Hasil dan Pembahasan 1 Raja Sebagai Penyelenggara Pemerintahan

148 149 Perkembangan selanjutnya, terutama rentangan waktu antara tahun 882-955 disebut pula periode Singhamandawa, karena hampir seluruh prasasti dari periode itu menyebut panglapuan Singhamandawa. Ada tujuh buah prasasti yang terbit pada periode ini yaitu prasasti Sukawana A1 804 Saka882 Masehi, prasasti Bebetin A1 818 Saka896 Masehi, Trunyan A1 883 Saka911 Masehi, Trunyan B 833 Saka911 Masehi, Bangli Pura Kehen A, Gobleg Pura Desa I 836 Saka914 Masehi, dan Angsari A Goris, 1954 : 53-62. Prasasti-prasasti tersebut menggunakan bahasa dan huruf Bali Kuno, tanpa menyebut nama raja. Ada dugaan bahwa Singhamandawa adalah ibukota kerajaan yang berada di daerah sekitar Kintamani, Bangli. Dugaan itu didasarkan atas padatnya temuan tinggalan arkeologi, baik berupa prasasti-prasasti maupun artefak-artefak lainnya yang tersebar di sekitar wilayah tersebut. Dalam konteks kebudayaan Hindu Budha yang berkembang pada masa itu, pusat kerajaan tampaknya memilih lokasi ibu kotanya dekat dengan gunung. Ajaran agama Hindu dan Budha menyatakan bahwa titik pusat alam semesta adalah Gunung Mahameru. Oleh karena itu kerajaan Singhamandawa berlokasi di pegunungan yang merupakan tempat keramat dan suci. Berbagai peninggalan artefaktual dan sumber-sumber tertulis berupa prasasti telah ditemukan di Bali. Kerajaan Singhamandawa merupakan institusi kenegaraan pertama yang bercorak kebudayaan India di Bali. Kerajaan tersebut meninggalkan sejumlah prasasti yang menggunakan bahasa Bali Kuno, namun dalam uraiannya tidak mencantumkan nama raja. Nama raja pertama yang memerintah di Bali baru diketahui berdasarkan prasasti Blanjong tahun 913, yaitu Sri Kesari Warmadewa. Raja ini merupakan cikal-bakal dari dinasti Warmadewa di Bali. Setelah Kesari Warmadewa, prasasti-prasasti Bali Kuno menyebut sejumlah raja memerintah di Bali, baik yang menggunakan gelar Warmadewa maupun tidak, dengan sejumlah aparat pembantu-pembantunya sehingga tergambar adanya sistem pemerintahan yang teratur. Dugaan mengenai telah diselenggarakan suatu tatanan pemerintahan pada masa Bali Kuno diperkuat lagi dengan disebutkannya sejumlah nama kitab hukum dalam prasasti-prasasti, yaitu kitab hukum Uttara Widhi Balawan, Raja Wacana, Manawa Sasanadharma dan lain sebagainya. Nama-nama kitab hukum serta ajaran-ajaran itu memberi petunjuk bahwa isinya bersumber pada hukum dan ajaran agama Hindu. Rentangan waktu antara abad VIII-XIV, atau rentangan waktu selama lebih kurang enam abad sejak terbitnya prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sampai dengan penaklukan Bali oleh ekspedisi tentara Majapahit tahun 1343, oleh Goris 1948 disebut periode “masa Bali Kuno”. Dalam periode tersebut di Bali telah terjadi hal-hal atau peristiwa-peristiwa sejarah, khususnya sejarah politik. Dalam sejarah kebudayaan Bali, jangka waktu tersebut ditandai oleh pengaruh peradaban India, khususnya agama Hindu dan Budha yang ketika itu menyebar ke wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Kajian tentang peristiwa-peristiwa sejarah Bali Kuno antara abad VIII-XIV memiliki beberapa kecenderungan. Salah satunya adalah aspek-aspek khusus kebudayaan. Aspek-aspek khusus itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek sosial, yaitu politik terutama birokrasi, ekonomi terutama pertanian dan perdagangan, dan agama Hindu dan Budha. Penelitian ini dimaksudkan untuk itu, membedah salah satu aspek yaitu politik di Bali antara Abad VIII-XIV. Sebuah ikhtisar untuk merekonstruksi perjalanan sejarah politik masa Bali Kuno berdasarkan data yang dapat dirangkum hingga kini. Prasasti dan data artefaktual tersedia dalam jumlah yang cukup banyak. Memang sebagaimana telah diketahui bahwa data prasasti sebagai sumber primer pada umumnya bersifat fragmentaris. Kendati demikian, jika data itu mendapat kajian saksama ditopang dengan konsep-konsep dan teori-teori yang relevan serta dibahas secara multidimensional, bukan mustahil suatu gambaran yang lebih jelas mengenai dinamika politik di Bali antara abad VIII-XIV dapat terwujud.

