172 173
pemerintahan raja Jayapangus adalah dengan meninjau kembali keputusan-keputusan yang telah ditetapkan, memberikan hak swatantra kepada penduduk suatu desa,
menganugerahkan prasasti, dan memberikan hukuman yang setimpal.
4.2 Saran Upaya memetik nilai positif dari aktivitas masa lampau merupakan hal yang pantas dilakukan
oleh siapapun. Memang upaya itu sering merupakan sesuatu yang sukar dilaksanakan, namun akan lebih baik jika tetap diusahakan. Hal-hal yang dikemukakan di bawah ini merupakan
sebuah usaha kearah tersebut. Ditinjau dari segi nilai-nilai luhur budaya, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai luhur budaya lama dan baru bukanlah merupakan dua hal yang bersifat terpisah.
Cukup banyak nilai-nilai budaya yang masih dianut pada dewasa ini yang pada hakikatnya merupakan produk masa lampau. Memang dalam upaya memanfaatkan nilai-nilai budaya
lama dalam menghadapi masa kini dan masa yang akan datang diperlukan kearifan menyeleksi
serta “mendaur ulang” agar didapat nilai-nilai yang betul-betul bermanfaat bagi kehidupan. Perlu disadari bahwa sikap apriori dengan memandang bahwa segala sesuatu yang merupakan
produk budaya lama harus ditinggalkan adalah sikap yang patut dihindari.
V. Daftar Pustaka
[1] Astra, I Gde Semadi. 1997. “Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrais”, Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
[2] Bekker, S.J.WM. 1972. Ilmu Prasasti Indonesia Serie Risalah Pengantar Pengajaran dan Pembelajaran Sejarah Yogyakarta : Jurusan Sejarah IKIP Sanata Dharma.
[3] Boechari, M. 1977 Epigrai dan Sejarah Indonesia. Majalah Arkeologi Th I No. 2. Jakarta : Fakultas Sastra Univ. Indonesia Hal. 1-20.
[4] Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. 2004. Himpunan Prasasti-Prasasti Bali Masa Pemerintahan
Raja Jayapangus. Denpasar. [5]
Goris, DR. Roelof. 1954a. Prasasti Bali I. Bandung : NV. Masa Baru. [6] Goris, DR. Roelof. 1954b. Prasasti Bali II. Bandung : NV. Masa Baru.
[7] Koentjaraningrat. 1991 Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. [8] Miles, MB dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : UI Press.
[9] Sedyawati, Edi. 1997. “Konsep dan Strategi Pelestarian Warisan Budaya”, Makalah disampaikan dalam Internatonal Workshop on Balinese Culture Heritage,. Denpasar tanggal
29 Juli 1997. [10] Shastri, Pandit, N. D.. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar : Bhuwana Saraswati.
[11] Soebadio, Haryati. 1980. “Mencari Akar Kebudayaan Nasional”, Dalam Analisis Kebudayaan. Dep. P.dan K. Jakarta, No. 1. Th. I : 7-10.
[12] Suhadi, Machi. 1979. Himpunan Prasasti Bali, Koleksi R. Goris dan Ktut Ginarsa. Jakarta.
Implementasi Kebijakan Program Kb Di Kota Denpasar Dalam Perspektif New Public Service
Strategi dan Standarisasi Pelayanan Publik Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar dalam Peningkatan Peran
Akseptor Program KB Metode Operasi Pria
Tedi Erviantono
1
, Ni Made Ras Amanda G
1
, Ni Nyoman Dewi Pascarani
1 1
Administrasi Negara, FISIP Unud, Denpasar, Indonesia E-mail : erviantono2yahoo.com
Abstract
The policy of controlling population is one of important focus that has become a priority in order to improving people welfare in local government. One of implementation of this policy is birth control program by men
vasectomy. This research is held to study the principle of new public service in birth control program, especially for men surgery in Denpasar City. The study of this research is done through descriptive method and also attaching
interview instrument and documentation. On its implementation, the government of Denpasar, through Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Denpasar refers to new public service principles. This
implementation program has reached over the target. Some of new public service principle has been applied in control birth program by men surgery metode, which is : accessible, society participation, and reward for
successful program that has been done transparently through Surat Keputusan Walikota.
