308
Badan serupa telah dibentuk oleh DKP yaitu Badan Pengelola Sumberdaya Ikan Laut Arafura. Badan ini merupakan badan pertama yang dibentuk oleh DKP,
dengan tugas khusus mengelola Wilayah Laut Arafura Kompas 16 Agustus 2007. Badan tersebut diharapkan dapat melakukan pengelolaan sumberdaya ikan
di Laut Arafura secara berkelanjutan, karena saat ini diindikasikan terjadi eksploitasi berlebih di Laut Arafura. Rekomendasi pengelolaan diantaranya
adalah, pembatasan penangkapan melalui upaya menutup perairan dari kegiatan penangkapan selama beberapa bulan dalam satu tahun, disamping itu dilakukan
juga dengan cara tidak memperpanjang izin penangkapan ikan di Laut Arafura.
Sistem pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa secara kelembagaan dapat mencontoh struktur kelembagaan WPRFMC. Struktur kelembagaan
dibentuk dengan melibatkan seluruh pelaku sistem stakeholder. Kelembagaan bekerja menjalankan fungsi-fungsi manajemen, yaitu merencanakan pengelolaan,
melaksanakan, mengawasi dan melakukan evaluasi serta memberikan kontribusi kebijakan-kebijakan pengelolaan yang tepat kepada pemerintah.
Kelembagaan perikanan juga pernah disarankan Wiryawan dalam Sondita dan Solihin 2006, yaitu untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Laut KKL
Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kelembagaan berperan untuk menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi, penyelesaian permasalahan, dan penyampaian informasi. Prinsip-prinsip yang perlu dikembangkan adalah 1 keterbukaan, 2
jenjang pengawasan yang efektif dengan struktur yang efisien, 3 dapat dipertanggungjawabkan, 4 kejelasan wilayah kewenangan pengelolaan, 4
adanya kelengkapan yang mengatur sistem, 5 mampu mengakomodasikan dan memfasilitasi norma dan lembaga setempat, 6 dikelola secara profesional dan
legal, serta 7 menerapkan prisip dan norma hukum dalam rangka pengelolaan.
9.1.2 Model Pengembangan Perikanan Pantai
Pada model pengembangan perikanan pantai, ada beberapa jenis ikan unggulan yang dapat dijadikan fokus oleh pemerintah kabupaten untuk
pengembangan kegiatan perikanan di daerahnya. Pengembangan perikanan pantai lebih diarahkan pada perikanan skala kecil dan menengah.
309
Perikanan skala menengah, khususnya adalah untuk perikanan cakalang dan udang. Cakalang merupakan komoditas unggulan untuk Kabupaten Sukabumi,
Malang, Cilacap dan Trenggalek. Sesuai dengan kegiatan perikanan yang telah berkembang selama ini, untuk perkembangan perikanan cakalang di Malang
menggunakan pancing tonda, Trenggalek menggunakan purse seine, sedangkan Cilacap dan Sukabumi menggunakan gillnet multifilament. Cilacap merupakan
kabupaten satu-satunya di Selatan Jawa yang memiliki komoditas unggulan udang, dengan unit penangkapan trammel net.
Perikanan lobster, layur, bawal putih pada umumnya merupakan usaha perikanan skala kecil. Penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan kapal
jukung yang terbuat dari fibreglass. Alat tangkap utama adalah jaring sirang gillnet monofilament. Lobster merupakan ikan unggulan untuk Kabupaten
Kebumen, Pacitan dan Gunung Kidul. Layur merupakan komoditas ikan unggulan untuk Kabupaten Gunung Kidul, Kebumen, Sukabumi, Pacitan dan Trenggalek.
Trenggalek memiliki komoditas unggulan dari jenis pelagis kecil, yaitu ikan teri. Kabupaten Garut dan Pacitan memiliki komoditas unggulan ikan bawal putih.
