Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tinjauan Pustaka

174 175 Lembaga resmi pelaksana teknis BKKBN terstruktur secara hirarkis, dari tingkat Pusat, Daerah Tingkat I sekarang provinsi, Daerah Tingkat II Kotamadya sekarang kabupatenkota hingga tingkat kecamatan maupun desa. Pada perjalanannya, lembaga ini mengalami penyesuaian secara program maupun kelembagaan, termasuk Pembentukan Kementerian Kependudukan dan BKKBN berdasarkan Kepres Nomor 109 Tahun 1993. Dasa warsa awal 1970-1980-an, Program Keluarga Berencana KB berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dari 2,8 menjadi 2,3. Dasa warsa 1980-1990-an, laju pertumbuhan penduduk ditekan kembali menjadi 1,98, serta pada dekade 1990-2000-an laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,49 Suyono; 2005:29. Meski trend pertumbuhan penduduk cenderung menurun, namun angka absolut pertumbuhan penduduk rata-rata kisarannya masih cukup tinggi yaitu 3 juta jiwa per tahun dari jumlah penduduk 219 juta jiwa, sehingga menurut proyeksi BAPENAS, tahun 2025 penduduk Indonesia akan berjumlah 273,7 juta jiwa Kompas, 3 Agustus 2005. Melihat kondisi tersebut, keberadaan Program Keluarga Berencana tentunya masih sangat dibutuhkan terutama menjaga keseimbangan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, maupun daya dukung lingkungan. Fokus yang perlu dicapai adalah komitmen terhadap program KB yang merujuk ratiikasi Deklarasi Cairo ICPD dimana mendasarkan pada tuntutan keadilan dan kesetaraan gender. Realitasnya hingga kini, tingkat kesertaan ber-KB masih didominasi perempuan, sedangkan pihak pria tingkat kesertaannya masih sangat rendah, yaitu kurang 6 dari jumlah total Peserta KB Aktif. Komitmen ideal program KB adalah keikutsertaan peserta KB Pria dalam penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang, salah satunya melalui Medis Operasi Pria MOP atau vasektomi. Rakernas Program KB tahun 2000 mengamanatkan perlunya ditingkatkan peran pria dalam Keluarga Berencana dan ditindak lanjuti Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 10HK-010B52001 tanggal 17 Januari 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dengan membentuk Direktorat Partisipasi Pria di Bawah Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas merumuskan kebijakan operasional peningkatan partisipasi pria dalam program KB. Pada arahan program tersebut ditegaskan perlunya intervensi khusus dengan program peningkatan partisipasi pria yang tujuan akhirnya mewujudkan keluarga berkualitas melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, promosi KB dan kesehatan reproduksi berwawasan gender pada tahun 2015 BKKBN, 2000:43. Perkembangan pelaksanaan program peningkatan kesertaan KB pria di lapangan ternyata belum mencapai harapan. Dalam kenyataannya terdapat permasalahan muncul dalam implementasi program yang dilaksanakan, antara lain operasionalisasi program yang bias gender, penyiapan tempat dan tenaga pelayanan yang masih serba terbatas, peralatan lebih banyak digunakan untuk peserta KB perempuan, serta terbatasnya pilihan kontrasepsi pria. Berdasarkan kondisi inilah, maka pilihan KB kalangan pria masih kurang populer dibanding KB perempuan karena juga ada stereotype bahwa kecenderungan beban pemeliharaan anak termasuk keikutsertaan program KB masih ditanggung oleh pihak ibu perempuan, resiko penggunaan kontrasepsi pria yang dapat menimbulkan gangguan dan mengurangi kualitas hubungan seksual, keengganan pihak istri perempuan pada suami untuk menyatakan kesepakatan akibat faktor hambatan dominasi nilai sosial budaya serta kekhawatiran adanya efek samping kesehatan reproduksi dari pihak pria Zaeni, 2006 : 12. Pada kondisi yang sama, secara historis terdapat permasalahan serius pada tingkat kelembagaan operasional yang juga secara langsung mempengaruhi peningkatan kesertaan KB pria. Keputusan Menteri Pemberdayaan PerempuanKepala BKKBN yang merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2000 Tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid kala itu, dimana BKKBN merupakan instansi vertikal menjadi kontraproduktif tidak berarti saat harus berhadapan dengan Peraturan Pemerintah PP Nomor 8 tahun 2003 tentang SOTK di daerah yang disahkan pada masa Presiden Megawati. PP yang disertai regulasi pelaksana Kepres Nomor 103 tahun 2001 tersebut menggariskan bahwa sebagian besar kewenangan BKKBN harus sudah diserahkan kepada daerah hingga akhir tahun 2003. Kondisi ini mengakibatkan terombang-ambingnya kelembagaan sekaligus berdampak pada implementasi program, karena keberagaman masing-masing daerah menilai