Penyusunan Model Pengembangan Perikanan 1 Penentuan sumberdaya ikan unggulan

48

3.5.2 Penyusunan Model Pengembangan Perikanan 1 Penentuan sumberdaya ikan unggulan

Pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan harus didasarkan pada keberadaan sumberdaya ikan. Sumberdaya ikan memiliki karakteristik biologi dan ekologis yang berbeda. Jenis ikan yang berbeda akan memerlukan faktor- faktor input yang berbeda untuk pemanfaatannya, serta akan menghasilkan tingkatan output yang berbeda pula. Prioritas diperlukan, agar upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Prioritas untuk mengembangkan perikanan berdasarkan pada sumberdaya ikan unggulan yang dimiliki daerah. Pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan, diharapkan dapat memberikan nilai manfaat lebih tinggi bagi daerah tersebut, dibandingkan dengan memanfaatkan jenis ikan yang bukan komoditas unggulan. Penentuan jenis ikan unggulan dilakukan dengan teknik comparative performance index CPI. Teknik CPI merupakan indeks gabungan composite indeks yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif i berdasarkan pada beberapa kriteria j Marimin 2004. Diagram alir deskriptif untuk penentuan ikan unggulan seperti terlihat pada Gambar 7, sedangkan formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Aij = Xij min x 100 Xij min Ai + 1.j = Xi + 1.j Xij min x 100 Iij = Aij x Pj Ii = Iij Keterangan : Aij : nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j Xij min : nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j Ai + 1.j : nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j Xi + 1.j : nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j Pj : bobot kepentingan kriteria ke-j Iij : indeks alternatif ke-I Ii : indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-I i : 1, 2, 3, ..., n j : 1, 2, 3, ..., n 49 Analisis sumberdaya ikan unggulan didasarkan pada 3 kriteria yaitu: 1 Nilai location quotient LQ dari produksi ikan. LQ dianalisis dengan perbandingkan produksi dari satu jenis ikan terhadap total produksi ikan di suatu kabupaten, dibandingkan dengan perbandingan produksi jenis ikan tersebut terhadap produksi total dari provinsi yang bersangkutan. 2 Nilai location quotient LQ dari nilai produksi ikan. LQ dianalisis dengan perbandingkan nilai produksi satu jenis ikan terhadap total nilai produksi ikan di suatu kabupaten, dibandingkan dengan perbandingan nilai produksi jenis ikan tersebut terhadap nilai produksi total provinsi yang bersangkutan. 3 Jenis ikan yang potensial untuk diekspor. Penilaian dilakukan berdasarkan data ekspor. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skor, yaitu skor 3 untuk jenis ikan yang potensial tinggi untuk diekspor tuna dan udang, skor 2 untuk jenis ikan potensial sedang cakalang, lobster, bawal putih, bawal, layur dan skor 1 untuk jenis ikan yang potensial rendah untuk diekspor jenis ikan selain yang telah disebutkan. Nilai LQ yang dianalisis dengan menggunakan CPI, hanya yang memiliki nilai LQ lebih besar dari 1 dengan data time series lima tahun. Nilai LQ location quotient 1 untuk produksi dan nilai produksi menggambarkan, komoditas ikan tersebut dari sisi produksi dan nilai produksi lebih unggul dibandingkan dengan komoditas ikan lainnya. Formula untuk menentukan nilai LQ diadaptasi dari Budiharsono 2001. Menurut Budiharsono, metode location quotient LQ merupakan perbandingan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan nasional. Pada penelitian ini penentuan LQ dengan kriteria pendapatan diganti dengan kriteria produksi dan nilai produksi ikan. Formula matematis penentuan nilai LQ adalah sebagai berikut: LQ i t i t i v v v v = keterangan : v i = Pendapatan produksinilai produksi sektor ke i jenis ikan ke i pada tingkat kabupaten. 