Kendala dan Solusi Implementasi Program Pengembangan Kecamatan di Kabupaten Pertumbuhan kentang bibit di lapang Produktivitas kentang bibit G1

86 87 Tentunya modal usaha yang lebih besar dari Rp 1.000.000 kepada setiap anggota sangat diperlukan, karena akan dapat memperbesar usaha mereka. Apalagi akhir-akhir ini harga-harga melambung naik, sehingga modal usaha Rp 1.000.000 sangatlah kecil nilainya. Karenanya, di tahun-tahun mendatang pengelola PPK hendaknyaa memperbesar dana bergulir untuk setiap anggota SPP, sehingga usaha produktif yang dibuat dan dikembangkan menjadi lebih besar, volume produksi menjadi lebih besar, dan tambahan pendapatan yang diperoleh juga lebih besar. Seiring dengan perjalanan waktu maka kemiskinan perempuan dapat dientaskan, sehingga perempuan hidupnya lebih sejahtera.

3.4 Kendala dan Solusi Implementasi Program Pengembangan Kecamatan PPK di Provinsi Bali

a. Kendala dan Solusi Implementasi Program Pengembangan Kecamatan PPK di

Kabupaten Buleleng Bidang Sarana Prasarana Dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, PPK berjalan sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang ada. Semua usulan yang terdanai oleh PNPM harus dipelihara sehingga dibentuk Tim Pemelihara dan diberikan pelatihan. Namun kendala yang masih terjadi antara lain, kebanyakan Tim Pemelihara yang dibentuk di desa tidak berfungsi secara optimal. Selain itu bangunan pasar yang dibangun tidak cukup untuk menampung semua pedagang. Solusi yang ditempuh terkait dengan kendala tersebut yaitu perlu adanya sosialisasi manfaat dari pemeliharaan sarana prasarana yang sudah dibangun oleh masyarakat di desa yang berjenjang dari Kabupaten, Kecamatan dan Desa. Bidang Pendidikan Beberapa kendala dalam bidang pendidikan yang masih dijumpai antara lain adalah pengadaan alat-alat pendidikan yang masih terbatas, kendala dalam hal administrasi terutama dalam pendataan penduduk yang layak mendapatkan beasiswa tidak terjangkau secara maksimal sehinga masih ada pemanfaat program yang tidak terdaftar padahal mereka berasal dari rumah tangga miskin yang sebenarnya layak untuk memperoleh beasiswa. Serta keberlanjutan pelatihan keterampilan yang tidak dijalankan ke jenjang yang lebih tinggi. Solusi yang ditempuh terkait dengan permasalahan yang muncul antara lain, memfasilitasi agar pelaku-pelaku di desa mampu dan bisa menciptakan dan mengerjakan sendiri pengadaan alat-alat pendidikan tersebut sehingga tidak harus mendatangkan dari luar daerah. Berkoordinasi dengan pelaku di desa dan kecamatan agar lebih selektif dalam pendataan siswa yang berhak untuk mendapatkan beasiswa, serta berkonsultasi, berkoordinasi dan mendampingi peserta yang sudah dilatih untuk mentransfer hasil pelatihan yang diikutinya kepada masyarakat yang belum terlatih. Bidang Kesehatan Kendala yang terjadi dalam bidang kesehatan sering kali dalam hal administrasi. Seperti dalam pendataan dari desa untuk kegiatan posyandu masih ada balita yang tidak terdaftar sebagai pemanfaat program. Solusi yang ditempuh adalah melakukan pendampingan dan koordinasi terhadap pelaku-pelaku di tingkat desa dalam pendataan bagi pemanfaat posyandu dan sarana pendukung lainnya. Bidang Kegiatan Ekonomi Kendala yang dihadapi dalam bidang Kegiatan Ekonomi khususnya Simpan Pinjam Perempuan adalah masih adanya tunggakan dan kemacetan kredit pada anggota, ketua kelompok maupun pelaku-pelaku program di tingkat Desa atau Kecamatan. Solusi yang ditempuh dengan memfasilitasi dan mendampingi kelompok-kelompok peminjam Simpan Pinjam Perempuan tersebut.

b. Kendala dan Solusi Implementasi Program Pengembangan Kecamatan di Kabupaten

Bangli Bidang Sarana Prasarana Tidak ada kendala serius yang dihadapi dalam implementasi program di masyarakat karena sebelum program dijalankan, semua usulan yang berasal dari masyarakat desa dimusyawarahkan untuk disetujui dan kemudian dilaksanakan. Kendala yang dihadapi hanya pada keterlambatan pelaksanaan di lapangan terkait upacara adat, serta kendala administrasi seperti belum turunnya dana PPK untuk implementasi program tersebut. Solusi yang ditempuh dengan menjadwalkan kegiatan implementasi di hari yang cocok atau sesuai dengan waktu luang masyarakat. Dana yang belum turun biasanya akan dipakai dana kas atau dana swadaya masyarakat terlebih dahulu. Bidang Pendidikan Sama halnya dalam bidang sarana prasarana, tidak ada kendala serius yang dihadapi dalam implementasi program pendidikan di masyarakat karena sebelum implementasi program dijalankan, semua usulan yang berasal dari masyarakat desa dimusyawarahkan untuk disetujui dan kemudian dilaksanakan. Kendala yang dihadapi hanya pada keterlambatan pelaksanaan di lapangan terkait upacara adat, serta kendala administrasi seperti belum turunnya dana untuk implementasi program tersebut. Solusi yang ditempuh dengan menjadwalkan kegiatan implementasi di hari yang cocok. Dana yang belum turun biasanya akan dipakai dana kas atau dana swadaya masyarakat terlebih dahulu. Bidang Kesehatan Tidak ada kendala serius yang dihadapi dalam implementasi program di masarakat karena sebelum semua program dijalankan, semua usulan yang berasal dari masyarakat desa dimusyawarahkan untuk disetujui dan kemudian dilaksanakan. Kendala yang dihadapi hanya pada keterlambatan pelaksanaan di lapangan terkait upacara adat, serta kendala administrasi seperti belum turunnya dana untuk implementasi program tersebut. Solusi yang ditempuh dengan menjadwalkan kegiatan implementasi di hari yang cocok. Dana yang belum turun biasanya akan dipakai dana kas atau dana swadaya masyarakat terlebih dahulu.

c. Kendala dan Solusi Implementasi Program Pengembangan Kecamatan di Kabupaten

Karangasem Bidang Sarana Prasarana Sampai saat ini belum ada kendala serius yang dialami. Permasalahan yang timbul hanya kekurangan air dan lokasi dari desa ke tempat proyek cukup jauh dan susah dijangkau. Selama ini permasalahan tersebut masih bisa diatasi karena masyarakat selaku yang mengusulkan dan melaksanakan program saling berkomunikasi dengan pihak terkait 88 89 Solusi yang diambil untuk memecahkan kendala tersebut adalah dengan cara membeli air bagi yang kekurangan, dan biaya angkut ditambah untuk menjangkau tempat proyek. Bidang Pendidikan Sampai saat ini belum ada kendala serius yang dialami. Permasalahan yang biasanya timbul seperti terbenturnya dana dari dinas seperti BOS Bantuan Operasional Sekolah dan DBEP yang dirasakan tumpang tindih karena penyaluran bantuan yang diberikan tidak melalui survei, sehingga bantuan yang diberikan kadang belum sesuai dengan yang dibutuhkan. Solusi yang diambil untuk itu adalah dengan melakukan survei ulang demi mengetahui kebutuhan yang memang diperlukan. Bidang Ekonomi Sampai saat ini belum adanya kendala serius yang dialami, hanya ada permasalahan yang biasanya timbul seperti terlalu banyaknya anggota di satu kelompok. Menurut peraturan minimal anggota kelompok adalah 10 orang, dan maksimal 50 orang. Namun dalam implementasinya masih ada kelompok yang beranggotakan lebih dari 50 orang dan enggan untuk pindahmembentuk kelompok baru.

4. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Dampak Fisik Program Pengembangan Kecamatan PPK di Provinsi Bali. Dampak isik kegiatan pengembangan prasarana dan sarana penunjang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan melalui PPK pada tiga kabupaten di Bali selama tahun 2003-2008 yang tercermin dari kontribusinya terhadap pengembangan seluruh unit isik yang ada pada tahun 2008. Kontribusi terhadap seluruh panjang jalan sebesar 16,59, terhadap seluruh unit pasar umum mencapai 27,20, terhadap seluruh unit gedung sekolah sebesar 11,69, dan terhadap seluruh puskesmas adalah 18,43. 2. Dampak Ekonomi Program Pengembangan Kecamatan PPK di Provinsi Bali. Berdasarkan sampel anggota kelompok SPP penerima dana bergulir PPK, dapatlah dijeneralisasi bahwa dampak ekonomi dana bergulir PPK kepada anggota SPP di tiga kabupaten tertinggal adalah positif. Ditunjukkan oleh digunakannya dana bergulir tersebut untuk usaha-usaha ekonomi produktif, adanya pertumbuhan positif dari modal bergulir tersebut, dan diakuinya oleh anggota SPP bahwa dana bergulit tersebut sangat bermanfaat bagi mereka sebagai pemenuhan dari kekurangan modal usaha. Program dana bergulir ini secara tidak langsung akan membantu mengentaskan perempuan dari kemiskinan.

3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam implementasi Program-Program Pengembangan

Kecamatan di Provinsi adalah sebagai berikut: Bidang Sarana dan Prasarana meliputi, 1Tim Pemelihara yang dibentuk dan dilatih tidak berfungsi secara optimal, 2 Sanksi bagi pelanggar tidak diterapkan secara optimal, 3 Tim Pemelihara yang dibentuk dan dilatih tidak berfungsi secara optimal, 4 Cepat rusaknya bak- bak penampungan air, 5 Mampetnya saluran akibat sampah karena kurangnya pemeliharaan saluran irigasi, 6 Bangunan sempit dan tidak rapi dan 7 KK miskin terlalu banyak, sehingga belum semua dapat dibantu dengan PNPM Bidang Pendidikan meliputi, 1 Masih ada pemanfaat program yang tidak terdaftar padahal berasal dari rumah tangga miskin kendala administrasi, 2 Pengadaan alat-alat pendidikan yang terbatas, 3 Tidak ada keberlanjutan pelatihan keterampilan, 4 Pengadaan alat-alat pendidikan yang terbatas, 5 Tidak ada keberlanjutan pelatihan keterampilan. Bidang Kesehatan meliputi, 1 Masalah pendataan, dan 2 Sarana kesehatan yang sudah dibangun tidak dimanfaatkan dengan baik. Bidang Ekonomi, meliputi, 1 Masih ada tunggakan dan kemacetan yang terjadi, bisa pada anggota, ketua kelompok dan pelaku –pelaku program di tingkat desa atau kecamatan. 2 Masih ada tunggakan dan kemacetan yang terjadi dalam proses simpan pinjam terutama dari para anggota serta administrasi yang kurang lengkap dari kelompok simpan pinjam tersebut.

5. Rekomendasi

1 Di tahun-tahun mendatang pengelola PPK hendaknyaa memperbesar dana bergulir untuk setiap anggota Simpan Pinjam Perempuan SPP, sehingga usaha produktif yang dibuat dan dikembangkan menjadi lebih besar, volume produksi menjadi lebih besar, dan tambahan pendapatan yang diperoleh juga lebih besar, sehingg semakin mempercepat pengentasan kemiskinan keluarga-keluarga kaum perempuan pedesaan. 2 Pembentukan kelompok-kelompok SPP hendaknya diperbanyak dan diperluas, sehingga program SPP semakin luas mancakup masyarakat pedesaan. 3 Pemberdayaan masyarakat dengan Pola PPK atau dikenal juga dengan istilah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan PNPM-MP hendaknya dilanjutkan, karena program-programnya di bidang sasara-prasarana isik, bidang pendidikan, bidang kesehatan dan bidang ekonomi menimbulkan dampak positif bagi masyarakat pedesaan, sehingga secara tidak langsung telah mampu mengurangi kemiskinan di daerah pedesaan.

6. Ucapan Terima Kasih

Ucapan terimaksih kami samapaikan kepada Universitas Udayana melalui LPPM Universitas Udayanan yang telah mendanai penelitian ini melalui DIPA Universitas Udayana Tahun 2009 dengan Nomor:0229.0023-04.2XX2009. Judul Asli Dari Penelitian Ini Adalah Monitoring Dan Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di Propinvi Bali. Dalam kesempatan ini kami hanya menyajikan sebagian dari hasil penelitian tersebut. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi membantu terlaksananya kegiatan ini kami sampaikan pernghargaan dan ucapan terima kasih.