2. Metode Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan data sekunder. Penelitian ini pada dasarnya memaparkan kajian arkeologi sejarah yang mengandalkan datanya dari kedua sumber tersebut. Masing-masing sumber, kecuali bersifat heterogen, juga memiliki kualitas yang berbeda-beda dalam memberikan informasi. Mengingat kajian ini merupakan kajian arkeologi sejarah yang mencakup berbagai aspek kehidupan, maka hamper semua hasil kajian tentang Bali memiliki potensi untuk dijadikan sumber data. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah pada masa itu. Prasasti-prasasti tersebut telah ditranskripsi ke dalam huruf latin. Di antara teks-teks prasasti itu, ada yang dapat dari artikel “Transcripties Van Vier Oorkonden In Koper Gevonden Op Het Eiland Bali” Van Der Tuuk dan Brandes, 1885, dan artikel “De Koperen Platen Van Sembiran Brandes, 1889. Selain itu, teks-teks prasasti-prasasti juga di dapat dari buku Prasasti Bali I Goris, 1954, dan buku Epigraphia Balica I Callenfels, 1926. Teks-teks prasasti lainnya diperoleh dari kumpulan prasasti-prasasti Bali yang dilakukan oleh R. Goris. Teks-teks prasasti yang disebut terakhir belum sempat dipublikan karena R. Goris telah meninggal pada tahun 1965. Setelah sumber-sumber terkumpul dan dilakukan kritik terhadapnya, khusus terhadap sumber prasasti, mulailah dilakukan pencatatan data. Upaya pertama pada tahap ini adalah menerjemahkan data yang telah tercatat ke dalam bahasa Indonesia. Upaya ini dilakukan karena data prasasti pada mulanya menggunakan bahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan bahkan ada pula yang berbahasa Bali Kuno. Selanjutnya dilakukan pengelompokkan data menurut aspek-aspek sosial politik yang tercermin di dalamnya. Data yang telah dikelompokkan itu kemudian dianalisis lebih mendalam. Mengingat data itu merupakan data kualitatif, maka perlu dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadapnya. Analisis menghasilkan fakta-fakta yang pada gilirannya dapat disusun menjadi suatu konstruksi historis. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Raja Sebagai Penyelenggara Pemerintahan Keberadaan kebudayaau Bali, khususnya kebudayaan masa Bali Kuno, tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan India. Unsur-unsur budaya India, khususnya agama Hindu dan Budha banyak berpengaruh terhadap kebudayaan Bali. Huruf Pranagari dan bahasa Sanskerta yang digunakan dalam prasasti- prasasti pada stupika tanah liat yang tertua ditemukan di Bali berasal dari tanah India. Demikian juga identiikasi tentang arsitektur candi padas yang dipahatkan pada tebing-tebing di sepanjang daerah aliran sungai Pakerisan dan bangunan stupa dengan bentuk dasar segi delapan di Pura Pegulingan, Desa Basangambu, Tampaksiring, Gianyar jelas memperlihatkan adanya pengaruh seni India. Melalui unsur agama, ditunjukkan adanya bukti kuat bahwa agama Hindu dan Budha yang berkembang di Bali mulai sekitar abad VIII bersumber dari India. Dalam bidang politik, terutama mengenai gagasan tentang raja dan kerajaan yang mulai dikenal pada awal abad X di Bali juga bersumber dari India. Berdasarkan sumber-sumber prasasti yang berasal dari seluruh periode Bali Kuno yang meliputi kurun waktu enam abad