Keywords : new public service, birth control program men surgery
A. Pendahuluan
Problematika sebagian besar negara berkembang adalah mereduksi angka kemiskinan dengan menggunakan beragam strategi. Beberapa hal ditempuh antara lain peningkatkan infrastruktur
ekonomi serta pembangunan derajat partisipasi masyarakat melalui peningkatan pendidikan dan kesehatan. Hanya kendala peningkatan tersebut bersumber pada permasalahan kependudukan. Hal
ini terlihat dari fakta masih tingginya angka kematian bayi, termasuk ibu melahirkan, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat tentang hak reproduksi, serta masih tingginya laju pertumbuhan
penduduk yang tidak imbang dengan daya dukung lingkungan. Keprihatinan permasalahan kependudukan melahirkan konsep pembangunan berwawasan kependudukan sebagai integral
konsep sustainable development
Hakim,2011: 41. Kesadaran negara-negara mengurai masalah kemiskinan dan keterbelakangan melalui
pendekatan kependudukan dirintis sejak tahun 1994. Sekitar 120 negara berkomitmen melalui Konferensi Internasional Pembangunan dan Kependudukan ICPD di Cairo yang intinya bersama-
sama menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi semua orang tanpa diskriminasi dengan capaian selambat-lambatnya tahun 2015 Mantra, 2004:15. Komitmen ini ditindaklanjuti program
Millenium Development Goals MDGs yang salah satunya mempromosikan kesehatan gender dan pemberdayaan perempuan promoting gender equality and empowering women.
Indonesia memulai program pengendalian laju angka pertumbuhan kependudukan sejak awal Orde Baru, dimana tahun 1967 Presiden Soeharto kala itu ikut menandatangani deklarasi
kependudukan dunia. Pendukung komitmen tersebut ditindaklanjuti pendirian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN melalui Keputusan Presiden Kepres Nomor 8 tahun
1970. BKKBN merupakan lembaga Non Departemen yang memiliki tanggung jawab dalam bidang pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia melalui Program Keluarga Berencana
Nasional Utarini, 2005 : 98.
174 175
Lembaga resmi pelaksana teknis BKKBN terstruktur secara hirarkis, dari tingkat Pusat, Daerah Tingkat I sekarang provinsi, Daerah Tingkat II Kotamadya sekarang kabupatenkota hingga
tingkat kecamatan maupun desa. Pada perjalanannya, lembaga ini mengalami penyesuaian secara program maupun kelembagaan, termasuk Pembentukan Kementerian Kependudukan dan BKKBN
berdasarkan Kepres Nomor 109 Tahun 1993. Dasa warsa awal 1970-1980-an, Program Keluarga
Berencana KB berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dari 2,8 menjadi 2,3. Dasa warsa 1980-1990-an, laju pertumbuhan penduduk ditekan kembali menjadi 1,98, serta
pada dekade 1990-2000-an laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,49 Suyono; 2005:29. Meski trend pertumbuhan penduduk cenderung menurun, namun angka absolut pertumbuhan penduduk
rata-rata kisarannya masih cukup tinggi yaitu 3 juta jiwa per tahun dari jumlah penduduk 219 juta jiwa, sehingga menurut proyeksi BAPENAS, tahun 2025 penduduk Indonesia akan berjumlah
273,7 juta jiwa Kompas, 3 Agustus 2005.
Melihat kondisi tersebut, keberadaan Program Keluarga Berencana tentunya masih sangat dibutuhkan terutama menjaga keseimbangan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi,
maupun daya dukung lingkungan. Fokus yang perlu dicapai adalah komitmen terhadap program KB yang merujuk ratiikasi Deklarasi Cairo ICPD dimana mendasarkan pada tuntutan keadilan dan
kesetaraan gender. Realitasnya hingga kini, tingkat kesertaan ber-KB masih didominasi perempuan, sedangkan pihak pria tingkat kesertaannya masih sangat rendah, yaitu kurang 6 dari jumlah
total Peserta KB Aktif. Komitmen ideal program KB adalah keikutsertaan peserta KB Pria dalam penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang, salah satunya melalui Medis Operasi Pria MOP atau
vasektomi.
Rakernas Program KB tahun 2000 mengamanatkan perlunya ditingkatkan peran pria dalam Keluarga Berencana dan ditindak lanjuti Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 10HK-010B52001 tanggal 17 Januari 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
dengan membentuk Direktorat Partisipasi Pria di Bawah Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas merumuskan kebijakan operasional peningkatan partisipasi
pria dalam program KB. Pada arahan program tersebut ditegaskan perlunya intervensi khusus dengan program peningkatan partisipasi pria yang tujuan akhirnya mewujudkan keluarga berkualitas
melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, promosi KB dan kesehatan reproduksi berwawasan gender pada tahun 2015 BKKBN, 2000:43.
