166 167
III. Pembahasan 3.1. Unsur-unsur Dalam Sistem Perpajakan
Unsur-unsur dalam sistem perpajakan terdiri dari masyarakat, undang-undang, petugas pemungut pajak, subjek pajak, objek pajak dan surat ketetapan.
1. Masyarakat
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling ‘bergaul’ atau saling berinteraksi. Ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola
tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Di dalam prasasti Bali Kuno, Untuk menyatakan penduduk desa atau semacamnya
dipakai istilah anak banwa atau anak wanwa, anak thani, atau tanayan thani, dan karaman. S uatu wilayah biasanya disebut dengan istilah banwa atau wanwa yang berarti ‘desa,
wilayah’; banjar yang berarti ‘kesatuan wilayah yang termasuk penduduknya’; thani yang berarti ‘daerah desa’; desa yang berarti ‘desa, wilayah, daerah’; dan kuta yang berarti
‘benteng, pagar, pertahanan desa, dan desa berbenteng’. Dalam beberapa prasasti, kata banwa atau wanwa ditulis banua dan wanua.
2. Undang-undang
Di negara-negara yang berlandaskan hukum, segala sesuatu harus ditentukan dalam undang-undang. Demikian pula halnya dengan pajak. Dalam Undang-Undang Dasar tahun
1945, khususnya dalam pasal 23 ayat 2 dicantumkan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Dengan demikian pengenaan dan pemungutan pajak
untuk keperluan negara hanya boleh terjadi kalau didasarkan atas undang-undang. Adapun pada masa pemerintahan Raja Jayapangus, dalam menjalankan tugasnya rupa-rupanya
beliau berpedoman pada kitab hukum yang bersumber pada kitab hukum agama Hindu. Hal ini diakuinya secara eksplisit dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan. Prasasti-prasasti
Raja Jayapangus memuat nama-nama Manawasasanadharma atau Manawakamandaka atau Manawakamandakadharmasasana, Smrti, Dasasila, dan Pancasiksa
Meskipun dicantumkan dalam prasasti, kitab yang dijadikan acuan adalah kitab yang berasal dari India, akan tetapi menurut Semadi Astra adalah keliru apabila dipandang bahwa
isi kitab-kitab atau ajaran-ajaran itu diterapkan secara utuh dan merupakan satu-satunya acuan yang digunakan oleh raja. Eksistensi sistem budaya, sistem sosial, dan hasil karya
budaya Bali Kuno tetap mempunyai kemampuan untuk berperan dalam menata kehidupan
bermasyarakat 1997: 179. Kemampuan budaya setempat itu, yang oleh Quaritch Wales disebut local genius 1948n :2-32, tentu berperan cukup besar dalam menyaring serta
mengakomodasi aspek-aspek hukum yang bersumber pada ajaran Hindu ke dalam tatanan organisasi kerajaan Bali Kuno, bahkan menolaknya jika ternyata tidak diperlukan.
3. Petugas Pemungut Pajak Dalam menjalankan roda pemerintahannya raja dibantu oleh pejabat-pejabat.
Pejabat-pejabat inilah sebagai penghubung antara masyarakat dengan raja, terkait dengan kewajiban penduduk membayar pajak.Berikut ini akan dibahas mengenai pejabat-pejabat
yang terkait dalam pemungutan pajak pada masa pemerintahan Raja Jayapangus.
a. Sang admak akmitan apigajih Jabatan ini terbaca pertama kali dalam prasasti Ujung 962 Saka. Ada tiga dasar
membentuk istilah jabatan ini, yakni dmak, kmit, dan gajih. Dmak demak berarti ‘anugerah, pemberian’, ademak berarti menerima pemberian; penerima pemberian
Zoetmulder, 1982a :387 Kmit ’jaga’; makemit ’menjaga’ Mardiwarsito,1981:279. Kata gajih selain berarti ‘lemak, gemuk’ juga dapat berarti ‘upah’ Mardiwarsito,
1981:182. Goris sendiri mengartikan dmak dengan ’menjaga’ waken over, pengawas controleur 1954b:238. Kata demak juga mengingatkan kepada kata jemak Bahasa
Bali Baru yang berarti ‘ambil’.
Berdasarkan arti masing-masing kata yang membentuk nama jabatan itu serta dengan memperhatikan konteks pemakaiannya dalam prasasti maka dapat dikatakan
bahwa sang admak akmitan apigajih semestinya diduduki oleh pejabat yang bertugas memungut drwyahaji kemudian menyimpan atau menjaganya, dan pada gilirannya
pejabat yang bersangkutan juga berhak mendapat bagian sebagai upah atas jerih payahnya. Dengan kata lain, pemegang jabatan ini beserta segenap jajaran dibawahnya
bertugas mengelola masalah drwyahaji. Dalam prasasti-prasasti di Jawa mereka lazim disebut dengan istilah sang mangilala drabyahaji atau watek mangilala drawyahaji,
sebagaimana terbaca dalam prasasti Panggumulan I dan II 824 dan 825 Saka, Mantyasih I 829 Saka, dan Waharu I B Astra, 1997 :332-333.
