Implikasi Karakteristik Aspek Teknologi

178 Potensi sumberdaya ikan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi dan termasuk komoditi ekspor adalah layur dan bawal putih. Layur dan bawal putih termasuk jenis ikan demersal. Kedua jenis ikan ini ditemukan di hampir seluruh perairan pantai di Indonesia. Burhanuddin et al. 1998 menyatakan, ikan bawal umumnya hidup di perairan pantai yang dalam dengan dasar perairan berlumpur. Hasil kajian PRPT yang dilakukan pada bulan Oktober-Nopember 2001 menyatakan, penyebaran sumberdaya pelagis di Samudera Hindia pada kedalaman 5-100 m tercatat di seluruh Perairan Jawa Timur dan secara sporadis di Perairan DI Yogyakarta serta Cilacap. Keberadaan konsentrasi ikan pelagis bertepatan dengan nilai suhu antara 27-29 o C dan nilai salinitas 33-34 psu. Hasil kajian PRPT 2001 juga menyatakan bahwa, tingkat pemanfaatan sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, dan lobster di Wilayah Perairan Samudera Hindia WPP IX masih ≤50, sehingga masih besar peluang untuk dimanfaatkan. Sementara itu untuk sumberdaya demersal, ikan karang, udang penaeid dan cumi-cumi sudah 95. Berdasarkan pada kondisi biologi Perairan Selatan Jawa seperti tersebut di atas, implikasinya terhadap kinerja kegiatan perikanan adalah: 1 perairan yang subur, khususnya adalah pada daerah-daerah yang berasosiasi dengan perairan teluk, perairan karang, muara sungai, hutan mangrove dan perairan terjadinya upwelling, perairan tersebut merupakan fishing ground yang baik untuk kegiatan penangkapan ikan; 2 beberapa jenis sumberdaya ikan yang potensial dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat dimanfaatkan adalah tuna, cakalang, udang, lobster, layur dan bawal putih; 3 peluang pemanfatan yang masih cukup besar adalah untuk sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil dan lobster.

6.3 Implikasi Karakteristik Aspek Teknologi

Secara umum struktur perikanan tangkap didominasi oleh perikanan skala kecil. Kapalperahu yang digunakan nelayan pada umumnya telah menggunakan mesin, dengan kekuatan mesin rata-rata 15 PK. Jenis perahu yang digunakan sebagian besar adalah jenis perahu fiberglass dengan ukuran 1-2 GT. Dominasi perahu-perahu fiberglass nyata terlihat pada pusat-pusat pendaratan nelayan tradisional. Jenis alat tangkap dominan adalah pancing dan jaring insang gillnet 179 monofilament dan multifilament. Nelayan lokal merupakan nelayan turun temurun, dengan pengetahuan dan keterampilan terbatas. Dominasi perikanan skala kecil, menyebabkan daerah penangkapan terkonsentrasi di perairan pantai. Dampak dari kondisi tersebut adalah perairan pantai, dengan potensi utama sumberdaya demersal telah mengalami tangkap penuh fully exploited. Kelompok alat tangkap dominan di Provinsi Jawa Barat adalah jaring insang dan pancing. Jaring insang dan pancing banyak digunakan nelayan di Jawa Barat bagian selatan, utamanya oleh nelayan skala kecil dengan daerah penangkapan ikan di perairan pantai. Alat tangkap skala menengah maupun besar, seperti longline dan purse seine jarang beroperasi. Alat tangkap mini purse seine banyak dioperasikan oleh nelayan di PPP Cilautereun Kabupaten Garut. Pusat kegiatan perikanan terbesar di Selatan Jawa Barat adalah di Kabupaten Sukabumi yaitu di PPN Palabuhanratu. Palabuhanratu telah memiliki pelabuhan perikanan bertipe B, namun demikian unit penangkapan ikan yang digunakan masih didominasi oleh unit skala kecil dan menengah. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang dan pancing. Jaring angkat mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2001, yaitu mencapai 1.500 unit. Kelompok jaring angkat utama yang digunakan nelayan adalah bagan. Keberadaan bagan telah menimbulkan permasalahan yang serius, dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan. Permasalahan serius yang ditimbulkan oleh bagan adalah terlalu banyaknya jumah unit yang ada, sehingga hampir menguasai seluruh Perairan Teluk Palabuhanratu. Disamping itu, banyaknya konstruksi bagan di laut telah menyulitkan operasi penangkapan ikan oleh jenis unit penangkapan lain. Unit payang juga banyak dioperasikan di PPN Palabuhanratu untuk menangkap ikan pelagis, khususnya ikan tongkol dan cakalang. Pusat kegiatan perikanan terbesar di Garut berada di PPP Cilautereun. Kapal yang digunakan didominasi oleh perahu motor tempel, yang keberadaannya terus meningkat setiap tahun. Perkembangan perikanan di Kabupaten Garut lebih didominasi oleh perikanan skala kecil, dengan unit penangkapan yang digunakan adalah mini purse seine. Hal yang menarik dari kegiatan perikanan di PPP Cilautereun adalah peningkatan nilai produksi dengan persentase yang lebih tinggi dari pada produksi. Hal ini mengindikasikan, jenis ikan yang tertangkap memiliki 180 nilai ekonomis yang tinggi. Jenis ikan tersebut diantaranya seperti layur, bawal putih dan kerapu yang merupakan komoditi ekspor. Perikanan di Kabupaten Cilacap didominasi oleh kelompok pancing, trammel net dan gillnet. Alat tangkap pukat kantong cenderung tetap hingga tahun 2002, yaitu berjumlah 570 unit dari sebelumnya berjumlah 580 unit pada tahun 1994. Pukat kantong mengalami peningkatan tajam tahun 2003 yaitu berjumlah 1.390 unit. Pukat kantong yang digunakan, sebagian besar adalah payang dan jaring arad. Jaring arad digunakan nelayan untuk menangkap udang krosok. Kegiatan perikanan di Cilacap merupakan yang terbesar di Selatan Jawa. Pusat kegiatan perikanan terbesar berada di PPS Cilacap. Unit penangkapan longline mulai berkembang di Cilacap sekitar tahun 1998. Perkembangan longline di Cilacap bersamaan dengan dioperasikannya PPN Cilacap. Aktivitas longline terus mengalami peningkatan yaitu dari 252 trip pada tahun 1998, meningkat sampai sebesar 3.773 trip pada tahun 2001. Setelah tahun tersebut, aktivitas longline terus menurun dikarenakan berbagai sebab. Salah satunya adalah kenaikan biaya operasional yang tinggi, dengan peningkatan harga solar. Usaha tuna longline di Indonesia secara komersial mulai dijajaki oleh PN Perikani pada tahun 1960. Pada saat itu usaha longline ini kurang berkembang dan akhirnya berhenti karena berbagai kesulitan. Pada awal Pelita I, kembali usaha perikanan tuna longline dirintis yaitu dengan adanya dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha perikanan industri melalui UU Penanaman Modal Asing PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN. Pada saat itu dibentuk proyek perintis usaha longline di Indonesia, yaitu PT. Perikanan Samudera Besar PT. PSB pada Mei 1972. Produksi yang dihasilkan adalah tuna beku frozen tuna, tetapi tidak dapat digunakan untuk bahan baku sashimi karena temperatur palkah hanya mencapai -35 ºC, produksi hanya dapat digunakan untuk ikan kaleng. Pada tahun 1984 PT PSB mulai merintis usaha tuna segar fresh tuna. Rintisan usaha longline oleh PT PSB mempunyai dampak positif terhadap perkembangan usaha tuna longline di Indonesia Batubara 1988. Selain longline, Cilacap juga merupakan pusat kegiatan perikanan udang di Selatan Jawa. Jenis komoditi udang yang banyak tertangkap dan merupakan komoditi ekspor, diantaranya yaitu udang dogol dan udang jerbung. Perikanan 181 udang di Cilacap menggunakan alat tangkap trammel net. Trammel net di Cilacap berkembang pasca pelarangan trawl, yaitu pada tahun 1983. Jenis alat tangkap di Kebumen diantaranya adalah payang, jaring sirang, gillnet multifilament, trammel net, dan rawai. Alat tangkap dominan adalah jaring sirang. Jaring sirang digunakan oleh nelayan secara multipurpuse, yaitu dengan menggunakan satu kapal. Jaring sirang digunakan untuk menangkap