50 v t = Pendapatan produksinilai produksi ikan total kabupaten. v i = Pendapatan produksinilai produksi sektor ke i jenis ikan ke i pada tingkat provinsi. v t = Pendapatan produksinilai produksi ikan total provinsi. Gambar 7 Diagram alir deskriptif penentuan sumberdaya ikan unggulan. 2 Permodelan sistem pengembangan perikanan Permodelan sistem dimulai dengan melakukan analisis terhadap kondisi sistem saat ini, selanjutnya dilakukan penyusunan model. Teknik analisis dan permodelan yang dikembangkan dalam penelitian, dijelaskan pada bagian berikut. 51 1 Analisis Subsistem USAHA Analisis pada subsistem USAHA dimaksudkan untuk dapat membangun bisnis perikanan sesuai dengan jenis ikan unggulan. Untuk keperluan pembuatan model diperlukan analisis terhadap potensi sumberdaya, dilanjutkan dengan penjabaran faktor teknis dan kelayakan finansial usaha. Diagram alir deskriptif analisis dan permodelan pada subsistem USAHA seperti terlihat pada Gambar 8. Gambar 8 Diagram alir deskriptif analisis submodel USAHA. 52 a Analisis teknis usaha Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha penangkapan ikan meliputi kegiatan dari pra produksi, produksi, pasca produksi, distribusi dan pemasaran. Ketersediaan input-input produksi merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Input-input produksi meliputi: - Ketersediaan unit penangkapan: kapal, alat tangkap, mesin kapal, serta perlengkapan operasi penangkapan ikan lainnya. - Ketersediaan sumberdaya manusia SDM yang handal dan terampil. - Permodalan: modal investasi dan modal operasi. - Ketersediaan perbekalan operasi penangkapan ikan: BBM solar, minyak tanah, air tawar, es, umpan, dan perbekalan makanan. Proses produksi pada usaha perikanan adalah mengubah input produksi menjadi produksi atau hasil tangkapan. Efisiensi dan efektivitas produksi dapat diukur dari output yang dihasilkan dibandingkan dengan input yang digunakan. Kegiatan pasca produksi berkaitan dengan penanganan hasil tangkapan. Penanganan hasil tangkapan merupakan hal yang penting untuk menjaga kualitas hasil tangkapan, mengingat sifat ikan yang sangat mudah busuk. Penanganan ikan juga sangat penting untuk jenis ikan yang berkualitas ekspor, karena pasar ekspor mensyaratkan kualitas yang tinggi. Penanganan harus dilakukan mulai dari saat ikan ditangkap, yaitu penanganan di atas kapal, saat pembongkaran di pelabuhan perikanan dan pada saat pendistribusian ke pasar atau ke konsumen. Distribusi dan pemasaran merupakan rantai akhir dari suatu kegiatan usaha perikanan. Penanganan yang baik saat distribusi diperlukan untuk tetap menjaga kualitas ikan. Pemasaran yang tepat akan memberikan nilai penerimaan yang besar bagi kegiatan usaha perikanan. b Analisis finansial usaha perikanan Kelayakan usaha atau kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri akan memerlukan pertimbangan teknik dan ekonomi. Dengan kata lain apabila suatu kegiatan bisnis telah memenuhi kelayakan teknik, maka perlu juga dipertanyakan bagaimana kelayakan ekonominya. Pada dasarnya tujuan suatu kegiatan bisnis haruslah memperoleh keuntungan profit. 53 Oleh karena itu perhitungan analisis finansial usaha, perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri perikanan Gaspersz 1992; Gray et al. 1992. Perhitungan kelayakan usaha dilakukan dengan kriteria: - Keuntungan usaha, merupakan selisih antara penerimaan usaha dengan biaya total per tahun. - Net present value NPV, digunakan untuk menghitung pendapatan bersih usaha selama umur proyek dengan memperhitungkan diskon faktor discount factor. - Net BC, digunakan untuk mengetahui rasio antara pendapatan benefit dengan biaya cost selama umur proyek dengan memperhitungkan diskon faktor discount factor. - Internal