Model Pengembangan Perikanan Kesimpulan .1 Implikasi Karakteristik Wilayah terhadap Kinerja Perikanan

10 KESIMPULAN DAN SARAN 10.1 Kesimpulan 10.1.1 Implikasi Karakteristik Wilayah terhadap Kinerja Perikanan Karakteristik Wilayah Selatan Jawa berpengaruh nyata terhadap lambatnya perkembangan perikanan di wilayah ini. Secara biologi, perairan kaya akan berbagai jenis sumberdaya ikan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti tuna, cakalang, udang, lobster, layur dan bawal putih. Namun, potensi sumberdaya ikan tersebut belum dapat memberikan dukungan secara optimal bagi perkembangan perikanan, karena kurangnya dukungan dari faktor yang lain. Kondisi geo-topografi dari pelabuhan perikananpangkalan pendaratan ikan PPPPI tidak menguntungkan dari akses pemasaran. Lokasi PPPPI yang terisolir, menyebabkan kesulitan untuk mendapatkan input produksi dan secara keseluruhan menyebabkan terhambatnya perkembangan industri perikanan. Kegiatan perikanan belum mendapatkan dukungan teknologi dan kualitas SDM yang memadai. Penggunaan dan penguasaan teknologi oleh nelayan yang rendah, menyebabkan daerah penangkapan ikan terkonsentrasi di perairan dekat pantai. Penggunaan dan penguasaan teknologi yang rendah, juga menyebabkan pendapatan nelayan rendah, yang berdampak pada kondisi sosial-ekonominya. Faktor lain penyebab perkembangan perikanan berjalan lambat, adalah rendahnya dukungan pemerintah. Perikanan belum merupakan prioritas utama pembangunan.

10.1.2 Model Pengembangan Perikanan

Kajian perikanan di Selatan Jawa menghasilkan dua model pengembangan yaitu, pengembangan perikanan lepas pantai SIMPELA dan pengembangan perikanan pantai SIMPETAI. Pengembangan perikanan lepas pantai, dilakukan dengan membangun bisnis perikanan tuna skala industri, didukung oleh pelabuhan perikanan berstandar internasional. Good manufacturing practices GMP dan standar sanitation operational procedure SSOP, perlu diterapkan di kapal dan pelabuhan perikanan. Perikanan tuna menggunakan kapal longline berukuran 30 GT, didukung sistem manajemen usaha yang baik. Pelabuhan perikanan yang 328 direkomendasikan adalah PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, dengan jumlah kapal 170 unit longline. Peningkatan fasilitas dan pelayanan di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan kapal longline. Kebutuhan utama terkait dengan fasilitas pokok, yaitu lebar alur masuk kolam pelabuhan 43,44- 57,92 m, dan kedalaman kolam pelabuhan 6,20-7,40 m. Kebutuhan input produksi yang harus disediakan per tahun yaitu, solar 24.000 kilo liter, 1.920 ton umpan, es 336.000 balok, dan air tawar 840.000 m 3 . Kebutuhan ABK sekitar 2.400 orang. Pengembangan perikanan lepas pantai tidak dapat dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten, melainkan harus dilakukan secara terintegrasi untuk Perairan Selatan Jawa. Pengembangan menghendaki dibentuknya kelembagaan terpadu, yang memiliki otoritas sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya perikanan. Kelembagaan berperan melakukan pengelolaan dan pengembangan perikanan, dengan mengakomodasikan kepentingan antar wilayah provinsi dan kabupaten serta antar stakeholder. Wewenang pembuatan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan tetap ada di pemerintah. Pengembangan perikanan pantai dilakukan dalam skala kecil dan menengah. Perikanan skala menengah untuk perikanan udang, tongkol dan cakalang, dengan unit trammel net, pancing tonda, gillnet dan purse seine. Perikanan skala kecil untuk perikanan layur, bawal putih, dan lobster, unit penangkapan multipurpose, menggunakan kapal fiberglass ukuran 1-2 GT. Pengembangan perikanan pantai diharapkan tidak terkonsentrasi di perairan dekat dengan pantai, melainkan lebih jauh dari pantai 4mil. Terdapat indikasi untuk beberapa jenis sumberdaya, seperti udang dan ikan demersal telah dimanfaatkan secara penuh fully exploited. Pengembangan perikanan pantai perlu didukung oleh keberadaan pelabuhan perikanan yang memadai. Pembangunan dan pengembangan fasilitas masih diperlukan, khususnya pada pelabuhan perikanan yang berstatus PPPPPI. Ketersediaan sarana produksi seperti kapal, alat tangkap, serta ketersediaan input produksi seperti ABK yang menguasi teknik penangkapan ikan, ketersediaan solar dengan harga terjangkau, merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan. Kelembagaan Dinas Perikanan masih belum berperan optimal dalam pengembangan perikanan daerah. Sebagian besar Dinas Perikanan Kabupaten, 329 bergabung dengan dinas dari sektor lain. Kondisi ini menjadikan porsi anggaran untuk pembangunan perikanan kecil. Kelembagaan usaha seperti KUD Mina dan kelembagaan masyarakat nelayan lainnya, diharapkan dapat ditingkatkan fungsi dan perannya bagi pengembangan perikanan pantai di masing-masing wilayah. Model pengembangan perikanan lepas pantai membentuk pola sentra industri Satellite Flat Form. Pengembangan perikanan tuna perlu mendatangkan investor bermodal kuat, dalam hal ini dapat menarik pengusaha dari PPS Nizam Zachman Jakarta atau dari Benoa Bali. Peran pemerintah sangat diperlukan dalam menjalin kerjasama dengan negara eksportir, khususnya dalam mengatasi hambatan teknis dalam perdagangan ekspor tuna. Pengembangan perikanan pantai membentuk pola Marshalian. Skala usaha yang dikembangkan adalah skala kecil dan menengah. Penguatan modal dapat dilakukan melalui pembentukan kelompok-kelompok nelayan atau koperasi, sehingga akses terhadap permodalan akan lebih mudah dilakukan. Penjualan produk dapat difokuskan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal, dalam bentuk ikan segar maupun produk-produk olahan.

10.1.3 Kebijakan Strategis