Secara umum, perikanan Indonesia didominasi oleh armada perikanan skala kecil 99,04, yang terdiri atas perahu tanpa motor 45,50, perahu motor
tempel 23,60 dan kapal motor 30 GT 23,60. Usaha perikanan skala kecil memiliki banyak permasalahan, diantaranya yaitu produktivitas dan efisiensi
usaha rendah, penguasaan dan penerapan teknologi rendah, akses modal dan pasar lemah, penyerapan kredit kurang, tidak adanya insentif modal bagi nelayan, serta
rantai tata niaga cenderung merugikan nelayan Sunoto 2006. Di beberapa negara, dominasi perikanan skala kecil juga masih terlihat, seperti di Perairan
Cyclades. Perikanan di wilayah ini, didominasi oleh kapal skala kecil 87,50 dari total jumlah kapal dan melibatkan lebih dari 30.000 nelayan 85 dari total
nelayan Stergiou et al. 2001. Model pengembangan perikanan pantai dirancang untuk dapat
mengakomodir kegiatan perikanan, yang secara umum telah berkembang di sebagian besar wilayah Selatan Jawa. Model telah dirancang untuk dapat
membangun kegiatan perikanan pantai yang efektif dan efisien, serta mencarikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang ada pada sistem saat ini.
310
1 Submodel USAHA
Sebagian besar wilayah kajian telah mengembangkan perikanan pantai. Operasi penangkapan ikan, umumnya dilakukan oleh nelayan pada daerah
penangkapan ikan fishing ground yang terkonsentrasi hanya pada daerah tertentu saja di pinggir pantai, dekat dengan pusat-pusat pendaratan ikan fishing base.
Hal ini menyebabkan pada beberapa wilayah perairan, kondisi sumberdaya ikan telah mencapai kondisi tangkap penuh fully exploited.
Secara umum potensi sumberdaya perikanan pantai masih memungkinkan untuk dilakukan pengembangan perikanan pantai di Selatan Jawa. Potensi
sumberdaya pelagis kecil, baru dimanfaatkan sekitar 50. Lobster baru dimanfaatkan sekitar 10. Sementara untuk sumberdaya demersal, cumi-cumi,
ikan karang konsumsi dan udang, sudah dimanfaatkan penuh PRPT 2001. Berdasarkan hasil pendekatan analisis CPUE, terlihat bahwa kondisi
sumberdaya ikan pada perikanan pantai sangat sensitif terhadap tekanan upaya pemanfaatan sumberdaya yang berlebih. Peningkatan jumlah upaya akan dapat
menurunkan nilai CPUE. Sebaliknya penurunan upaya, akan dapat memulihkan kembali sumberdaya, terlihat dari meningkatnya kembali nilai CPUE. Untuk itu
dalam pengembangan perikanan pantai, sangat penting diperhatikan jumlah upaya penangkapan yang boleh diizinkan agar potensi sumberdaya ikan tetap lestari.
Keberhasilan usaha akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Sama halnya dengan usaha perikanan lepas pantai, ketersediaan input
produksi pada perikanan pantai merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Input produksi secara umum meliputi ketersediaan
unit penangkapan, ketersediaan sumberdaya manusia SDM, ketersediaan modal, serta ketersediaan perbekalan operasi penangkapan ikan.
Ketersediaan unit penangkapan yang meliputi kapal perikanan, alat tangkap, mesin kapal dan peralatan bantu penangkapan lainnya merupakan faktor yang
sangat penting. Kapal secara umum memiliki umur teknis yang terbatas, yaitu sekitar 8-15 tahun. Kebutuhan akan material kapal, khususnya material kayu
semakin terbatas. Untuk itu perlu dicari alternatif lain pengganti material kayu. Kebutuhan sumberdaya manusia yang memahami karakteristik laut, menjadi
hal yang penting dalam penyediaan sumberdaya manusia. Pekerjaan sebagai
311
nelayan sangat berbeda dengan pekerjaan lain di darat. Umum yang terjadi saat ini di Selatan Jawa adalah, pekerjaan nelayan hanya sebagai sambilan. Sebagian
besar nelayan memiliki alternatif mata pencaharian lain, diantaranya sebagai petani sawah atau petani ladang dan juga sebagai peternak.