7. Daftar Pustaka

[1] Anonim. 2007. Cara Kerja Program Pengembangan Kecamatan PPK. Dalam Website google.com: Cara Kerja PPK. [2] Gittinger, JP. 1997. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian Edisi Kedua. CI ess. Jakarta. [3] Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomis. Edisi Dua. Lembaga Perbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. [4] Kompas 14 Juni 2005. Data Kemiskinan 2000-2004. Penerbit PT Gramedia Media Utama, Jakarta. [5] Kompas 10 Januari 2009. PNPM Mandiri Serap 41 Juta Tenagakerja. Penerbit PT Gramedia Media Utama, Jakarta. [6] Royat, Sojana. 2007. Pemerintah Luncurkan Program Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Website google: Program Pengembangan Kecamatan. [7] Tjakrawiralaksana. 1986. Ilmu Usahatani. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [8] Wie, Thee Kian Penyunting. 1983. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Beberapa Pendekatan Alternatif. LP3ES, jakarta. [9] Yotopoulos, P.A. and J.B. Nugent. 1976. ’Economics of Development Emperical Investigation’. Harper Row Publisher, New York. 90 91 Persembahan Budaya Subak Untuk Kebudayaan Dunia Melalui Pemberdayaan Petani Wayan Windia 1 1 Fakultas Pertanian, Universitas Udayana E-mail: wayanwindiaymail.com Abstrak Sistem irigasi subak di Bali telah diakui dunia. Peristiwa bersejarah itu tercatat, sejak sistem subak ditetapkan oleh UNESCO, sebagai Warisan Budaya Dunia WBD. Peristiwa itu terjadi di Pittsburg, Rusia pada tgl. 29 Juni 2012. Secara resmi pengakuan UNESCO terhadap subak disebutkan sebagai Cultural Landscape of Bali Province, Subak as Manifestation of Tri Hita Karana Philosophy. Pengakuan UNESCO itu mencerminkan beberapa hal. Yakni pengakuan terhadap i eksistensi lembaga subak, ii sistem subak yang menerapkan konsep Tri Hita Karana THK, dan iii lanskap yang hadir di Bali dalam bentuk persawahan-subak, adalah lanskap yang berisikan muatan aktivitas budaya. Sejak berabad-abad yl, secara faktual kita telah menerima berbagai teknologi dari belahan dunia lain. Tetapi kini dunia mengakui, bahwa kita telah memberi kepada belahan dunia lain, dalam bentuk kebudayaan. Masalahnya adalah bagaimana kita harus dapat menjaga kepercayaan dunia ini, agar subak dapat abadi dan berlanjut sepanjang masa. Karena subak tidak saja menghadirkan kawasan sawah yang menghaasilkan bahan makanan untuk umat manusia, tetapi kini subak juga diakui sebagai lembaga menghadirkan nilai-nilai kebudayaan. Tampaknya subak adalah sebagai lembaga yang bermanfaat untuk kepentingan jasmani dan rohani manusia, atau untuk kepentingan lahir-bathin. Kita tidak boleh silau pada kemajuan teknologi semata, yang kini sedang melanda dunia. Pada saat perkembangan teknologi terjadi sangat cepat, maka manusia merasa kewalahan untuk menerima dan mengantisipasinya. Maka kini kita dengar mulai banyak muncul wacana tentang pentingnya kebudayaan bagi umat manusia, khususnya kebudayaan lokal. Mulai disadari bahwa kebudayaan sangat penting maknanya sebagai landasan pembangunan. Hal ini secara emperik telah dibuktikan dalam proses kebangkitan Eropa. Buwono X 2012 mencatat bahwa kebangkitan Eropa dimulai dengan adanya proses revitalisasi kebudayaan pada Abad ke-12-13. Peranan kebudayaan dinilai sangat penting dalam proses kebangkitan Eropa. Revitalisasi kebudayaan diikuti dengan adanya renaisans pada Abad ke-14 -17, revolusi sains pada Abad ke-16-17, dan dilanjutkan dengan adanya revolusi industri pada abad ke-18-19. Hingga kini negara Barat tetap eksis dengan pembangunan industri dan teknologinya, yang menguasai dunia. Memang diakui bahwa kekuatan Barat adalah karena kemajuan ilmu pengetahuan, seni, ilsafat, dan sastranya. Namun modernitas yang terjadi di Barat kini telah kehabisan tenaga, dan karenanya kita perlu kembali ke-paradigma kebudayaan. Dalam konteks inilah, maka nilai-nilai budaya yang tercermin dalam sistem subak, perlu dipersembahkan pada tatanan nasional dan dunia. Inilah persembahan maha penting dari sistem subak yang diusung oleh kaum tani yang justru terpinggirkan, yakni kepada kepada bangsanya dan dunia. Agar subak dapat tetap mempersembahkan nilai-nilai budayanya, maka subak memerlukan berbagai tindakan yang strategis berupa kebijakan protektif dan subsidif, untuk melawan “musuh-musuh”nya yakni berbagai resiko dan ketidak-pastian, dalam kehidupan ber-usahatani. Pemberdayaan petani dan usahatani sangat penting artinya, agar budaya subak semakin kuat, dan tetap dapat berperan dalam proses pembangunan bangsa. Disamping itu, budaya subak yang semakin kuat, dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya.

1. Pendahuluan Terbentuknya Subak

Dalam bahasan sebelumnya telah disinggung tentang persembahan nilai-nilai subak kepada bangsa dan dunia. Nilai-nilai subak tampaknya tak bisa dilepaskan dari proses terbentuknya sistem subak di Bali. Karena terbentuknya sistem subak di Bali melalui proses yang berat, memerlukan kerja keras, harmoni, dan kebersamaan. Tanpa didasari oleh nilai-nilai tersebut, maka akan sulit terbentuknya subak di Bali. Tercatat bahwa terbentuknya sawah dan subak di Bali didahului dengan merabas hutan, ikut campurnya peranan kerajaan, dan kemudian menyesuaikannya dengan tradisi dan budaya lokal setempat, diantaranya dengan membangun pura subak di kawasan subak. Semuanya itu dilaksanakan demi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya kaum petani. Alkisah, pada akhir awal Abad ke-10 terjadi bencana dahsyat di Jawa, sebagai akibat meletusnya Gunung Merapi. Penduduk melakukan eksodus ke arah timur, diantaranya dipimpin oleh Mpu Sendok yang kemudian mendirikan Kerajaan Kahuripan. Kerajaan ini dibangun di hulu Sungai Berantas, sekitar kaki Gunung Semeru. Di pihak lain, karena adanya pewisik, maka satu rombongan lainnya dipimpin oleh Raja Sri Kesari Warmadewa atau Sri Ugrasena Warmadewa, menuju Sanur Bali. Beliau didampingi oleh seorang bagawanta, yakni Rsi Markandya. Sutedja, 2006. Selanjutnya, sebagai pertanda bahwa Warmadewa telah menguasai Bali, ditandai dengan adanya Prasasti Belanjong, tahun 913, yang menyebut-nyebut tentang kawasan darat, diantaranya menyebut kata Walidwipa. Dengan menyebut kata Walidwipa Pulau Bali, maka hal itu dianggap sebagai pertanda bahwa pada saat itu Warmadewa telah mengalahkan musuh-musuhnya dan menguasai Pulau Bali. Patut dicatat penetapan sebuah prasasti adalah merupakan perlambang dari sebuah kemenangan Astra, 1997, dalam Ardana, dkk, 2012. Setelah mengalami proses panjang dalam sejarah raja-raja di Bali, maka akhirnya muncul berbagai prasasti yang menyebut kata sawah sawah, parlak atau mal ladang, dan kebwan kebun. Prasasti itu muncul dalam masa pemerintahan Raja Udayana 989-1011 Ardana, dkk, 2012. Namun kata subak mulai muncul dalam Prasasti Pandak Bandung, tahun 1071. Sementara itu, patut dicatat pula bahwa bercocok tanam dengan sistem pengairan yang teratur telah diyakini ada beberapa abad sebelumnya, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Sukawana tahun 882 dan Prasasti Bebetin tahun 896. Selanjutnya, pembuatan trowongan telah dikenal di Bali pada tahun 896 Purwita, 1993. Sementara itu Purwita 1993 juga menyebutkan bahwa Rsi Markandya adalah adik kandung dari Rsi Trinawindhu, yang hidup pada zaman Kerajaan Kediri, Jawa Timur. Berkait dengan cerita itu, Rsi Markandya disebutkan datang ke Bali pada Abad ke 12-13. Kalau keterangan ini benar, maka Rsi Markandya yang dikenal sebagai arsitek pembangunan sawah dan subak di Bali, harus mungkin bolak-balik Jawa-Bali, pada Abad ke 10-13 catatan : ada banyak wacana yang menyatakan bahwa umur manusia pada zaman itu, sangat panjang. Tidak seperti zaman sekarang, di mana umur manusia maksimal 100 tahun. Tentu juga dapat dibayangkan betapa susahnya membangun sawah dan subak di Bali. Karena masyarakat harus merabas hutan, membangun trowongan, dll. Diperlukan komitmen, kerja keras, disiplin, bahkan mungkin tetesan darah, air mata, dan tentu saja tetesan keringat. Demikianlah pembentukan subak di Bali memerlukan campur tangan para resi, raja, pemuka masyarakat, para ahli di bidangnya, dan tentu saja rakyat setempat. Dimulai dengan hamparan lahan yang sempit, dan kemudian berkembang sesuai dengan ketersediaan sumber air irigasi Lansing, 2006. Nilai-nilai yang lahir dari terbentuknya subak, adalah dari proses struktural, dan spiritual. Oleh karenanya, terbangunlah hamparan sawah dengan pura-nya, yang dikelola oleh petani. Inilah embrio nilai-nilai yang ada pada subak, yang kini dikenal dengan Tri Hita Karana. Yakni sebuah nilai yang menjaga harmoni antara manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya, dan dengan alam lingkungannya. 92 93

2. Persembahan Nilai Subak

Nilai adalah sesuatu yang dianggap berharga, dan kemudian dapat menjadi pegangan hidup pada masa depan. Nilai-nilai harmoni dan kebersamaan yang diterapkan subak, yang dikenal sebagai THK, pada dasarnya adalah nilai universal bagi semua umat manusia. Disamping itu, nilai- nilai tersebut sangat penting untuk pegangan hidup dan masa depan umat manusia di dunia. Semua umat manusia dari semua suku, agama, dan ras tampaknya pasti bisa menerima konsep harmoni dan kebersamaan THK tsb. Namun hanya di Bali ada lembaga subak yang secara jelas menerapkan konsep THK itu dalam kegiatan kelembagaannya Arif, 1999. Oleh karenanya, berhubung dengan pengalaman subak di Bali dalam menerapkan THK, maka subak perlu mempersembahkan kembali pengalaman menerapkan THK itu kepada bangsa dan dunia. Demi dunia yang aman, damai, dan sejahtera. Kalau saat ini Bangsa Indonesia dan juga dunia masih penuh dengan konlik sosial, maka hal itu bermakna bahwa kita masih belum menerapkan konsep THK dengan baik dan benar, seperti halnya yang dilakukan sistem subak di Bali. Subak di Bali menerapkan THK yang dibuktikan antara lain dengan i membangun sawah dengan tetap memperhatikan kontur tanah, meskipun petak sawahnya harus menjadi sempit, serta membangun komplek sawah dengan sistem satu inlet dan satu outlet komponen palemahan , ii adanya aturanawig-awig, dan mengijinkan saling pinjam air irigasi antar subak dan antar petani komponen pawongan, dan iii dibangunnya pura subak pada setiap subak, yang digunakan untuk kegiatan persembahanupacara ritual komponen parhyangan. Jadi, kata kunci dari penerapan THK adalah pembuktian dalam berbagai kegiatan di lapangan. Kalau persembahan nilai-nilai budaya subak dalam bentuk THK dapat dipahami, diterima, dan diterapkan pada level nasional dan dunia, maka konlik horizontal dan vertikal akan dapat dicegah dan dihindari. Wibawarta 2012 menyatakan bahwa meningkatnya sinergi antar budaya akan dapat mereduksi konlik, dan lanjut akan dapat berdampak positif pada perekonomian. Nilai-nilai budaya akan dapat menjadi titik singgung dengan kebudayaan lain di tingkat nasional dan global. Akhirnya diharapkan titik singgung itulah yang akan menjadi perekat dalam proses interaksi sosial. Proses globalisasi akan sangat memungkinkan adanya saling silang budaya. Dalam proses itu, maka yang dapat berperan global adalah nilai-nilai yang sifatnya lentur, dan golongan yang pemilik budaya haruslah memiliki identitas yang kuat. Kedua komponen itu tampaknya dimiliki oleh sistem subak yang menerapkan konsep THK. Demikianlah, dalam proses persembahan nilai THK subak kepada bangsa dan dunia akan mungkin terjadi proses akulturasi persentuhan dua nilai budaya yang menghasilkan nilai budaya yang baru dan assimilasi persentuhan dua nilai buaya yang tidak menghasilkan nilai budaya baru. Apapun yang terjadi, namun yang paling penting adalah bahwa nilai-nilai THK yang intinya adalah harmoni dan kebersamaan dapat terwujud. Dengan demikian konlik sosial yang kini banyak terjadi di muka bumi akan dapat diselesaikan dengan optimal. Sejatinya, hal inilah makna yang paling hakiki dari pengkuan UNESCO terhadap subak di Bali. Bahwa Bali perlu mempersembahkan nilai kearifan lokalnya yang ada pada subak kepada bangsa dan dunia. Subak yang menerapkan THK dapat disebut sebagai suatu kearifan lokal, karena berbagai aktivitas yang dilakukan subak dalam sistemnya telah mampu menjawab berbagai persoalan dalam kehidupan mereka. Kalau penerapan THK di subak sudah terbukti mampu menyelesaikan masalah, lalu kenapa tidak diterapkan di tingkat nasional dan dunia? Untuk itu sangat diperlukan adanya diplomasi kebudayaan yang intensif. Beberapa rombongan tamu asing yang mengunjungi subak dan belajar tentang subak terlihat sangat mengagumi ilosoi yang diterapkan oleh subak. Diharapkan dengan kedatangan mereka mempelajari subak akan dapat merangsang nurani mereka, sehingga bisa terjadi proses assimilasi dan akulturasi nilai budaya subak. Sementara itu, pembangunan nasional dan daerah sangat perlu memperhatikan dan memelihara kearifan local yang sedang berkembang. Dengan demikian masyarakat setempat tidak tercabut dari akar budayanya. Dalam konteks ini, sistem subak yang sudah diakui sebagai WBD haruslah dijamin eksistensinya agar dapat eksis sepanjang massa. Dengan demikian subak dan nilai-nilainya akan tetap menjadi “api” dalam proses pembudayaan enkulturasi umat manusia. Ukuran keberhasilan dalam konsep enkulturasi adalah perubahan prilaku. Prilaku manusia harus dapat berubah dalam konteks persembahan nilai subak bagi bangsa dan dunia. Hanya demikianlah akan terjadi harmoni dan kebersamaan di dunia, sebagimana halnya subak dapat memecahkan masalah-masalahnya sendiri. Kalau subak sudah mampu mempersembahkan nilai harmoni dan kebersamaan Tri Hita Karana, maka imbalannya adalah agar subak dan petani perlu terus eksis dan sejahtera. Inti hakiki dalam proses globalisasai adalah untuk membangun harmoni dan kebersamaan di jagat raya ini. Diantaranya memberantas penyakit secara bersama, membangun pendidikan secara bersama, dll. Namun globalisasi telah salah arah, di mana berkembang menjadi alat kapitalis dan libralisasi, yang memicu jurang sosial-ekonomi diantara penduduk. Jurang perbedaan inilah yang memicu konlik sosial. Karenanya, dengan persembahan THK subak, diharapkan manusia bisa terbangun kembali kesadarannya tentang manusia yang satu sebagai ciptaan Tuhan. Oleh karenanya harus dikembangkan harmoni dan kebersamaan.

3. Mengembangkan Ke-Khas-An Lokal

Dalam era globalisasi saat ini, setiap daerah tampaknya berlomba untuk mengembangkan ke-khas-an lokalnya. Kemudian berusaha untuk disumbangkan untuk kepentingan nasional dan internasional. Kegiatan ini tidak saja akan dapat memberikan keuntungan ekonomi, tetapi juga sebagai sebuah kebanggaan nurani bagi daerah ybs. Buwono X 2012 kini sedang berusaha menggali dan mengembangkan modal sejarah pendidikan di Yogyakarta, dengan tujuan untuk bisa bermanfaat bagi kepentingan Yogyakarta, bangsa dan negara, serta dunia. Yogyakarta kini sedang menggali modal sosial sistem pendidikan keraton, pendidikan Muhammadiyah, pendidikan Tamansiswa, pendidikan pesantren, dan pendidikan Barat. Kemudian akan dilaksanakan konvergensi sintese, dan selanjutnya diharapkan akan bermanfaat bagi bangsa dan dunia. Yogya yang dikenal karena pendidikannya diharapkan akan tetap berkembang sebagai daerah pendidikan, yang akan membawa manfaat bagi penduduknya. Patut dicatat bahwa Yogyakarta saat ini sedang menggali dan akan memanfaatnya modal sosial pendidikannya, dan akan mempersembahkan kepada bangsa dan dunia. Untuk itu, Bali penting juga untuk menggali modal sosial budayanya, untuk kepentingan pembangunan ekonomi daerah Bali, dan juga untuk kepentingan bangsa dan dunia. Potensi modal sosial budaya ada di Bali. Bahkan sudah diterapkan oleh sistem subak. Untuk itu pembangunan yang dilaksanakan di Bali tidak hanya harus pembangunan isik dan ekonomi, tetapi juga harus dilaksanakan pembangunan kebudayaan. Hal ini semakin perlu di tengah-tengah masyarakat yang dilanda perkembangan teknologi dan kondisi interaksi global. Di mana masyarakat menjadi kapitalistik, hedonis, dll. Apa yang dilaksanakan Yogya dan Bali dalam rangka mengembangkan kearifan lokalnya adalah seirama dengan wacana yang berkait dengan proses globalisasi tsb. Bahwa globalisasi akan merangsang pengembangan pemikiran kearifan lokal yang perlu diperkokoh secara terus menerus. Hal ini perlu terjadi dan dilaksanakan agar kita tidak tergerus oleh arus globalisasi tsb. Demikianlah, kehidupan akan terus mengalami transformasi sesuai dengan tantangan zamannya. Ki Hadjar Dewantara 2012 jauh-jauh hari sudah menyatakan bahwa pergantian alam, keadaan zaman, dan keadaan masyarakat akan membawa perubahan pada cara hidup dan penghidupan masyarakat. Oleh karenanyalah maka kearifan lokal yang kini sedang dimiliki oleh suku-suku bangsa perlu dikembangkan terus, agar bermanfaat bagi bangsa dan dunia. Dalam bahasan di atas disebutkan bahwa pengembangan modal pendidikan dan juga modal sosial tidak terlepas dari tujuan ekonomi. 94 95 Oleh karenanya petani dan subak perlu tetap eksis dan sejahtera. Tentu saja dengan berbagai program pemerintah.

