162 163
Nyoman Sumerta Miwada, SPt., MP, yang sangat kompeten di bidang pengembangan ternak sapi Bali. Kesan yang diperoleh yaitu semua peternak sangat antusias mengikuti rangkaian kegiatan ini.
Dijelaskan pula oleh anggota tim bahwa feses ataupun urin jika tidak diolah atau dibiarkan begitu saja dapat mencemari lingkungan dan berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan sekitar
dan menjauhkan dari konsep THK yang sebenarnya. Padahal potensi secara ekonomi feses ataupun urin jika diolah akan memberikan nilai tambah yang menguntungkan khususnya dalam upaya
pelestarian lingkungan. Sihombing 2000 mengatakan bahwa limbah ternak feses mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik, yang memungkinkan
dikombinasikan dengan sampah organik lainnya untuk menghasilkan produk yang bernama kompos.
Pengolahan feses maupun urin ternak sapi Bali ini diharapkan dapat menurunkan pencemaran
udara berupa bau yang muncul di sekitar kandang peternak, sehingga konsep THK, yang mengingatkan pada nilai keseimbangan dapat diimplementasikan dengan baik. Pain 1994
menyebutkan bahwa bau yang timbul di sekitar kandang dalam usaha peternakan merupakan masalah yang cukup serius. Lebih lanjut disebutkan bahwa bau dari kotoran ternak tersebut
merupakan hasil biodegradasi kotoran ternak oleh aktivitas bakteri baik secara aerob maupun anaerob.
Teknologi fermentasi merupakan metode aplikatif untuk mendukung konsep THK dalam upaya pengolahan kotoran menjadi nilai-nilai yang berguna bagi lingkungan. Para peserta sangat
antusias mengikuti kegiatan, terbukti dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan pada saat dilangsungkan diskusi.Faktor pendorong keberlanjutan dari program yang diperkenalkan adalah,
masyarakat desa Blumbang selama ini sudah tinggi tingkat kesadarannya akan pentingnya konsep
THK untuk diaplikasikan pada kegiatan rutin sehari-hari. Di samping itu, kepemilikan ternak sapi di masing-masing anggota kelompok ternak akan menjadi modal awal untuk mendukung konsep
kelestarian lingkungan. Hal ini karena adanya feses dan urin yang dihasilkan ternak peliharaannya dan dikelola dengan benar akan mendukung program ipteks berbasis organik. Faktor penghambat
yang mungkin ada adalah perilaku atau komitmen peternak untuk melakukan pengolahan feses dan urin dari usaha ternak sapinya sehingga menghasilkan produk yang ramah lingkungan bukan justru
tidak ramah lingkungan.
4. Simpulan Dan Saran a. Simpulan
Pengenalan konsep THK dan implementasinya dalam aktivitas sebagai petani ternak masyarakat desa Blumbang telah membuka wawasan masyarakat akan konsep Tri Hita Karana yang
mengutamakan keharmonisan dan keseimbangan antara ke tiga unsur manusia, lingkungan dan Tuhan. Wawasan tentang pentingnya pengolahan feses dan urin dari usaha ternak sapinya
sebagai bentuk riil dari aplikasi konsep Tri Hita Karana. Peserta sangat antusias mengikuti kegiatan pengabdian yang indikatornya terlihat dari tingginya tingkat keaktifan peserta diskusi
selama pelatihan dan perhatian terhadap demo plot yang dilakukan oleh tim pengabdian pada msyarakat.
b. Saran
Implementasi konsep
Tri Hita Karana dalam kehidupan nyata masyarakat, khususnya di desa Blumbang perlu diperluas dalam artian tidak hanya untuk kelompok peternak sapi tetapi juga
totalitas rutinitas kehidupan sosial lainnya, sehingga nilai-nilai luhur Tri HitaKarana sungguh terintegrasi dan mejadi identitas budaya masyarakat.
5. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana yang telah memberikan dukungan dana Dibiayai dari Dana
DIPA BLU Universitas Udayana Tahun Anggaran 2012 dengan Kontrak : Nomor : 15.106UN14 LPPM2012 Tanggal : 10 Mei 2012. Demikian pula para peserta yang tergabung dalam kelompok
peternak sapi di desa Blumbang, Kerambitan, Tabanan, serta semua pihak yang telah mendukung kegiatan ini.
