormati adat yang sudah turun menurun. Kondisi kehidupan bermasyarakat yang demikian, dapat dijadikan modal sosial yang sangat berarti bagi program pembangunan perikanan. Ruddle et al. 1999 diacu dalam Arsyad et al. 2007 menyatakan, faktor tradisi, hukum adat, kebiasaan penduduk, pengaruh agama dan lain-lain di kalangan komunitas nelayan, memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kelangsungan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan. Secara ekonomi, beberapa kabupaten di Selatan Jawa termasuk kabupaten miskin, seperti Kabupaten Kebumen, Pacitan dan Trenggalek, kecuali Cilacap dan Malang yang termasuk kabupaten kaya. Kondisi ekonomi masyarakat sebagian besar penduduk memiliki tingkat ekonomi yang rendah. Pertanian merupakan sektor utama perekonomian dan mata pencaharian penduduk. Pertanian mencakup tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Subsektor perikanan laut, memiliki prioritas pembangunan yang lebih rendah dari subsektor pertanian lainnya. Diberlakukannya UU 221999, yang diperbaharui dengan UU 184 322004, telah mendorong pemerintah kabupaten di Pantai Selatan Jawa mengarahkan prioritas pembangunannya ke subsektor perikanan laut. Secara umum, terdapat perbedaan strata sosial-ekonomi antara masyarakat kota dengan masyarakat desa atau masyarakat nelayan. Masyarakat perkotaan pada umumnya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik. Perkembangan prasarana infrastruktur transportasi, listrik dan telekomunikasi telah memudahkan orang untuk melakukan berbagai kegiatan dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat perkotaan. Kondisi sebaliknya terjadi pada masyarakat desa, atau masyarakat nelayan. Secara sosial- ekonomi masyarakat nelayan pada strata yang rendah. Smith 1981 diacu dalam Kusnadi 2000; Winahyu dan Santiasih 1993 diacu dalam Kusnadi 2000; Simatupang et al. dalam Suryana et al. 1990 menyatakan, secara sosial- ekonomi nelayan merupakan kelompok masyarakat yang paling termarjinalkan. Tingkat pendidikan yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan dimanapun berada. Tingkat kehidupan nelayan sedikit di atas pekerja migran atau setaraf dengan petani kecil. Bahkan, jika dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan khususnya nelayan buruh dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling bawah. Kondisi sosial-ekonomi nelayan pada strata paling bawah, selain disebabkan faktor intrinsik usaha, juga dipengaruhi oleh teknologi, kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Simatupang et al. dalam Suryana et al. 1990 menyatakan, usaha perikanan merupakan usaha yang penuh resiko, musiman dan padat modal. Besarnya kebutuhan modal, cenderung membuat kedudukan pemilik modal sangat kuat. Hal ini menyebabkan ketimpangan bagian keuntungan yang diterima oleh pemilik modal dan nelayan. Kondisi ini nyata terlihat di pemukiman nelayan, juraganpemilik kapal biasanya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik. Selain perbedaan karakteristik sosial-ekonomi antara masyarakat kota dan masyarakat nelayan, terdapat pula perbedaan karakteristik sosial-ekonomi masyarakat nelayan dari 8 kabupaten yang menjadi obyek penelitian. Masyarakat nelayan di Palabuhanratu, Cilacap dan Prigi, umumnya lebih maju dari pada masyarakat nelayan di kabupaten lainnya. Sentuhan program-program pembangunan perikanan dan keberadaan fasilitas pusat pendaratan ikan yang telah 185 mengarah ke perikanan industri, menjadikan kondisi masyarakat nelayan memiliki wawasan yang lebih luas dan kondisi sosial-ekonominya lebih baik. Program COFISH yang telah berjalan selama 2 periode di Kabupaten Trenggalek, telah mampu merubah cara pandang masyarakat terhadap perilaku pengelolaan sumberdaya perikanan. Program pemberdayaan nelayan dilakukan melalui pembentukan dan penguatan kelompok-kelompok nelayan, dalam bentuk pelatihan dan paket bantuan modal dan peralatan, serta fasilitas peningkatan akses terhadap lembaga keuangan. Program COFISH di Trenggalek terasa sekali manfaatnya bagi peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Berbagai program pembangunan lainnya, seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PEMP, juga telah mampu merubah kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan ke tingkat yang lebih baik. Program PEMP telah menyentuh hampir semua masyarakat nelayan di lokasi wilayah kajian. Berbagai organisasi kenelayanan seperti KUB, Rukun Nelayan dan Kelompok Wanita Nelayan, juga telah berperan dalam peningkatan kondisi sosial-ekonomi nelayan. Karakteristik sosial-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat nelayan berimplikasi terhadap: 1 pengembangan perikanan diharapkan lebih berpihak ke nelayan, sehingga dapat meningkatkan strata sosial-ekonomi nelayan; 2 inovasi teknologi baru maupun pengembangan skala usaha nelayan dapat dilakukan, karena secara umum nelayan di Selatan Jawa mudah untuk menerima perubahan atau inovasi baru; 3 diversifikasi usaha perlu diberikan, sehingga nelayan mendapatkan hasil tambahan dan dapat meningkatkan strata sosial-ekonominya.

6.5 Implikasi Karakteristik Aspek Politik