4. Akulturasi, Multikultur, Dan Pluralisme

Persembahan nilai-nilai subak dalam bentuk THK kepada bangsa dan dunia bukanlah tanpa alasan. Budaya memang akan selalu melakukan persentuhan, dan memungkinkan adanya akulturasi, yakni munculnya budaya baru sebagai akibat persentuhan tsb. Kebudayaan memang sangat transformatif, dan selalu berkembang sesuai kelompok manusia yang mendukungnya. Joesoef 2012 menyebutkan bahwa kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati oleh kelompok manusia yang mengembangkannya. Ide-ide besar tak akan pernah muncul dari sebuah kebudayaan yang tua. Harmoni dan kebersamaan THK sebagai nilai hakiki dari budaya subak, yang dalam persentuhannya mengalami akulturasi yang luwes dan dinamis, akan menyebabkan terjadinya multikultur dan masyarakat majemuk plural. Multikultur dan masyarakat plural sebagai akulturasi dari THK harus dikembangkan di Indonesia dan di dunia, sebagai bahan perekat untuk persatuan dan kesatuan. Dalam sejarah masyarakat dan bangsa di dunia, ternyata masyarakat dan bangsa itu bisa rapuh, karena tidak ditopang oleh kebudayaan. Dengan demikian diyakini bahwa kalau nilai budaya THK mampu mengalami proses akulturasi, maka problema yang menciptakan komlik yang abadi di dunia dan di Negara kita akan dapat diatasi. Kebudayaan atau budaya lokal tak boleh hilang. Oleh karenanya harus terus dipelihara. Tilaar 2012 menyebutkan bahwa bangsa yang kehilangan kebudayaannya akan kehilangan identitas, dan kemudian akan hanyut dalam perubahan global yang tanpa jiwa. Bahkan disebutkan bahwa kearifan lokal akan dapat menginspirasi perubahan global. Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena kebudayaan adalah kekuatan yang bersifat soft power. Kekuatan yang berupa soft power mengandung nilai-nilai, budaya, dan kebijakan lembaga, yang berhasil ditransfer ke luar batas negara. Oleh karenanya, dalam konteks pengaruh kekuatan soft power, maka pemerintah harus melakukan diplomasi publik, diplomasi bilateral, dan diplomasi multilateral Nye, 2004 dalam Wibawarta, 2012. Dalam posisi Bali yang harus mampu “memberi” kepada dunia, maka melalui kekuatan dan nilai yang dimiliki subak yang sudah teruji secara empirik, maka perlu ada diplomasi kebudayaan di satu pihak, dan memperkuatmemberdayakan subak di Bali di lain pihak. Untuk itu diperlukan juga kemampuan soft skill intra dan inter personal skill dari kalangan pelaku diplomasi. Dengan demikian diharapkan nilai-nilai subak yakni THK harmoni dan kebersamaan dapat mengalami proses akulturasi, dan kemudian menghasilkan multikultur dan masyarakat mejemuk yang kokoh sebagai penunjang peradaban bangsa-bangsa. Adapun proses akulturasi dan multikulturplural, dapat digambarkan sesuai Gambar1. Gambar 1. Proses persembahan budaya subak untuk budaya nasional dan dunia. Gambar 1 di atas menunjukkan bagaimana budaya subak dapat memberikan sumbangan bagi kebudayaan nasional dan internasional. Sumber inspirasinya adalah petani dan subak. Oleh karenanya petani dan subak tak boleh hilang dari peradaban dunia. Petani dan subak harus mendapatkan perhatian, subsidi, dan juga proteksi, agar elemen masyarakat ini dapat tetap eksis. Untuk itu kesejahteraan petani dan eksistensi sistem subak sangat perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Secara teoritis sistem subak dapat ditransformasi Windia, 2006, dan lembaga subak yang wataknya sosio kultural pada dasarnya mampu beradaptasi dalam bidang ekonomi Sedana dan Windia, 2012.

5. Pemberdayaan Petani Dalam Sistem Subak

Di atas telah dibahas tentang sumbangan sistem subak bagi kebudayaan. Oleh karenanya subak harus mendapatkan perhatian yang baik. Perhatian kepada subak berarti perhatian kepada petani. Tanpa ada petani yang berdaya, maka tidak ada subak yang eksis dengan baik. Namun saat ini permasalahan yang dihadapi petani dan subak sangat komplek. Sutawan mencatat permasalahan petani dan subak sebagai berikut. Sutawan 2005 mencatat tantangan dari keberlanjutan sistem subak dewasa ini, disebabkan karena hal-hal sebagai berikut. 1. Tantanganancaman yang langsung atau tidak langsung bersumber dari pariwisata Bali. Hal ini tercermin dari i semakin menurunnya minat pemuda untuk menjadi petani; ii menciutnya lahan sawah karena adanya alih fungsi lahan; iii pencemaran air sungai dan air pada saluran air irigasi. 2. Tantanganancaman akibat berbagai dampak negatif revolusi hijau. Hal ini tercermin dari i hilangnya berbagai varitas padi lokal, yang berarti hilangnya kearifan lokal; ii pencemaran 96 97 lingkungan; iii terancamnya keanekaragaman hayati di lahan sawah; iv menurunnya kesehatan petani dan masyarakat sebagai adanya keracunan dari proses penggunaan pestisida. 3. Libralisasi perdagangan dan investasi di bidang pertanian. Hal ini tercermin dari i membanjirnya produk pertanian masuk ke Bali, dan petani Bali kehilangan banyak kesempatan untuk memasok berbagai produk pertanian ke sektor pariwisata khususnya hotel dan restoran internasional; ii petani lokal semakin tidak mampu bersaingan dengan petani di negara asing yang teknologi jauh lebih maju. Dalam hal ini, diperlukan fair trade dan bukan free trade; iii berkembangnya konsep Hak Atas Kepemilikan Intelektual HAKI yang mengancam petani dalam proses penggunaan benih yang mungkin saja ditemukan oleh para pengusaha internasional. 4. Tantanganancaman sebagai akibat perkembangan bioteknologi. Hal ini tercermin dari i adanya dampak negatif terhadap ekosistem; ii hasil rekayasa genetika yang belum tentu aman bagi manusia; iii meningkatnya ketergantungan petani dari rekayasa genetika yang dihasilkan oleh perusahan internasional; iv semakin tergantungnya petani pada obat-obat kimiawi; v membesarnya jurang antara petani kaya dan petani miskin; vi tergusurnya bahan baku alamiah yang dihasilkan oleh petani lokal. Selanjutnya patut dikemukakan bahwa kondisi subak di Bali pada dasarnya sepadan dengan kondisi sistem pertanian di daerah ini. Sebab, landasan dari pembangunan pertanian di Bali adalah subak. Perhatian yang lemah terhadap subak di Bali menyebabkan sistem pertanian menjadi terpuruk, demikian pula sebaliknya. Adapun kajian tentang subak di Bali, dan sekaligus kajian tentang apa yang perlu dilakukan, untuk keberlanjutan sistem subak di Bali, kiranya dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Aspek Pola PikirKonsep Parhyangan. Dalam kaitan ini terlihat belum adanya pola pikir dari pihak pengambil kebijakan yang secara mendasar memihak pada keberlanjutan eksistensi subak dan sektor pertanian pada umumnya. Banyak wacana yang mengkhawatirkan adanya alih fungsi lahan sawah yang sudah berkembang sangat pesat, yakni rata-rata sekitar 750 hatahun Sutawan, 2005. Bahkan dalam data BPS tahun 2010 tercatat bahwa alih fungsi lahan sawah dalam periode tahun 2005-2009, rata-rata lebih dari 1000 hatahun. Dalam kaitan ini tampaknya diperlukan pelaksanaan tata ruang yang tegas sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan menentukan jumlah sawah yang harus ada di Bali sawah abadi, dan dijabarkan dalam setiap kabupatenkota di Bali. Selanjutnya, jumlah sawah minimal yang seharusnya ada di setiap kawasan, diberikan subsidi dan proteksi yang memadai, yang mampu memberikan manfaat yang sebaik-baiknya bagi petani. Misalnya, dengan memberikan subsidi pajak PBB, merubah konsep pajak PBB menjadi pajak hasil-bumi, mendorong pendirian koperasi-tani pada setiap subak cooperative based on subak system, dan bahkan dalam kawasan-kawasan yang dianggap sangat penting, para petani diberikan subsidi input danatau subsidi output. Sejak tahun 2006, semua subak sudah mendapatkan bantuan block grant dari Pemda Bali, masing-masing sebesar Rp.15 juta. Bahkan semakin tahun, bantuannya meningkat. Tahun 2013 bantuan tersebut sudah mencapai Rp. 30 juta per subak. Hal ini adalah sebuah langkah yang sangat baik. Diusulkan agar bantuan ini diarahkan untuk membangun koperasi-tani. Oleh karenanya, diperlukan program pendampingan untuk membangun koperasi tani pada setiap subak. Dalam kaitan ini, kiranya perlu dipertimbangkan agar Perda Subak mengakomodasi perkembangan yang kini sudah terjadi. Misalnya, harus disesuaikan dengan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi. Dalam perda yang baru, perlu pula dicantumkan tentang peranan pemda dalam hal pemberdayaan subak, dan tentang keberadaan sedahan agung yang mandiri pada setiap pemkabpemkot. Disamping itu, perlu dimasukkan peran subak-gde dan subak-agung di Bali dalam pengelolaan irigasi. Sementara itu, perlu mengembangkan peran Pusat Studi Subak PSS. Hal ini penting, kiranya UNUD mampu memberikan sumbangan pemikiran untuk keberlanjutan sistem subak di Bali. Sementara itu, konsep lainnya yang perlu dikembangkan adalah agar kawasan subak dikembangkan dan diberdayakan sebagai kawasan agrowisata. Agrowisata pada dasarnya adalah usaha untuk menempatkan sektor primer pertanian di sektor tersier pariwisata. Dengan demikian sektor pertanian akan lebih maju, dan dapat berlanjut. 2. Aspek Sosial Pawongan. Dalam kaitan ini, dirasakan bahwa subak di Bali sudah kehilangan induknya. Lembaga sedahan agung yang dahulu pernah eksis di Bali, kini sudah kehilangan maknanya untuk membela kepentingan subak. Lembaga sedahan agung seolah-olah sudah menjadi subordinat dari dinas pendapatan daerah dispenda yang ada di setiap kabupatenkota. Bahkan pada beberapa daerah, lembaga sedahan dan sedahan agung sudah dihapuskan. Sementara itu, lemabaga dinas pendapatan daerah tampaknya cendrung lebih berkonsentrasi pada peningkatan pendapatan daerah, dan bukan pada peningkatan eksistensi subak. Banyak kasus-kasus subak di daerah pinggiran kota yang mengalami konlik dengan penduduk sekitarnya. Subak tidak tahu entah kemana harus mengadu, karena memang tidak ada sebuah lembaga yang secara khusus menangani kelembagaan subak Windia, 2005. Kelembagaan subak yang lemah, menyebabkan petani selalu dalam posisi yang terkalahkan. Hal ini adalah salah satu kondisi disamping faktor-faktor lainnya, yang menyebabkan petani sangat enggan untuk bertani, dan kemudian memutuskan untuk menjual sawahnya. Padahal, mereka sebetulnya masih senang hidup sebagai petani, meski dengan segala kekurangannya. Keadaan sektor pertanian yang tersisihkan yang menyebabkan subak menjadi lemah. Selanjutnya dalam beberapa kasus, menyebabkan pimpinan subak pekasehkelian subak menjadi enggan untuk mengurus subaknya. Konlik-konlik kecil yang berkembang dalam subaknya tidak mendapatkan penanganan yang memadai, atau tidak dilaporkan kepada pihak- pihak yang bertanggung jawab. Sementara itu, awig-awig tampaknya tidak terlaksana dengan sebaik-baiknya. Semua bahasan yang disebutkan sebelumnya termasuk kondisi sektor pertanian yang secara umum dapat disebutkan dalam keadaan yang tersisihkan terakumulasi sedemikian rupa, yang akhirnya menyebabkan kalangan muda akhirnya banyak yang enggan untuk terjun ke sektor pertanian. Petani juga enggan anaknya untuk menjadi petani. 3. Aspek ArtefakKebendaan Palemahan. Aspek artefakkebendaan yang paling berkait dengan eksistensi subak adalah kondisi persawahan, air irigasi, dan sarana irigasi yang ada di kawasan persawahan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa kondisi persawahan di Bali sudah compang-camping. Banyak terjadi alih fungsi lahan. Hal ini menyebabkan terjadinya sarana irigasi yang rusak, dan tidak lagi dapat berfungsi secara efektif. Implikasi lainnya adalah iuran yang didapatkan subak menjadi sangat berkurang. Dengan demikian, subak menjadi kewalahan untuk membiayai pelaksanaan upacara keagamaan pada pura yang menjadi tanggung-jawabnya. Dalam kaitan ini, perda tentang subak perlu mengatur masalah ini, agar beban petani anggota subak tidak semakin berat dalam proses pelaksanaan kegiatan upacara di kawasannya. Dalam masalah air irigasi, saat ini petani anggota subak mengalami banyak persaingan, khususnya persaingan dengan kebutuhan air bersih untuk keluarga, dengan pihak industri termasuk sektor pariwisata. 98 99 Banyak sumber air yang dahulu diperuntukkan untuk kepentingan pertanian, kemudian dialihkan untuk kepentingan PDAM, atau untuk kepentingan sektor pariwisata. Kasus seperti ini hampir terjadi di seluruh Bali. Namun yang pernah mencuat di permukaan dan menjadi wacana publik adalah kasus mata air Yeh Gembrong di Kab.Tabanan, yang sebelumnya sepenuhnya untuk kepentingan petani yang mendapatkan air dari Yeh HO, namun kemudian diambil untuk kepentingan PDAM dan pariwisata. Hal yang sepadan terjadi pula di Buleleng, dan Gianyar. Kasus di Gianyar terjadi pada subak di kawasan Kluse, Tegallalang. Di kawasan Ubud, Kab.Gianyar, juga terjadi kasus air irigasi yang sekarang harus digunakan untuk kepentingan rafting, dan tampaknya menjadi tempat pembuangan sampah plastik, botol minuman, dll. oleh hotel-hotel yang dibangun di sepanjang tebing sungai di kawasan Desa Sayan, Payangan, dll. Dalam konteks inilah perlu dibangun dan diberdayakan subak-gde dan subak-agung tersebut, agar subak lebih berdaya untuk memperjuangkan hak- haknya.

