297
Perikanan Lepas Pantai SIMPELA dan Pengembangan Perikanan Pantai SIMPETAI. Kedua model memiliki kebutuhan yang sangat berbeda dalam hal
usaha, kebutuhan pelabuhan perikanan, serta kebijakan dan kelembagaan. Penerapan kedua model di dalam sistem, akan memiliki konsekuensi
diperlukannya perbaikan-perbaikan dari kondisi sistem saat ini. Komitmen dan dukungan dari pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten,
sebagai pemegang kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan, sangat diperlukan. Keberhasilan penerapan model, juga memerlukan komitmen dan
dukungan dari semua pihak yang terlibat di dalam sistem. Upaya perbaikan di dalam sistem, akan diperlukan pendanaan yang cukup
besar. Pendanaan diperlukan, baik untuk pembangunan sarana, prasarana serta infrastruktur, maupun untuk modal usaha. Modal usaha bagi para pelaku usaha,
dapat diupayakan melalui pemberian kredit berbunga rendah. Bagi pelaku usaha perikanan pantai, saat ini telah tersedia berbagai program pemberian kredit,
diantaranya yaitu kredit usaha mikro, kecil dan menengah UMKM, kredit usaha rakyat KUR, serta program pemberdayaan masyarakat lainnya lihat Bab 7.4.1.
Program-program tersebut diharapkan dapat lebih banyak menjangkau nelayan. Untuk pelaku usaha perikanan lepas pantai yang umumnya merupakan pengusaha
besar, akan lebih mudah untuk mengakses permodalan dari bank pemberi kredit. Pembangunan ataupun perbaikan sarana, prasarana dan infrastruktur dapat
didanai oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, melalui APBN ataupun APBD. Pendanaan dapat juga dilakukan melalui kerjasama dengan dunia usaha,
pinjaman luar negeri atau melalui penerbitan obligasi.
9.1.1 Model Pengembangan Perikanan Lepas Pantai
Pada pengembangan perikanan lepas pantai, fokus utama adalah perikanan tuna. Daerah yang memiliki ikan unggulan tuna, tidak serta merta menjadikannya
prioritas pengembangan. Walaupun hasil analisis menyatakan, tuna merupakan ikan unggulan untuk Kabupaten Sukabumi, Cilacap dan Malang, namun tidak
semua kabupaten tersebut harus mengusahakan pengembangan perikanan tuna. Berdasarkan kajian pada model pengembangan perikanan lepas pantai Bab 7.3,
Kabupaten Malang tidak cocok untuk pengembangan perikanan tuna.
298
Pengembangan perikanan lepas pantai harus dilakukan secara terpadu untuk seluruh Wilayah Perairan Selatan Jawa, tidak dilakukan secara parsial per daerah
provinsi atau kabupaten. Wewenang pembuatan kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan lepas pantai ada di pemerintah pusat, yang dalam
pelaksanaannya berdasarkan kajian penelitian ini disarankan untuk dibentuk lembaga pengelola. Basis perikanan tuna di Selatan Jawa berada di PPS Cilacap
dan PPN Palabuhanratu. Wilayah provinsi atau kabupaten lain yang bukan merupakan basis perikanan tuna, diharapkan dapat memperoleh pembagian
share manfaat pengelolaan yang besarnya diperhitungkan sesuai dengan kontribusinya masing-masing.
Penerapan model, akan membutuhkan berbagai perbaikan terhadap usaha pengelolaan sumberdaya tuna di Selatan Jawa yang sudah berlangsung saat ini.
Perbaikan dilakukan terhadap totalitas sistem, yang mencakup: 1 submodel USAHA, 2 submodel PELABUHAN, dan 3 submodel LEMBAGA.
