Ucapan Terimakasih Daftar Pustaka

156 157 Kutukan yang tercantum dalam prasasti dapat dikatakan sebagai pembelajaran moral agar masyarakat senantiasa berbuat baik dan takut untuk melakukan kejahatan. Anugerah sang raja biasanya ditulis dalam prasasti dan ditetapkan dengan disaksikan oleh para pejabat tinggi kerajaan, yang dilengkapi dengan kutukan atau sapatha terhadap mereka yang melanggarnya. Kutukan atau sapatha dimaksudkan untuk melanggengkan berbagai ketentuan mengenai hak dan kewajiban penduduk yang dianugerahi prasasti oleh sang raja dan sekaligus secara psikologis memberi rasa takut kepada mereka yang ingin melanggarnya. Hasil pengamatan menunjukan bahwa bagian sapatha atau kutukan itu cenderung lebih panjang dan kompleks pada prasasti yang berbahasa Jawa Kuno dibandingkan dengan Bali Kuno. Dengan kata lain, prasasti yang lebih tua sapatha atau kutukannya lebih sederhana dibandingkan dengan yang muda. Hal ini mengindikasikan bahwa sejalan dengan perkembangan zaman maka semakin kompleks pula sistem religi atau kepercayaan pada masa Bali Kuno. Dalam prasasti Trunyan B yang berangka tahun 833 Saka dan tidak memuat nama raja terdapat ungkapan sebagai berikut. IIIb. 2, ...yan ada manyanggarugi ya, sapan ulih 3, bhatara ping pitu ya mangjanma tani kapadan min uranyajanma, papa sangsara sadakala Goris, 1954: 59; Ardika dan Sutjiati Beratha, 1996: 63. Artinya: apabila ada yang mengganggumelanggar ketentuan prasasti itu agar dikutuk oleh Bhatara dan tujuh kali menjelma, tidak sama dengan orang lain, agar papa dan sengsara selamanya. Dengan sapatha atau kutukan seperti itu orang mungkin takut melanggarnya. Namun dalam kenyataannya, sebagaimana disebutkan di depan bahwa para pejabat nayoka dan caksu pada masa Bali Kuno sering melakukan manipulasi atau memungut pajak melebihi ketentuan yang tersurat dalam prasasti. Prasasti Bwahan A yang berangka tahun Saka 916, yang terbit pada masa pemerintahan Sri Gunapriyadharmapatni dan raja Udayana menyebutkan istilah wakcapala salah ucapcaci- maki, hastacapala salah tangan, anampyal memukul, anuding menuding kesalahan tangan dikenai denda Ardika dan Sutjiati Beratha, 1996:27. Wakcapala dalam perundangan- undangan Majapahit mungkin dapat disejajarkan dengan wakparusya atau pengerusakan dengan kata-kata. Pada umumnya wakparusya terbatas pada pemakaian kata-kata yang kurang wajar terhadap seseorang berupa penghinaan Mulyana, 1967:57; 2006: 215. Hastacapala adalah kejahatan yang berkaitan dengan penggunaan tangan seperti memukul, menendang, dan menuding. Pada perundang-undangan Majapahit kejahatan Hastacapala dikategorikan sebagai dendaparusya Mulyana, 1967: 58. Pada bagian akhir parasati Batur Pura Abang A yang berangka tahun 933 Saka, dan terbit atas nama raja Udayana memuat sapatha terhadap mereka yang mengganggu atau melanggar ketentuan yang dimuat di dalamnya. Ungkapan dalam prasastinya sebagai berikut: Xa., 3... kunang asing umambahambah ya atmahan taktak, wdit, lintah salwir ning sarbwapapa mahapataka 4, tmunya Ardika dan Sutjiati Beratha, 1998: 60 isi Artinya: Adapun setiap yang mengganggu agar mereka menjadi mahluk hina, sejenis ular, lintah, semua yang hina, dan dosa besar yang ditemuinya. Pelanggaran terhadap berbagai ketentuan yang ditetapkan dalam prasasti sebagai anugerah raja-raja Bali Kuno dapat menimbulkan denda pidana ataupun perdata. Selain itu, kutukan yang dimuat dalam prasasti merupakan sanksi moral atau psikologis bagi mereka yang melanggarnya. Kutukan yang mengerikan dan seram itu juga sangat ditakuti oleh masyarakat.

4. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab di depan dapat diketahui bahwa selama periode abad VIII - XIV Masehi, telah memerintah 23 raja di Bali. Raja-raja Bali Kuno mengklaim dirinya sebagai keluarga dinasti Warmadewa. Tatanan pemerintahan pada masa Bali Kuno cukup rapi dan teratur dengan berpedoman pada kitab perundang-undangan Hindu, meskipun secara eksplisit baru disebutkan dalam prasasti-prasasti Bali Kuno sejak abad XI Masehi. Raja memerintah bersama istri danatau ibunya yang dibantu oleh para pejabat tinggi kerajaan. Para peabat tinggi kerajaan terdiri atas para Senapati, Samgat, Ser, Nayaka, Dhikara beserta para pendeta Siwa dan Budha. Sebelum abad ke XI lembaga tinggi kerajaan dikenal dengan sebutan Panglapuan, sedangkan sejak abad XI dan periode berikutnya dikenal dengan Pakirakiran atau Pakirakiran i jro makabehan. Jumlah dan nama jabatan pejabat tinggi kerajaan pada masa Bali Kuno cenderung dinamis sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain bahwa jumlah jabatan yang tersurat dalam prasasti Bali Kuno sebelum abad XI lebih sedikit dibandingkan dengan periode berikutnya. Beraneka ragam permasalahan yang muncul dimasyarakat senantiasa dipertimbangkan oleh para pejabat tinggi kerajaan sebelum diputuskan atau ditetapkan oleh raja. Selain jabatan tingkat pusat, sejumlah jabatan tingkat desa juga tersurat dalam prasasti-prasasti Bali Kuno. Beberapa nama jabatan tingkat desa yang dikenal pada masa Bali Kuno antara lain bahwa tuha, kabayan, manyuratang, karaksayan dan panundun. Para pejabat desa tersebut sering mewakili penduduk menghadap raja untuk menyampaikan beraneka ragam permasalahan yang muncul di wilayahnya. Raja-raja Bali Kuno tampaknya memerintah sangat demokratis dan selalu memperhatikan kepentingan masyarakatpenduduk. Keputusan yang diambil oleh raja tampaknya mengacu kepada sumber Hukum Hindu seperti Uttara Widdhi Balawan, Raja Wacana, Agama, Manawakamandaka dan lain-lain. Dalam sejumlah prasasti, raja-raja Bali Kuno mengklaim dirinya sebagai penjelmaan atau titisan dewa di dunia. Mereka mengacu hukum Hindu dalam bertindak dan senantiasa memikirkan kesempurnaan dan kesejahteraan negara dan masyarakat yang dipimpinnya. Tipe ideal seorang raja atau pimpinan Hindu yang selalu melindungi dan mengayomi rakyat ingin diwujudkan oleh raja-raja Bali Kuno dalam memerintah. Kokoh dan tegaknya pula Bali Balidwipamandala dan sejahteranya masyarakat adalah tujuan pemerintahan raja-raja Bali Kuno. Dengan kata lain, konsep Dewa Raja tampaknya dipraktikkan oleh raja-raja Bali Kuno. Raja sebagai titisan dewa senantiasa melindungi dan mengayomi rakyat demi kokohnya pulau Bali serta terwujudnya kesempurnaan dan kesejahteraan masyarakat.

5. Ucapan Terimakasih

Dengan selesainya penelitian ini, sudah sepantasnya kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelian ini. Dapat disebutkan di sini, antara lain Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Unud beserta jajarannya, Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana, dan semua pihak yang telah memberi bantuan, kemudahan-kemudahaan, informasi, dan lain-lain.