VIII-XIV, dapat diketahui sekurang- kurangnya 23 raja pernah memerintah. Raja pertama yang memerintah di Bali adalah Sri Kesari Warmadewa, yang namanya tercantum dalam prasasti Blanjong, prasasti Panempahan, dan prasasti Malet Gede bertahun 835 Saka 913 Masehi. Dalam jajaran raja-raja Bali Kuno, Sri Kesari Warmadewa merupakan raja pertama yang menggunakan unsur “Warmadewa” sebagai bagian gelarnya. Berdasarkan kenyataan itu maka dapat dikatakan bahwa Sri Kesari merupakan cikal-bakal dinasti Warmadewa di Bali Astra, 1997 : 57. 150 151 Kerajaan Sri Kesari merupakan institusi kenegaraan yang bercorak kebudayaan India di tanah Bali. Gagasan tentang raja dan kerajaan di Asia Tenggara pertama kali diperkenalkan oleh Von Heine Geldern 1982. Pakar ini mengemukakan pendapat bahwa gagasan tentang raja dan kerajaan yang muncul pada masa Hindu Budha di Asia Tenggara dipengaruhi oleh sistem kepercayaan India yang dikenal dalam doktrin Budha maupun doktrin Hindu. Doktrin itu pada pokoknya menyangkut kepercayaan mengenai adanya kesejajaran antara alam Dewa- dewa makrokosmos dan alam manusia mikrokosmos di mana yang disebut belakangan harus menyesuaikan diri dengan yang disebut duluan. Upaya penyesuaian ini diperlukan agar manusia dapat memperoleh keselamatan dan terhindar dari bencana. Pengganti Sri Kesari Warmadewa adalah raja Sri Ugrasena. Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka 915-942 Masehi. Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui beberapa kebijakan yang dilakukan, antara lain memberi keringanan dalam pembayaran pajak kepada Desa Sadungan dan Julah, karena kedua desa tersebut mendapat musibah diserang perampok. Setelah pemerintahan raja Ugrasena, penggantinya adalah pasangan raja suami-istri Sri Haji Tabanendra Warmadewa dan Sri Subhadrika Dharmadewi tahun 887-889 Saka 955-967 Masehi. Ada empat buah prasasti yang diterbitkan oleh pasangan suami-istri ini, yaitu tiga buah prasasti tersimpan di Desa Manik Liu dan satu buah di Desa Kintamani. Prasasti Manik Liu isinya terutama berkaitan dengan pemberian izin kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang yang tinggal di Desa Pakuwan dan Talun. Mereka dibebaskan dari tugas bergotong-royong dan pelbagai jenis pajak, sedangkan prasasti Kintamani A berkenaan dengan pemugaran pesanggrahan yang terletak di Air Mih. Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa. Satu-satunya prasasti yang dikeluarkan oleh raja ini adalah prasasti Manukaya bertahun 882 Saka 960 Masehi Stutterheim, 1929 : 68-69 ; Goris, 1954 : 75-76. Prasasti yang berbentuk tiang batu tersebut memuat perintah raja untuk memperbaiki kolam suci Tirta Empul sekarang Pura Tirta Empul di Tampaksiring yang mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air. Lima belas tahun setelah pemerintahan raja Jayasingha Warmadewa, di Ball memerintah raja Sri Janasadhu Warmadewa, seperti yang tersurat dalam prasasti Sembiran AII 897 Saka975 Masehi, Sri Wijaya Mahadewi 905 Saka983 Masehi, dan pasangan raja suami-istri Udayana Warmadewa dan Gunapriya Dharmapatni. Gunapriya Dharmapatni yang semula bernama Mahendradata adalah seorang putri berasal dari Jawa Timur, keturunan dinasti Isana, sedangkan Udayana adalah seorang putra