rate of return IRR, digunakan untuk mengetahui pada tingkat suku bunga discount rate berapa usaha tidak untung dan tidak rugi. Dalam perhitungan kelayakan usaha ada dua item pokok yang harus dihitung yaitu penerimaan dan pembiayaan. Penerimaan dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama satu tahun dikalikan dengan harga. Pembiayaan dihitung berdasarkan pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama satu tahun. Biaya digolongkan menjadi tiga yaitu biaya investasi, biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memulai usaha, yaitu untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan investasi lainnya, termasuk modal kerja. Biaya tetap fixed cost adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan, walaupun tidak melakukan operasi penangkapan. Biaya tetap diantaranya meliputi biaya perawatan kapal, alat tangkap, mesin dan perawatan alat tangkap lainnya, gaji ABK jika ABK diberi upah dengan sistem gaji, penyusutan, operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya tidak tetap variable cost adalah biaya yang baru akan dikeluarkan jika melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel mencakup biaya bekal operasi penangkapan seperti biaya pembelian solar, olie, minyak tanah, air tawar, es, perbekalan makanan, izin operasi, retribusi dan bagi hasil jika menggunakan sistem bagi hasil untuk pendapatan ABK. 2 Analisis Subsistem PELABUHAN Analisis subsistem PELABUHAN dimaksudkan untuk melakukan evaluasi terhadap PPPPI yang ada, terhadap perannya untuk dapat mendukung kegiatan 54 usaha perikanan. Analisis meliputi: a keterkaitan dengan fishing ground forward linkages, b aspek teknis pembangunan pelabuhan perikanan, dan c keterkaitan aksesibilitas pasar backward linkages adaptasi dari Vigarié 1979 diacu dalam Lubis 1989; Lubis 2006; Ismail 2005 lihat Bab 2.5.2. a Analisis keterkaitan dengan fishing ground forward linkages Keterkaitan pelabuhan perikanan dengan fishing ground forward linkages berkaitan dengan tingkat efisiensi penggunaan input produksi, seperti penggunaan bahan bakar dan perbekalan operasi. Ketertarikan pengguna pelabuhan untuk mendaratkan ikannya di suatu pelabuhan tarikan pergerakan, selain faktor kedekatannya dengan fishing ground dipengaruhi juga oleh beberapa hal diantaranya yaitu kemudahan memasuki alur masuk kolam pelabuhan, kemudahan mendapatkan pelayanan bongkar ikan, muat perbekalan, dan fasilitas lain yang diperlukan, serta daya tarik pasar atau harga jual ikan. Analisis keterkaitan dengan fishing ground forward linkages dilakukan melalui penilaian atau membandingkan beberapa PPPPI yang ada di suatu wilayah perairan, berkaitan dengan daya tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PPPPI tersebut. Analisis mencakup: kemudahan memasuki alur masuk kolam pelabuhan, kebutuhan fasilitas pelabuhan sesuai dengan unit yang akan melakukan pendaratan, dan potensi pasar. Diagram alir deskriptif analisis seperti terlihat pada Gambar 9. b Analisis teknis pelabuhan Penetapan lokasi untuk dibangun suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan kelayakan teknis, dari aspek perairan dan aspek daratan. Diagram alir deskriptip analisis disajikan pada Gambar 10. Pembangunan pelabuhan memiliki kriteria teknis, diantaranya yaitu: Aspek perairan - Bentuk pantai: pantai yang merupakan wilayah terbuka akan membutuhkan biaya besar untuk pembangunan breakwater, pantai yang baik untuk dibangun pelabuhan adalah pantai yang terlindung. - Alur masuk pelabuhan: alur masuk pelabuhan memiliki standar ukuran minimal sesuai ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan formula yang digunakan dapat dilihat pada permodelan sistem hal: 64-66 55 - Kolam pelabuhan: kolam pelabuhan memiliki