1 Submodel USAHA
Tujuan utama usaha perikanan tuna adalah untuk ekspor. Dillon dan Suryana dalam Suryana et al. 1990 menyatakan, dalam perdagangan ekspor tidak terlepas
dari aktivitas domestik dan perilaku pasar internasional. Pengembangan ekspor sangat terkait dengan perilaku pasar internasional, negara pesaing dan partner
dagang serta upaya penataan perdagangan internasional yang dikembangkan dalam GATT General Agreement on Tariff and Trade. Ekspor tuna dihadapkan
pada berbagai hambatan, baik hambatan tarif, non tarif maupun administrasi, yang dapat meningkatkan biaya produksi dan beban tambahan bagi pengusaha
Nalendra 2007. Peningkatan kerjasama dan diplomasi perdagangan dengan negara tujuan ekspor, perlu dilakukan untuk kemudahan ekspor tuna Indonesia.
Usaha perikanan tuna termasuk usaha skala besar. Menurut Tambunan 2002, usaha skala besar biasanya sangat rentan terhadap gejolak perubahan
ekonomi. Hal ini dialami usaha tuna longline, saat krisis ekonomi tahun 1997 dimana terjadi perubahan nilai mata uang, usaha mengalami keuntungan yang
besar. Kondisi sebaliknya, yaitu dengan adanya kenaikan BBM Oktober 2005, usaha tuna banyak yang bangkrut.
299
Ketersediaan input produksi merupakan hal yang penting, agar proses produksi dapat dilakukan dengan baik. Input produksi terkait dengan ketersedian
kapal, alat tangkap beserta peralatan lainnya, serta ketersediaan ABK. Tenaga kerja atau ABK memiliki peran yang sangat penting bagi
keberhasilan operasi penangkapan tuna. Kegiatan produksi ditangani secara penuh oleh ABK. Kejujuran dan komitmen untuk menghasilkan yang terbaik dari ABK
dapat ditanamkan, diimbangi dengan pemberian gaji dan kesejahteraan memadai. Tenaga kerja pada kapal longline, diharapkan memiliki sertifikasi pelaut
internasional sesuai standar SCTW Standar of Training Certification Watch Keeping for Seaferers tahun 1978.
Optimalisasi proses produksi menjadi faktor penting, dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha. Berbagai faktor produksi harus dipertimbangkan,
agar proses produksi dapat dilakukan secara optimal Gaspersz 1992; Nurani et al. 1997. Proses produksi pada perikanan tuna merupakan proses yang
mengandung resiko tinggi, dengan hasil yang tidak dapat diprediksi dengan pasti. Berbagai faktor akan berpengaruh terhadap keberhasilan proses produksi tersebut.
Umpan merupakan faktor penting dalam perikanan longline. Keterbatasan umpan dapat menjadi faktor pembatas terhadap operasi penangkapan ikan Nurani
et al. 1997. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah jumlah trip operasi. Jumlah trip diharapkan dapat dilakukan secara optimal sepanjang tahun. Trip
operasi berkaitan dengan ketersediaan biaya. Mengingat bahwa biaya operasi pada perikanan longline cukup tinggi, menyebabkan jumlah trip tidak optimal.
Kurangnya trip operasi, akan berdampak pada kurangnya pendapatan usaha yang dapat diperoleh, sedangkan fixed cost harus tetap dikeluarkan.
Kenaikan harga BBM telah meningkatkan beban operasi yang besar bagi kapal-kapal tuna longline. Menurut Nalendra 2007, kenaikan harga BBM pada
Oktober 2005 menjadi Rp 6.000,00 per liter, bahkan dengan harga subsidi Rp 4.200,00 per liter, kapal tuna masih kesulitan untuk beroperasi. Kondisi ini
menjadi permasalahan yang serius, karena jika tidak beroperasi penghasilan menjadi tidak ada zero revenue, berakibat perusahaan tidak mampu memenuhi
kewajibannya terhadap karyawan, pemerintah, bank, pembeli dalam dan luar negeri maupun pengusaha pendukung.
300
Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi beban pengusaha, yaitu melalui sistem transhipment Umarwanto
2006. Melalui kebijakan ini, kapal longline dapat menitipkan ikannya kepada kapal lain yang mau mendaratkan ikannya ke pelabuhan. Kapal dapat melanjutkan
operasi penangkapan ikan, tanpa harus kembali dulu ke pelabuhan dan dapat mengurangi biaya untuk pembelian BBM. Melalui kebijakan ini, kesulitan yang
dihadapi pengusaha diharapkan dapat sedikit tertolong. Namun di sisi lain, transhipment di tengah laut dapat merugikan dari aspek pendataan hasil tangkapan
dan kemungkinan peluang terjadinya penangkapan ilegal lebih besar. Penanganan di atas kapal merupakan rantai awal dari proses penanganan
tuna. Kesalahan penanganan ikan di atas kapal tidak dapat diperbaiki di tahap selanjutnya. Ikan yang sudah terlanjur berkualitas jelek dari atas kapal, akan
menjadi produk reject yang tidak memenuhi kualitas ekspor. Ikan tersebut memiliki harga yang berbeda sangat jauh dengan produk kualitas ekspor, dengan
perbedaan harga 300. Proses penanganan ikan harus dilakukan secara benar sejak ikan ditangkap, dimatikan, penanganan di atas kapal, penyimpanan,
pembongkaran ikan di pelabuhan dan penanganan dalam pendistribusian. Produk tuna yang akan diekspor harus memenuhi standar mutu yang
ditetapkan negara importir. Hal ini terkadang menjadi suatu hambatan tersendiri bagi pengusaha tuna, karena negara importir terkadang memiliki kriteria yang
berbeda Abdullah dalam Aziz 1993; Nalendra 2007. Hal ini misalnya terkait dengan kandungan logam berat, yang mensyaratkan batas sangat rendah yang sulit
dipenuhi dari hasil tangkapan tuna di fishing ground perairan Indonesia. Kualitas tuna akan terkait dengan harga. Harga tuna paling tinggi adalah
kualitas fresh tuna kualitas A untuk bahan sashimi, yang dapat mencapai 1.000 yen per kg. Kualitas dibawahnya adalah fresh tuna kualitas B
+
untuk tujuan pasar Amerika dan Uni Eropa. Kualitas B
-
dan C masuk ke industri pengolahan tuna beku untuk dibuat loin, saku, chunk dan sejenisnya. Tuna kualitas ekspor,
fresh ataupun beku adalah yang berukuran 10 kg per ekor. Tuna berukuran kecil dan kualitas lebih rendah akan masuk ke industri pengolahan, dengan harga yang
jauh lebih rendah, yaitu sekitar Rp 15.000,00-Rp 25.000,00.
301
Semakin banyak ikan yang berkualitas A, akan semakin besar penerimaan usaha yang akan didapatkan perusahaan. Peningkatan kualitas hasil tangkapan
tuna sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan penerimaan usaha. Peningkatan persentase kualitas tuna ekspor, diharapkan juga dapat mengimbangi kenaikan
biaya akibat kenaikan harga BBM. Berdasarkan hasil simulasi terhadap kelayakan usaha, terlihat dengan sangat
jelas bahwa usaha perikanan tuna longline memiliki resiko usaha yang sangat besar. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung terhadap
kelangsungan usaha, atau kondisi ekonomi yang tidak kondusif sangat beresiko sekali terhadap usaha perikanan tuna longline. Jika kondisi sebaliknya yang
terjadi, maka usaha perikanan tuna longline akan dapat berkembang dengan baik. Model sistem dinamis, digunakan untuk memproyeksikan jumlah effort
optimal yang diberikan izin beroperasi. Model baru mempertimbangkan jumlah kapal yang beroperasi di Selatan Jawa, dengan basis di PPS Cilacap dan PPN
Palabuhanratu. Model belum mempertimbangkan kapal yang beroperasi di Selatan Jawa, namun mendaratkan ikannya di PPS Nizam Zachman dan di Benoa Bali.
Berdasarkan target produksi 8.000 ton per tahun, jumlah kapal longline yang diizinkan beroperasi di Selatan Jawa sekitar 170 unit. Kenaikan effort menjadi
170 unit, akan meningkatkan kebutuhan solar menjadi sekitar 24.000 kilo liter. Kebutuhan umpan menjadi 1.920 ton, kebutuhan es berjumlah 336.000 balok dan
kebutuhan air tawar sekitar 840.000 m
3
per tahun. Kebutuhan ABK berjumlah 2.400 orang. Kebutuhan ABK disesuaikan dengan jumlah ABK yang sudah ada
saat ini, dan kebutuhan untuk regenerasi. Penting untuk diperhatikan, adalah peningkatan kualitas ABK sesuai standar SCTW. Kebutuhan ABK berskala
internasional, diantaranya untuk posisi deck officer, engine officer, bosun, ice master, chief cook, electrician, welding dan fiiter Harini 2007.
2 Submodel PELABUHAN
Berkembangnya kegiatan usaha perikanan tidak terlepas dengan keberadaan pelabuhan perikanan. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang
untuk meningkatkan kerja. Fungsinya meliputi berbagai aspek yaitu sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat
302
pendaratan ikan hasil tangkapan, tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan, pusat pemasaran dan distribusi, pusat pembinaan, penyuluhan
dan pengumpulan data Penjelasan UU 312001 tentang Perikanan. Ismail 2005 menyatakan, faktor utama untuk mendukung usaha perikanan adalah tersedianya
prasarana penangkapan ikan berupa pelabuhan perikanan, yang siap melayani kebutuhan pengguna secara memuaskan baik sebagai tempat berlabuh, mengisi
perbekalan, mendaratkan ikan, memasarkan, maupun pengolahan ikan. Perikanan tuna membutuhkan pelabuhan perikanan yang lebih khusus
dibandingkan dengan perikanan lainnya. Ukuran kapal yang besar menyaratkan alur masuk kolam pelabuhan yang lebar, kedalaman kolam pelabuhan yang dalam
dan fasilitas darmaga yang memadai. Tujuan utama adalah produk tuna segar kualitas ekspor, untuk itu perlu pelabuhan berstandar internasional. Pelabuhan
perlu dilengkapi dengan fasilitas penanganan yang memadai untuk penanganan tuna segar, serta aksesibilitas yang baik menuju pelabuhan ekspor.
Pelabuhan perikanan sebagai pusat industri perikanan mensyaratkan tingkat aksesibilitas yang baik untuk memudahkan suplai bahan baku, distribusi dan
pemasaran serta komunikasi. Pembangunan pelabuhan perikanan harus didasarkan pada berbagai pertimbangan, agar pelabuhan yang dibangun dapat berfungsi
dengan baik dan memberikan manfaat yang sepadan dengan besarnya investasi yang ditanamkan. Pertimbangan tersebut diantaranya, yaitu: 1 keterkaitan
dengan daerah penangkapan, 2 faktor teknis pelabuhan, dan 3 keterkaitan dengan pasar Vigarie 1979 diacu dalam Lubis 1989; Lubis 2006; Ismail 2005.
Tidak semua PPPPI yang ada di Selatan Jawa dapat mendukung kegiatan usaha perikanan tuna. Hasil analisis menunjukkan, hanya PPN Palabuhanratu dan
PPS Cilacap yang mampu mendukung perkembangan perikanan tuna di Selatan Jawa. Pelabuhan perikanan lainnya, seperti PPP Cilautereun, PPI Pasir, PPI
Sadeng, PPI Tamperan, PPN Prigi dan PPP Pondokdadap, jika akan ditetapkan sebagai basis perikanan tuna akan memerlukan biaya yang sangat mahal.
PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap walaupun berdasarkan analisis mampu untuk mendukung perkembangan perikanan tuna di Selatan Jawa, namun belum
100 dari kebutuhan dapat terpenuhi. Pembangunan fasilitas dan pelayanan di PPN Palabuhanratu dan PPS Cilacap masih diperlukan, agar kebutuhan
303
operasional kapal longline dapat terpenuhi dengan baik. Kondisi saat ini, kapal- kapal longline masih lebih tertarik untuk mendaratkan ikannya di PPS Nizam
Zachman Jakarta atau di Pelabuhan Benoa Bali. Fasilitas penanganan produk fresh tuna, seperti tersedianya fasilitas tuna
landing center TLC dan industri pengolah tuna di PPN Palabuhanratu belum tersedia. Produksi tuna akan dibawa oleh pedagang pengumpul, untuk suplai
bahan baku bagi industri pengolah tuna di PPS Nizam Zachman Jakarta. Ekspor tuna dari PPN Palabuhanratu dilakukan melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta,
dengan hambatan perjalanan yang cukup tinggi. Untuk mendukung perkembangan perikanan tuna, ekspor diharapkan dapat langsung dari Palabuhanratu.
Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap memenuhi syarat untuk mendukung perkembangan perikanan tuna di Selatan Jawa, namun ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan. Fasilitas kolam pelabuhan, alur masuk dan darmaga telah dibangun dan cukup memadai untuk pendaratan kapal longline. Permasalahannya
adalah, tingkat pendangkalan alur masuk kolam pelabuhan yang tinggi menyebabkan kapal berukuran besar kesulitan untuk masuk ke kolam pelabuhan.
Hal ini merupakan salah satu penyebab menurunnya jumlah kapal longline yang masuk ke PPS Cilacap pada tahun 2003-2004. Suherman 2007 menyatakan,
penurunan aktivitas produksi di PPS Cilacap diakibatkan oleh pendangkalan alur pelayaran, untuk mengatasi hal ini diperlukan perbaikan dan pengerukan alur
masuk pelabuhan, sehingga aktivitas produksi dapat ditingkatkan kembali. Penanganan tuna sudah tersedia di PPS Cilacap. Fasilitas TLC sudah
tersedia, namun belum dilengkapi dengan transit sheed. Industri pengolahan tuna sudah berkembang di PPS Cilacap. PT Lautan Murti dan PT Jui Fa International
Foods merupakan dua perusahaan diantara perusahaan lainnya yang bergerak dalam pengolahan dan eksportir tuna di PPS Cilacap. Produk dari Cilacap ada
yang diekspor langsung dari Cilacap atau melalui Jakarta. Untuk pengembangan perikanan tuna, diharapkan ekspor dapat dilakukan langsung dari Cilacap.
Cilacap memiliki prasarana jalan, sarana transportasi yang baik dan hambatan perjalanan relatif kecil, namun jarak, biaya dan waktu tempuh relatif tinggi.
Ekspor tuna segar yang harus melalui pelabuhan udara Soekarto-Hatta, menyebabkan waktu tempuh dan biaya perjalanan yang mahal.
304
Untuk dapat mendukung pengembangan perikanan lepas pantai, dengan fokus pada pengembangan perikanan tuna, PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu
harus ditingkatkan dengan fasilitas pelabuhan perikanan bertaraf internasional. Khususnya dalam penerapan standar sanitasi SSOP sanitation system operational
procedure dan GMP good manufacturing practices. Model merekomendasikan peningkatan jumlah kapal longline yang diberi
izin beroperasi di Selatan Jawa, yaitu dari 90 unit menjadi 170 unit, dengan basis di PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu. Peningkatan jumlah unit penangkapan di
PPS Cilacap dan PPN Palabuhanratu, menjadikan perlunya peningkatan fasilitas dan pelayanan kepelabuhanan. Beberapa contoh fasilitas yang perlu ditingkatkan
adalah kedalaman kolam pelabuhan, dan lebar alur masuk pelabuhan. Kedalaman kolam pelabuhan sekitar 6,20-7,40 m, sedangkan lebar alur masuk pelabuhan
sekitar 43,44-57,92 m. Untuk dapat memenuhi kebutuhan perbekalan, perlu ditambah fasilitas penyediaan BBM solar, umpan, air tawar dan es sesuai
simulasi pada submodel USAHA. Kebutuhan tersebut dibagi rata 50 untuk PPS Cilacap dan 50 untuk PPN Palabuhanratu, dengan asumsi peningkatan
status PPN Palabuhanratu menjadi PPS. Pengembangan PPN Palabuhanratu ke type A telah diwacanakan dalam pertemuan antara Dirjen Perikanan Tangkap
dengan Gubernur Jawa Barat bulan Oktober 2005 Mahyuddin 2007.
3 Submodel LEMBAGA
Submodel LEMBAGA dimaksudkan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, untuk mendukung perkembangan perikanan lepas pantai
di Selatan Jawa. Model didahului dengan melakukan analisis terhadap kebijakan dan kelembagan yang ada. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kerangka hukum. Indonesia telah turut menandatangani berbagai persetujuan internasional
maupun konvensi yang berkaitan dengan perikanan. Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982, merupakan salah satu konvensi dimana Indonesia turut
meratifikasi dengan UU No. 17 tahun 1985. Selanjutnya untuk pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, FAO telah memutuskan suatu
standar internasional “Code of Conduct for Responsible Fisheries”, yang mulai
305
diberlakukan sejak 1995. Peraturan perundang-undangan untuk pengelolaan tuna di Indonesia, mengacu pada kedua ketentuan internasional tersebut.
UNCLOS 1982 pada Bab V mengenai Zona Ekonomi Eksklusif pada Pasal 56 paragraf 1a menyatakan, suatu negara pantai seperti Indonesia mempunyai
hak kedaulatan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati yang terkandung di dalamnya.
Pasal 61, mensyaratkan kewajiban bagi negara pantai untuk menentukan hasil tangkapan yang diperbolehkan total allowable catch: TAC dari perikanan ZEE.
Indonesia telah berupaya mengakomodir ketentuan tersebut, melalui Kepmen Pertanian 995KptsIK.210999 tentang Potensi Sumberdaya Ikan di
Wilayah Perairan RI dan Jumlah Hasil Tangkapan yang Diperbolehkan JTB. Potensi sumberdaya ikan dan JTB di wilayah Perikanan Indonesia ditetapkan
sebagai berikut 1 Di Perairan Indonesia, potensi sumberdaya ikan sebesar 6,258 juta tontahun, JTB sebesar 5,006 juta tontahun; 2 Di perairan ZEE Indonesia,
potensi sumberdaya ikan sebesar 1,858 juta tontahun, JTB sebesar 1,487 juta tontahun. Pasal 4 Kepmen. No.995KptsIK.210999 menyebutkan bahwa JTB di
perairan Indonesia dan di ZEE Indonesia dipergunakan sebagai dasar untuk 1 memberikan izin usaha perikanan IUP, surat penangkapan ikan SPI, dan atau
surat izin penangkapan ikan SIPI; dan atau 2 melakukan pengendalian dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan.
Hasil pengkajian yang dilakukan oleh PRTP pada tahun 1997, menyatakan estimasi potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia sebesar 6,276 juta ton per
tahun. Hasil estimasi berbeda dinyatakan berdasarkan kajian yang dilakukan pada tahun 2001, yaitu sebesar 6,409 juta ton per tahun. Walaupun hasil kajian
menyatakan hal yang berbeda, saat ini estimasi tersebut yang dijadikan acuan oleh pemerintah dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia.
Pada tingkat
nasional, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
perikanan tuna, diantaranya yaitu 1 UU 51983 tentang ZEE Indonesia; 2 PP 151984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di ZEE Indonesia; 3 UU
312004 tentang Perikanan. Beserta peraturan perundang-undangan lainnya yang telah banyak dibuat oleh pemerintah, terkait dengan pengelolaan perikanan, usaha
perikanan, perizinan dan pungutan perikanan seperti disebutkan pada Bab 5.3.1.
306
Berdasarkan analisis pendekatan kerangka hukum legal framework, dapat diketahui bahwa penegakan hukum legal enforcement terhadap peraturan-
perundang-undangan di Indonesia masih sangat lemah Dahuri 2003. Demikian juga dalam bidang perikanan, khususnya perikanan tuna. Penegakan hukum
terhadap pelanggaran, seperti dalam kasus IUU fishing masih lemah. Untuk mengatasi masih lemahnya dukungan kebijakan pengelolaan
perikanan tuna, diharapkan pemerintah sebagai regulator pengelolaan sumberdaya perikanan dapat meningkatkan perannya. Peningkatan peran dilakukan melalui
pembuatan kebijakan yang tepat, pelaksanaan kebijakan yang sudah dibuat sesuai dengan yang seharusnya, serta penegakan hukum dilakukan dengan baik.
Analisis kelembagaan dilakukan melalui pendekatan kerangka kelembagaan institutional framework. Pendekatan kerangka kelembagaan adalah untuk
melihat kinerja dari kelembagaan. Mandat hukum diberikan kepada lembaga, baik lembaga pemerintah, swasta maupun masyarakat untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Secara nasional kelembagaan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan
telah dibentuk yaitu Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya
Ikan FKPPS. Kelembagaan perikanan yang lain diantaranya adalah Asosiasi
Perikanan Tuna Indonesia ASTUIN, Masyarakat Perikanan Nusantara MPN, dan lainnya. Berdasarkan hasil analisis, kelembagaan yang ada tersebut belum
sepenuhnya memiliki kinerja yang baik lihat Bab 7.3.1. Berkaitan dengan perikanan tuna, sesuai dengan Pasal 64 UNCLOS 1982,
Indonesia sebagai negara pantai dan negara lain yang turut mengelola sumberdaya tuna di area di luar dan sekitar ZEE Indonesia, berkewajiban bekerjasama secara
langsung atau melalui organisasi internasional untuk menjamin konservasi dan melakukan promosi terhadap pemanfaatan optimum dari sumberdaya tersebut,
baik di dalam maupun di luar ZEE Indonesia. Berbagai organisasi pengelolaan perikanan dunia Regional Fishing Management Organization: RFMO telah
dibentuk, diantaranya yaitu Indian Ocean Tuna Commission IOTC, Commission for Conservation Southern Bluefin Tuna CCSBT, Western and Central Pacific
Fishery Commision WCPFC, International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas ECCAT dan Inter-American Tropical Tuna Commission
307
IATTC. Keanggotaan Indonesia dalam RFMO sangat penting, khususnya keanggotaan dalam IOTC dan CCSBT karena Indonesia berkepentingan di
perairan tersebut. Menurut Nalendra 2007, berdasarkan ketentuan FAO UNIA- 95Fish Stok Agreement-95 dinyatakan bahwa, hanya negara-negara yang
menjadi anggota RFMO saja yang memiliki hak akses untuk memanfaatkan SDI di laut lepas. Ketidakikutsertaan Indonesia dalam organisasi regional tersebut,
menyebabkan pelarangan produk southern bluefin tuna dari Indonesia sejak bulan Juli 2005. Kedepan, pemerintah Indonesia diharapkan dapat turut berperan aktif,
serta meningkatkan kerjasama regional maupun internasional dalam upaya pengembangan perikanan lepas pantai.
Sistem Pengembangan Perikanan Lepas Pantai di Selatan Jawa, akan dapat berhasil dengan baik, dengan membentuk suatu kelembagaan pengelolaan
sumberdaya perikanan tuna terpadu. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya terpadu, dimaksudkan untuk dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dari
para pelaku sistem. Pengelolaan hendaknya dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan ZEE Indonesia Selatan Jawa, tidak dilakukan secara
parsial per provinsi atau per kabupatenkota. Bentuk kelembagaan yang akan diwujudkan, dapat mencontoh dari beberapa bentuk pengelolaan sumberdaya
perikanan di berbagai perairan lain di dunia. Kelembagaan tentunya perlu dimodifikasi dengan karakteristik yang dimiliki perikanan tuna di Selatan Jawa.
Contoh lembaga pengelola seperti di Taman Nasional Bunaken adalah Dewan Pengelola, sedangkan di Great Barrier Reef National Park adalah GBR
Marine Park Autority Wiryawan dalam Sondita dan Solihin 2006, organisasi pengelolaan sumberdaya perikanan The Western Pacific Regional Fishery
Management Council WPRFMC Leung 1998, serta UFO Unified Fisheries Ordinance Panorel 2004. Ciri utama kelembagaan tersebut, adalah: 1 proses
pengambilan keputusan didasarkan pada ketersediaan informasi dari hasil-hasil penelitian, serta pengalaman nelayan, 2 adanya partisipasi aktif dari pengguna
sumberdaya dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan program, 3 adanya jaringan kerja dan advokasi yang terbina baik diantara kelompok-
kelompok sosial dan pemerintah, 4 adanya diseminasi informasi dan penegakan aturan, serta 5 monitoring untuk selalu mentaati peraturan yang ada.
308
Badan serupa telah dibentuk oleh DKP yaitu Badan Pengelola Sumberdaya Ikan Laut Arafura. Badan ini merupakan badan pertama yang dibentuk oleh DKP,
dengan tugas khusus mengelola Wilayah Laut Arafura Kompas 16 Agustus 2007. Badan tersebut diharapkan dapat melakukan pengelolaan sumberdaya ikan
di Laut Arafura secara berkelanjutan, karena saat ini diindikasikan terjadi eksploitasi berlebih di Laut Arafura. Rekomendasi pengelolaan diantaranya
adalah, pembatasan penangkapan melalui upaya menutup perairan dari kegiatan penangkapan selama beberapa bulan dalam satu tahun, disamping itu dilakukan
juga dengan cara tidak memperpanjang izin penangkapan ikan di Laut Arafura.
Sistem pengembangan perikanan tuna di Selatan Jawa secara kelembagaan dapat mencontoh struktur kelembagaan WPRFMC. Struktur kelembagaan
dibentuk dengan melibatkan seluruh pelaku sistem stakeholder. Kelembagaan bekerja menjalankan fungsi-fungsi manajemen, yaitu merencanakan pengelolaan,
melaksanakan, mengawasi dan melakukan evaluasi serta memberikan kontribusi kebijakan-kebijakan pengelolaan yang tepat kepada pemerintah.
Kelembagaan perikanan juga pernah disarankan Wiryawan dalam Sondita dan Solihin 2006, yaitu untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Laut KKL
Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kelembagaan berperan untuk menyusun program dan kegiatan kerja, pengusulan anggaran, pengelolaan
kegiatan, pemantauan dan evaluasi, penyelesaian permasalahan, dan penyampaian informasi. Prinsip-prinsip yang perlu dikembangkan adalah 1 keterbukaan, 2
jenjang pengawasan yang efektif dengan struktur yang efisien, 3 dapat dipertanggungjawabkan, 4 kejelasan wilayah kewenangan pengelolaan, 4
adanya kelengkapan yang mengatur sistem, 5 mampu mengakomodasikan dan memfasilitasi norma dan lembaga setempat, 6 dikelola secara profesional dan
legal, serta 7 menerapkan prisip dan norma hukum dalam rangka pengelolaan.
9.1.2 Model Pengembangan Perikanan Pantai