Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan

66 Keterangan: M = jumlah kapal rata-rata sehari yang akan berlabuh P = periode penggunaan dermaga dengan cara merapat, jam kerja efektif dianggap 6 jam. l dan b = panjang dan lebar kapal yang rata-rata berlabuh tergantung dari cara kapal merapat; memanjang, tegak lurus atau miring 3 Submodel LEMBAGA Submodel LEMBAGA dimaksudkan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang dapat mendukung usaha perikanan. Penentuan kebijakan yang tepat dilakukan perdasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kebijakan Bab. 3.4.1. Begitu pula dengan penentuan kelembagaan yang tepat, juga didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kelembagaan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kelembagaan Bab. 3.4.1. Selain itu submodel LEMBAGA juga akan menghasilkan kelembagaan usaha dalam bentuk sentra industri. Menurut Kuncoro 2000 diacu dalam Sahubawa 2006, sentra industri merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja. Markusen 1996 dan Scorsone 2002 diacu dalam Sahubawa 2006 mengajukan tiga pola sentra industri yaitu sentra Marshalian, Hub and Spoke, dan Satellite Flat Form. Submodel LEMBAGA akan menghasilkan pola sentra industri yang tepat untuk masing-masing kabupaten. Pola sentra ini akan ditentukan berdasarkan a skala ekonomi dari usaha perikanan yang akan dikembangkan, b kerjasama yang terjadi antar para pelaku usaha, dan c hubungan dengan pihak eksternal.

3.5.3 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan

Perumusan kebijakan strategis pengembangan perikanan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Pengukuran kinerja kebijakan strategis dengan analisis balanced scorecard. Implementasi model pengembangan perikanan menggunakan teknik interpretative structural modeling ISM. 67 Analisis SWOT didahului dengan pembuatan matriks internal strategic factor analysis summary IFAS dan external strategic factor analysis summary EFAS. Penyusunan matriks IFAS dan EFAS didasarkan pada hasil analisis terhadap sistem, yaitu dengan melihat faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal David 2002. Penyusunan matriks IFAS adalah seperti berikut: 1 Melakukan identifikasi faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan sistem. 2 Pembobotan terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,00 sangat penting sampai dengan 0,00 tidak penting. Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. 3 Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap permasalahan. Nilai rating mulai dari 4 outstanding sampai dengan 1 poor. Pemberian nilai rating untuk kekuatan bersifat positif semakin besar kekuatan semakin besar pula nilai rating yang diberikan, sedangkan untuk kelemahan dilakukan sebaliknya. 4 Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor. 5 Jumlah dari skor terbobot menentukan kondisi internal sistem. Jika nilai total skor terbobot ≥2,5 berarti kondisi internal sistem memiliki kekuatan untuk mengatasi situasi. Penyusunan matriks EFAS adalah seperti berikut: 1 Melakukan identifikasi faktor-faktor yang merupakan peluang dan ancaman. 2 Pembobotan terhadap masing-masing faktor berkaitan dengan pengaruhnya terhadap faktor strategis, mulai dari 1,00 sangat penting sampai dengan 0,00 tidak penting. Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. 3 Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap kondisi sistem. Nilai rating mulai dari 4 outstanding sampai dengan 1 poor. Pemberian nilai rating untuk peluang bersifat positif semakin besar peluang semakin besar pula nilai rating yang diberikan, sedangkan untuk ancaman dilakukan sebaliknya semakin besar ancaman semakin kecil nilai rating yang diberikan. 68 4 Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor. 5 Jumlah skor terbobot menentukan kondisi eksternal sistem. Jika total skor terbobot ≥ 2,5 berarti sistem mampu merespon kondisi eksternal yang ada. Matriks SWOT dibuat untuk menyusun alternatif strategi. Alternatif strategi disusun berdasarkan pada logika untuk dapat memanfaatkan peluang dan kekuatan yang ada, serta mengeliminir kelemahan dan ancaman sistem. Analisis balanced scorecard didahului dengan analisis untuk menentukan strategi pengembangan sistem. Berdasarkan strategi yang telah disusun, dibuat tolok ukur jangka pendek untuk dapat mengendalikan kinerja sistem. Tahap dalam penyusunan balanced scorecard yaitu: 1 Merinci visi berdasarkan masing-masing perspektif dan merumuskan strategi. 2 Identifikasi faktor-faktor penting keberhasilan kinerja sistem. 3 Mengembangkan tolok ukur, identifikasi sebab akibat dan menyusun keseimbangan sistem. 4 Merinci scorecard dan tolok ukur unit sistem. 5 Merumuskan tujuan-tujuan. 6 Implementasi. Permodelan sistem yang telah dihasilkan diharapkan dapat diterapkan pada sistem nyata. Strategi implementasi perlu dilakukan agar model pengembangan perikanan dapat berhasil dengan baik. Strategi implementasi dilakukan dengan menggunakan teknik interpretative structural modelling ISM. Langkah-langkah dalam penggunaan ISM adalah sebagai berikut Eriyatno 1999; Marimin 2004: 1 Identifikasi elemen sistem. 2 Membangun sebuah hubungan kontekstual antar elemen yang disesuaikan dengan tujuan model. 3 Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur structural self interaction matrixSSIM. Matriks dibuat berdasarkan persepsi responden yang dimintakan melalui wawancara kelompok terfokus. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah: V : hubungan dari elemen E i terhadap E j , tidak sebaliknya. 69 A : hubungan dari elemen E j terhadap E i , tidak sebaliknya. X : hubungan interrelasi antara E i dan E j dapat sebaliknya. O : menunjukkan bahwa E i dan E j tidak berkaitan. 4 Pembuatan matriks ”interaksi yang terjadi” reachability matrixRM: sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan: • Jika hubungan E i terhadap E j = V dalam SSIM, maka elemen E ij = 1 dan E ji = 0 dalam RM; • Jika hubungan E i terhadap E j = A dalam SSIM, maka elemen E ij = 0 dan E ji = 1 dalam RM; • Jika hubungan E i terhadap E j = O dalam SSIM, maka elemen E ij = 0 dan E ji = 0 dalam RM; RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika E ij = 1 dan E jk = 1, maka E ik = 1. 5 Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen E i dari sistem : reachability set R i , adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen E i , dan antecedent set A i , adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen E i dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana R i = R i ∩ A i , adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. 6 Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7 Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. 70 digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8 Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Penentuan strategi implementasi model pengembangan perikanan dengan menggunakan teknik ISM, memerlukan identifikasi elemen penting yang akan dimasukkan kedalam model atau program. Menurut Saxena 1992 diacu dalam Eriyatno 2003 program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1 Sektor masyarakat yang terpengaruh. 2 Kebutuhan dari program. 3 Kendala utama program. 4 Perubahan yang dimungkinkan dari program. 5 Tujuan dari program. 6 Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan. 7 Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. 8 Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9 Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Pada penelitian ini ditetapkan tujuh elemen sistem, yang terdiri atas beberapa subelemen sistem. Selanjutnya elemen dan subelemen sistem ini, digunakan sebagai input yang dianalisis dengan teknik ISM Tabel 4. Untuk keperluan pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur structural self interaction matrixSSIM, diperlukan persepsi responden. Pada penelitian ini, responden yang dimintakan pendapatnya melalui pengisian kuesioner adalah pakar di bidang perikanan tangkap. Output teknik ISM berupa ranking dari setiap subelemen dan plot masing- masing subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Berdasarkan ranking masing-masing sub-elemen , maka dapat dibuat hierarki setiap subelemen secara manual dimana subelemen dengan ranking yang lebih tinggi akan berada pada hierarki yang lebih rendah. Diagram alir deskriptif teknik analisis ISM seperti terlihat pada Gambar 15. 71 Tabel 4 Elemen dan subelemen strategi implementasi Model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah No. Elemen Sistem Subelemen 1 Sektor masyarakat yang terpengaruh dari pengembangan perikanan nelayan, pemilik kapalpengusaha perikanan, industri pembuat kapal, industri pembuat alat tangkap, industri pembuat mesin kapal, industri pengolah ikan, pedagangpengumpul, eksportir, nelayan penyedia umpan, penyedia perbekalan, pengusaha jasa transportasi, pekerja atau buruh angkut di PPPPI, masyarakat sekitar PPPPI 2 Kebutuhan untuk terlaksananya program pengembangan perikanan keberpihakan pemerintah pusat, keberpihakan pemerintah provinsi, keberpihakan pemerintah kabupaten, partisipasi masyarakat, peran serta tokoh masyarakat, kerjasama antar wilayah, koordinasi antar sektor, ketersediaan anggaran pengembangan, dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, ketersediaan SDI, ketersediaan SDM, teknologi, data dan informasi, penegakan hukum 3 Kendala utama pengembangan perikanan kualitas SDM yang masih rendah, teknologi penangkapan ikan yang masih terbatas, harga BBM yang tinggi, pemahaman mutu ikan masih rendah, akses dan informasi pasar masih terbatas, kemampuan permodalan nelayan rendah, kualitas dan kuantitas pengelola perikanan masih terbatas, konflik kepentingan antar pemerintah daerah, konflik kepentingan antar sektor, prioritas dana pembangunan untuk kegiatan perikanan masih rendah 4 Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari pengembangan perikanan optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan keuntungan usaha perikanan, peningkatan fungsionalitas PPPPI, peningkatan aksesibilitas PPPPI, peningkatan peran dan fungsi kelembagaan perikanan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebijakan yang mendukung kegiatan perikanan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, peningkatan PADdevisa, peningkatan perekonomian daerah 5. Tolok ukur keberhasilan pengembangan perikanan terbentuknya kelembagaan pengelolaan bersama, terlaksananya program pengembangan, pemanfaatan sumberdaya optimal, efisiensi pembiayaan program, nilai manfaat yang seimbang antar daerah, pendapatan usaha perikanan meningkat, penyerapan tenaga kerja meningkat, PADdevisa meningkat, perekonomian daerah meningkat 6 Aktivitas yang diperlukan dalam pengembangan perikanan koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan, pembentukan kelembagaan bersama untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya, pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha di bidang perikanan, pengembangan akses pasar, peningkatan akses informasi 7 Lembaga yang terlibat dalam pengembangan perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan DKP, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten, Dinas Perhubungan Laut, Dinas Imigrasi, Dinas Perdagangan, Pengelola PPPPI, Kelompok Nelayan, Asosiasi Pengusaha, Lembaga Pemberi Modal, LSM, AkademisiPeneliti, Kelompok Pengawas Masyarakat POKWASMAS, Koperasi, HNSI dan Penegak Hukum 72 Gambar 15 Diagram alir deskriptif teknik interpretative structural modelling ISM Saxena 1992 diacu dalam Marimin 2004. 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Daerah penelitian meliputi daerah-daerah di Sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa, mencakup empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Provinsi Jawa Barat diwakili oleh Kabupaten Sukabumi dan Garut. Jawa Tengah diwakili oleh Kabupaten Cilacap dan