standar ukuran minimal sesuai dengan ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan, - Darmaga: darmaga memiliki standar ukuran minimal sesuai dengan ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan. Gambar 9 Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan fishing ground. Aspek daratan - Luas lahan: luas lahan yang diperlukan oleh suatu pelabuhan berkaitan dengan kebutuhan penempatan fasilitas darat, utamanya untuk fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta kebutuhan untuk lahan industri dan pengembangan. - Fasilitas penyediaan kebutuhan kapal: penyediaan kebutuhan kapal baik berupa BBM, air tawar, es, umpan, dan kebutuhan perbekalan lainnya. - Fasilitas penanganan ikan: keberadaan fasilitas penanganan ikan sangat penting, khususnya untuk produk-produk ekspor. 56 Gambar 10 Diagram alir deskriptif analisis teknis pelabuhan. c Analisis keterkaitan dengan pasar backward linkages Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografi dengan jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi dicapai melalui jaringan transportasi Black 1981 diacu dalam Tamin 2000. Tingkat aksesibilitas PPPPI dianalisis dengan menggunakan konsep yang dikembangkan Tamin 2000 kriteria penilaian disesuaikan dengan kebutuhan. Sistem tata guna lahan dan transportasi mempunyai tiga komponen utama yaitu, tata guna lahan, prasarana transportasi dan lalu lintas. Hubungan antara ketiga komponen terlihat dalam 6 konsep analitis, yaitu aksesibilitas, bangkitan 57 pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda, pemilihan rute dan arus lalu lintas pada jaringan jalan. Formulasi yang digunakan pada analisis dalam penelitian ini terbatas pada formula bangkitan pergerakan. Bangkitan pergerakan adalah fungsi dari tata guna lahan. Jumlah bangkitan pergerakan yang dihasilkan oleh suatu zona berbanding lurus dengan tipe dan intensitas tata guna lahan di zona tersebut: P A = f L A ………………………………………………… 1 Hal yang sama berlaku pada tarikan pergerakan : A B = f L B …………………………………………………. 2 Berdasarkan pada pemahaman konsep di atas. Kajian untuk menganalisis aksesibilitas lokasi PPPPI didasarkan pada kriteria sebagai berikut: a Jarak, jarak berkaitan dengan jarak satu lokasi ke lokasi lain. Kedekatan jarak antara dua tempat menunjukkan aksesibilitas tinggi, sedangkan jarak yang berjauhan menunjukkan aksesibilitasnya rendah. Aksesibilitas satu lokasi PPPPI yang utama adalah keterkaitannya dengan daerah tujuan pemasaran. b Waktu tempuh, satu lokasi yang dapat ditempuh dari lokasi lain dengan waktu pendek dikatakan memiliki aksesibilitas yang tinggi, sedangkan jika perlu waktu yang lama menunjukkan aksesibilitasnya rendah. c Biaya, biaya berkaitan dengan kemampuan membayar seseorang untuk menjangkau suatu daerah, dalam hal ini berdampak pada mobilitas atau tingkat pergerakan. Biaya yang rendah menunjukkan aksesibilitas tinggi, sedangkan biaya yang mahal berdampak pada aksesibilitas rendah. d Kualitas prasarana transportasi, kondisi prasarana akan berpengaruh pada tingkat kemudahan suatu lokasi dijangkau. Kondisi prasarana yang jelek menyebabkan suatu lokasi sulit dijangkau, dapat diartikan bahwa tingkat aksesibilitasnya rendah. Sebaliknya, kondisi prasarana yang baik akan memudahkan suatu lokasi dijangkau, atau tingkat aksesibilitasnya tinggi. e Sarana transportasi, seperti halnya dengan prasarana transportasi, sarana transportasi berpengaruh pada tingkat kemudahan suatu lokasi dijangkau. Kondisi sarana yang jelek menyebabkan suatu lokasi sulit dijangkau, berarti bahwa tingkat aksesibilitasnya rendah. Kondisi sebaliknya, jika sarana transportasi baik akan memudahkan suatu lokasi dijangkau, atau dengan kata 58 lain aksesibilitasnya tinggi. Kondisi sarana transportasi