Rekaman prasasti Raja Jayapangus menunjukan ada sejumlah pegawai bawahan yang dikordinasikan oleh sang admak akmitan apigajih atau yang tergabung dalam
kelompok pegawai pengelola drwyahaji. Masing-masing pegawai bawahan itu mengurusi masalah drwyahaji bidang-bidang tertentu. Jabatan pegawai-pegawai itu
dapat dikemukakan sebagai berikut.
a. Sang admak akmitan apigajih kuturan Pejabat ini mempunyai kaitan tugas dengan senapati kuturan atau keluarga
kuturan yang lain. b Sang admak akmitan apigajih krangan
Tugasnya erat bersangkut paut dengan pembagian harta warisan keluarga yang tidak menpunyai keturunan atau putus keturunan. Ada pula disebutkan jabatan
sang admak akmitan ser krangan dan sang admak akmitan krangan, yang secara hirarkis kedudukannya lebih rendah dan kewenangannya lebih terbatas jika
dibandingkan dengan sang admak akmitan apigajih krangan.
c Sang admak akmitan nayakan buru Bertugas
mengelola drwyahaji yang berkenaan dengan kegiatan perburuan
d Sang
admak akmitan
sarwa Pemegang jabatan ini kemungkinan besar mengelola drwyahaji yang ada
hubungannya dengan kewenangan Senapati Sarbwa. e Sang admak akmitan dwal haji.
Secara hariah dwal haji dapat berarti ‘penjualan raja’ Akan tetapi, tampaknya yang dimaksud dengan istilah itu adalah penjualan harta atau hasil bumi milik
raja atau kerajaan. Adapun tugas pejabat ini kemungkinan adalah mengelola drwyahaji yang dapat ditarik dari penjualan harta tersebut. Jabatan bawahannya
yang juga disebutkan dalam prasasti adalah sang akmitan dwal haji.
f Admak akmitan taji, admak taji, dan akmitan taji.
Tugas pemegang jabatan-jabatan ini pada dasarnya adalah mengurusi masalah drwyahaji yang dapat dipunguti dari pemilikan atau penggunaan senjata ayam
aduan taji.
168 169
b. Nayaka
Menurut Van der Tuuk 1894 : 550 fungsi jabatan nayaka sama dengan jabatan kbayankabayan dalam sistem pemerintahan masyarakat tradisional Bali, yaitu suatu
pejabat yang bertugas mengurus dan memelihara tempat suci. Sebagai imbalannya ia diberi hak untuk mengelola memungut hasil tanah milik tempat suci laba
pura tesebut. Sedangkan Goris 1954b:247 menyebutkan nayaka adalah sejenis ‘pimpinan’; ‘kepala’; ’pengawas’. Kemudian Casparis 1956 : 288 menyebutkan
nayaka adalah petugas kerajaan yang diberi kepercayaan untuk memungut pajak dari harta warisan orang-orang yang masih hidup. Kata nayaka yang ditemukan
dalam sistem pemerintahan Bali Kuno lebih cenderung diartikan ‘pengawas’ karena wewenangnya hanya terkait dengan salah satu aspek kehidupan masyarakat. Dalam
periode itu, ditemukan beberapa jabatan nayaka antara lain nayaka buru adalah pejabat yang mengelola daerah perburuan milik raja; nayaka asba mungkin pejabat
yang mengurus kuda-kuda, nayaka manuk kemungkinan pejabat yang mengurusi ayam aduan, nayaka saksi kemungkinan pejabat yang berkaitan dengan pengasawan
saksi.
c. Ser
Ser adalah jabatan dalam struktur pemerintahan tingkat desa yang mempunyi wewenang mengepalai suatu unit kerja misalnya ser pasar bertugas mengkordinir
kegiatan pasar, ser danu bertugas mengkordinir kegiatan di bidang pengairan atau irigasi.
d. Hulu
Kayu Jabatan hulu kayu adalah jabatan yang paling sering berurusan dengan masalah-
masalah tanah, seperti memungut pajak, mengatur wilayah desa, memberi ijin membuka lahan baru baik untuk pemukiman maupun pertanian. Bahkan pejabat yang
menduduki jabatan itulah yang sering mendampingi para pejabat desa keraman, menghadap langsung kepada raja untuk menyampaikan berbagai masalah yang
menimpa desa mereka dan memohon berbagai hal untuk kepentingan desanya.
e. Tuha banuatuha thani Pada umumnya masyarakat hukum pada masa Bali Kuno disebut dengan beberapa
istilah seperti wanuabanua, thani, desa, dan thani karaman. Sedangkan penduduknya disebut anak banuaanak wanua, anak thani. Kesatuan wilayahnya disebut
parimandala dan mempunyai batas yang tegas. Untuk menjalankan roda pemerintahan tingkat desa, diangkat sejumlah orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu yang
biasa diambil dari sesepuh desa tuha-tuha ring desanya. Mereka kemudian membagi tugas dalam menjalankan pemerintahan di desa termasuk memungut pajak.
4. Subjek