kepentingan program KB, termasuk munculnya masalah ketidakjelasan komitmen anggaran pendukung program keluarga berencana di level daerah Utarini, 2005 : 98 atau kurang populernya program KB sebagai program yang dicap “Orde Baru” Metrotvnews.com, 2012. Untuk Kota Denpasar, Pemerintah Daerah masih tetap berkomitmen melaksanakan program KB dengan membentuk lembaga khusus, yaitu Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan melalui legalitas Perda Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Denpasar. Keberadaan lembaga ini secara implementatif diharapkan akan diikuti dengan peningkatan Program Keluarga Berencana secara lebih baik, efektif, eisien, dan akuntabel sebagaimana tujuan utama dari otonomi daerah. Penyelenggaraan program di era otonomi daerah idealnya memang harus menyertakan sebuah standar layanan yang mengikuti paradigma new public service, dimana sebagaian besar nilai-nilainya diderivasi dari tuntutan penegakan good governance kelembagaan layanan publik di daerah, termasuk Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar. Menurut Miftah Thoha 2008 : 24, penyelenggaraan pelayanan publik dalam ranah keilmuan administrasi negara di masa kini telah mengalami pergeseran dari old public administration ke arah paradigma new public service yang menyertakan perubahan pada tataran formulasi, impelementasi dan evaluasi kebijakan publik. Pada arah ini pelibatan komponen warga negara, institusi publik, perusahaan swasta dan Non Governmental Organization NGO merujuk pada proses governance sekaligus sebagai bentuk keterlibatan total otoritas publik. Otoritas publik dilibatkan secara optimal, baik dalam bentuk pemberian ruang akses pendapat suara bagi warga negara serta akomodasi isu-isu yang menjadi konsentrasi dari publik di tingkatan fase formulasi maupun implementasi kebijakan yang dihasilkan. Penelitian ini hendak mengetahui ragam strategi dan standarisasi pelayanan publik yang dijalankan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar terkait peningkatan peran akseptor KB Program Metode Operasi Pria Vasektomi sebagai implementasi kebijakan Keluarga Berencana dalam perspektif new public service. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik penelitian deskriptif kualitatif dengan mengajukan pertanyaan yang dirancang sebelumnya kepada pihak-pihak terkait dengan tema penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

1 Bagaimanakah bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar dalam Peningkatan Peran Akseptor KB Program Metode Operasi Pria Vasektomi? 2 Strategi dan standarisasi kelembagaan apa sajakah yang dijalankan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar ditinjau dari perspektif new public service ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar dalam Peningkatan Peran Akseptor KB khususnya dalam Program Metode Operasi Pria Vasektomi ditinjau dari perspektif new public service; 176 177 2. Untuk mengetahui ragam bentuk strategi dan standarisasi yang dijalankan Pemerintah Kota Denpasar dalam implementasi kebijakan program Keluarga Berencana di Kota Denpasar dan kesesuaiannya dengan paradigma new public service;

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian terkait partisipasi akseptor KB pria dalam keberhasilan program KB memang telah banyak dilakukan. Penelitian Ekarini 2008 dari Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro misalnya mengulas analisis faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Pada kesimpulannya, Madya mengungkapkan tingkat partisipasi pria ber-KB dipengaruhi pengetahuan, kualitas pelayanan KB, akses pelayanan KB serta sosial budaya. Ekayanti 2005 juga melakukan penelitian tentang tingkat persepsi pria pasangan usia subur terhadap partisipasi pria dalam ber- KB di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan positif antara tingkat pendidikan, pengetahuan, motivasi, pengalaman, sosial budaya, dan nilai-nilai agama yang dianut dengan persepsi pria pasangan usia subur terhadap partisipasi pria dalam ber-KB. Pada ranah keilmuan administrasi negara, Zaeni 2005 dari Magister Ilmu Administrasi Universitas Diponegoro menyoroti implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB Pria di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Penelitiannya menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria masih menyisakan probelmatika khususnya dalam penyelesaian struktur kelembagaan di kecamatan. Sumberdaya yang masih rendah kualitasnya mengakibatkan menurunnya kualitas kemampuan berkomunikasi bagi penyuluh KB dalam melakukan konseling KB pria. Hanya saja, baik