6. Penutup

Dari uraian di atas, maka berbagai hal dapat dilaksanakan untuk pemberdayaan petani demi untuk penguatan lembaga dan budaya subak. Pemerintah harus mampu membangun program agar menjadi petani adalah hal yang menguntungkan, berpendapatan yang baik setara dengan sektor lainnya, membanggakan, dan memiliki citra yang tinggi. Adapun hal-hal yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut. No. Aspek Kegiatan Stakeholders 1. Pola PikirKebijakan Implementasi tata ruang wilayah yang tegas, konsisten, dan berkelanjutan. Pemda dan DPRD Perda tentang Subak Abadi Pemda dan DPRD Subsidi penuh pajak PBB, bagi petani yang ber-usahatani. PemkabPemkot dan DPRD Pembentukan Dewan Sumberdaya Air dan Komisi Irigasi, sesuai amanat UU No.7 tahun 2004 dan PP No.20 tahun 2006, tentang Irigasi. Pemda dan DPRD Moratorium pembangunan sarana untuk pengembangan pariwisata. Pemda dan DPRD Pembentukan badan pengelola warisan budaya dunia di Bali, dengan landasan Perda. Pemda dan DPRD Pembentukan forum komunikasi semua stakeholders, pada semua kawasan site yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Pemda,DPRD. 2. Sosial Pengembangan agrowisata di kawasan subak yang relevan. Pemda, organaisasi kalangan pariwisata. Pendampingan dan Pembentukan koperasi tani pada setiap subak di Bali. Pemda, Perguruan Tinggi PT, LSM, Diskop. Pembentukan subakgde dan subakagung. Pemda, Kem-PU, Dis- PU, PT. Revitalisasi lembaga danatau peran lembaga sedahan dan sedahan agung. Pemda dan DPRD Pendampingan untuk pemberdayaan subak Pemda,PT,BPTP, LSM 3. ArtefakKebendaan Hentikan pengambilan air, mata air, sumber air. Pengambilan harus direkomendasi Dewan SDA dan Komisi Irigasi Komir. Pabrik air kemasan, PDAM, hotel, pabrik Hentikan polusi air sungai Hotel, restoran, masyarakat Pengembangan teknologi on farm di lahan sempit Pemda,PT,BPTP. Pengembangan teknologi hulu dan hilir dalam kegiatan usahatani. Pemda, PT,BPTP. Dalam alih fungsi lahan, maka pihak BPN dalam pembuatan sertiikat, tidak mematok saluran irigasi yang ada di kawasan subak. Pemda,BPN, DPRD Air irigasi dan sistem irigasi harus dijamin, khususnya pada subak yang berada di kawasan warisan dunia. Pemda,Kem-PU. Kawasan hutan, dan danau di Bali harus dijamin eksistensinya. Pemda,DPRD, Kemhut.

7. Daftar Pustaka

[1] Ardana, I Gusti Gde; I Wayan Ardika; I Ketut Setiawan.2012. Raja Udayana di Bali, Udayana Univ.Press, Denpasar. [2] Arif, Sigit Supadmo. 1999. Applying philosophy of Tri Hita Karana in design and management of subak irrigation system, dalam A study of subak as indigenous cultural, social, and technological syste, to estbahlish a culturally based integrated water resources management 100 101 Vol.III ed: Sahid Susanto, Fac. of agric.technology, Gadjah Mada University, Yogyakarta. [3] Buwono X, Hamengku. 2012. Menggagas renasians pendidikan berbasis kebudayaan dalam Kebudayaan mendesain masa depan, ed : Swasono, Sri-Edi dan Macaryus, Sudartomo, UST- Press dan Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta. [4] Dewantara, Ki Hadjar. 2012. Demokrasi dan Leiderschap dalam Kebudayaan mendesain masa depan, ed : Swasono, Sri-Edi dan Macaryus, Sudartomo, UST-Press dan Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta. [5] Joesoef, Daoed. 2012. Pendidikan dan kebudayaan dalam Kebudayaan mendesain masa depan, ed : Swasono, Sri-Edi dan Macaryus, Sudartomo, UST-Press dan Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta. [6] Lansing, J. Stephen. 2006. Perfect order recognizing complexity in Bali, Princeton Univ.Press, Princeton and Oxford. [7] Purwita, Ida Bagus Putu. 1993. Kajian sejarah subak di Bali, dalam Subak, sistem irigasi tradisional di Bali ed: I Gde Pitana, Upada Sastra, Denpasar. [8] Sedana, Gde dan Wayan Windia. 2012. Journal of Social Science, Vol.35 No.2, 2012, Chulalongkorn Univ., Sosial Reseach Institute CUSRI, Thailand. [9] Sutawan, Nyoman. 2005. Subak menghadapi tantangan globalisasi, dalam : Revitalisasi subak dalam memasuki era globalisasi , Penerbit Andi, Yogyakarta. [10] Suteja, Wayan Mertha.2006. Dharmayana, leluhur kepurwa bumi kamulan-Amerika, Paramita, Surabaya, [11] Tilaar, HAR. 2012. Kebudayaan kembali ke habitat pendidikan, pendidikan tinggi mau ke mana? dalam Kebudayaan mendesain masa depan, ed : Swasono, Sri-Edi dan Macaryus, Sudartomo, UST-Press dan Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta. [12] Wibawarta, Bambang. 2012. Membangun kearifan nusantara dalam Kebudayaan mendesain masa depan, ed : Swasono, Sri-Edi dan Macaryus, Sudartomo, UST-Press dan Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta. [13] Windia, Wayan. 2005. Rekonstruksi sistem subak menghadapi era globalisasi, dalam : Revitalisasi subak dalam memasuki era globalisasi , Penerbit Andi, Yogyakarta. [14] Windia, Wayan. 2006. Transformaasi sistem irigasi subak yang berlandaskan Tri Hita Karana,Penerbit Bali Post, Denpasar. Status Fisiologi, Kualitas Dan Daya Simpan Daging Babi Sebagai Akibat Penanganan Sebelum Pemotongan Ternak Di Masyarakat I N.Tirta Ariana 1 , Kt.Nuraini 1 , I N.Sumerta Miwada 1 , L.Pt.Sriyani 1 1 Fakultas Peternakan, Universitas Udayana E-mail : tullipajaibyahoo.co.id Abstract This research aims to know the inluence of handling before slaughter, especially the provision of oralit solution for slaughtering delay to the status of physiology, quality and savety meat. Thus, pigs used as many as 48 tail with body weight ±SD 96 ±1.55 kg. The results showed that physiologically, all the pigs on the l is experiencing stress. The slaughtering delay causing a decrease in physical quality of the meat P0.05. In a sample of meat, found microbes with varying quantities, but still on safe limits and logarithmic growth occurred with the amount considerably before 10 hours of storage and decomposing at 18 hours storage at room temperatures 27-29 C. Based on the results of the research, it can be concluded that slaughtering delay truncation causes a decrease in the quality of the meat, the status of physiology, and safe of meat. The provision of G-G solution can reduce the impact of the delay of slaughtering. Overall, the best value is obtained at l 1 g 1 . The initial number of microbes found in the meat for all combinations of treatment there are at the limit of good sanitation and safe for consumption. Keywords: slaughtering delay, oralit solution, the quality of the meat.

1. Pendahuluan

Sebaik apapun sistem penanganan ternak sebelum dipotong, ternak tersebut sedikit banyak pasti mengalami cekaman. Meskipun demikian, hendaknya selalu diharapkan agar ternak tidak banyak mengalami cekaman dan penderitaan, selanjutnya sampai ke tempat tujuantempat pemotongan secepat mungkin dan dalam keadaan selamat. Secara kimia ternak yang mengalami cekaman berada dalam kondisi otot yang kekurangan glikogen. Jika ternak dalam keadaan tercekam kemudian dipotong, akan terjadi proses glikolisis pascamati yang berlangsung terbatas dan lamban. Daging yang berasal dari pemotongan ternak dalam keadaan cekaman, pHnya tinggi, kondisi seperti itu akan memicu daging babi ke arah PSE pale soft eksudatif . Ternak potong diberi tambahan gula dan diistirahatkan sebelum dipotong agar kualitas dagingnya menjadi lebih baik. Di sampaikan pula bahwa dengan mengistirahatkan ternak, pemberian insulin dan pemberian gula sebanyak 6 gram per kilogram berat badan sebelum dipotong, dapat mengurangi pengaruh cekaman selama pengangkutan. Pemberian perlakuan tersebut dapat meningkatkan kadar glikogen dan asam laktat daging, menurunkan pH daging di atas titik isoelektrik. Kondisi DFD ataupun PSE akan menurunkan nilai keterterimaan acceptability secara keseluruhan daging oleh konsumen [6]. Penundaan waktu pemotongan ternak sapi sampai 72 jam, dapat menurunkan berat badan secara nyata jika dibandingkan dengan penundaan waktu pemotongan 24 jam [6]. Dalam keadaan tercekam tubuh . Deisiensi Na, K, dan Cl akan mengakibatkan nafsu makan berkurang, pertumbuhan menurun, kehilangan berat badan dan penurunan produksi pada ternak dewasa, serta penurunan komponen penyusun darah [2]. Penundaan waktu pemotongan dan pemberian gula sesaat sebelum dipotong merupakan bagian dari penanganan ternak sebelum dipotong preslaughter treatment [2]. 102 103 Melihat kondisi yang terjadi di masyarakat peternak, khususnya perlakuan yang dilakukan oleh tukang potong jagal baik dalam transportasi maupun lama waktu penundaan sebelum dipotong, maka perlu diketahui status isiologi yang berhubungan langsung dengan kualitas daging yang diharapkan. Jika ternak babi harus berada dalam waktu yang lama di dalam keranjang, harus dicari jalan keluarnya dengan biaya dan teknologi yang terjangkau, sehingga tidak merugikan semua pihak. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat cekaman yang terjadi, kualitas daging, dan daya simpan daging, sebagai akibat penanganan terhadap babi sebelum dipotong.

2. Materi dan Metode

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK dengan pola faktorial 3x4. Faktor pertama terdiri atas empat perlakuan, ternak babi berada di dalam bangsung selama 0 hari 1-6 jam L0, ternak babi berada di dalam bangsung selama 1 hari 18-24 jamL1, ternak babi berada di dalam bangsung selama 2 hari 42-48 jamL2 dan lama waktu ternak babi di dalam bangsung selama 3 hari 66-72 jamL3. Faktor kedua terdiri atas 3 tiga perlakuan, yaitu tanpa pemberian larutan gula-garam G0, pemberian 150 gram gula + 15 gram garam dilarutkan kedalam 1 liter air minum G1 dan pemberian 300 gram gula + 30 gram garam dilarutkan ke dalam 1 liter air minum G2 , sehingga ada 12 dua belas kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang sebanyak 4 empat kali, jadi total babi landrace persilangan yang digunakan sebanyak 48 ekor, dengan berat ± SD 96 ± 1.55 kg. Ternak babi sebagai materi penelitian berasal dari satu sumber, yaitu satu lokasi kandang suatu perusahaan peternakan babi. Hal ini dilakukan agar diperoleh sumber atau asal ternak yang sama, perkandangan, manajemen pemeliharaan, dan manajemen pakan serta makanannya diharapkan sama. Variabel penelitian yang diukur adalah : Status isiologi frekwensi nafas, suhu tubuh, denyut nadi, dan kadar gula darah. Kualitas isik daging daya ikat air dagingWHC, susut masak dagingCL, pH daging, dan skor warna daging. Daya simpan daging adalah pengamatan terhadap perkembangan total mikroba pathogen TPC, E.coli, dan Coliform selama penyimpanan daging. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan AnalisisSidik Ragam. Jika terdapat perbedaan nyata di antara perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan’s Multiple Range Test DMRT dengan batas beda nyata signiikan 5 [2].