berkaitan dengan kuantitas kapasitas dan ketersediaan dan kualitas frekuensi dan pelayanan. f Hambatan perjalanan, mengukur tingkat kemudahan suatu lokasi dicapai. Hambatan perjalanan yang tinggi menjadikan aksesibilitas suatu lokasi rendah, sedangkan hambatan perjalanan yang rendah menjadikan tingkat aksesibilitas lokasi tinggi. Hambatan perjalanan, misalnya berupa kemacetan jalan, jalan yang melewati daerah perbukitan atau pegunungan dengan tebing yang terjal, jalan sempit, atau sarana jalan yang rusak. Aksesibilitas lokasi dari PPPPI di wilayah kajian, akan dapat meningkat dengan peningkatan prasarana dan sarana transportasi. Peningkatan prasarana dan sarana transportasi akan efektif dilakukan, jika peningkatan prasarana dan sarana tersebut akan berdampak pada peningkatan mobilitas pergerakan dari lokasi PPPPI menuju daerah tujuan pasar atau sebaliknya. Untuk melihat apakah pembangunan prasarana dan sarana transportasi akan berdampak baik pada mobilitas, dianalisis dengan menggunakan model bangkitan pergerakan. Tujuan dasar model bangkitan pergerakan adalah, menghasilkan model hubungan yang mengkaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona, atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Zona asal dan zona tujuan biasanya juga menggunakan istilah trip end. Model bangkitan pergerakan akan meramalkan besarnya tingkat bangkitan pergerakan di masa datang, dengan mempelajari beberapa variasi hubungan antara ciri pergerakan dengan tata guna lahan. Analisis menggunakan data berbasis zona, misalnya tata guna lahan, kepemilikan kendaraan, populasi, jumlah pekerja, kepadatan penduduk dan juga moda transportasi Tamin 2000. Analisis bangkitan pergerakan lokasi PPPPI dimasa datang dilakukan melalui kriteria berikut: a Tata guna lahan, tata guna lahan berkaitan dengan peruntukan suatu lahan. Peruntukan suatu lahan yang banyak misalnya untuk kegiatan perikanan, pariwisata, industri akan membangkitkan pergerakan yang lebih besar dibandingkan jika hanya diperuntukkan untuk kegiatan perikanan saja. b Jumlah penduduk, jumlah penduduk yang banyak memiliki peluang untuk melakukan pergerakan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang kecil. 59 c Keberadaan dan perkembangan sektor perikanan, industri, perdagangan, dan pariwisata. Keberadaan dan perkembangan dari keempat sektor di suatu zona, memberikan peluang peningkatan pergerakan dari dan menuju zona tersebut. d Keberadaan pusat pemerintahan kabupaten atau kecamatan di suatu zona, memberikan peluang peningkatan pergerakan dari dan menuju zona tersebut. Diagram alir deskriptif analisis tingkat aksesibilitas dan peluang peningkatan bangkitan pergerakan dari lokasi PPPPI disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan pasar backward linkages analisis aksesibilitas dan peluang bangkitan pergerakan. 60 3 Analisis Subsistem LEMBAGA Kebijakan dan kelembagaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kegiatan perikanan di suatu wilayah. Kebijakan dan kelembagaan berkaitan dengan dukungan dan komitmen dari institusi atau lembaga yang berwenang dan terlibat dalam kegiatan perikanan. Analisis kebijakan dan kelembagaan perikanan dimaksudkan untuk dapat menentukan kebutuhan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, untuk mendukung pengembangan perikanan. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum. Pendekatan kerangka hukum legal framework dilakukan untuk melihat hukumperaturan perundang-undangan dari sisi struktur legal structure, mandat legal mandate dan penegakan hukum legal enforcement lihat Bab 2.5.3. Gambar 12 Diagram alir deskriptif analisis kebijakan perikanan. Analisis kebijakan dilakukan melalui evaluasi kebijakan yang ada, baik berupa kebijakan tertulis maupun kebijakan tidak tertulis. Kebijakan tertulis berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang dibuat oleh 61 pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kebijakan tidak tertulis berupa peraturan tidak tertulis, seperti kearifan-kearifan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya. Diagram alir deskriptif analisis kebijakan seperti terlihat pada Gambar 12. Analisis kelembagaan dilakukan berdasarkan pada pendekatan kerangka kelembagaan institutional framework. Kinerja kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan institutional arrangement, mekanisme kelembagaan institutional framework, dan kapasitas kelembagaan. Kinerja dari suatu kelembagaan dapat dilihat melalui beberapa indikator, yaitu berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi Purwaka 2003 lihat Bab 2.5.3. Analisis kelembagaan dilakukan melalui evaluasi kelembagaan yang ada, baik berupa kelembagaan formal maupun non formal. Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 13. Gambar 13 Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan. 62 2 Permodelan Sistem Permodelan sistem terdiri atas beberapa tahap yaitu: 1 seleksi konsep, 2 rekayasa model, 3 implementasi komputer, 4 validasi model, 5 analisis sensitivitas, 6 analisis stabilitas dan 7 aplikasi model Eriyatno 2003. Permodelan sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah, dirancang untuk mengembangkan sistem dari kondisi yang sudah ada saat ini, dan bukan membuat suatu sistem yang baru. Penyusunan model dilakukan dengan mengintegrasikan tiga submodel yaitu 1 submodel USAHA, 2 submodel PELABUHAN, dan 3submodel LEMBAGA. 1 Submodel USAHA Berdasarkan hasil pada analisis sistem, submodel USAHA dimaksudkan untuk dapat membangun usaha perikanan yang menguntungkan, efektif dan efisien sesuai dengan potensi sumberdaya ikan unggulan. Keterkaitan antara hasil analisis potensi sumberdaya, analisis teknis usaha dan analisis finansial usaha perikanan digambarkan dalam suatu model sistem dinamis. Model sistem dinamis digunakan untuk melakukan simulasi pengembangan perikanan. Hasil simulasi dari model sistem dinamis berupa hubungan antara penambahan jumlah effort unit usaha sesuai dengan rencana pengembangan dengan kebutuhan input produksi tenaga kerja, solar, air tawar, umpan dan es, serta kebutuhan input produksi lainnya, serta output dari kegiatan usaha perikanan berupa keuntungan usaha dan retribusi bagi daerah. Model sistem dinamis yang telah dirancang, seperti terlihat pada Gambar 14. Model menggunakan perangkat lunak software Powersim Versi 2.5 . Hasil simulasi dari model sistem dinamis pada submodel USAHA, dapat digunakan oleh submodel PELABUHAN untuk perencanaan penyediaan kebutuhan input produksi usaha perikanan dan pengembangan fasilitas yang dibutuhkan. Bagi submodel LEMBAGA, hasil simulasi dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat untuk dapat mendukung kegiatan usaha perikanan. 63 laju_peningkatan_harga_ekspo laju_peningkatan_harga_lokal laju_peningkatan_biaya keuntungan_per_unit retribusi keuntungan laju_peningkatan_effort hasil_tangkapan_tertunda inflasi konstanta_peningkatan_effort kebutuhan_tenaga_kerja kebutuhan_solar kebutuhan_umpan kebutuhan_es target_produksi produksi_tuna produksi_ekspor produksi_lokal harga_lokal harga_ekspor biaya_total kebutuhan_air_tawar tangkapan_tuna fraksi_penangkapan effort Gambar 14 Model sistem dinamis untuk melakukan simulasi pengembangan pada Submodel USAHA. 