Ketersediaan permodalan merupakan faktor penting lainnya. Biaya investasi dan biaya operasional yang tinggi, menjadikan usaha perikanan hanya dikuasai
oleh pemilik modal saja. Sebagian besar nelayan hanya berperan sebagai nelayan buruh, dengan pendapatan yang diterima menggunakan sistem bagi hasil. Sistem
bagi hasil umumnya kurang berpihak kepada nelayan, yaitu 50-60 pemilik dan 40-50 ABK. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan kondisi sosial-ekonomi
dalam masyarakat nelayan. Hal ini seperti disebutkan Simatupang et al. dalam Suryana 1990, usaha perikanan merupakan usaha yang penuh resiko, musiman
dan padat modal. Sifat-sifat ini membuat usaha perikanan tidak menarik bagi pemilik modal. Modal menjadi faktor langka. Kelangkaan penawaran dan
besarnya kebutuhan modal, cenderung membuat kedudukan pemilik modal sangat kuat. Hal ini membuat keuntungan yang diterima pemilik modal melebihi
kontribusi riilnya. Kondisi nelayan skala kecil ini secara sosial ekonomi juga tidak jauh berbeda dengan kondisi nelayan skala kecil di negara lain. Tzanatos, et al.
2006 dengan hasil penelitiannya pada nelayan skala kecil di Pantai Greek Yunani, menyatakan nelayan skala kecil pada perikanan pantai di Greek,
umumnya relatif telah berumur, berpendidikan rendah dan berpendapatan rendah. Sebenarnya pemerintah telah berupaya memberdayakan nelayan melalui
pemberian pinjaman, salah satunya melalui program kredit usaha mikro, kecil dan menengah UMKM lihat Bab 7.4.1. Dalam pelaksanaannya, program kredit
masih sulit diakses oleh nelayan, hal ini terkait dengan proses administrasi yang sulit dipenuhi nelayan.
Kebutuhan akan perbekalan melaut, merupakan salah satu faktor penting berikutnya. Kebutuhan terutama terkait dengan BBM, yang merupakan komponen
biaya operasi paling besar dalam usaha perikanan, yaitu sekitar 40-50 dari keseluruhan biaya operasi. Kenaikan harga BBM hampir 100 pada Oktober
2005, masih dirasakan dampaknya oleh nelayan hingga saat ini. Pada waktu itu banyak nelayan yang tidak dapat melaut karena kenaikan harga BBM tersebut.
312
Untuk membangkitkan kembali usaha perikanan, diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada pengembangan usaha. Hal ini mengingat
usaha perikanan merupakan usaha yang beresiko tinggi high risk. Bantuan permodalan dengan bunga rendah, kebijakan harga BBM yang tidak memberatkan
usaha, serta kebijakan lain yang mendukung usaha sangat diperlukan. Pada saat ini, kebijakan subsidi BBM untuk nelayan skala kecil masih tetap diperlukan.
Proses produksi pada perikanan pantai adalah menghasilkan produksi hasil tangkapan. Sama halnya dengan perikanan lepas pantai, faktor–faktor produksi
diantaranya meliputi ukuran kapal dan mesin kapal, ukuran palkah ikan dan fasilitas penanganan ikan, ukuran alat tangkap, jumlah trip penangkapan, bahan
baker, tenaga kerja ABK. Kebutuhan faktor-faktor produksi sangat bervariasi, tergantung besarnya skala usaha. Penggunaan faktor produksi dapat dioptimalkan
sesuai dengan kebutuhannya. Penggunaan faktor produksi yang berlebihan, merupakan suatu pemborosan. Peningkatan efisiensi dan efektivitas penangkapan
ikan, dapat dilakukan dengan penggunaan faktor produksi yang tepat. Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal proses penanganan ikan.
Kesalahan penanganan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Secara umum penanganan ikan di atas kapal belum dilakukan dengan baik.
Kesadaran nelayan tentang kualitas dan penanganan ikan masih rendah. Pada operasi penangkapan ikan harian, kebanyakan nelayan tidak membawa es.
Sementara itu pada trip operasi penangkapan ikan yang memerlukan waktu lebih lama, biasanya nelayan tidak membawa es dalam jumlah yang cukup.
Ketersediaan es atau suplai es dari pabrik yang berada di sekitar lokasi PPPPI juga masih terbatas. Beberapa PPI tidak memiliki fasilitas pabrik es.