3. Hasil dan Pembahasan Status Fisiologi

Frekuensi nafas babi yang diidentiikasi karena pengaruh penundaan pemotongan pada perlakuan l 3 paling rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan secara statistik berbeda nyata P0,05. Hal ini disebabkan karena istirahat yang cukup lama pada l 3 3 hari membuat laju respirasi babi menjadi lebih normal dan teratur sehingga menurunkan kondisi stres pada ternak babi, akibatnya inspirasi dan ekspirasi menjadi mendekati kondisi tenang. Pemberian larutan gula – garam g 1 juga membuat energi babi menjadi cukup tersedia sehingga membuat regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, eliminasi air dan ketersediaan oksigen dalam darah tercukupi dan bekerja sesuai keadaan normal dengan frekuensi nafas normal adalah 83 kali per menit [2]. Denyut nadi sangat dipengaruhi oleh rangsangan parasimpatetik memungkinkan jantung beristirahat lebih lama pada saat tubuh secara relatif tidak aktif, tetapi stimulasi simpatetik meningkatkan aktivitas jantung guna mensuplai lebih banyak darah untuk otot – otot seranlintang, hati dan otak karena peningkatan aktivitas isik atau ketika seekor hewan sedang mengalami stres. Secara umum, kecepatan denyut nadi babi yang normal cenderung berada pada kisaran 55 – 86 denyut per menit. Pada perlakuan l 2 g 1 di TPH2 diperoleh denyut nadi yang paling rendah dari seluruh perlakuan yakni 73 kalimenit, yang secara statistik berbeda nyata P0,05 terhadap perlakuan lainnya. Hal ini diakibatkan karena pemberian larutan gula – garam g 1 memberikan pengaruh yang mengakibatkan peningkatan dan meningginya daya reabsorpsi gula melalui membrane sel oleh garam yang kemudian menyebabkan timbulnya kontraksi dalam systole atrial. Stimulai saraf – saraf vagus cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan gaya kontraksi dari otot jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls didalam jantung. Setelah perubahan – perubahan itu, arus darah melalui arteri koroner berkurang. Rangsangan simpatetik meningkatkan aktivitas jantung dengan naiknya gaya atau tenaga kontraksi, kecepatan kontraksi,kecepatan konduksi impuls dan arus darah koroner [2]. Temperatur tubuh babi yang normal 38,9 – 39,8 º C secara alamiah temperatur tersebut selalu hendak dipertahankan terus-menerus, baik lingkungan itu dalam keadaan dingin ataupun panas. Dengan adanya peristiwa-peristiwa lingkungan yang hampir setiap saat berubah itu, maka tubuh langsung bereaksi terhadap perubahan lingkungan yang mereka hadapi guna melakukan adaptasi [2] . Pada perlakuan yang diidentiikasi perfaktor terhadap lama penundaan pemotongan diperoleh hasil yang tidak berbeda nyata P0,05, hal ini terjadi karena pengaruh suhu lingkungan yang hampir setiap saat berubah. Terhadap lingkungan yang temperaturnya terlampau panas, tubuh babi akan selalu mengalami kesulitan dalam membebaskan diri dari panas tubuh, sebab hewan tersebut tidak memiliki kelenjar keringat. Reaksi tubuh untuk mengatasi lingkungan yang terlampau panas adalah dengan dikeluarkan lewat mulut, sehingga babi pada saat itu selalu nampak terengah-engah dan babi selalu berusaha mendapatkan air minum yang lebih banyak. [2]. Pada penelitian ini, lama L penundaan pemotongan pada seluruh perlakuan memperoleh hasil yang tidak berbeda nyata P0,05 karena ternak babi mengalami dehidrasi yang cukup tinggi akibat dari pemuasaan selama penundaan pemotongan. Hal tersebut sejalan dengan pendapatnya McGlone [1], stress pada babi bisa ditunjukkan dengan peningkatan plasma cortisolnya. Tabel 1. Status Fisiologi frek.nafas, denyut nadi, dan suhu tubuh babi sebagai akibat penanganan sebelum pemotongan penundaan pemotongan dan pemberian larutan oralit. Perlakuan 1 0 Hari 1 Hari Frek.nafas D e n y u t nadi S u h u tubuh Frek.nafas Denyut nadi Suhu tubuh Satuan kalimenit kalimenit C kalimenit kalimenit C l g 137,75 a 114,25 a 41,3 a g 1 115,75 a 103,75 a 40,7 a g 2 113,75 a 106,50 a 40,9 a l 1 g 128,75 a 106,50 a 41,3 a 102,50 a 92,25 c 40,1 a g 1 105,50 a 105,75 a 40,9 a 87,25 a 77,50 ab 40,1 a g 2 117,25 a 106,00 a 40,6 a 88,25 a 75,25 a 40,1 a l 2 g 121,75 a 113,25 a 41,7 a 95,50 a 78,25 ab 40,6 a g 1 109,25 a 107,75 a 40,7 a 83,25 a 73,00 a 39,9 a g 2 105,25 a 103,50 a 40,8 a 82,75 a 77,25 ab 39,7 a l 3 g 120,75 a 112,00 a 41,3 a 83,25 a 80,25 ab 40,6 a g 1 107,50 a 102,75 a 40,7 a 87,00 a 74,25 a 39,3 a g 2 105,25 a 103,75 a 40,6 a 85,00 a 83,00 b 39,7 a Normal 83 55 - 86 32.9 83 55 - 86 32.9 Ket.: Angka dengan huruf yang sama pada kolom yang sama, menunjukan berbeda tidak nyata P0,05. 104 105 Pada perlakuan terhadap faktor pemberian larutan gula garam G diperoleh hasil yang berbeda nyata P0,05 untuk seluruh perlakuan dan rata – rata nilai suhu tubuh terendah diperoleh dari perlakuan g 1 yang memiliki kandungan larutan gula – garam dengan komposisi 150gr gula + 15gr garam mengakibatkan berkurangnya kondisi stres karena energi dalam tubuh babi masih cukup tersedia, selain itu pengaruh lama waktu penundaan pemotongan membuat babi menjadi lebih tenang. Kualitas Fisik Daging Penundaan pemotongan mempengaruhi kualitas isik daging pada susut masak, water holding capacity WHC, dan warna daging P0,05. Susut masak daging atau cooking loss CL mengalami penurunan secara nyata dengan adanya penundaan waktu pemotongan l 1 P0,05, namun pada variabel water holding capacity terjadi peningkatan secara nyata 2,2 satuan l 1 , dan warna daging mengalami peningkatan 7,1 l 1 P0,05. Penundaan waktu pemotongan dua hari l 2 sampai tiga hari l 3 menyebabkan meningkatnya susut masak dengan nyata, namun terjadi penurunan WHC dan nilai warna daging dengan nyata P0,05. Di pihak lain, dengan pemberian larutan gula-garam dapat menyebabkan dengan nyata meningkatnya susut masak daging, dan sebaliknya menyebakan dengan nyata menurunkan WHC dan menaikkan skor warna daging P0,05 Tabel 2. Penurunan p H u pH akhir terjadi karena pengaruh penundaan waktu pemotongan, tetapi secara statistik perbedaannya tidak nyata. Secara terpisah, pemberian larutan oralit dengan nyata dapat menurunkan p H u daging Tabel 2. Perubahan p H akhir merupakan nilai yang vital dan perlu diperhatikan, walaupun perubahannya tidak nyata, tetapi ada kecendrungan penurunan p H u . Cadangan glikogen pada tubuh ternak sesaat setelah penyembelihan awal postmortem merupakan suatu kondisi yang paling menentukan nilai p H akhir. Perolehan nilai pH u sebesar 5,50 pada l 1 , merupakan rataan nilai p H akhir yang paling stabil untuk menentukan dan berhubungan dengan variabel kualitas daging lainnya. Hal ini sependapat dengan lawrie [2], yang menyatakan bahwa penurunan p H daging pascamati sebagai akibat penimbunan asam laktat oleh glikolisis anaerob pascamati dan ini merupakan salah satu perubahan yang terjadi selama konversi otot menjadi daging. Sesaat setelah hewan mati, p H daging masih tinggi. Nilai pH akan turun 5,6 sampai 5,7 setelah 6 sampai 8 jam dilakukan pemotongan. pH ultimat tercapai lebih kurang 24 jam setelah pemotongan, yaitu antara 5,3 sampai 5,7 atau rata-rata 5,5. Hubungan antara pH akhir dengan parameter kualitas daging lainnya, didukung oleh Saka [6], yang menyatakan bahwa nilai p H u mempengaruhi sifat- sifat kimia dan isik dalam kualitas daging, dan oleh karena itu maka pH akhir merupakan faktor penentu kualitas daging yang amat penting karena hampir semua aspek kualitas daging seperti keempukan, citarasa, nilai keterterimaan akseptabilitas, water holding capacity, warna daging, daya tarik attractiveness, dan daya simpan daging seeping quality. Tabel 2. Pengaruh Penanganan Sebelum Pemotongan Penundaan Pemotongan dan Pemberian Larutan Oralit terhadap Kualitas Fisik Daging. V a r i a b e l CL WHC Warna p H u Penundaan Pemotongan lo 41,5 a 55,3 a 2,8 a 5,58 a l 1 39,9 b 57,5 b 3,0 b 5,50 a l 2 42,7 ca 56,9 c 2,9 ab 5,53 a l 3 45,5 d 54,7 c 2,7 ca 5,53 a Lart.Oralit g 39,0 A 54,8 A 2,3 A 5,59 A g 1 38,5 B 55,0 B 3,0 B 5,53 B g 2 38,5 B 55,9 B 3,5 B 5,48 B Ket.: Angka dengan huruf besarkecil yang sama pada kolom yang sama, menunjukan berbeda tidak nyata P0,05. CL:cooking loss , WHC:water holding capacity. Tingginya p H u pada pemotongan di hari pertama lo : 5,58, disebabkan karena kelompok ternak babi pada perlakuan lo menglami cekaman stress isik karena penangan pada saat penangkapan dan transportasi handling stress dan cekaman psikologis psychological stress, suatu prosesi yang cukup membuat ternak menjadi payah dan menguras banyak cadangan energi tubuh glikogen. Cekaman yang terjadi sebelum pemotongan preslaughter treatment mempunyai pengaruh yang penting terhadap kualitas daging, karena ternak sebelum dipotong tidak mempunyai waktu istirahat dengan cukup untuk memulihkan tingkat glikogen otot sebelum ternak tersebut disembelih. Cekaman-cekaman kebanyakan menyebabkan ternak mempunyai jumlah kandungan glokogen otot yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya Eath et al.[1], yang meneliti pengaruh penanganan sebelum pemotongan, yaitu dengan mencampur ternak babi yang mempunyai agresivitas tinggi, dibandingkan dengan kelompok ternak babi yang mempunyai tempramen tenang. Disampaikan, kelompok ternak babi yang dicampur dan memiliki agresivitas tinggi, didapatkan babi lebih stres, plasma cortisol yang lebih tinggi, produksi karkas yang lebih banyak lesilecet, penurunan nilai skor warna daging dan parameter kualitas daging lainnya. Pendapat ini juga didukung oleh hasil penelitiannya Apple et al. [1] , yang meneliti tentang pengaruh diet magnesium dan lama waktu transportasi terhadap respon stres, metabolisme otot postmortem dan kualitas daging babi pada fase inishing I. Perlakuan tersebut dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa dan cortisol, penurunan kadar glikogen, p H awal dan penurunan WHC daging. Leheska et al. [1], meneliti tentang pengaruh puasa 48 jam dan lama transportasi terhadap kualitas daging babi dan metabolisme postmortem. Dilaporkan, ternak babi yang mendapat stress kerena transportasi ditemukan plasma cortisol dan glukosa darah yang lebih tinggi dari normal. Data postmortem, seperti glikogen dan p H 45 menit setelah pemotongan, parameter kualitas daging diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan control. Ada hubungan langsung antara kontraksi otot dengan produksi daging, termasuk kualitas dagingnya. Bila ternak ada pada kondisi cekaman stress, banyak bergerak, maka kontraksi otot meningkat. Untuk itu, diperlukan banyak energi, sehingga bila ternak disembelih ototnya akan sedikit pucat, sehingga warna daging yang dihasilkannya juga akan kurang baik, mudah rusak, dan daya simpannya berkurang. Dianjurkan agar hewan ditenangkan dahulu, cara penyembelihannya sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan, agar ternak mati dalam kondisi otot yang tenang. Bila ternak mati dalam kondisi otot berkontraksi, oksigen pada myoglobin menurun dan metabolisme oksidatif sangat berkurang. Tanpa metabolisme oksidatif, maka p H otot meningkat, warna daging otot lebih merah tua dan dengan p H yang tinggi sehingga ototdaging mudah membusuk Adriani et al., 2010. Sejalan dengan menurunnya p H u pada l 1 , diikuti dengan penurunan yang nyata pada susut masak CL sebesar 31,6 satuan , peningkatan yang nyata pada WHC sebesar 2,2 satuan , dan peningkatan skor warna daging 7,1 dari lo Tabel 2. Walaupun perubahan pH u tidak nyata, hal tersebut mempengaruhi sifat isik daging lainnya. Hal tersebut terjadi karena faktor ketergantungan perubahan-perubahan yang terjadi pada WHC dan sifat isik daging lainnya selama perubahan dari otot menjadi daging pada laju penurunan p H dan denaturasi protein. Penurunan cooking loss CL yang diikui dengan peningkatan WHC dan skor warna daging [6]. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Stalder et al. [1], bahwa dengan mengistirahatkan 106 107 ternak babi dengan puasa selama 16 jam sebelum dipotong, menyebabkan peningkatan skor warna daging dan WHC. WHC merupakan sifat isik daging yang penting, karena mempunyai efek terhadap penampilan luar rupa daging sebelum dimasak, perubahan yang terjadi selama dimasak dan juicness selama pengunyahan. Dalam penurunan susut masak CL dan peningkatan WHC, keadaan air daging sangat perlu diketahui dan dipertimbangkan, karena menurut Wismer-Pedersen 1971 yang dikutip oleh Soeparno [6], air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi tiga kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5 dari berat basah sebagai lapisan monomolekuler pertama, air terikat lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidropilik, sebesar 4 dari berat basah. Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10 dari berat basah. Jumlah air terikat lapisan pertama dan kedua adalah bebas dari perubahan molekul yang diebabkan oleh denaturasi protein, sedangkan jumlah air terikat yang lebih rendah, yaitu lapisan air diantara molekul protein akan menurun bila protein daging mengalami denaturasi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Aberle et al. [2], bahwa jumlahpesentase air daging tersebut sulit dirubah oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan muatan dari protein. Kebanyakan perubahan-perubahan dalam WHC yang diamati melibatkan perubahan-perubahan dalam hal yang disebut air bebas “free” water “immobilized” water yang tertahan tidak bergerak oleh konigurasi isik protein. Selanjutnya ada yang disebut air longgar “loose water ” yang diekpresikan jika WHC menurun. Pemberian larutan oralit menyebabkan meningkatnya susut masak CL sebesar 1,5 satuan g 1 , penurunan WHC 3,8 satuan dan skor warna daging mengalami peningkatan secara nyata Tabel 2. Hal tersebut disebabkan karena fungsi gula dan garam dalam tubuh ternak babi yang sedang mengalami penundaan waktu pemotongan cekaman dan puasa, dapat meningkatkan cadangan glikogen dan mengurangi mobilisasi dan degradasi sumber-sumber energi di dalam tubuh glikolisis. Cadangan glikogen antemortem yang cukup menyebabkan glikolisis anaerobik postmortem berjalan sempurna, dengan perolehan p H u yang lebih rendah jika dibandingkan dengan p H u pada go tanpa pemberiaan larutan gula-garam. Selanjutnya penurunan p H akan mempengaruhi sifat isik daging yang lainnya, seperti WHC dan susut masak serta warna daging yang prosesnya seperti yang telah diuraikan di atas. Daya Simpan Daging Pertumbuhan mikroba berhubungan langsung dengan kerusakan daging yang disebabkan oleh mikroba. Sebagai indikatornya adalah mengamati perkembangan jumlahnya dan akibat isik yang ditimbulkannya, seperti perubahan bau off odor sampai berlendir. Pada sampel yang berasal dari 12 dua belas kombinasi perlakuan, pertumbuhan dan perkembangan mikroba dari pengamatan 0 nol jam To sampai 8 delapan jam pengamatan T 8 masih lamban dan pertumbuhannya berada pada fase lambat lag, pertumbuhannya masih penyesuaian. Setelah 10 sepuluh jam pengamatan di ruangan terbuka T 10 , pertumbuhan dan perkembangan jumlah koloni terjadi dengan cepat fase logaritmik. Sampel daging logo, l 1 go, l 2 go, dan l 3 go ditemukan pertumbuhan dan jumlah mikroba paling banyak, yaitu diatas 10 7 cfucm 2 dan sampel sudah mengalami perubahan bau off odor sampai busuk. Pada 18 delapan belas jam pengamatan T 18 sampel tersebut sudah mengandung mikroba sebanyak 10 8 , dan kondisi isik sudah berlendir. Graik perkembangan dan petumbuhan mikroba selama 18 delapan belas jam pengamatan. Pengamatan pada sampel daging mulai dari 2 dua jam sampai 6 enam jam terjadi pertumbuhan yang sangat lambat. Pertumbuhan ini disebut fase lambat fase lag, karena pada fase ini mikroba masih beradaptasi dengan lingkungan dan material inti. Pertumbuhan cepat atau pertumbuhan logaritmik mulai terjadi pada 8 delapan jam sampai 18 jam pengamatan. Dalam fase tersebut, jumlah mikroba meningkat dan tumbuh denga laju pertumbuhan yang konstan hingga faktor lingkungan sebagai pembatas. Fase logaritmik berakhir secara berangsur- angsur, kemudian mencapai titk ekuilibrium keseimbangan, yaitu jumlah sel bisa konstan selama beberapa saat karena berkurangnya pembelahan sel, atau adanya keseimbangan antara laju perbanyakan sel dengan laju kematian [6]. Pertumbuhan logaritmik yang diamati sampai 18 jam menunjukkan bahwa sampel daging sudah mengalami perubahan bau off odor sampai busuk. Jumlah mikroba TPC yang tertinggi ditemukan pada logo 10 9,9 cfucm 2 , l 1 g o 10 9,2 cfucm 2 , l 2 g o 10 9,5 cfucm 2 , dan l 3 g o 10 9,5 cfucm 2 . Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Lay dan Prastowo [2], bau busuk yang ditimbulkan oleh aktivitas mikroba jika terditeksi pada sampel ditemukan jumlah mikroba mencapai 10 7 -10 7,5 cfu cm 2 , dan terjadi lendir jika ditemukan jumlah mikroba mencapai 10 7,5 -10 8 cfucm 2 lebih. Perubahan tersebut terjadi karena pengaruh aktivitas mikroba terhadap konstituen daging. Hasil metabolisme pertumbuhan mikroba yang menggunakan konstituen daging, menyebabkan perubahan mikrobial, kemis, dan isis dari daging atau produk daging selama pengamatan atau penyimpanan.

4. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan atas hasil dan pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 51 Berdasarkan kajian isiologi, babi pada penundaan pemotongan 0 nol hari lo menunjukkan ada pada keadaan cekaman stress. 52 Penundaan pemotongan menyebabkan penurunan kualitas isik daging pada parameter WHC, CL, dan warna daging. Pemberian larutan oralit dapat memperbaiki kualitas isik daging. 53 Daging pada p H akhir pH u , ditemukan jumlah mikroba awal pada batas yang aman untuk dikonsumsi, sanitasi yang baik, dan mulai berlendir pada 10 jam, serta membusuk setelah 18 jam pengamatan dan berada di ruang terbuka. Berdasarkan uraian dan simpulan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka yang dapat disarankan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Ternak babi yang mengalami penanganan sebelum dipotong, seperti prosesi penangkapan, tansportasi, sebaiknya ternak diistirahatkan sampai 24 jam l 1 , agar diperoleh kualitas daging baik. 2. Untuk dapat mengatasi penurunan kualitas isik daging sebagai akibat penundaan pemotongan, dapat diberikan laruran oralit g 1 .

5. Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada I Putu Tegik analis pada Lab. THT, dan Agus Yopi, S.Pt., teknisi pada Lab. TPK Fakultas Peternakan yang telah banyak membantu selama proses pemotongan ternak dan analisa sampel daging di Laboratorium.

6. Daftar Pustaka

[1] Apple, J.K., Kegley., C.J.R. Maxwell, and L. K. Rekes. 2005. Effects of Dietary Magnesium and Short-duration Transportation on Stress Response, Postmortem Muscle Metabolism, and Meat Quality of Finishing Swine 1. 2005. Jornal of Animal Science. Vol:83. p. 1633-55. [2] Eath, R.B.D., S.P.Turner, E. Kurt, G. Evans, L.T. Iking, H. Looft, K. Wimmers, E. Murani, R. Klont, A. Foury, S.H. Ison, A.B. Lawrence. And P. Morme. 2011. Pig Agressive Temperament Affects Pre-Slaughter Mixing Agression, Stress and Meat Quality. The Anima Consortium. 4:4.p.604-616 [3] Jaworska, D., W. Przybylski, K. Kajak-Siemaszko. and E. Czarniecka-Skubina. 2009. Sensory 108 109 Quality of Culinary Pork Meat in Relation to Slaughter and Tecnological Value. Food Science and Technology Reserch. Vol. 15 2009, No. 1 pp.65-74. [4] Leheska, J. M., D.M. Wulf, and R.J. Maddock. 2011. Effects of Fasting and Transportation on Pork Quality Development and Exten of Posmortem Metabolism. J.of Anim.Sci. Vol: 80:194- 202. American Sociaty of Animal Science. [5] McGlone, J.J., J.L. Lumpkin, R.L. Nicholson, M. Gibson and R.L. Norman. 1993. Shipping Stress and Social Status Effects on Pig Oerformance, Plasma Cortisol, Natural Killer Cell Activity, and Leukocyte Numbers. J. Animal Science, Vol. 71. [6] Pieterse, E., L.P. Loots and J. Viljoen. 2000. The Effect of Slaughter Weight on Pig Production Eficiency. Shouth African J. of Anim. Sci. Shouth Africa. [7] Stalder. K.J., J. Maya, L.L. Christian, S.J. Moeller, and K.J. Prusa. 2011. Effect of Preslaughter Management on the Quality of Pig Carcasses of Market Stress Syndrome Heterozigo. J. of Anim.Sci. Vol:76:2435-43 Publisher American Sociaty of Animal Science. [8] Aberle, E.D., J.C.Forrest, D.E.Gerral, and E.W.Mills. 2001. Principles of Meat Science. Forth edition. USA. KendallHunt Publishing Company. [9] Adriani. L., L.,E, Hermawan, K. A. Kamil dan A. Mushawwir. 2010. Fisiologi Ternak. Fenomena dan Nomena Dasar, Fungsi, dan Interaksi Organ pada Hewan. Penerbit Widya Padjadjaran. Bandung. [10] Frandson.R.D. 1992.Anatomy and Physiology of Farm Animals orginal English ed. Anatomi dan Fisiologi Ternak Srigandono.B, dan Koen Praseno, pentj. Yogyakarta. Indonesia. Gadjah Mada University Press. [11] Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Aminudin Parakasi Edisi ke-5. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta [12] Lay, W dan S. Hastowo. 1992. Mikrobiologi. PAU-Bioteknologi. IPB. Bogor. [13] Sihombing DTH. 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. [14] Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Univercity Press, Cetakan Kelima, Yogyakarta [15] Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Cetakan pertama. Gadjah Mada University Press. Bulak Sumur, Yogyakarta 55281 [16] Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia. Jakarta. [17] Dewi. C.S.H., 2010. Pengaruh Pemberian Gula, Insulin dan lama Istirahat Sebelum Pemotongan pada Domba Setelah Pengangkutan terhadap Kualitas daging. Disertasi PPS. IPB. Bogor. [18] Saka, I.K., 1983. Analysis of Beef Industry of Bali and The Effect of Preslaughter Treatment on Yeald and Carcass Quality. A Thesis Presented in Partial Fulilment of the Requirements for degree of Master of Agricultural Studies. School of Agricultural and Forestry. University of Melbourne. [19] Saka, I.K. 1997. Metabolisme Zat – Zat Makanan, Karakteristik Karkas dan Sifat Fisik Daging Domba Ekor Tipis Tantan yang Diberi Clenbuterol. Disertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [20] Lindawati, S.A. 1998. “Upaya Memperpanjang Daya Simpan Daging Itik melalui Klorinasi Pasca Pemerosesan”. thesis. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Strategi Mewujudkan Peternakan Ramah Lingkungan Melalui Pemanfaatan Jerami Padi Dalam Ransum Ternak Ruminansia Ni Nyoman Suryani 1 , I Ketut Mangku Budiasa 1 dan I Putu Ari Astawa 1 1 Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar E-mail : mansuryaniyahoo.com Abstract The purpose of this study is to study the potential of rice straw as a component of ruminant rations.The research was done in vitro in the laboratory of Nutrition and Feed Stuff Faculty of Animal Husbandry, Udayana University. These four rations treatment based on DM were: A 45 elephant grass + 0 rice straw + 15 glyricidia + 10 calliandra + 30 concentrate; B 30 elephant grass + 10 rice straw + 20 glyricidia + 10 calliandra + 30 concentrate ; C 15 elephant grass + 20 rice straw + 25 glyricidia + 10 calliandra + 30 concentrate and D 0 elephant grass + 30 rice straw + 30 glyricidia + 10 calliandra + 30 concentrate. The variables measured were the chemical composition of the ration, iber components, the physical properties of the ration, and ration fermentation in vitro at 4 and 48 hours of observation.The results showed an increase in the utilization of rice straw to 30 which was offset by an increase in the utilization of gamal 30 of the ration DM, able to increase the density and water absorption ration. Ration fermentation in vitro incubation either at 4 hours and 48 hours, the pH of the rumen luid remained within the normal range 6.54 to 6.79. The increasing number of gamal as RDP in the ration increased the concentration of N-NH3 rumen luid, and Dry Matter and Organic Matter Digestibility. The concentration of N-NH3, and Dry Matter and Organoc Matter digestibility increased in an incubation of 48 hours compared to 4 hours incubation. Based on these results it can be concluded that the potential components of rice straw as ruminant rations best demonstrated by treatment C than all treatments based on physical properties of rations, Dry Matter and Organic Matter digestibility. Keywords: forage composition, physical properties of rations, in vitro fermentation

1. Pendahuluan

Jerami padi mempunyai potensi cukup besar sebagai pakan ternak ruminansia mengingat produksinya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Penggunaan jerami padi sebagai pakan ternak, selain bermanfaat mencegah pencemaran lingkungan, juga mampu mengatasi keterbatasan hijauan di saat musim kemarau. Namun, penggunaan jerami padi sebagai sumber pakan serat tunggal sering tidak memenuhi kecukupan nutrien. Hal ini disebabkan karena jerami padi yang merupakan limbah pertanian mempunyai nilai nutrisi terutama kandungan protein kasar dan kecernaan yang rendah serta bersifat bulky. Faktor penghambat utama dalam penggunaan jerami padi sebagai makanan ternak adalah rendahnya koeisien cerna dan nilai gizi bahan tersebut. Rendahnya koeisien cerna jerami padi karena availabilitas karbohidrat dari serat kasarnya adalah rendah. Hal ini disebabkan karena terbentuknya ikatan kimia antara polimer komplek lignoselulose dengan ikatan intermolekuler, terjadinya kristalinitas dari pada lignin dan silika [1]. Untuk mengatasi kendala ini maka pemanfaatan jerami padi perlu diimbangi dengan hijauan lokal sebagai sumber protein yang larut di dalam rumen yaitu gamal. Penambahan gamal pada pakan yang menggunakan jerami padi bertujuan untuk memberikan sumber nitrogen bagi kehidupan mikroorganisme rumen. Karena ternak ruminansia sangat tergantung kepada mikroorganisme rumen untuk mensuplai enzim yang mampu mencerna serat kasar dalam jerami padi [2]. 110 111 Untuk membantu mikroorganisme rumen mencerna jerami padi, berbagai usaha telah dilakukan sebelum jerami padi diberikan kepada ternak antara lain perlakuan pisik, khemis dan penambahan berbagai feed aditif, suplementasi multivitamin dan mineral. Untuk memaksimalkan pemanfaatan jerami padi sebagai sumber serat, maka berbagai hijauan lain perlu ditambahkan. Misalnya hijauan gamal yang berfungsi sebagai sumber protein yang mudah terdegradasi di dalam rumen. Degradasi protein gamal akan menghasilkan N-NH 3 yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme rumen untuk mensintesis protein tubuhnya. Dengan demikian diharapkan populasi maupun aktivitas mikroorganisme rumen meningkat sehingga kecernaan pakan yang mengandung jerami padi juga meningkat yang pada akhirnya mampu meningkatkan pertumbuhan dan pertambahan bobot badan ternak ruminansia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan Bahan Kering BK dan Bahan Organik BO serta hasil fermentasi ransum yang mengandung jerami padi dan disuplementasi dengan gamal sebagai Rumen Degradable Protein RDP secara in vitro.

2. Metode Penelitian Ransum Perlakuan

Ransum perlakuan dibuat sebagai pakan komplit dalam bentuk mash terdiri dari hijauan dan konsentrat. Komposisi ransum disajikan pada Tabel 1, komposisi konsentrat pada Tabel 2 dan kandungan nutrien ransum pada Tabel 3. Tabel 1. Komposisi Ransum Perlakuan Bahan Penyusun Ransum BK Perlakuan A B C D Rumput Gajah 45,00 30,00 15,00 0,00 Jerami padi 0,00 10,00 20,00 30,00 Gamal 15,00 20,00 25,00 30,00 Kaliandra 10,00 10,00 10,00 10,00 Konsentrat 30,00 30,00 30,00 30,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Tabel 2. Komposisi Konsentrat Bahan Penyusun Konsentrat BK Bungkil kelapa 42,50 Polard 6,00 Tepung ikan 1,50 Gaplek 45,50 NaCl 2,00 Multi vitamin mineral 0,50 Molasis 2,00 Total 100,00 Tabel 3. Kandungan Nutrien Ransum Kandungan Nutrien Ransum BK Perlakuan A B C D Protein Kasar 11,71 11,51 11,54 12,05 Lemak Kasar 1,63 1,83 1,65 2,29 Serat Kasar 25,36 25,94 25,53 21,59 TDN 60,98 59,65 58,65 60,91 NDF 62,57 58,23 56,23 59,40 ADF 45,48 42,76 38,10 36,95 ADL 3,45 4,78 5,23 7,78 Analisis pada Lab. Nutrisi Loka Penelitian sapi Potong Grati 2011 Sifat Fisik Ransum a densitas Masing-masing sampel ransum yang telah digiling halus dimasukkan ke dalam tabung silinder ukuran 37 ml sampai permukaan rata dan selanjutnya ditimbang. Densitas dapat dihitung dengan rumus: Densitas = tabung volume sampel berat 1 b daya serap air Sampel ransum yang sudah kering udara dioven dengan oven 60 C dan telah digiling halus dimasukkan ke dalam tabung sebanyak 3 gram dan diberi air sebanyak 25 ml. Kemudian sampel tersebut direndam air 1x24 jam. Setelah direndam, sampel disaring dengan kertas saring dan disedot dengan pompa vakum sampai airnya tidak menetes. Setelah tidak menetes, sampel kemudian ditimbang. Daya serap air dapat dihitung dengan rumus: Daya serap air = 100 x awal berat awal berat akhir berat − 2 c daya larut air Sampel ransum kering udara dioven dengan temperatur 60 C yang telah digiling halus dan disaring dengan diameter saringan 1 mm dimasukkan ke dalam cawan sebanyak 3 gram. Kemudian sampel tersebut direndam 1x24 jam. Setelah direndam, sampel disaring dengan kertas saring dan disedot dengan pompa vakum sampai airnya tidak menetes, dilanjutkan dengan pengovenan sampel pada suhu 105 C selama 2 jam, kemudian ditimbang. Daya larut air dapat dihitung dengan rumus: 112 113 Daya larut air = 100 ker ker ker x awal ing bahan berat akhir ing bahan berat awal ing bahan berat − 3 Fermentasi In Vitro In vitro dilakukan pada dua waktu inkubasi yaitu 4 jam dan 48 jam. Metode yang digunakan adalah Minson Mc Leod Method [3] yang dimodiikasi. Cara kerja untuk penelitian in vitro yaitu: sampel ransum yang telah halus dimasukkan ke dalam tabung in vitro sebanyak 0,2500 g dan ditambah 25 ml cairan rumen buffer McDougall dengan kondisi 40 o C, selanjutnya diinkubasikan dalam shakerbath dengan suhu 40 o C selama 4 jam. Cara kerja yang sama dilakukan untuk inkubasi selama 48 jam. Setelah lama waktu inkubasi yang ditentukan, selanjutnya dikeluarkan dan dipusingkan pada 3500 rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas. Supernatan dipakai untuk analisis N-NH 3 , VFA Total. Endapan digunakan untuk analisis degradasi bahan kering BK dan bahan organik BO. Kecernaan fermentatif BK dan BO ransum dapat dihitung dengan rumus : BK sampel g – [BK residu g – BK residu blangko g] KCFBK = ----------------------------------------------------------------------- x 100 BK sampel g 4 BO sampel g – [BO residu g – BO residu blangko g] KCFBO = ---------------------------------------------------------------------- x 100 BO sampel g 5 KCFBK = Koeisien Cerna Fermentatif Bahan Kering KCFBO = Koeisien Cerna Fermentatif Bahan Organik BK = Bahan Kering BO = Bahan Organik Konsentrasi N-NH 3 dan VFA Total Kadar N-NH 3 ditentukan dengan metode phenolhypochlorite melalui pembacaan dengan Spectrofotometer menurut Solorzano [4]. Sebanyak 15 ml supernatan dimasukkan ke dalam botol yang sudah berisi 5 tetes asam sulfat pekat, kemudian diencerkan 100 kali. Supernatan yang sudah diencerkan ini diambil sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam tabung spektro yang sudah diisi dengan larutan standar. Kemudian ditambahkan berturut-turut 0,2 ml larutan phenol; 0,2 ml larutan Natrium nitroprusside; dan 0,5 ml larutan pengoksidasi. Pembacaan reaksi warna dilakukan 5 menit setelah penambahan larutan pengoksidasi dengan spektrofotometer. Pengukuran kadar asam lemak atsiri VFA Total dilakukan dengan cara penyulingan uap menurut General Laboratory Procedure [5]. Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung khusus kemudian ditambahkan 1 ml H 2 SO 4 15 lalu ditutup. Tabung dihubungkan dengan labu pendingin dan labu yang berisi air lalu dipanaskan. Hasil destilasi ditampung di dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5N. Proses destilasi berakhir sampai destilat yang ditampung mencapai volume ± 300 ml. Tambahkan 1-2 tetes indikator phenolptalin dan dititer dengan HCl 0,5N sampai terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna. VFA Total = a – b x N HCl x 10005 mM a = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi blanko 5 ml NaOH b = ml HCl yang dibutuhkan untuk titrasi hasil destilasi Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan sidik ragam. Apabila terdapat hasil yang berbeda nyata P0,05 antar perlakuan, maka analisis dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal pada taraf 5 [6].