6. Daftar Pustaka

[1] Ardika, I Wayan. 1979. Studi Sima Pada Masa Pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia. [2] ______. 1984. “Sekelumit tentang Raja Sri Bhatara Mahaguru Dharmotungga Warmadewa” Dalam Majalah Widya Pustaka, tahun I, No. 3 hal. 50-58. Denpasar : Fakultas Sastra. [3] Ardika, I Wayan dan N.L.Sutjiati Beratha. 1996. Perajin pada Masa Bali Kuna Abad IX-XI. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. [4] Ardika, I Wayan dan N.L.Sutjiati Beratha. 1998. Perajin pada Masa Bali Kuna Abad IX-XI. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. [5] Astra, I Gde Semadi. 1977. “Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali”. Denpasar: Fakultas Sastra Unud. 158 159 [6] Astra, I Gde Semadi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno AbadXII-XIII: Sebuah Kajian Epigrais Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. [7] Brandes, J.L.A. 1889. De Koperen Platen Van Sembiran, Oorkonden in Het and Balineesch TBG XXXIII. Batavia : Albrech Rutche. hal. 16-56. [8] Callenfels, Van Stein. 1926. “Epigraphia Balica I”. VBG, Deel LVI. 6. Koleff Co. [9] Damais, L.C. 1952. “Etudes d’Epigraphie Indonesiene III. BEFEO, XLVI, I. hal. 1-105. [10] Djafar Hasan. 2009. Masa Akhir Majapahit. Girindra Warddhana dan Masalahnya. Depok: Komunitas Bambu. [11] Ginarsa, Ketut. 1968. Prasasti Baru Raja Ragajaya. Singaraja : Lembaga Bahasa Nasional. [12] Goris, R. 1948. Sedjarah Bali Kuna. Singaraja. [13] ______. 1954. Prasasti Bali I. Bandung : Masa Baru. [14] ______. 1954. Prasasti Bali II. Bandung : Masa Baru. [15] ______.1957. ”Dinasti Warmadewa dan Dharmawangsa di Pulau Bali”. Bahasa dan Budaya. Tahun V No. 3. Djakarta : Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, hal. 18-31. [16] _____. 1965. Anciant History of Bali. Denpasar: Fakultas Sastra Unud. [17] Heine Geldern, Robert Von. 1982. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja diAsia Tenggara. Jakarta : CV. Rajawali. [18] Mardiwarsito, L. 1981. Kamus Java Kuna - Indonesia. Ende Plores : Nusa Indah. [19] Moens, J.L. 1950. “De Stamboon Van Airlangga” TBG, 84, hal. 110-159. [20] Mulyana, Slamet, 1967. Perundang-Undangan Majapahit. Djakarta: Bhratara. [21] Mulyana. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama . Yogyakarta: LkiS. [22] Raharjo, Supratikno. 2002. Peradaban Jawa. Jakarta : Komunitas Bambu. [23] Santosa, Ida Bagus. 1965. Prasasti-prasasti Raja Anak Wungsu di Bali. Skripsi. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. [24] Stutterheim, W.F. 1929. Oudheden Van Bali: Singaraja : Kirtya Liefrinck Van der Tuuk. [25] Sumadio, Bambang, dkk. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. [26] Tuuk, Van Der dan JLA Brandes. 1885. ”Transcriptie Van Vier Oud-Javaansche Oorkonden of Koper Gevonden op Het Eiland Bali”. TBG, XXX, hal. 603-624. [27] Zoetmulder. P.J. 1982. Old Javanese - English Dictionary I. S’Gravenhage Martinus Nijhoff. Implementasi Nilai-Nilai Tri Hita Karana dalam Kegiatan Masyarakat Desa Blumbang pada Bidang Usaha Penggemukan Sapi Di Kerambitan, Tabanan Suka, Ginting I 1 ., NM. Wiasti 1 , N.Suarsana 1 dan IN.S. Miwada 2 1 Fakultas Sastra Antropologi, Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia 2 Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, Indonesia E-mail : gintingsuka55yahoo.co.id Abstract This service activities carried out in the village Blumbang, sub Kerambitan, Tabanan on Saturday, September 22nd, 2012 at 15:00 to 17:00 pm. Audience that included members of the village community is Blumbang who joined in the cattle ranchers. From discussions with the members of the group that they have a grasp of the concept of THK Tri Hita Karana but almost 100 of the participants who attend these events do not yet know how to implement. Activities continued with the introduction of fermentation technology to solve the problem. All the participants were very enthusiastic activities. Conclusion that the introduction of the concept of THK activities and its implementation in the routine life of the village community has opened horizons Blumbang villagers. Insight into the importance of processing the feces and urine of cow breeding as a real form of the THK concept application. Key words : Tri Hita Karana THK, local genius, fermentation by product

1. Pendahuluan