Persediaan es, didatangkan dari daerah lain dengan jarak yang cukup jauh. Fasilitas cold storage hanya tersedia di pelabuhan perikanan berkelas PPN atau
PPS. Fasilitas penanganan ikan dan cara penanganan ikan di PPPPI, pada umumnya belum dilakukan dengan benar. Penanganan sanitasi dan higienitas di
PPPPI belum mendapatkan prioritas. Keterbatasan sumber air tawar atau air bersih, terkadang menjadi salah satu hambatan untuk dapat melakukan
penanganan ikan dengan baik. Disamping juga faktor keterbatasan sarana penanganan ikan di pelabuhan, serta kebiasaan nelayan yang sulit dirubah. Hal ini
313
seperti pernyataan Wahyuni 2004, hingga saat ini di Indonesia, produsen dan pejabat yang berwenang dalam pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
seringkali tidak menegakkan mutu dan keamanan pangan produk perikanan. Padahal masalah ini merupakan masalah strategis karena menyangkut kesehatan
dan keselamatan masyarakat serta mewakili citra negara di pasar internasional. Selanjutnya Fauzi 2004 juga menyatakan, perubahan pola konsumsi yang terjadi
secara global menyebabkan konsern konsumen terhadap food safety semakin meningkat. Produk perikanan yang bersifat sangat mudah busuk high perisable
menghendaki penanganan khusus dari saat diproduksi sampai transportasi dan distribusi. Diharapkan terjadi perubahan paradigma di tingkat nelayan dari filosofi
“here is what produce” menjadi “ we will take note what you want”. Beberapa jenis hasil tangkapan merupakan komoditi ekspor, seperti layur,
bawal putih, lobster dan udang. Penanganan kualitas ikan sesuai standar kualitas ekspor, penting diperhatikan agar produk dapat diterima pasar. Semakin banyak
ikan yang memenuhi standar kualitas ekspor, diharapkan akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan perusahaan. Penanganan kualitas dengan
benar akan berdampak pada peningkatan efisiensi dan efektivitas usaha. Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari
beberapa jenis usaha perikanan pantai. Hasil perhitungan kelayakan finansial pada beberapa usaha perikanan pantai, dengan menggunakan discount rate 15,
menunjukkan usaha perikanan pantai secara umum masih layak untuk dikembangkan. Nilai BC berkisar antara 1,6-2,8, menunjukkan bahwa usaha
masih berada di atas titik impas. Nilai IRR berkisar antara 30-55, menyatakan usaha masih dapat menguntungkan pada kisaran tingkat suku bunga tersebut.
Model dinamis pada submodel USAHA pada perikanan pantai, digunakan untuk mensimulasi berapa unit usaha yang diberikan izin melakukan usaha
perikanan di wilayah tersebut, sesuai target produksi yang ditetapkan. Dalam penentuan besarnya target produksi, pemerintah kabupaten diharapkan dapat
bekerjasama dengan pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi yang berdekatan. Model dinamis juga akan memberikan output hasil simulasi berupa
proyeksi jumlah kebutuhan input produksi, seperti kebutuhan solar, es, ABK dan kebutuhan lainnya.
314
Penerapan model sistem dinamis menghendaki ketersediaan data yang akurat, terkait dengan sumberdaya ikan dan usaha perikanan. Data dan informasi
tentang sumberdaya ikan, diantaranya adalah potensi sumberdaya ikan dan target produksi untuk pengembangan perikanan. Data dan informasi usaha perikanan,
diantaranya meliputi produksi, kebutuhan operasional produksi dan biaya produksi, serta penerimaan usaha.
2 Submodel PELABUHAN Submodel PELABUHAN dimaksudkan untuk melihat peran dari PPPPI
yang ada di lokasi penelitian, dalam hal dukungannya terhadap kegiatan usaha
perikanan. Peran PPPPI penting sebagai tempat pendaratan hasil tangkapan, penyedia fasilitas perbekalan atau input produksi, fasilitas penanganan ikan,
distribusi, pemasaran dan peran administratif lainnya. Hasil analisis terhadap keterkaitan dengan fishing ground, menunjukkan
hampir semua PPPPI yang ada di Selatan Jawa telah memenuhi syarat untuk mendukung pengembangan perikanan pantai di wilayahnya masing-masing. Hasil
analisis menyatakan bahwa PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi dan PPP Pondokdadap memiliki keterkaitan dengan fishing ground yang tinggi. Pelabuhan
lainnya memiliki keterkaitan sedang, PPI Pasir memiliki keterkaitan rendah. Hasil analisis teknis menyatakan PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN
Prigi, PPP Cilautereun, PPP Pondokdadap, dan PPI Sadeng memiliki kelayakan teknis yang tinggi untuk pendaratan kapal. PPI Tamperan memiliki kelayakan
teknis sedang dan PPI Pasir memiliki kelayakan teknis rendah. Tingginya tingkat pengendapan di PPI Pasir, menjadikan fasilitas kolam pelabuhan dan darmaga
yang dibangun tidak berfungsi. Lokasi PPI dengan potensi pengendapan yang tinggi, luas lahan darat yang sempit dan beberapa keterbatasan lainnya,
menjadikan PPI Pasir memiliki tingkat kelayakan teknis yang rendah. Pendekatan dalam penentuan lokasi dan besaran kegiatan pembangunan
PPPPI yang telah dilakukan pemerintah selama ini yaitu menggunakan pendekatan berdasarkan pada 1 pendekatan sumberdaya ikan, 2 sentraliasi dan
distribusi hasil, serta 3 daerah berkembang Ismail 2005. Berdasarkan pada pendekatan ini, menyebabkan tidak semua lokasi PPPPI yang ada memenuhi
315
secara optimal untuk mendukung perkembangan kegiatan perikanan pantai. Permasalahan pendangkalan kolam pelabuhan, merupakan permasalahan yang
umum terjadi pada sebagian besar lokasi PPPPI yang ada. Tingkat sedimentasi yang tinggi nyata terlihat di PPS Cilacap, PPI Pasir, PPI Tamperan dan PPP
Pondokdadap. Tidak adanya dana untuk pengerukan kolam pelabuhan di PPI Pasir, menyebabkan kolam pelabuhan sudah tidak dapat difungsikan lagi.
Kebutuhan luasan lahan yang cukup, merupakan salah satu persyaratan penentuan lokasi pembangunan pelabuhan Murdiyanto 2002. Luas lahan darat
di PPS Cilacap, PPN Palabuhanratu, PPN Prigi, PPP Cilautereun dan PPI Tamperan cukup tersedia untuk kegiatan industri. Sementara itu ketersediaan
lahan darat untuk kegiatan industri di PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap sangat terbatas. Lahan berupa dataran di ketiga lokasi tersebut
sangat sempit, sebagian besar berupa perbukitan. Ketersediaan sumber air tawar di semua lokasi PPPPI cukup baik. Sumber air cukup melimpah dan tidak payau.
Keberadaan fasilitas darat, terkait dengan fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta ketersediaan fasilitas penanganan ikan di pelabuhan perikanan
yang telah berstatus PPS dan PPN, sudah sangat mendukung untuk kegiatan perikanan pantai. Pada pelabuhan perikanan yang masih berstatus PPP dan PPI
secara umum masih belum memadai. Fasilitas darmaga tempat bongkar ikan dan muat perbekalan di PPP Pondokdadap masih belum memadai. Darmaga belum
permanen, berupa darmaga terapung darmaga ponton. Kapasitas darmaga sangat terbatas, sehingga terlihat sangat penuh pada saat banyak kapal melakukan
bongkar ikan. Keberadaan fasilitas darat di PPP Cilautereun, PPI Pasir dan PPI Tamperan belum memadai. Keberadaan TPI tidak difungsikan dengan baik.
Fasilitas kebutuhan perbekalan melaut, seperti BBM, es dan perbekalan lain belum tersedia. Nelayan sebagian besar mengusahakan perbekalan sendiri, dengan
membeli dari daerah lain di luar pelabuhan. Analisis keterkaitan pasar dilakukan untuk menentukan tingkat aksesibilitas
PPPPI dan analisis bangkitan pergerakan untuk menentukan peluang peningkatan aksesibilitas suatu lokasi PPPPI. Tingkat aksesibilitas lokasi menuju daerah
tujuan pasar, khususnya pasar lokal dan antar daerah menunjukkan PPI Pasir dan PPI Sadeng memiliki tingkat aksesibilitas rendah. Aksesibilitas sedang untuk
316
PPN Prigi, PPI Tamperan, PPP Cilautereun dan PPP Pondokdadap. Lokasi PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi. Hasil
analisis peluang bangkitan pergerakan menunjukkan, zona lokasi dari PPPPI di Selatan Jawa memiliki peluang bangkitan pergerakan yang tinggi di masa datang.
Industri pengolahan dan eksportir di PPS Cilacap cukup banyak, di PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi sedikit. Industri pengolahan yang ada, sebagian
besar adalah industri pengolahan tradisional seperti ikan asin, pindang, kerupuk ikan dan terasi. Industri pengolahan ikan di PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI
Sadeng, PPI Tamperan dan PPP Pondokdadap masih sangat terbatas. Industri pengolahan juga masih berupa pengolahan ikan tradisional, dengan skala usaha
yang masih kecil. Eksportir di PPP dan PPI tersebut tidak ada, hanya pada saat musim ikan tertentu seperti musim layur, bawal putih dan lobster, eksportir yang
berada di daerah lain akan datang ke lokasi tersebut. Eksportir akan membawa produk yang dibeli ke daerah lain seperti Cilacap, Semarang dan Surabaya untuk
diekspor. Biasanya pada saat musim ikan, harga komoditas ikan yang berkualitas ekspor dapat lebih tinggi dibandingkan pada saat tidak musim ikan.
Pemasaran lokal kabupaten dan antar kota dari PPS Cilacap sangat baik. Keberadaan lokasi PPS yang mudah dijangkau, ditunjang dengan berkembangnya
sektor lain seperti pariwisata, perdagangan dan industri menjadikan potensi pasar untuk produk perikanan di Cilacap sangat baik. Sementara itu untuk lokasi PPN
Palabuhanratu dan PPN Prigi, sedikit mengalami hambatan yaitu dari akses sarana dan prasarana transportasi. Lokasi PPN Palabuhanratu dan PPN Prigi harus
melewati daerah pegunungan dan perbukitan. Lokasi PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI Sadeng dan PPP Pondokdadap, untuk pemasaran antar daerah cukup terisolir.
Lokasi PPI Tamperan, walaupun berada di pusat kota kabupaten namun lokasi kota Kabupaten Pacitan cukup sulit dijangkau.
Sesuai dengan semangat otonomi daerah, saat ini berbagai program pembangunan dilakukan di setiap kabupaten, hingga ke pelosok pedesaan.
Pengembangan di berbagai sektor, seperti perdagangan, industri, pariwisata, telekomunikasi dan lain sebagainya, diharapkan dapat membuka aksesibilitas
lokasi dari PPPPI yang ada. Dimasa depan diharapkan faktor aksesibilitas bukan lagi menjadi faktor penghambat bagi perkembangan perikanan di Selatan Jawa.
317
Submodel PELABUHAN merekomendasikan untuk peningkatan fasilitas dan pelayanan PPPPI, agar dapat memberikan dukungan yang lebih baik bagi
perkembangann perikanan pantai di wilayahnya. Sebagian besar PPPPI dibangun pada lokasi yang memiliki potensi sedimentasi sangat tinggi. Diharapkan
ketersediaan dana untuk pengerukan kolam pelabuhan secara reguler. Darmaga pelabuhan perlu dibangun di PPP Pondokdadap, agar proses bongkar muat dapat
dilakukan dengan baik. Penyediaan fasilitas kebutuhan melaut, seperti solar, minyak tanah, es, dan air tawar diharapkan dapat menjadi prioritas utama
pengembangan PPPPI di Selatan Jawa.
3 Submodel LEMBAGA
Kebijakan untuk pengelolaan perikanan pantai pada beberapa kabupaten belum banyak dibuat. Pada tahun-tahun lalu, sektor perikanan laut belum menjadi
prioritas pembangunan. Beberapa kabupaten, baru memberikan prioritas pembangunan di sektor perikanan laut setelah diberlakukannya UU terkait
otonomi daerah. Pada tingkat nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha perikanan, perizinan usaha perikanan
dan pungutan perikanan telah dibuat, seperti telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Pada Bab 5.3.1 telah dideskripsikan, PP 382007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota, telah dengan jelas menjabarkan pembagian tugas dan
wewenang pemerintah dalam bidang perikanan. Secara umum butir-butir kewenangan telah dibuatkan peraturan norma atau kebijakannya oleh pemerintah
pusat, dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden maupun Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Namun pada level bawah, yaitu pada
tingkat provinsi dan kabupaten di Selatan Jawa belum secara terinci diatur pelaksanaannya. Pemerintah provinsi dan kabupaten baru membuat peraturan
dalam jumlah yang terbatas, khususnya terkait dengan pemasukan daerah yaitu seperti peraturan pelelangan ikan dan perizinan usaha perikanan.
Dalam hal
kelembagaan perikanan, kelembagaan meliputi kelembagaan
pemerintah, kelembagaan usaha dan kelembagaan masyarakat. Kelembagaan pemerintah di bidang perikanan di daerah, khususnya adalah Dinas Perikanan dan
318
Kelautan Kabupaten. Penamaan Dinas Perikanan dan Kelautan di daerah, berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Hal ini tergantung pada
kepentingan dari daerah kabupaten tersebut. Kabupaten yang belum menganggap sektor perikanan sebagai prioritas utama pembangunan di daerahnya, akan
menggabungkan kelembagaan dinas perikanan dengan dinas dari sektor lain. Sebagian besar Dinas Perikanan Kabupaten yang ada, seperti di Garut,
Kebumen, Gunung Kidul, Pacitan dan Malang, bergabung dengan dinas dari sektor lain seperti sektor pertanian tanaman pangan, perkebunan dan peternakan.
Kondisi ini menjadikan perhatian pemerintah dan porsi anggaran, untuk pembangunan perikanan di wilayah tersebut rendah. Hal ini berbeda, jika Dinas
Perikanan dan Kelautan berdiri sendiri tidak bergabung dengan sektor lain, seperti di Kabupaten Sukabumi, Cilacap dan Trenggalek. Pembangunan perikanan di
ketiga kabupaten ini lebih maju dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kelembagaan usaha terdiri dari usaha skala besar, skala menengah dan skala
kecil. Kelembagaan usaha berperan sebagai pelaksana kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, baik dalam kegiatan penangkapan, pengolahan, maupun
pemasaran. Kelembagaan usaha pada tingkat masyarakat nelayan, dibentuk dengan harapan dapat mengakomodasikan kepentingan dan kebutuhan nelayan.
Salah satu kelembagaan usaha bersama yang telah mengakar di kehidupan masyarakat nelayan adalah KUD Mina. Keberadaan KUD Mina diharapkan dapat
menumbuhkembangkan daya kreasi dan potensi yang dimiliki, untuk dapat meningkatkan produksi, tingkat pendapatan serta taraf hidup mereka. Namun
keberadaan KUD Mina umumnya masih sangat lemah dalam bidang organisasi, manajemen dan usaha Wiyono 2004. Kondisi tersebut menyebabkan KUD
Mina, belum memberikan peran nyata bagi pemberdayaan masyarakat nelayan. Kelembagaan masyarakat nelayan yang telah tumbuh cukup lama adalah
HNSI. Peran HNSI, belum terlihat dalam menggerakkan roda pembangunan perikanan di daerah. Berbagai organisasi yang tumbuh dari bawah, seperti Rukun
Nelayan justru lebih terlihat perannya dalam membela kepentingan nelayan. Pada pengembangan perikanan pantai, diharapkan kelembagaan yang ada, baik
kelembagaan pemerintah, kelembagaan usaha dan kelembagaan masyarakat dapat bekerjasama untuk dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan lebih baik.
319
9.2 Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan Berbasis Kewilayahan