Bali dari dinasti Warmadewa. Pasangan raja suami-istri ini mempunyai tiga putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali melainkan di Jawa Timur menggantikan raja Dharma Wangsa Teguh, sementara kedua putranya yang lain, yaitu Marakata dan Anak Wungsu kelak memerintah di Bali menggantikan ayahnya Udayana Warmadewa. Namun sebelum mereka naik tahta, di Bali memerintah Ratu Sang Adnyadewi seperti tersurat dalam prasasti Sembiran AIII 938 Saka1016 Masehi. Setelah raja Anak Wungsu di Bali memerintah Sri Walaprabhu 1001-1010 Saka 1078- 1088 Masehi, Ratu Sri Sakalendu Kirana 1010-1023 Saka1088-1101 Masehi, dan Sri Suradhipa 1037-1041 Saka1115-1119 Masehi. Pengganti raja Suradhipa, secara berurutan memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur jaya dalam gelarnya. Raja- raja itu adalah Sri Jayasakti yang memerintah tahun 1055-1072 Saka1133-1150 Masehi, Sri Ragajaya 1077 Saka1155 Masehi, Jayapangus 1099-1103 Saka1178-1181 Masehi, dan Ekajaya Lancana 1122 Saka 1200 Masehi. Hubungan kekeluargaan di antara mereka tidak diketahui secara pasti. Namun demikian ada dugaan bahwa di antara mereka kemungkinan besar ada pertalian hubungan kekeluargaan. Raja berikutnya adalah Ekajayalancana juga sangat memperhatikan bangunan suci, khususnya bangunan suci Hyang Mami yang terletak di wilayah Kintamani. Pengganti raja Ekajayalancana adalah Sri Wirama. Satu-satunya prasasti yang dikeluarkan oleh raja ini adalah prasasti Bangli Pura Kehen C bertahun 1126 saka 1204 Masehi. Dalam prasasti ini dimuat perintah raja yang disampaikan kepada masyarakat Desa Bangli agar mereka tidak meninggalkan desanya. Mereka diperintahkan agar kembali ke desanya serta memberbaiki asrama Lokasarana yang semakin sepi dan tidak terurus. Raja berikutnya adalah Adidewalancana. Satu-satunya prasasti yang dikeluarkan adalah prasasti Bulian B tahun 1182 Saka 1260 Masehi, yang berisi tentang titah raja kepada penduduk Desa Bulian agar melakukan kewajiban seperti terdahulu. Dalam catatan sejarah, 24 tahun kemudian, yaitu tahun 1284, raja Kertanagara dari kerajaan Singhasari, Jawa Timur, berhasil menaklukkan Bali, serta menawan rajanya. Keberhasilan raja Kertanegara menaklukkan Bali pada tahun 1284, menempatkan Kebo Parud sebagai wakil Singhasari di Bali. Kebo Parud berkedudukan sebagai raja patih. Selama pemerintahannya, raja patih Kebo Parud mengeluarkan dua buah prasasti, yaitu prasasti Pengotan E bertahun 1218 Saka 1296 Masehi dan prasasti Sukawana D bertahun 1222 Saka1300 Masehi. Sejak berakhirnya kekuasaan Kebo Parud sampai dengan akhir masa Bali Kuno, masih terjadi tiga kali pergantian raja. Secara berturut-turut dinobatkan Sri Mahaguru, Walajaya Kertaningrat, dan Astasura Ratnabhumibanten. Sri Astasura Ratnabhumi Banten adalah raja Bali Kuno terakhir. Enam tahun setelah Astasura mengeluarkan prasasti Langgahan 1337 Masehi, yakni pada tahun 1343 Masehi tentara Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada menyerang Pulau Bali. Penyerangan itu berhasil menaklukkan Bali. Dengan ditaklukkan Bali oleh Majapahit, maka berakhirlah kerajaan Bali Kuno, dan selanjutnya muncul kerajaan Samprangan yang mendapat pengaruh kuat dari Majapahit.

3.2 Struktur Birokrasi Birokrasi Tingkat Pusat