dari tulisan artikel jurnal ilmiah maupun tugas akhir, penelitian yang khusus menyangkut strategi dan standarisasi kelembagaan pelaksana program Keluarga Berencana di level Pemerintah Daerah masih jarang dilakukan, apalagi yang dikaitkan dengan perspektif tinjauan konsep new public service. Menurut Entjang Ritonga, 2003 : 87 Program Keluarga Berencana Family Planning, Planned Parenthood merupakan suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi . Menurut WHO Expert Committe, 1970, KB merupakan tindakan yang membantu individu atau pasutri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Indonesia menjalankan program KB dengan salah satu tujuannya adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu program KB yang disoroti dalam penelitian ini adalah KB Pria. Metode KB pria ada dua bentuk, yaitu permanen yang dikenal sebagai Metode Operasi Pria serta metode tidak permanen yaitu penggunaan kondom. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada pelayanan Metode Operasi Pria. MOP atau vasketomi, merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas dengan metode menggunakan operasi kecil sesuai dengan persyaratan bagi calon akseptor pria yang sudah ditetapkan Kompas, 9 April 2011. Menurut Utarini 2005:28, penyediaan program KB merupakan salah tugas Negara baca : pemerintah dalam menyediakan layanan publik kepada masyarakat. Sesuai dengan tutuntan good governance, penyelenggaraan pelayanan publik ini tidak hanya sebatas kelembagaan melainkan juga terkait dengan program maupun standarisasi yang dijalankan untuk mencapai unsur efektiitas, eisiensi dan transparansi. Dalam ranah keilmuan administrasi negara, konsep layanan publik telah mengalami pergeseran dari old public administration menjadi new public service. Esensi utama yang terkandung dalam new public service yaitu pengakuan atas warga negara dan posisinya sangat penting bagi pemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak dipandang persoalan kepentingan pribadi self interest semata namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga negara diposisikan pemilik pemerintahan owners of government dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama. Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas melayani masyarakat. Peran pemerintah adalah melayani serving, tidak lagi steering atau rowing dan posisi publik bukan lagi sekedar klien atau pelanggan, melainkan sebagai warga negara citizen. Pelayanan publik muncul dari kebutuhan publik, dan pelaksanaannya merupakan hasil kesepakatan stakeholder. Seluruh proses kerja pelayanan berlandaskan pada aturan hukum, kesepakatan nilai publik, standar profesional dan kepentingan publik. Perspektif new public service yang dilontarkan Denhardt Denhardt dalam Puspitosari, 2010 : 60 memiliki beberapa prinsip penting. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1. serve citizens, not customers. Prinsip ini menganggap apa yang menjadi kepentingan publik merupakan hasil dialog, bukan sekedar agregasi kepentingan individual. Pejabat publik tidak hanya merespon kebutuhan publik sebagai pelanggan, melainkan fokus untuk membangun relasi kepercayaan dan kolaborasi dengan warga. Masyarakat adalah warga negara dan bukan pelanggan karena tidak ada owner di dalam proses pemerintahan dan bernegara. Pada dasarnya masyarakat adalah pemilik sah dari negara itu sendiri. 2. Seek public interest, administrator publik harus memberikan kontribusi dalam mengembangkan gagasan tentang kepentingan publik. Tujuan bukan sekedar menemukan solusi cepat yang berdasarkan pilihan individual, tetapi lebih pada bagaimana menciptakan apa yang menjadi kepentingan bersama sekaligus tanggungjawab bersama. Prinsip ini mengutamakan kepentingan publik bukan privat. 3. citizenship over entrepreneurship, prinsip ini mengutamakan agar lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan. Kepentingan publik lebih baik apabila ditunjukkan dalam komitmen pejabat publik membuat kontribusi bermakna ketimbang kepiawaian pejabat dalam mengembangkan dirinya sendiri. 4. Think strategically, act democratically. Kebijakan publik dan program merupakan upaya pemenuhan kebutuhan publik dan dicapai efektif melalui usaha kolaboratif. 5. Recognize that accountability not simple, dalam perspektif ini abdi masyarakat harus mematuhi peraturan perundang-undangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara. 6. Serve rather than steer, pejabat publik membantu masyarakat mengartikulasikan apa yang menjadi kepentingan bersama daripada mengendalikan atau mengarahkan publik. 