layur, bawal putih dan lobster, yang akan digunakan nelayan sesuai dengan musimnya. Struktur perikanan di Kabupaten Gunung Kidul tidak jauh berbeda dengan di Kebumen. Unit penangkapan ikan dominan adalah jaring insang dan pancing. Pukat kantong pada awalnya banyak dioperasikan nelayan yaitu pada 1994-1998 berjumlah 800 unit, namun tidak dioperasikan lagi di tahun berikutnya. Nelayan Gunung Kidul juga menggunakan unit penangkapan multipurpose. Nelayan dapat mengganti alat tangkap sesuai dengan musim ikan, tanpa harus mengganti perahu. Unit penangkapan ikan yang beroperasi di Kabupaten Pacitan terdiri atas payang, gillnet, pancing dan krendet. Jumlah alat tangkap terus mengalami peningkatan, yaitu dari 5.347 unit tahun 2001, menjadi 7.423 unit tahun 2003 atau naik sekitar 39 dalam waktu 2 tahun. Alat tangkap yang dominan di Kabupaten Pacitan selama periode tahun 2001-2003 adalah pancing. Krendet merupakan alat yang digunakan untuk menangkap lobster. Alat tangkap yang dominan digunakan nelayan Trenggalek adalah pancing dan jaring klitik. Rawai banyak digunakan untuk menangkap layur. Purse seine merupakan alat tangkap yang banyak digunakan di PPN Prigi. Purse seine digunakan untuk menangkap ikan pelagis, khususnya tongkol dan cakalang. Pada musim tertentu purse seine digunakan untuk menangkap ikan teri dan lemuru. Alat tangkap yang digunakan nelayan di Malang meliputi pancing, jaring, gillnet, payang, tonda, rawai dan purse seine. Secara umum, jumlah alat tangkap mengalami peningkatan. Pancing tonda mulai dioperasikan di Malang pada tahun 2004, saat ini merupakan alat tangkap yang paling produktif terutama untuk penangkapan tuna dan cakalang. Pancing tonda merupakan alat tangkap yang sangat terkenal di kalangan nelayan Indonesia, karena harganya yang relatif murah dan pengoperasiannya sangat mudah untuk menangkap tuna kecil di dekat permukaan. Tonda merupakan 182 pancing dengan umpan hidup atau umpan palsu yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal Farid et al. 1989. Subani dan Barus 1988 menyatakan, tonda dioperasikan pada siang hari dengan cara menduga-duga, berlayar kesana kemari dengan terlebih dahulu mencari kawanan ikan seperti tongkol dan cakalang, operasi dapat juga dilakukan disekitar rumpon. Perkembangan perikanan tonda di Malang, telah mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten lain untuk mengembangkan rumpon. Pemasangan rumpon pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam hal ini Diskanlut Jawa Timur. Pemasangan rumpon dilakukan di Perairan Selatan Malang, dengan pusat pendaratan di PPP Pondokdadap. Keberhasilan program ini telah mendorong Dinkanlut Jawa Timur menempatkan rumpon di tempat lain, yaitu di Perairan Trenggalek dan Pacitan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DI Yogyakarta Gunung Kidul dan Jawa Barat Sukabumi, juga terdorong untuk melakukan hal yang serupa. Saat ini telah berkembang kegiatan perikanan tonda di PPN Prigi, PPI Sadeng dan PPN Palabuhanratu. Perkembangan perikanan tonda ini patut diwaspadai, karena hasil tangkapan umumnya berukuran kurang dari 10 kg. Jika kondisi ini dibiarkan berkembang tanpa perencanaan dan pengendalian yang tepat, dikuatirkan akan membahayakan bagi keberlanjutan sumberdaya tuna. Implikasi dari karakteristik teknologi penangkapan ikan yang ada di Selatan Jawa adalah: 1 diperlukan pengembangan teknologi, dengan skala usaha yang lebih besar; 2 jenis ikan tujuan tangkap akan menentukan terhadap jenis teknologi yang digunakan; 3 pengembangan perikanan pancing tonda untuk memanfaatkan sumberdaya tuna dengan pemasangan rumpon laut dalam yang sedang gencar dikembangkan oleh beberapa pemerintah daerah patut diwaspadai terhadap keberlanjutan sumberdaya tuna.

6.4 Implikasi Karakteristik Aspek Sosial-Ekonomi