6. Daftar Pustaka
[1]
Dalem, A.A.G. R. 2007., Implementasi Tri Hita Karana dalam Bidang Pariwisata menuju Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 71 : 78-84 PPLH-UNUD
Denpasar
[2]
Griya, I. Wayan, 2000., Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI, Penerbit Perusahaan Daerah Bali, Denpasar.
[3]
Pain, B.F. 1999., Gangguan Bau yang Berasal dari Sistem Produksi Ternak. In Pollution in Livestock Production System
, diterjemahkan oleh Putra, H. Penerbit IKIP Semarang Press, Semarang
[4]
Sihombing, D.T,H., 2000. Teknik Pengelolaan Limbah KegiatanUsaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor.
164 165
Upaya Penanggulangan Penyelewengan Pajak pada Masa Pemerintahan Raja Jayapangus: Sebuah Kajian Epigrais
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi
1
dan Rochtri Agung Bawono
1 1
Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar
Abstract
Preventive measure of the tax corruption at the King Jayapangus Period: an epigraphist study, focused on the King Jayapangus inscriptions. The data was sorted by the basic problems, such as tax collections mechanism, the factors
of corruption, and the government policies at the period. The inscription of taxes to the Ancient Bali Bali Kuno society explained straightly, and the mechanism of the tax collection was the King Jayapangus policy. He gives the
power of attorney to the district oficer who assisted by tuha banua head district. He also entrusted a Sang admak akmitan apigajih to watching over and manage the kingdom account. The main factor of corruption was caused
by the collectors unfavorable attitude and the society disabilities to paid for. The preventive efforts of corruption applied by policy review, give away swatantra autonomous right and inscription award also punishment.
Keywords: taxes corruption and inscription
I. Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu pokok bagian yang terdapat dalam bidang ekonomi. Setiap wajib pajak berkewajiban membayar pajak kepada negara atau kerajaan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata pajak diartikan dengan iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara Tim Penyusun, 2003:882.
Pada masa kerajaan, pajak merupakan salah satu sumber penghasilan kerajaan. Berdasarkan data prasasti diperoleh petunjuk bahwa sejumlah desa pada masa Bali Kuno khususnya pada
masa pemerintahan Raja Jayapangus menghadapi berbagai masalah mendasar terkait dengan jenis pungutan atau pajak. Besarnya jumlah pungutan yang mesti dibayarkan kepada kerajaan dan
adanya penyelewengan dalam pemungutan pajak menjadi pangkal perselisihan antara para pegawai petugas pemungut pajak dengan penduduk desa. Di samping itu penunjukan suatu desa menjadi
jatakaswatantra daerah yang memiliki hak untuk mengatur daerahnya sendiri dengan batas- batas sesuai ketentuan khusus juga sering menjadi polemik. Hal-hal seperti ini akan menyebabkan
timbulnya beban baru bagi rakyat dan dapat berdampak luas terhadap aspek kehidupan sosial masyarakat bersangkutan. Kewajiban membayar pajak oleh suatu masyarakat terhadap kerajaan
dilaksanakan sebagai tanggapan positif terhadap perhatian yang diberikan oleh raja. Tanggapan itu berupa kesadaran, ketaatan, serta bakti kepada raja atau kerajaan. Secara lebih kongkret rakyat
merasa wajib membayar drawyahaji, melaksanakan buathaji kerjabakti atau gotong royong, menjaga keamanan lingkungan dan sebagainya. Sepanjang hal-hal itu ditetapkan oleh raja sesuai
dengan kemampuan nyata mereka, rakyat pun menuruti dengan penuh ketaatan. Cukup banyaknya prasasti yang berasal dari raja-raja Bali Kuno khususnya pada masa pemerintahan Raja Jayapangus
diharapkan dapat diungkap sistem perpajakan pada masa tersebut khususnya terkait dengan permasalahan mekanisme pemungutan pajak, faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggaran pajak
dan upaya penanggulangannya pada masa pemarintahan Raja Jayapangus.