64 2 Submodel PELABUHAN Submodel PELABUHAN dikembangkan sesuai dengan hasil analisis sistem terhadap kondisi pelabuhan saat ini, dan kebutuhan pelabuhan perikanan yang dapat mendukung usaha perikanan sesuai dengan hasil analisis pada submodel USAHA. Hasil simulasi submodel USAHA menghasilkan pertambahan kebutuhan input produksi, sesuai dengan penambahan jumlah effort unit usaha. Submodel PELABUHAN menggunakan besaran input produksi ini untuk menentukan pengembangan fasilitas yang akan dilakukan, guna dapat memenuhi kebutuhan input produksi bagi pengembangan usaha perikanan. Untuk keperluan pengembangan fasilitas pelabuhan diperlukan perhitungan ukuran fasilitas. Beberapa formula untuk menentukan pembangunan fasilitas pelabuhan perlu digunakan, diantaranya yaitu sebagai berikut Lubis 2005: a Alur pelayaran Lebar alur pelayaran diusahakan untuk kapal dapat mudah bernavigasi memasuki kolam pelabuhan, lebar bersih alur pelabuhan di luar kemiringan dasar dan tanggul adalah sebagai berikut : - ukuran kapal 50 GT, berkisar antara 8~10 kali lebar kapal terbesar; - ukuran kapal 50-200 GT, berkisar antara 6~8 kali lebar kapal terbesar; - ukuran kapal 200 GT, lebar bersih lebih dari 6 kali lebar kapal terbesar. Jika pintu gerbang terletak pada tikungan, lebar alur masuk ke kolam pelabuhan harus ditambah sesuai dengan radius tikungan. b Luas kolam pelabuhan Penentuan luas kolam pelabuhan adalah tidak kurang dari: L = Lt + 3 x n x l x b Keterangan: Lt = luas untuk memutar kapal m 2 n = jumlah kapal maksimum yang berlabuh l = panjang kapal m b = lebar kapal m Lt adalah luas untuk memutar kapal, radius pemutarannya minimum satu kali panjang kapal terbesar. 65 Lt = π x r 2 = π x l 2 Keterangan: Lt = luas untuk memutar kapal m 2 π = 3,14 l = panjang kapal terbesar m c Kedalaman kolam pelabuhan Kedalaman perairan di wilayah kolam pelabuhan pada saat muka air terendah lower level water survaceLLWS ditentukan dengan menggunakan rumus: D = d + ½ H + S + C Keterangan: D = kedalaman perairan cm d = draft kapal terbesar cm H = tinggi gelombang maksimum H maks = 50 cm C = jarak aman dari lunas kapal ke dasar perairan 25-100 cm d Panjang darmaga Panjang dermaga yang dibutuhkan menggunakan rumus sebagai berikut: L uxd xnxaxh s l + = Keterangan: L = panjang dermaga m l = panjang kapal m s = jarak antara kapal m n = jumlah kapal yang memakai dermaga a = berat kapal ton h = lama kapal di dermaga u = produksi per hari ton d = lama fishing trip jam atau dengan perhitungan sederhana: L = MP x l atau b x 1.2 66 Keterangan: M = jumlah kapal rata-rata sehari yang akan berlabuh P = periode penggunaan dermaga dengan cara merapat, jam kerja efektif dianggap 6 jam. l dan b = panjang dan lebar kapal yang rata-rata berlabuh tergantung dari cara kapal merapat; memanjang, tegak lurus atau miring 3 Submodel LEMBAGA Submodel LEMBAGA dimaksudkan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang dapat mendukung usaha perikanan. Penentuan kebijakan yang tepat dilakukan perdasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kebijakan Bab. 3.4.1. Begitu pula dengan penentuan kelembagaan yang tepat, juga didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kelembagaan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kelembagaan Bab. 3.4.1. Selain itu submodel LEMBAGA juga akan menghasilkan kelembagaan usaha dalam bentuk sentra industri. Menurut Kuncoro 2000 diacu dalam Sahubawa 2006, sentra industri merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja. Markusen 1996 dan Scorsone 2002 diacu dalam Sahubawa 2006 mengajukan tiga pola sentra industri yaitu sentra Marshalian, Hub and Spoke, dan Satellite Flat Form. Submodel LEMBAGA akan menghasilkan pola sentra industri yang tepat untuk masing-masing kabupaten. Pola sentra ini akan ditentukan berdasarkan a skala ekonomi dari usaha perikanan yang akan dikembangkan, b kerjasama yang terjadi antar para pelaku usaha, dan c hubungan dengan pihak eksternal.

3.5.3 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan