185
mengarah ke perikanan industri, menjadikan kondisi masyarakat nelayan memiliki wawasan yang lebih luas dan kondisi sosial-ekonominya lebih baik.
Program COFISH yang telah berjalan selama 2 periode di Kabupaten Trenggalek, telah mampu merubah cara pandang masyarakat terhadap perilaku
pengelolaan sumberdaya perikanan. Program pemberdayaan nelayan dilakukan melalui pembentukan dan penguatan kelompok-kelompok nelayan, dalam bentuk
pelatihan dan paket bantuan modal dan peralatan, serta fasilitas peningkatan akses terhadap lembaga keuangan. Program COFISH di Trenggalek terasa sekali
manfaatnya bagi peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan. Berbagai program pembangunan lainnya, seperti Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir PEMP, juga telah mampu merubah kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan ke tingkat yang lebih baik. Program PEMP telah menyentuh
hampir semua masyarakat nelayan di lokasi wilayah kajian. Berbagai organisasi kenelayanan seperti KUB, Rukun Nelayan dan Kelompok Wanita Nelayan, juga
telah berperan dalam peningkatan kondisi sosial-ekonomi nelayan. Karakteristik sosial-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat nelayan
berimplikasi terhadap: 1 pengembangan perikanan diharapkan lebih berpihak ke nelayan, sehingga dapat meningkatkan strata sosial-ekonomi nelayan; 2 inovasi
teknologi baru maupun pengembangan skala usaha nelayan dapat dilakukan, karena secara umum nelayan di Selatan Jawa mudah untuk menerima perubahan
atau inovasi baru; 3 diversifikasi usaha perlu diberikan, sehingga nelayan mendapatkan hasil tambahan dan dapat meningkatkan strata sosial-ekonominya.
6.5 Implikasi Karakteristik Aspek Politik
Menurut Saad 2003 , politik hukum dirumuskan sebagai kebijakan hukum legal policy yang hendak atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik
hukum perikanan merupakan keseluruhan kebijakan pemerintah mengenai perikanan yang diwujudkan dalam berbagai bentuk produk hukum.
Berdasarkan hal tersebut, produk hukum perikanan merupakan wujud dari kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah untuk
mengatur kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, hukum, peraturan, kelembagaan dan orang-orang yang terlibat di
186
dalamnya. Politik mencakup aspek kelembagaan, karena hukum atau peraturan dalam implementasinya dilakukan oleh fungsi dari lembaga yang ada. Politik
terkait dengan orang-orang yang berada di dalam kelembagaan atau pemerintahan. Siapa orang yang berperan sebagai pengambil keputusan di bidang perikanan,
akan menentukan arah bagi pengembangan perikanan. Terkait dengan kondisi di atas, peran dari kelembagaan perikanan di tingkat
provinsi atau kabupatenkota sangatlah penting bagi keberlanjutan pengembangan perikanan di wilayahnya. Hal ini jelas terlihat pada kabupaten dengan
kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan yang berdiri sendiri, seperti di Kabupaten Cilacap, Sukabumi dan Trenggalek. Perkembangan perikanan di ketiga
kabupaten tersebut telah berkembang dengan baik. Selain kelembagaan dinas, keberadaan kelembagaan lainnya, seperti KUD, HNSI dan kelompok-kelompok
nelayan juga berperan penting bagi pembangunan perikanan. Disamping faktor kelembagaan, keterpaduan sistem perundang-undangan
perlu dibangun untuk dapat menjamin terlaksananya pengelolaan sumberdaya secara optimal, efisien dan efektif. Keterpaduan sistem perundangan-undangan
mencakup materi hukum, agar tidak terjadi ketidaksesuaian antara perundang- undangan yang satu dengan yang lainnya. Keterpaduan antara peraturan
perundangan di tingkat nasional dengan di daerah dan juga dengan di tingkat internasional. Peraturan atau kebijakan mencakup juga peraturan atau kebijakan
tidak tertulis yang sudah mengakar di masyarakat. Peraturan atau kebijakan tersebut merupakan kearifan lokal yang perlu dihargai dan dipertahankan.
Berbagai peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah Indonesia, sudah dibuat dan sudah
diberlakukan. Sebagai salah satu acuan dalam pembuatan peraturan perundang- undangan tentang perikanan adalah Konvensi PBB tentang hukum laut yaitu
United Nation Convention on the Law of the Sea, dimana Indonesia telah turut merativikasi dan mensahkannya dalam UU 171985. Ketentuan batas wilayah
perairan Indonesia, telah diatur diantaranya melalui: 1 UU 11973 tentang Landas Kontinen, 2 UU 51983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, 3 UU
61996 tentang Perairan Indonesia, dan 4 PP 382002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Peraturan berkaitan
187
dengan pengelolaan perikanan, diantaranya adalah PP 151984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Undang-Undang tentang Perikanan yaitu UU 91985 yang diperbaharui dengan UU 312004. Selanjutnya berbagai peraturan kebijakan diturunkan dari UU
tersebut diantaranya seperti yang telah disebutkan pada Bab 5.3.1. Peraturan mengenai pembagian wewenang pengelolaan perikanan antara
pusat dan daerah tercantum UU 322004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini diperjelas pelaksanaannya melalui PP 382007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah KabupatenKota.
Berbagai peraturan daerah telah dibuat dalam rangka pelaksanaan mandat sesuai dengan kewenangannya seperti telah disebutkan di Bab 5.3.1. Terlihat
bahwa peraturan atau kebijakan yang dibuat daerah masih sangat terbatas, serta belum dapat mengakomodasikan tugas dan wewenang yang telah
didesentralisasikan pemerintah kepada daerah sesuai dengan UU 322004 dan PP 382007. Berbagai faktor menjadi sebab masih terbatasnya peraturan dan
kebijakan perikanan di daerah. Lambannya pembuatan peraturan atau kebijakan di bidang perikanan di daerah, diantaranya terkait dengan keterbatasan SDM,
masih rendahnya pemahaman terhadap kegiatan pengelolaan perikanan, situasi politik daerah dan kepentingan ego sektoral, serta mahalnya proses untuk
pembuatan peraturan atau kebijakan. Kondisi politik wilayah berimplikasi terhadap: 1 pengembangan perikanan
masih berjalan lambat, karena dukungan politik pemerintah masih rendah; 2 diperlukan pembuatan kebijakan-kebijakan perikanan untuk dapat mengatur
pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan wewenang pengelolaan yang telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah; 3 kelembagaan dinas terkait
dengan perikanan dan kelautan diharapkan dapat berdiri sendiri tidak tergabung dengan sektor lain.
Berdasarkan pemahaman di atas, nyata bahwa kondisi aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial-ekonomi dan politik berimplikasi terhadap kinerja
perikanan di Wilayah Selatan Jawa. Secara keseluruhan implikasi karakteristik berbagai aspek tersebut terhadap kinerja perikanan terangkum dalam Tabel 11.
188
Kebijakan strategis untuk penerapan model di atas memiliki nilai konsistensi yang cukup tinggi, sehingga model cukup valid untuk dapat diterapkan dalam
sistem. Nilai konsistensi dari setiap elemen secara berurut untuk pengembangan perikanan tuna dan pengembangan perikanan pantai yaitu: 1 sektor masyarakat
yang terpengaruh 93,5, 97,22 ; 2 kebutuhan untuk terlaksananya program 98,2, 91,71 ; 3 kendala utama pengembangan program 93,0, 93,83; 4
perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari program 97,0, 97,00; 5
189
tolok ukur keberhasilan program 96,3, 97,53; 6 aktivitas yang diperlukan untuk terlaksananya program 97,0, 97,53 ; serta 7 lembaga yang terlibat
untuk keberhasilan program 93,5, 96,80.
Analisis finansial dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha pada perikanan tuna longline. Perhitungan kelayakan usaha meliputi perhitungan
keuntungan usaha, net present value NPV, net benefit cost ratio BC dan internal rate of return IRR Gaspers 1992; Gray et al. 1992.
190
Tabel 11 Implikasi karakteristik aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan di Wilayah Selatan Jawa
No. Aspek
Karakteristik Implikasi karakteristik wilayah terhadap
perkembangan perikanan 1 Geo-
Topografi -
Basis penangkapan secara geografi merupakan di daerah cukup terisolir. -
Secara topografi sebagian besar wilayah merupakan rangkaian pegunungan kapur selatan, dengan bentuk permukaan bumi yang
berbukit-bukit dan berlereng terjal. -
Infrastruktur jalan belum dibangun secara memadai. -
Sarana transportasi masih terbatas. -
Secara umum merupakan lokasi yang tidak strategis untuk kegiatan industri perikanan.
- Terkecuali Cilacap, memiliki wilayah daratan relatif rata dan tingkat
aksesibilitas tinggi. - Sulitnya akses pemasaran dari produk perikanan yang
dihasilkan. - Luas lahan berupa dataran yang sempit di suatu lokasi
pelabuhan, menghambat berkembangnya kegiatan industri di pelabuhan tersebut
- Lokasi basis penangkapan yang terisolir sulit untuk mendapatkan input produksi, tenaga kerja dan akses ke
dunia luar, sehingga berdampak pada terhambatnya perkembangan kegiatan perikanan.
2 Biologi - Perairan termasuk Wilayah Samudera Hindia WPP IX, kaya akan
sumberdaya ikan, baik pelagis besar, pelagis kecil, demersal dan udang. -
Perairan yang subur, khususnya adalah pada daerah-daerah yang berasosiasi dengan perairan teluk, perairan karang, muara sungai, hutan
mangrove dan perairan terjadinya upwelling. -
Pemanfaatan sumberdaya demersal, udang, ikan karang dan cumi-cumi dalam kondisi fully exploited pemanfaatan mencapai hampir 100.
- Potensi sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil dan lobster masih
memiliki peluang untuk diusahakan pemanfaatan baru sekitar 50. -
Perairan yang subur, khususnya adalah pada daerah- daerah yang berasosiasi dengan perairan teluk,
perairan karang, muara sungai, hutan mangrove dan perairan terjadinya upwelling, merupakan fishing
ground yang baik untuk kegiatan penangkapan ikan
-
Beberapa jenis sumberdaya ikan potensial dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat dimanfaatkan adalah tuna,
cakalang, udang, lobster, layur dan bawal putih -
Peluang pemanfatan yang masih cukup besar untuk sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil dan lobster.
3 Teknologi -
Usaha perikanan didominasi usaha perikanan skala kecil, unit teknologi didominasi oleh jaring monofilament jaring sirang, multifilament
gillnet dan pancing, kapal jenis fiberglass, 1-2 GT, bermesin luar outbord engine sekitar 15 PK, digunakan secara multipurpose untuk
menangkap bawal putih, bawal hitam, cucut, layur, lobster serta sumberdaya ikan lain di perairan pantai.
- Unit skala menengah khususnya untuk menangkap tongkol, cakalang,
tenggiri, dengan alat tangkap gillnet, purse seine dan pancing tonda. - Unit skala besar untuk menangkap tuna, dengan alat tangkap longline.
- Diperlukan pengembangan teknologi, dengan skala
usaha yang lebih besar. -
Jenis ikan tujuan tangkap akan menentukan terhadap jenis teknologi yang digunakan.
- Pengembangan perikanan pancing tonda untuk memanfaatkan sumberdaya tuna dengan pemasangan
rumpon laut dalam yang sedang gencar dikembangkan oleh beberapa pemerintah daerah patut diwaspadai
terhadap keberlanjutan sumberdaya tuna. 1
88
184
Tabel 11 Lanjutan
No. Aspek
Karakteristik Implikasi karakteristik wilayah terhadap
perkembangan perikanan 4 Sosial-
Ekonomi -
Termasuk kabupaten miskin, kecuali Cilacap, Sukabumi dan Malang. -
Strata sosial-ekonomi nelayan termasuk kelompok yang termarjinalkan. -
Nelayan bersifat terbuka terhadap perubahan inovasi teknologi baru. -
Hubungan kekerabatan, rasa gotong royong dan kekeluargaan masih cukup tinggi.
- Sebagian nelayan memiliki mata pencaharian lain yaitu sebagai petani
dan peternak. Secara umum, nelayan yang memiliki mata pencaharian lain memiliki kondisi sosial-ekonomi yang lebih baik.
- Nelayan pemilik memiliki strata ekonomi yang lebih baik dari pada
nelayan buruh. Nelayan pada unit usaha dengan skala yang lebih besar, umumnya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik.
- Terdapat perbedaan strata sosial-ekonomi antara daerah yang kegiatan
perikanannya sudah berkembang seperti Cilacap, Palabuhanratu dan Prigi dengan daerah lain yang kegiatan perikanannya belum
berkembang. Pada daerah yang kegiatan perikanannya sudah berkembang umumnya memiliki strata sosial-ekonomi yang lebih baik.
- Pengembangan perikanan diharapkan lebih berpihak
ke nelayan, sehingga dapat meningkatkan strata sosial-ekonomi masyarakat nelayan.
- Inovasi teknologi baru maupun pengembangan skala
usaha nelayan dapat dilakukan, karena secara umum nelayan di Selatan Jawa mudah untuk menerima
perubahan atau inovasi baru. -
Diversifikasi usaha perlu diberikanan, sehingga nelayan mendapatkan hasil tambahan dan dapat
meningkatkan strata sosial-ekonomi nelayan.
5 Politik - Dukungan politik pemerintah provinsi, kabupatenkota terhadap
perkembangan perikanan masih rendah, prioritas pembangunan perikanan dan kelautan masih rendah, orientasi pembangunan masih
terfokus ke darat. -
Kebijakan atau regulasi di bidang perikanan masih terbatas. -
Kelembagaan perikanan, khususnya kelembagaan pemerintah dinas perikanan belum berperan optimal, karena masih bergabung dengan
sektor lain. -
Pada daerah yang dinas perikanannya berdiri sendiri tidak bergabung dengan sektor lain, perkembangan perikanannya relatif lebih baik.
- Kelembagaan usaha KUD dan kelembagaan lainnya juga masih belum
berperan nyata dalam memajukan perikanan di daerahnya. -
Kelembagaan yang tumbuh dari rasa kebersamaan nelayan seperti Rukun Nelayan, relatif lebih memiliki peran dalam pembangunan
perikanan lokal. -
Pengembangan perikanan masih berjalan lambat, karena dukungan politik pemerintah masih rendah.
- Diperlukan pembuatan kebijakan-kebijakan perikanan
untuk dapat mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan sesuai dengan wewenang pengelolaan yang
telah didesentralisasikan ke pemerintah daerah. -
Kelembagaan dinas terkait dengan perikanan dan kelautan diharapkan dapat berdiri sendiri tidak
tergabung dengan sektor lain.
18 9
7 PERMODELAN SISTEM
7.1 Verifikasi