Beberapa Contoh Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

11 upaya menerapkan pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun rencana strategis RENSTRA pengelolaan sumberdaya secara terpadu dari setiap provinsi dan kabupatenkota. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyusun zonasi kawasan perairan untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan management plan untuk suatu kawasan tertentu atau suatu sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi action plan yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Perencanaan hendaknya dilakukan secara partisipatif, artinya segenap komponen daerah terlibat dalam proses dan tahapan perencanaan pengelolaan tersebut Dahuri 2003.

2.2 Beberapa Contoh Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Beberapa contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang disarikan dari beberapa tulisan di jurnal ilmiah, adalah sebagai berikut: 1 Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan mengetengahkan kerjasama pihak yang terkait stakeholder melalui peraturan perikanan terpadu di Teluk Murcielagos, Pantai Utara Mindanau, Philipina Panorel 2004. Potensi sumberdaya ikan di Teluk Murcielagos pada awalnya sangat besar, nelayan dengan mudah mendapatkan hasil tangkapan 100 kg per hari. Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi migrasi secara besar-besaran penduduk ke daerah ini untuk mencari kesempatan kerja. Berbagai kegiatan perikanan ilegal dan penangkapan destruktif kemudian terjadi, mengakibatkan rusaknya ekosistem perairan dan tekanan besar terhadap sumberdaya. Pada tahun 1980-1990-an, terjadi penurunan catch per unit effort secara drastis. Pada tahun 2000, hasil tangkapan rata-rata hanya 1-3 kg untuk 3-4 jam penangkapan. Kondisi ini berdampak menurunnya pendapatan nelayan dari sekitar 5.000 peso pada tahun 1995 menjadi 2.000 peso pada tahun 2000. Secara sosial politik, Teluk Murcielagos pada kondisi yang kompleks. Teluk terbentang diantara empat kotamadya yaitu Baliangao, Sapang Dalaga, Rizal dan Sibutad pada dua provinsi yaitu Misamis Occidental dan Zamboanga del Norte serta wilayah pengelolaan yang berbeda wilayah pengelolaan IX dan X. Sebelumnya, telah 12 dilakukan kerjasama kedua provinsi untuk pengembangan perikanan di daerah ini, namun kerjasama tidak berlanjut karena rendahnya koordinasi dan rendahnya prioritas pembangunan perikanan dari pemerintah. Menghadapi kondisi demikian, pihak-pihak yang berkepentingan di teluk ini, kemudian membentuk suatu institusi untuk bekerjasama mengelola sumberdaya. Dua pihak yang sangat berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya adalah, komunitas nelayan miskin yang tersebar di 24 desa pantai dan pemerintahan setempat yang meliputi pemerintah daerah, pejabat dan agen pemerintah. Pihak lain yang berkepentingan adalah kelompok gereja dan LSM. Mereka kemudian sepakat mendirikan organisasi pengelolaan sumberdaya yang disebut UFO Unified Fisheries Ordinance. Ciri utama organisasi ini adalah: 1 proses pengambilan keputusan didasarkan pada ketersediaan informasi, yang berasal dari hasil-hasil penelitian oleh ilmuwan dan pengalaman nelayan, 2 adanya partisipasi aktif dari pengguna langsung sumberdaya dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan programproyek, 3 adanya jaringan kerja dan advokasi yang terbina baik diantara kelompok-kelompok sosial dan pemerintah, 4 adanya diseminasi informasi dan penegakan aturan, serta 5 monitoring untuk selalu mentaati peraturan yang ada. 2 Peraturan perikanan anchovy di Divisi VIII Eropa Del Valle et al. 2001. Perikanan anchovy di Divisi VIII Eropa dieksploitasi secara eksklusif oleh armada purse seine Cantabrian, dengan pengaturan pengelolaan oleh “Cofradias de Pescadores” kelompok nelayan, sampai awal tahun 80-an. Beberapa pengaturan pengelolaan mengacu pada kebijakan pengelolaan pemerintah Spanyol. Bersamaan dengan masuknya Perancis kedalam organisasi masyarakat Eropa, Perancis meningkatkan keberadaan nelayannya dalam perikanan anchovy tersebut dengan menggunakan armada trawl pelagis. Keberadaan nelayan Perancis ini menjadikan permasalahan yang kompleks bagi kerangka kerja institusi Cofradias. Kepemilikan armada trawl tidak kooperatif, tidak sesuai dengan kapasitas izin yang diberikan Cofradias. Armada trawl Perancis terus meningkat secara spektrakuler, yang secara bersamaan terjadi penurunan armada purse seine Spanyol. Terjadi penurunan produksi yang sangat drastis, yaitu dari sekitar 80.000 ton pada pertengahan 13 tahun 1960-an menjadi sekitar 5.000-8.000-an di pertengahan tahun 1980-an. Kondisi ini memaksa organisasi masyarakat Eropa turun tangan dalam pengelolaan sumberdaya anchovy di Divisi VIII, melalui sistem pengelolaan supranational dengan penetapan TAC total allowable catch dan perizinan. 3 Pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat model “sasi” di Haruku, Kepulauan Maluku, Indonesia Kissya and Dwisasanti 2004. Dalam makalah ini diketengahkan suatu model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang menarik dan penting di Haruku yaitu lompa sasi. Keunikan lompa sasi adalah cakupannya yang meliputi sasi laut dan sasi sungai. Ikan lompa Thryssa baelama merupakan ikan kecil sejenis sarden, yang dapat berkembang dengan baik diantara perairan laut dan air tawar. Lompa sasi juga memasukkan aspek modernitas pada kegiatan nelayannya, yaitu dengan penggunaan perahu motor. Keberadaan lompa ditunjukkan secara nyata, yaitu dengan adanya sistem tutup sasi dan buka sasi. Tutup sasi dilakukan untuk melindungi ikan lompa yang sedang melakukan pemijahan di sungai. Buka sasi dilakukan sekitar tujuh atau sembilan bulan kemudian yaitu sekitar bulan November, setelah ikan lompa dewasa. Buka sasi mengikut sertakan seluruh komunitas masyarakat yang berada di sekitar pulau untuk melakukan panen ikan, yang didahului dengan upacara adat. Sistem lompa sasi menggambarkan suatu tradisi yang kuat dalam masyarakat, tentang solidaritas dan perhatiannya pada kesejahteraan masyarakat secara bersama. Peraturan sasi diputuskan bersama oleh ketua adat dan partisipasi masyarakat, yang diimplementasikan oleh persatuan Kewang. Berdasarkan kewenangannya, Kewang berfungsi sebagai polisi adat, yang dapat memberikan hukuman dan sangsi pada pelanggar. Hukuman atau sangsi yang diberikan dapat berupa hukuman fisik atau teguran. Pada kenyataannya tradisi ini masih berakar kuat dalam masyarakat, masyarakat desa lebih takut terhadap Kewang dari pada terhadap tentara pemerintah. Berdasarkan pada beberapa contoh bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan seperti tersebut di atas, jelas dinyatakan bahwa sumberdaya perikanan harus dikelola dengan baik, agar dapat memberikan manfaat kepada pelaku pemanfaat sumberdaya secara keberlanjutan. Pengelolaan sumberdaya perikanan 14 harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan pada kajian-kajian ilmiah,sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982 dan CCRF. Pengelolaan sumberdaya perikanan menghendaki keterlibatan dari seluruh stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, mulai dari perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

2.3 Pengembangan Perikanan sebagai Sebuah Sistem