168 169
b. Nayaka
Menurut Van der Tuuk 1894 : 550 fungsi jabatan nayaka sama dengan jabatan kbayankabayan dalam sistem pemerintahan masyarakat tradisional Bali, yaitu suatu
pejabat yang bertugas mengurus dan memelihara tempat suci. Sebagai imbalannya ia diberi hak untuk mengelola memungut hasil tanah milik tempat suci laba
pura tesebut. Sedangkan Goris 1954b:247 menyebutkan nayaka adalah sejenis ‘pimpinan’; ‘kepala’; ’pengawas’. Kemudian Casparis 1956 : 288 menyebutkan
nayaka adalah petugas kerajaan yang diberi kepercayaan untuk memungut pajak dari harta warisan orang-orang yang masih hidup. Kata nayaka yang ditemukan
dalam sistem pemerintahan Bali Kuno lebih cenderung diartikan ‘pengawas’ karena wewenangnya hanya terkait dengan salah satu aspek kehidupan masyarakat. Dalam
periode itu, ditemukan beberapa jabatan nayaka antara lain nayaka buru adalah pejabat yang mengelola daerah perburuan milik raja; nayaka asba mungkin pejabat
yang mengurus kuda-kuda, nayaka manuk kemungkinan pejabat yang mengurusi ayam aduan, nayaka saksi kemungkinan pejabat yang berkaitan dengan pengasawan
saksi.
c. Ser
Ser adalah jabatan dalam struktur pemerintahan tingkat desa yang mempunyi wewenang mengepalai suatu unit kerja misalnya ser pasar bertugas mengkordinir
kegiatan pasar, ser danu bertugas mengkordinir kegiatan di bidang pengairan atau irigasi.
d. Hulu
Kayu Jabatan hulu kayu adalah jabatan yang paling sering berurusan dengan masalah-
masalah tanah, seperti memungut pajak, mengatur wilayah desa, memberi ijin membuka lahan baru baik untuk pemukiman maupun pertanian. Bahkan pejabat yang
menduduki jabatan itulah yang sering mendampingi para pejabat desa keraman, menghadap langsung kepada raja untuk menyampaikan berbagai masalah yang
menimpa desa mereka dan memohon berbagai hal untuk kepentingan desanya.
e. Tuha banuatuha thani Pada umumnya masyarakat hukum pada masa Bali Kuno disebut dengan beberapa
istilah seperti wanuabanua, thani, desa, dan thani karaman. Sedangkan penduduknya disebut anak banuaanak wanua, anak thani. Kesatuan wilayahnya disebut
parimandala dan mempunyai batas yang tegas. Untuk menjalankan roda pemerintahan tingkat desa, diangkat sejumlah orang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu yang
biasa diambil dari sesepuh desa tuha-tuha ring desanya. Mereka kemudian membagi tugas dalam menjalankan pemerintahan di desa termasuk memungut pajak.
4. Subjek
Pajak Subjek pajak disebut juga dengan istilah wajib pajak. Berdasarkan ketentuan umum
di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang dimaksud dengan wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan. Subjek pajak kalau dikaitan dengan data di dalam prasasti maka ditemukan adanya jenis pajak yang dikenakan pada setiap orang, setiap
keluarga, setiap kelompok, dan setiap desa.
5. Objek
Pajak Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak,
baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa Soemitro, 1990: 101. Berdasarkan prasasti- prasasti yang dikeluarkan Raja Jayapangus, maka yang dijadikan objek pajak adalah
segala sesuatu yang dijadikan sasaran dalam pemungutan pajak misalnya perbuatan atau aktivitas yang berhubungan dengan agrikultur antara lain pertanian lahan basah sawah
huma dan peternakan babi, ayam, persilangan ternak perbuatan yang berkaitan dengan usaha transportasi atau perdagangan dan juga penghasilan yang diperoleh dari profesi
sebagai seniman, pemadam kebakaran, dan pengawas atau saksi.
6. Surat
Keputusan Surat ketetapan pajak adalah keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak
yang terhutang, jumlah pengurangan pembayaran pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah pajak yang masih hurus dibayar
Soemitro, 1987 : 43-45. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang berhubungan dengan surat ketetapan tersebut dapat ditemukan pada
prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus. Meskipun tidak semua aspek yang ada dalam surat ketetapan itu ada dalam prasasti. Di dalam prasasti-prasasti Raja
Jayapangus disebutkan pajak apa saja yang harus dibayar, berapa jumlah pajak yang harus dibayar, sanksi-sanksi yang dikenai bagi orang-orang yang melanggarnya, dan bulan apa
suatu pajak harus dibayar.
7. Mekanisme Pemungutan Pajak Mekanisme pemungutan pajak dapat dilihat berdasarkan hierarki pemungutan pajak.
Hierarki pemungutan pajak pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dapat digambarkan sebagai berikut. Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan mempunyai ‘hak milik’
atas pajak, memberi kewenangnan memungut pajak kepada para pejabat daerah seperti nayaka buru, nayaka tangkalik, nayaka manuk, nayaka saksi, ser danu, hulu kayu,
caksu paracaksu dan para pejabat setingkat itu, yang dibantu oleh para rama atau tuha banuatuha thani kepala desa. Untuk mengawasi pemungutan pajak dan pengelolaan
pajak yang terkumpul, raja mempercayakan kepada sang admak akmitan apigajih, yang kemudian dimasukan ke dalam kas kerajaan. Selain mengikuti heirarki pemungutan pajak
seperti diatas, beberapa data prasasti juga menunjukan bahwa pajakiuran tidak diserahkan kepada raja pada akhirnya tetapi dipersembahkan kepada bangunan suci bhatara
. Hal ini sering terjadi pada masyarakat yang memiliki status swatantra otonomi sendiri yang
dalam prasasti dikenal dengan istilah jataka. Waktu pembayaran pajak tidaklah dilakukan secara serentak bagi semua jenis pajak yang ada. Ada yang dilakukan secara periodik,
yakni setiap tahun anken CetraCaitra setiap bulan sembilan, anken Magha setiap bulan tujuh, Asuji bulan ketiga, Kartika bulan keempat, dan ada juga beberapa jenis
pajak dipungut setiap bulan habulan-bulanan yang kadang kala disertai dengan tanggal.
8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelanggaran Pajak pada Masa Pemerintahan Raja Jayapangus