7. Value people, not just productivity, organisasi publik akan berhasil secara jangka panjang bila bekerja secara kolaboratif dan berdasarkan kepemimpinan kolektif dengan menghargai semua masyarakat. Sebagai bagian masyarakat dunia pada prinsipnya administrasi negara di Indonesia juga mengalami perkembangan dan pergeseran paradigma mengikuti fenomena global. Dalam konteks kekinian, praktek administrasi negara telah mengarah pada prinsip-prinsip paradigma new public service. Pada paradigma new public service ini komponen terpenting yang harus diperhatikan adalah adanya program dan standarisasi. Program dan standarisasi kelembagaan yang terkelola secara kolaboratif dengan masyarakat dan tentunya tetap menempatkan masyarakat sebagai warga negara Thoha, 2008: 32. Ratminto 2006 mengemukakan strategi sebagai cara mencapai tujuan dan sasaran orga nisasi yang dijabarkan ke dalam kebijakan dan program. Strategi merupakan faktor penting proses perencanaan stratejik, sebab strategi merupakan renca na menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan tujuan dan sasaran dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya organisasi dan keadaan lingkungan. Penjabaran pertama strategi adalah kebijakan, yaitu ketentuan yang ditetapkan menjadi pedoman, pegangan atau petunjuk dalam pelaksanaan program dan kegiatan, guna kelancaran dan keterpaduan dalam perwujudan sasaran, tujuan, dan misi organisasi. Strategi 178 179 erat kaitannya dengan program, yaitu kumpulan kegiatan sistematis dan terpadu untuk menda- patkan hasil yang diIaksanakan instansi pemerintah guna men capai sasaran tertentu sesuai indikator sasaran yang telah ditetapkan. Strategi pada penelitian ini adalah strategi yang dijalankan lembaga pemerintah dalam penanganan program keluarga berencana. Standar adalah tingkat minimum yang jika dicapai kemungkinan besar akan menimbulkan kepuasan bagi pelangganmasyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesiikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Schroeder dalam Ratminto, 2006 : 28 menegaskan standar dalam pelayanan publik akan memberikan manfaat mengurangi variasi proses, memenuhi persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Standar menjamin keselamatan pemakai layanan dan petugas penyedia pelayanan. Dengan dikuranginya variasi pelayanan akan meningkatkan konsistensi pelayanan publik, mengurangi terjadinya kesalahan, meningkatkan eisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan. Dikenal tiga jenis standar Donabedian dalam ratminto, 2006 : 31, yaitu: Pertama, standar struktur, yang meliputi sumberdaya manusia, uang, material, peralatan, dan mesin; Kedua, standar proses yang merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan, dan Ketiga, standar hasil yang merupakan hasil outcome yang diharapkan. Burill dan Ledolter membedakan standar menjadi dua, yaitu: Pertama, standar eksternal merupakan standar yang disusun oleh pihak di luar organisasi pelayanan, dan kedua, standar internal yang disusun sendiri oleh organisasi pelayanan dengan dasar bukti, referensi, dan kondisi organisasi. Sedangkan, proses penyusunan standar meliputi empat langkah utama, yaitu: menentukan kebutuhan dan lingkup standar, menyusun standar, menerapkan standar, evaluasi dan pembaharuan updating standar. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 pasal 1 ayat 6 mendeinisikan Standar Pelayanan Minimal sebagai mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diterima setiap warga secara minimal. Pengertian SPM mengacu Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 yang menegaskan setiap jenis pelayanan harus jelas tolok ukurnya yang disebut dengan indikator SPM. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian SPM. Indikator tersebut berupa masukan, proses, keluaran, hasil dan atau manfaat pelayanan dasar. Tiap indikator harus jelas standar capaiannya threshold yang dalam Permendagri disebut nilai Hakim, 2011 : 24.Standar Pelayanan Minimal merupakan janji satuan kerja dalam menyediakan pelayanan wajib kepada masyarakat yang dilayani. Standar pelayanan minimal dari seluruh SKPD dan satuan kerja yang memberikan pelayanan publik menjadi indikator tolok ukur yang disusun sejalan rencana pembangunan jangka menengah daerah RPJMD dan rencana stratejik daerah yang merupakan janji kinerja pemerintah daerah terhadap masyarakat yang ada di wilayah kerja. Pemerintah Daerah berdasarkan standar pelayanan minimal mengupayakan sumber daya dan fasilitasi proses pelayanan satuan kerja agar standar pelayanan minimal yang dijanjikan dapat dipenuhi Thoha, 2008 : 71.

E. Hasil Penelitian