3. Hasil dan Pembahasan Sifat Fisik Ransum

Sifat isik bahan penyusun pakan atau pakan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kualitas bahan tersebut. Densitas pakan atau ransum mengindikasikan keambaan. Semakin rendah densitas suatu pakan, maka makin amba pakan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin banyak kandungan rumput gajah di dalam ransum ke arah perlakuan A, maka semakin kecil densitasnya Tabel 4. Walaupun ransum C dan D mengandung lebih banyak jerami padi dibanding perlakauan A dan B, akan tetapi karena kandungan gamalnya lebih tinggi, maka dinsitasnya juga menjadi lebih tinggi. Perlakuan A dan B menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05 dengan perlakuan C dan D. Terhadap daya serap air, semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang nyata P0,05. Perlakuan B, C dan D yang mengandung lebih banyak jerami padi, karena diimbangi dengan kandungan gamal yang lebih banyak juga, maka mempunyai daya serap air yang nyata P0,05 lebih tinggi masing-masing 3,44; 17,92 dan 28,67 dibanding perlakuan A. Makin tinggi daya serap air akan menyebabkan pakan tersebut lebih terbuka terhadap serangan bakteri rumen. Sebaliknya, jika daya serap air rendah, pakan tersebut sukar dimasuki bakteri rumen sehingga kecernaan pakan juga menjadi rendah. Daya larut air perlakuan A dan B tidak berbeda P0,05, demikian juga perlakuan C dan D tidak berbeda P0,05. Akan tetapi perlakauan C dan D nyata P0,05 lebih rendah dibanding perlakuan A. Tabel 4. Sifat Fisik Ransum Sifat Phisik Ransum Perlakuan SEM A B C D Densitas gml 0,297 a 0,293 a 0,321 b 0,313 b 0,0029 Daya Serap Air 134,595 a 139,227 b 158,717 c 173,183 d 1,0125 Daya Larut Air 51,900 b 51,793 b 50,753 a 50,749 a 0,8023 Keterangan : A = rumput gajah 45 + jerami padi 0 + gamal 15 + kaliandra 10 + konsentrat 30 B = rumput gajah 30 + jerami padi 10 + gamal 20 + kaliandra 10 + konsentrat 30 C = rumput gajah 15 + jerami padi 20 + gamal 25 + kaliandra 10 + konsentrat 30 D = rumput gajah 0 + jerami padi 30 + gamal 30 + kaliandra 10 + konsentrat 30 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata P0,05 SEM = “Standard Error of the Treatment Means ” Fermentasi In Vitro Fermentasi ransum perlakuan secara in vitro selama 4 jam menunjukkan pH substrat bervariasi dari 6,41 sampai 6,60 Tabel 4. Perbedaan komposisi hijauan menyebabkan perbedaan yang tidak nyata P0,05 pada pH di antara semua perlakuan. pH rumen merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi dan aktivitas mikroba rumen berada pada 114 115 kisaran optimum. Menurut Kamra [7], pH optimum untuk pertumbuhan mikroba rumen adalah 6-6,9, dan pH cairan rumen yang normal adalah 6-7 [8]. Perbedaan tidak nyata P0,05 juga terjadi pada kadar N-NH 3 substrat semua ransum perlakuan. Produksi N-NH 3 berkorelasi positip dengan kandungan gamal dalam ransum. Peningkatan kandungan gamal sebagai sumber RDP dalam ransum perlakuan B, C dan D cenderung meningkatkan produksi N-NH 3 walaupun tidak berpengaruh nyata pada fermentasi in vitro 4 jam. Sutardi [9] menyatakan salah satu pakan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein mudah terdegradasi adalah daun gamal Gliricidia sepium , dimana 66 dari total protein yang dikandungnya dapat memacu sintesis protein mikroba. Konsentrasi N-NH 3 substrat ransum pada semua perlakuan berada pada kisaran ideal untuk mendukung pertumbuhan bakteri secara optimal yaitu 4-12 mMol [10] atau 6-21 mMol [11]. Konsentrasi VFA Total hasil fermentasi ransum in vitro 4 jam untuk semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata P0,05. VFA merupakan sumber energi utama untuk ternak ruminansia [12,13], dan jumlahnya bervariasi 80-160 mMol tergantung jenis ransum dan waktu setelah pemberian pakan [10]. Pemberian hijauan yang berbeda baik sebagai sumber energi dan sebagai sumber protein dengan komposisi yang berbeda, menghasilkan konsentrasi VFA Total tertinggi pada perlakuan B. Namun demikian, produksi VFA Total pada semua perlakuan sudah mencukupi kebutuhan optimum untuk pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen. Fermentasi in vitro yang dilakukan selama 48 jam menghasilkan produk seperti tercantum dalam Tabel 5. Derajat keasaman pH semua perlakuan bervariasi dari 6,02 – 6,17 dan semua perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata P0,05. Dibandingkan fermentasi 4 jam, pada fermentasi 48 jam semua pH ransum menunjukkan angka lebih rendah Gambar 1. Hal ini disebabkan semakin lama fermentasi terjadi peningkatan konsentrasi VFA sehingga pH menjadi semakin asam. Tabel 5. Produk Fermentasi In Vitro Peubah Ransum Perlakuan SEM A B C D In vitro 4 jam pH substrat ransum 6,41 a 6,58 a 6,60 a 6,54 a 0,05 Kadar N-NH 3 mMol 8,78 a 9,29 a 11,49 a 10,71 a 0,78 VFA Total mMol 143,43 a 166,40 a 137,82 a 117,91 a 19,27 In vitro 48jam pH substrat ransum 6,11 a 6,17 a 6,10 a 6,02 a 0,03 Kadar N-NH 3 mMol 10,88 a 11,92 b 12,71 c 12,30 bc 0,11 VFA Total mMol 197,03 a 142,92 a 224,59 a 218,46 a 25,81 Keterangan : A = rumput gajah 45 + jerami padi 0 + gamal 15 + kaliandra 10 + konsentrat 30 B = rumput gajah 30 + jerami padi 10 + gamal 20 + kaliandra 10 + konsentrat 30 C = rumput gajah 15 + jerami padi 20 + gamal 25 + kaliandra 10 + konsentrat 30 D = rumput gajah 0 + jerami padi 30 + gamal 30 + kaliandra 10 + konsentrat 30 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata P0,05 SEM = “Standard Error of the Treatment Means ” Gambar 1 pH Substrat Ransum Fermentasi in vitro VFA Total menunjukkan perbedaan yang tidak nyata P0,05 di antara semua perlakuan. Perlakuan B yang sudah mencapai puncak produksi VFA pada fermentasi 4 jam, pada fermentasi 48 jam produksi VFAnya justru paling rendah di antara semua perlakuan. Produksi VFA tertinggi pada fermentasi 48 jam ditunjukkan oleh perlakuan C. Produksi VFA dipengaruhi antara lain oleh jenis dan jumlah hijauan pakan yang diberikan dan juga pH rumen [14]. Selain itu, semakin lama pakan difermentasi maka semakin tinggi produksi VFA karena mikroba rumen mendapat kesempatan lebih lama untuk mendegradasi pakan. Pada perlakuan B, karena puncak produksi VFA sudah dicapai pada fermentasi 4 jam, maka peningkatan waktu fermentasi tidak mampu meningkatkan produksi VFA lagi. Faktor lain yang mendukung tingginya produksi VFA pada perlakuan C karena komposisi ransum pada perlakuan C kemungkinan mengandung karbohidrat terlarut lebih tinggi dan unsur karbon yang terdapat dalam proteinnya sehingga menghasilkan VFA paling tinggi di antara semua perlakuan. Tinggi rendahnya konsentrasi VFA dipengaruhi oleh pakan basal, tipe karbohidrat pakan, bentuk isik pakan, tingkat konsumsi, frekuensi pakan, dan penggunaan aditif kimia [15]. Kecernaan Fermentatif Bahan Kering dan Bahan Organik In Vitro Pengamatan fermentasi rumen secara in vitro selama 4 jam adalah untuk mengevaluasi kemampuan pakan dalam menyediakan substrat bagi mikroba rumen baik untuk pertumbuhan maupun beraktivitas. Berdasarkan data pada Tabel 6 tampak bahwa substrat yang dihasilkan oleh perlakuan C mengakibatkan aktivitas mikroba tertinggi dilihat dari degradabilitas BK maupun BO. Gambar 2 Koeisien Cerna Fermentatif Bahan Kering in vitro 116 117 KCFBK dan KCFBO in vitro tertinggi pada perlakuan C. Walaupun ransum pada perlakuan C mengandung 20 jerami padi, dan berkontribusi terhadap kandungan NDF terendah dan lignin kedua tertinggi, namun mampu memberikan KCFBK dan KCFBO tertinggi. Sebagaimana diketahui, lignin merupakan senyawa yang menghambat proses pencernaan. Hal ini disebabkan ransum perlakuan C mengandung 25 gamal sebagai sumber RDP sehingga mampu memenuhi kebutuhan mikroba rumen khususnya bakteri akan ketersediaan N-NH 3 . Sesuai dengan pernyataan Koster [16] bahwa penambahan RDP pada level tertentu pada pakan yang mengandung hijauan kualitas rendah, mampu meningkatkan konsumsi BK, BO, KCBO maupun sintesis protein mikroba. Tabel 6. Kecernaan Fermentatif BK dan BO In Vitro Peubah Ransum Perlakuan SEM A B C D In vitro 4 jam Degradasi BK 28,80 a 30,90 a 36,58 b 34,28 b 0,80 Degradasi BO 31,89 a 34,44 b 39,74 c 36,10 b 0,57 In vitro 48 jam KCFBK 40,67 a 41,75 ab 45,97 c 43,62 b 0,50 KCFBO 41,29 a 42,46 a 46,87 b 45,03 b 0,49 Keterangan : A = rumput gajah 45 + jerami padi 0 + gamal 15 + kaliandra 10 + konsentrat 30 B = rumput gajah 30 + jerami padi 10 + gamal 20 + kaliandra 10 + konsentrat 30 C = rumput gajah 15 + jerami padi 20 + gamal 25 + kaliandra 10 + konsentrat 30 D = rumput gajah 0 + jerami padi 30 + gamal 30 + kaliandra 10 + konsentrat 30 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata P0,05 SEM = “Standard Error of the Treatment Means ” Lebih tingginya produksi VFA pada fermentasi in vitro 48 jam dibanding fermentasi in vitro 4 jam disebabkan karena mikroba rumen mendapat kesempatan lebih lama mendegradasi pakan dan hal ini memberi keuntungan bagi mikroba rumen sebagai sumber energi yang berdampak pada peningkatan pertumbuhan dan aktivitas mikroba itu sendiri untuk mencerna pakan yang diberikan. Hal ini terlihat pada KCFBK maupun KCFBO ransum fermentasi in vitro 48 jam lebih tinggi dari pada degradasi BK Gambar 2 dan BO Gambar 3 ransum yang difermentasi selama 4 jam. Kenyataan ini didukung oleh Putra [17], bahwa pencernaan pakan secara fermenatif, baik bahan kering BK atau pun bahan organik BO terdegradasi semakin tinggi sejalan dengan lamanya proses fermentasi berlangsung. Gambar 3 Koeisien Cerna Fermentatif Bahan Organik in vitro

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan, jerami padi mempunyai potensi yang cukup besar sebagai pakan ternak ruminansia. Pemakaian jerami padi sampai 20 dan disuplementasi 25 gamal dalam ransum ternak ruminansia mampu meningkatkan kecernaan dibandingkan ransum yang tidak mengandung jerami padi walaupun disuplementasi 30 gamal.

5. Ucapan Terima Kasih

Terimakasih kami sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana melalui Ketua LPPM Unud atas dukungan dana untuk penelitian ini.