Perkembangan pelaksanaan program peningkatan kesertaan KB pria di lapangan ternyata belum mencapai harapan. Dalam kenyataannya terdapat permasalahan muncul dalam implementasi
program yang dilaksanakan, antara lain operasionalisasi program yang bias gender, penyiapan tempat dan tenaga pelayanan yang masih serba terbatas, peralatan lebih banyak digunakan untuk
peserta KB perempuan, serta terbatasnya pilihan kontrasepsi pria. Berdasarkan kondisi inilah, maka pilihan KB kalangan pria masih kurang populer dibanding KB perempuan karena juga ada
stereotype bahwa kecenderungan beban pemeliharaan anak termasuk keikutsertaan program KB masih ditanggung oleh pihak ibu perempuan, resiko penggunaan kontrasepsi pria yang dapat
menimbulkan gangguan dan mengurangi kualitas hubungan seksual, keengganan pihak istri perempuan pada suami untuk menyatakan kesepakatan akibat faktor hambatan dominasi nilai
sosial budaya serta kekhawatiran adanya efek samping kesehatan reproduksi dari pihak pria Zaeni, 2006 : 12.
Pada kondisi yang sama, secara historis terdapat permasalahan serius pada tingkat kelembagaan operasional yang juga secara langsung mempengaruhi peningkatan kesertaan KB pria. Keputusan
Menteri Pemberdayaan PerempuanKepala BKKBN yang merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2000 Tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang ditandatangani
Presiden Abdurrahman Wahid kala itu, dimana BKKBN merupakan instansi vertikal menjadi kontraproduktif tidak berarti saat harus berhadapan dengan Peraturan Pemerintah PP Nomor 8
tahun 2003 tentang SOTK di daerah yang disahkan pada masa Presiden Megawati. PP yang disertai regulasi pelaksana Kepres Nomor 103 tahun 2001 tersebut menggariskan
bahwa sebagian besar kewenangan BKKBN harus sudah diserahkan kepada daerah hingga akhir tahun 2003. Kondisi ini mengakibatkan terombang-ambingnya kelembagaan sekaligus berdampak
pada implementasi program, karena keberagaman masing-masing daerah menilai kepentingan program KB, termasuk munculnya masalah ketidakjelasan komitmen anggaran pendukung program
keluarga berencana di level daerah Utarini, 2005 : 98 atau kurang populernya program KB sebagai
program yang dicap “Orde Baru” Metrotvnews.com, 2012. Untuk Kota Denpasar, Pemerintah Daerah masih tetap berkomitmen melaksanakan program
KB dengan membentuk lembaga khusus, yaitu Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan melalui legalitas Perda Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Denpasar. Keberadaan lembaga ini secara implementatif diharapkan akan diikuti dengan peningkatan Program Keluarga Berencana secara lebih baik,
efektif, eisien, dan akuntabel sebagaimana tujuan utama dari otonomi daerah. Penyelenggaraan program di era otonomi daerah idealnya memang harus menyertakan sebuah standar layanan yang
mengikuti paradigma new public service, dimana sebagaian besar nilai-nilainya diderivasi dari tuntutan penegakan good governance kelembagaan layanan publik di daerah, termasuk Badan
Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar. Menurut Miftah Thoha 2008 : 24, penyelenggaraan pelayanan publik dalam ranah keilmuan administrasi negara di masa kini
telah mengalami pergeseran dari old public administration ke arah paradigma new public service yang menyertakan perubahan pada tataran formulasi, impelementasi dan evaluasi kebijakan publik.
Pada arah ini pelibatan komponen warga negara, institusi publik, perusahaan swasta dan Non Governmental Organization NGO merujuk pada proses governance sekaligus sebagai bentuk
keterlibatan total otoritas publik. Otoritas publik dilibatkan secara optimal, baik dalam bentuk
pemberian ruang akses pendapat suara bagi warga negara serta akomodasi isu-isu yang menjadi konsentrasi dari publik di tingkatan fase formulasi maupun implementasi kebijakan yang dihasilkan.
Penelitian ini hendak mengetahui ragam strategi dan standarisasi pelayanan publik yang dijalankan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar
terkait peningkatan peran akseptor KB Program Metode Operasi Pria Vasektomi sebagai implementasi kebijakan Keluarga Berencana dalam perspektif new public service. Metode penelitian
yang digunakan adalah teknik penelitian deskriptif kualitatif dengan mengajukan pertanyaan yang dirancang sebelumnya kepada pihak-pihak terkait dengan tema penelitian ini.
B. Perumusan Masalah