II. Tinjauan Pustaka
Semadi Astra 1997 dalam disertasinya yang berjudul “Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno abad XII-XIII: Sebuah Kajian Eigrais” menjelaskan bahwa prasasti pada hakikatnya merupakan
ketetapan raja mengenai pelbagai masalah yang dihadapi oleh suatu desa. Ketetapan itu berfungsi sebagai undang-undang dan wajib dipatuhi oleh semua pihak terkait, baik penduduk desa yang
bersangkutan atau desa lain maupun pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Adapun jabatan yang erat kaitannya dengan pengelolaan pajak pada masa Bali Kuno dari keterangan dalam prasasti dikenal
dengan istilah sang admak akmitan apigajih. Berdasarkan arti masing-masing kata yang membentuk nama jabatan itu serta dengan memperhatikan pula bentuk pemakaiannya dalam prasasti maka dapat
dikatakan bahwa jabatan sang admak akmitan apigajih semestinya diduduki oleh pejabat yang bertugas memungut dalam hal ini memungut drwyahaji, kemudian menyimpan atau menjaga,
dan pada gilirannya pejabat yang bersangkutan juga berhak mendapat sebagian upah atas jerih payahnya, dengan kata lain, pemegang jabatan ini berserta segenap jajaran dibawahnya bertugas
mengelola masalah drwyahaji.
Dalam prasasti-prasasti di Jawa mereka lasim disebut dengan istilah sang mangilala drabyahaji atau watek mangilala drawyahaji, sebagaimana terbaca misalnya dalam prasasti Panggumulan I
dan II 824 dan 825 Saka, Mantyasih I 829 Saka, dan Waharu I B. Astra,1997: 332-333. Pelbagai ketetapan mengenai pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh wilayah desa tertentu
termasuk masalah perpajakan merupakan salah satu bukti kesungguhan upaya yang dilakukan oleh seorang raja. Setiap keputusan yang diambil oleh seorang raja yang tercetuskan di dalam
prasasti merupakan hasil dari pemikiran yang cermat pada sebuah persidangan yang dihadiri oleh para petinggi kerajaan. Goris, R 1974 dalam artikelnya yang berjudul “Beberapa Data Sejarah
dan Sosiologi dari Piagam-piagam Bali”, mengungkapkan bahwa istilah-istilah perpajakan yang disebutkan dalam prasasti, masih menimbulkan banyak kesulitan terutama untuk membuat suatu
terjemahan yang sempurna. Goris juga mengatakan bahwa orang kerap kali meraba-raba, apakah susunan kata-kata dengan awalan ‘pa’ yang banyak sekali dijumpai dalam istilah-istilah prasasti,
harus dianggap sebagai bentuk abstrak dari sudut tata bahasa. Sehingga dapat diartikan sebagai ‘pajak atas’..., ‘pajak untuk’..., ataupun sebagai nama pelaku ‘pegawai untuk’ ..., ‘pemungut dari
pada’ ...Tetapi untuk pengertian umum, bahwa yang dimaksud adalah sebuah pajak yang harus ditagih.
Boechari 1981, dalam artikelnya yang berjudul “Ulah Para Pemungut Pajak di Dalam Masyarakat Jawa Kuna”, menyebutkan bahwa sumber penghasilan kerajaan-kerajaan kuna terdiri
atas pajak yang disebut dengan istilah drwyahaji , yang secara hariah berarti ‘milik raja’. Disamping
itu raja juga berhak atas tenaga kerja penduduk untuk mengerjakan keperluan jika hal itu diperlukan. Tenaga kerja seperti itu disebut buncanghaji. Akan tetapi di dalam pemungutan pajak tersebut sering
terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan timbulnya keluhan-keluhan rakyat. Keluhan-keluhan rakyat tersebut tidak disampaikan secara langsung kepada raja tetapi melalui jalur
birokrasi pada masa pemerintahan yang bersangkutan.
Bohari, H. 1993 dalam bukunya yang berjudul Pengatar Hukum Pajak menjelaskan mengenai sejarah singkat pemungutan pajak. Berdasarkan deinisi yang dikemukakan oleh para
sarjana yang kemudian dirangkum oleh Bohari, maka unsur-unsur yang terdapat dalam deinasi- deinisi itu adalah 1 bahwa pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban untuk menyerahkan
sebagian kekayaan pendapatan kepada negara; 2 bahwa perpindahan adalah bersifat wajib; 3 perpindahan itu adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah
yang berlaku umum; 4 tidak ada jasa timbal balik secara langsung.
166 167
III. Pembahasan 3.1. Unsur-unsur Dalam Sistem Perpajakan
Unsur-unsur dalam sistem perpajakan terdiri dari masyarakat, undang-undang, petugas pemungut pajak, subjek pajak, objek pajak dan surat ketetapan.
1. Masyarakat