6. Daftar Pustaka

[1] Friss, V. K. 1982. Effect of processing on nutrient content of feeds: Alkali treatment. Handbook of Nutritive Value of Processed Food. Vol. II. Animal Feedstuffs. CRC. Press. [2] Schiere, J. B. and M. N. M. Ibrahim. 1989. Feeding of Urea-Amonia Treated Rice Straw. Pudoc Wageningen. [3] Minson, D.J. and M. M. McLeod. 1972. The In Vitro Technic: its Modiication for Estimate Digestibility of Large Numbers of Tropical Pature Technique, Australia. [4] Solorzano Lucia. 1969. Determination of ammonia in natural waters by the phenol hypochlorite method. Limnology and Oceanography. Vol. 14 5 : 799-801. American Society of Limnology and Oceanography. [5] General Laboratory Procedures. 1966. Departement of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison. [6] Steel, R. G. D. Ang J. H. Torrie. 1986. Priciples and Procedures of Statistic. McGraw-Hill Book Co. Inc., New york. [7] Kamra, D. N. 2005. Rumen microbial ecosystem. Special Section: Microbial Diversity. Current Science, Vol. 89 No. 1:124-135. Chiba, L. I. 2009. Animal Nutrition Handbook. Second Revision. URL: http:www.ag.auburn. edu~chibaleanimalnutrition.html diunduh 5 Januari 2011. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institute Pertanian Bogor. 118 119 Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Pros. Seminar Penelitian Penunjang Peternakan, LPP. Bogor. [8] McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Pretice all, London. [9] Owens, F. H. and W. G. Bergen. 1983. Nitrogen metabolism of ruminant animals: Historical perspective, current understanding and future implication. J. Anim. Sci. 57, suppl 2. [10] Preston, T. R. and R. A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systems With Available Resources in The Tropics and Sub-tropics. Penambul Books Armidale. [11] Peters, J. P., J.A.Z. Leedle and J. B. Paulissen. 1989. Factor affecting the in vitroproduction of volatile fatty acids by mixed bacterial populations from the bovine rumen. J. Anim. Sci. 67:1593-1602. [12] France, J. and J. Dijkstra. 2005. Volatile Fatty Acid Productions. In: Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. 2nd Ed. C. A. B. International, Cambridge, USA. [13] Koster, H. H., R. C. Cochran, E. C. Titgemeyer, E. S. Vanzant, I. Abdelgadir and G. St-Jean. 1996. Effect of increasing degradable intake protein on intake and digestion of low-quality, tallgrass-prairie forage by beef cows. J. Anim. Sci. 1996. 74:2473–2481. [14] Putra, S. 2006. Pengaruh Suplementasi Agensia Defaunasi Segar dan Waktu Inkubasi Terhadap Degradasi Bahan Kering, Bahan Organik, dan Produks Fermentasi Secra In Vitro. Jurnal Protein Vol. 13. No. 2: 113-123. Studi Produksi Kentang Bibit Generasi 1 G1 Varietas Granola Kembang untuk Penyediaan Bibit Kentang Bermutu di Bali Ida Ayu Astarini 1 , Made Ria Deiani 1 , Ni Kadek Raleni 2 dan Ida Ayu Putu Suryanti 2 1 Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana 2 Program Studi Magister Ilmu Biologi, Program Pascasarjana Universitas Udayana E-mail: idaastariniyahoo.com Abstrak Potato is one of important vegetable crop in Bali. However, it production decreases signiicantly the last ive years. The main problem is low quality seed potatoes. Most farmers use part of their harvest as seed for the next planting seasons, resulting in 50 lost of their harvest, due to disease infection during storage and decreasing quality of the harvest. Some farmers imported seed potatoes from other islands, but the cost were much higher and cannot guarantee that the obtained the right generation of seed potatoes. Since there is an excellent market for this vegetable both for local and export to neighboring countries, it is very important to provide good quality seed potatoes. The aim of this project is to provide high quality seed potatoes source for farmers. Field trial was done at Bedugul, November 2010 – February 2011. ‘Granola Kembang’ minituber G0 was obtained from Brawijaya University. Results shows that minitubers produced good quality of irst generation G1 seed potatoes. Each tuber produced 5 small size tubers in average. This will be a very good source to produce G2 and G3 seed potatoes. Farmers usually use G3 to produced potatoes for consumers. It is recommended that farmers should use trustable G3 as seed for potato production. Keywords: Solanum tuberosum, seed potato, quality, Bali

1. Pendahuluan

Kentang adalah salah satu komoditi andalan di kawasan Bedugul, dataran tinggi dari dua kabupaten yaitu Kabupaten Tabanan dan Buleleng, dan juga sebagai sentra produksi kentang di Provinsi Bali. Produktivitas kentang di Bali mengalami penurunan dari 18,86 tonha pada tahun 2009 menjadi 16.44 tonha pada tahun 2011 [1]. Permasalahan yang berhasil diidentiikasi adalah adanya kesulitan petani mendapatkan bibit bermutu, harga bibit yang didatangkan antar pulau relatif mahal Rp 14.000 per kg untuk turunan G3 dan Rp 12,000 untuk turunan G4. Bila petani menyediakan bibitnya sendiri maka sekitar 50 mengalami kerusakan selama penyimpanan sebelum ditanam di lahan pada periode tanam berikutnya. Produksi kentang konsumsi yang bermutu sangat ditentukan oleh generasi kentang bibit. Kentang bibit yang baik adalah generasi ke 3 dan 4 G3 dan G4. Rendahnya produksi kentang di kawasan Bedugul disebabkan karena petani menyediakan kentang bibit dengan cara menyisihkan umbi kentang dari hasil panen produksi sendiri, sehingga kentang bibit yang digunakan merupakan generasi G5, G6 dan seterusnya. Penggunaan umbi kentang generasi ke 5 dan seterusnya sebagai bibit kentang tentunya mengurangi kualitas produksi kentang, karena semakin tinggi generasi umbi kentang, infestasi penyakit umbi semakin tinggi, dan dapat berakibat pada kegagalan panen, karena tingginya serangan penyakit. Di India, petani mulai menggunakan umbi kentang hasil kultur jaringan sebagai sumber bibit di lapangan untuk menghemat bahan baku konsumsi, mencegah perkembangan penyakit di lapang, ukuran umbi seragam dan produksi umbi hasil panen dapat ditingkatkan [2]. Selain membibitkan sendiri, petani di daerah Bedugul juga seringkali membeli kentang bibit dari daerah lain. Berdasarkan pengalaman petani yang membeli bibit kentang G3 bibit dari Cipanas 120 121 Jawa Barat atau Malang, didapati bibit kentang yang tidak tumbuh optimal sebanyak 30 – 50. Hal ini disebabkan karena bibit kentang mengalami pembusukan sebelum bibit beradaptasi terhadap lingkungan. Juga produksi kentang konsumsi pun masih relatif rendah karena tingginya serangan hama dan penyakit di lapang. Beberapa faktor internal maupun eksternal dapat mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif serta perkembangan tanaman kentang di lapang termasuk tahap pembentukan umbi. Faktor internal yang berpengaruh adalah varietas kentang, dimana masing- masing varietas memerlukan kondisi lingkungan yang berbeda untuk produksi umbi optimal. Beberapa varietas kentang yang sudah dikembangkan di Indonesia adalah varietas Kennebec, Red Pontiac, Katahdin, DTO-28, Cipanas, Cosima, Segunung dan Granola [3]. Faktor eksternal yang mempengaruhi tanaman kentang adalah faktor lingkungan seperti kecepatan angin, suhu, kelembaban, curah hujan dan cahaya. Angin kencang dapat menganggu kondisi tanaman. Suhu rendah 15-20 o C sangat diperlukan untuk inisiasi stolon yang akan berkembang menjadi umbi. Teknik budidaya juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil panen, misalnya jarak tanam, frekuensi pembumbunan, kesuburan tanah dan pengendalian hama dan penyakit [3]. Melihat permasalahan tersebut, perlu dicari alternatif lain penyediaan kentang bibit di daerah Bedugul, yaitu dengan mengupayakan pembibitan kentang dari generasi awal generasi ke 0 yang merupakan umbi kentang hasil perbanyakan kultur jaringan. Umbi mikro hasil perbanyakan dengan kultur jaringan dapat dipastikan bebas hama dan penyakit, karena diproduksi dengan teknik kultur meristem, selanjutnya diperbanyak secara in vitro dan diaklimatisasi untuk memproduksi kentang bibit G0 dengan lingkungan terkontrol di dalam rumah kaca. Selanjutnya dengan teknik budidaya terkontrol, akan diperolah kentang bibit generasi selanjutnya G1, G2, G3, dan G4 yang bermutu tinggi, dan tentunya akan menghasilkan kentang konsumsi yang bermutu tinggi dengan daya hasil yang tinggi pula. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan bibit kentang bermutu generasi 1 G1 guna meningkatkan mutu kentang bibit dan produktivitas kentang konsumsi di Bali. 2. Metodologi Penelitian 2.1. Bahan tanaman Bibit kentang G0 kultivar Granola Kembang hasil perbanyakan dengan teknik kultur jaringan diperoleh dari Universitas Brawijaya, Malang. Bibit yang digunakan adalah bibit yang telah mengalami masa dormansi 4 bulan dan telah tumbuh 3-4 mata tunas, umbi tidak luka dan tidak cacat.

2.2. Teknik budidaya

Kegiatan penanaman dilakukan di daerah Bedugul, Desa Batusesa di lahan milik UD Sila Artha, mulai Nopember 2011 hingga Februari 2012. Penanaman kentang G0 dilakukan di rumah plastik pada media tanah. Sebelum penanaman, tanah diberi pupuk kandang dari kotoran sapi sebanyak 200 kg100 m2. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara dicangkul dan digemburkan. Gulma dicangkul dan dibuang dari lokasi penanaman untuk mencegah gulma cepat tumbuh. Pupuk NPK 1: 1: 1 ditaburkan di tiap bedeng sebelum tanam. Sebanyak 1.000 kentang bibit G0 ditanam pada bedengan berukuran 100 x 10 m. Jarak tanam yang digunakan yaitu 20 cm x 20 cm. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara mencabut gulma rumput liar baik pada bedeng, maupun antar bedeng, setiap minggu. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan penyemprotan pestisida secara bergantian 2 kali seminggu, 1 bulan setelah tanam hingga 2 minggu sebelum panen. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi hari. Panen kentang dilakukan pada tanaman berumur 77 – 84 hari setelah tanam. Tanaman kentang yang siap panen dicirikan oleh daun dan batang yang sudah mengering, kulit umbi telah melekat sempurna pada daging dan tidak mudah terkelupas saat ditekan [4]. Umbi hasil panen dibawa ke gudang penyimpanan. Di gudang penyimpanan dilakukan sortasi dan grading. Bibit disortasi dan grading berdasarkan kelasnya Tabel 1. Variabel yang diamati meliputi kecepatan tumbuh umbi, rata – rata jumlah umbi per tanaman, jumlah umbi per kelas [4], hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Tabel 1. Pengkelasan Umbi Kentang Bibit G2 Berdasarkan Ukuran [4]. Kelas Umbi Ukuran gram M sedang 61-90 S kecil 30-60 SS sangat kecil 30 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1. Keadaan umum lokasi penanaman Lokasi percobaan penanaman kentang bibit G0 di daerah Bedugul merupakan lokasi yang sesuai untuk pertanaman kentang. Tempat ini memiliki ketinggian sekitar 1.200 m di atas permukaan laut dengan perkiraan suhu minimum dan maksimum bulan Nopember – Januari adalah 22 o C – 32 o C, dengan curah hujan tahunan sekitar 2.500 – 3.000 mmtahun. Bedugul memiliki tipe tanah Andosol dan Regosol [5] yang sangat subur dan gembur serta berdrainase baik.

3.2. Pertumbuhan kentang bibit di lapang

Kentang bibit G0 mulai tumbuh di lapang 1 minggu setelah tanam MST. Pertumbuhan mencapai lebih dari 80 pada umur 2 MST, dan pada 4 MST hampir keseluruhan tanaman 92 telah tumbuh sehat di lapang Gambar 1. Hanya 8 bibit yang tidak tumbuh. Hal ini mungkin disebabkan karena ukuran bibit yang terlampau kecil, sehingga tidak cukup memiliki cadangan makanan untuk memulai perkecambahan. Perbedaan persentase tumbuh pada minggu ke-2 dan ke-4 utamanya disebabkan karena kedalaman tanam yang berbeda pada saat menanam. Bibit yang ditanam lebih dalam 5 cm tumbuh lebih lambat, sedangkan bibit yang ditanam dengan kedalaman 3 cm, tumbuh lebih cepat. Perbedaan kedalaman saat penanaman dikarenakan perbedaan personil yang menanam. Gambar 1. Persentase tanaman tumbuh 2 dan 4 minggu setelah tanam 122 123

3.3. Produktivitas kentang bibit G1

Kentang bibit generasi ke 1 atau yang umum disebut G1 dipanen pada umum 85 hari setelah tanam HST. Tanaman siap panen dicirikan oleh daun dan batang yang mulai mengering, serta kulit umbi tidak mudah terkelupas. Diperoleh kentang bibit G1 sebanyak 49 kg60 m 2 , yang setara dengan 8.2 tonha. Produktivitas kentang G1 umumnya lebih rendah dari produksi kentang konsumsi, karena sumber bibit yang sangat kecil diameter sekitar 1 cm. Rendahnya produksi G1 mungkin juga disebabkan karena pada saat pertanaman, tidak dilakukan pembubunan secara rutin seminggu sekali. Pembubunan pada bedeng hanya dilakukan di awal pertanaman. Pembubunan tanaman kentang perlu dilakukan untuk merangsang pertumbuhan stolon, yang akan merangsang tumbuhnya umbi kentang yang lebih banyak [6]. Faktor lain yang dapat mengakibatkan rendahnya produksi umbi adalah suhu lingkungan pertumbuhan. Dari hasil pengamatan di lapang, suhu di dalam rumah plastik cukup tinggi ± 28 o C pada siang hari, jauh lebih tinggi dibandingkan suhu di luar rumah plastik. Kentang memerlukan suhu rendah untuk merangsang pembentukan umbi, karenanya suhu yang relatif tinggi akan menghambat pertumbuhan umbi kentang [3]. Jumlah rata – rata umbi kentang yang dihasilkan pertanaman adalah 5 butir, dengan total umbi kentang G1 yang dihasilkan sebanyak 3.488 umbi. Umbi yang dihasilkan dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu kelas, SS sangat kecil, 841 umbi, S kecil, 1869 umbi dan M medium, 779 umbi Gambar 2; 3. Gambar 2. Dari kiri ke kanan, kentang hasil panen kelas SS sangat kecil, S kecil dan M medium. Gambar 3. Jumlah umbi per kelas Produksi umbi ukuran S jauh lebih banyak dibandingkan umbi SS dan M. Hal ini umum ditemukan pada produksi kentang bibit. Kentang G0 umbi mini yang ditanam di lapang menjadi G1 masih merupakan umbi kentang untuk bibit dan bukan untuk konsumsi. Walaupun berukuran relatif kecil 30 – 60 gram akan lebih menguntungkan petani karena lebih banyak jumlah umbi yang diperoleh untuk produksi kentang bibit selanjutnya G2. Bibit G1 yang telah melewati masa dormansi selama kurang lebih 4 bulan, akan ditanam kembali untuk mendapatkan kentang bibit G2. Selanjutnya ditanam kembail untuk menghasilkan G3. Secara umum, setiap generasi pembibitan, satu kentang bibit akan menghasilkan 5 kentang bibit turunannya. Sehingga, penanaman 1.000 kentang G0 akan menghasilkan 5.000 kentang G1; 25.000 kentang G2, 125.000 kentang G3. Kentang bibit G3 siap dijual ke petani untuk produksi kentang konsumsi.

3.4. Hama dan Penyakit di Lapang