Tanya-Jawab dalam Stilistika Alquran

4.2 Tanya-Jawab dalam Stilistika Alquran

Berikut ini dikemukakan beberapa komunikasi antara penutur dan lawan tutur dalam stilistika Alquran yang diduga terjadi ketidaksesuaian terhadap prinsip-prinsip kerja sama Grice tersebut, terutama maxim of quantity (prinsip kuantitas), kemudian akan dikemukakan pula analisisnya. (1) Q.S. Yusuf [12]: 70-72:

Artinya: (70) Maka, tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala [tempat minum] ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, “Hai kafilah, sesung- guhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri.” (71) Mereka menjawab, sambil menghadap kepada penyeru-penyeru itu, “Barang apakah yang hilang dari kamu?” (72) Penyeru-penyeru itu berkata, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan [seberat] beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.”

Ayat ini dilatarbelakangi oleh peristiwa pertemuan Yusuf As. dengan saudara-saudaranya. Bermula dari peristiwa mimpi raja yang telah menjadi kenyataan. Masa paceklik melanda Mesir dan sekitarnya. Nabi Yaqub As. bersama anak-anaknya yang tinggal tidak jauh dari Mesir (di Palestina) juga mengalami masa sulit. Tatkala mereka mendengar bahwa pemerintah Mesir membagikan pangan atau menjualnya dengan harga yang sangat murah, Nabi

PROSIDING

Yaqub memerintahkan anak-anaknya menuju ke Mesir, kecuali Bunyamin saudara kandung Yusuf As. Ketika mereka masuk menemui Yusuf, Yusuf langsung mengenal mereka, sedangkan mereka benar-benar merasa asing terhadap Yusuf. Tatkala Yusuf menyiapkan bahan makanan untuk mereka, ia berkata, “Jika besuk kamu datang lagi, bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu, dan jika kamu tidak membawanya kepadaku di waktu mendatang, maka kamu tidak akan mendapat sukatan lagi dariku.”

Kafilah tersebut segera berangkat menuju kampung halaman mereka, dan kini mereka telah kembali kepada ayah mereka. Mereka berkata kepada ayah mereka, “Wahai ayah kami, kami tidak akan mendapat sukatan gandum di masa mendatang kecuali jika kami membawa saudara kami (Bunyamin) ke Mesir menemui penguasa yang berwenang membagi gandum.” Dengan de- sakan dari anak-anaknya, Yaqub As. akhirnya menyetujui juga kepergian anaknya yang termuda, yakni Bunyamin. Tibalah kesepuluh saudara tiri Nabi Yusuf As. dan Bunyamin ke Mesir, lalu mereka menuju ke tempat Yusuf As. Pada saat itulah Nabi Yusuf memberitahukan kepada saudara kandungnya bahwa aku ini adalah saudara kandungmu (Yusuf) dan janganlah engkau ber- duka cita terhadap apa yang telah dilakukan oleh saudaramu terhadap kita.

Tidak lama setelah pertemuan itu, Yusuf memerintahkan pembantu-pem- bantunya untuk mempersiapkan kepulangan mereka. Tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan, Yusuf memasukkan piala ke dalam karung saudara kandungnya. Setelah mereka berangkat menuju ke kampung halaman, berteriaklah seorang penyeru, “Wahai kafilah, sesungguhnya kamu benar- benar para pencuri.” Mereka menjawab,

‘Barang apakah yang hilang dari kamu?’ Penyeru itu berkata

‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan [seberat] beban unta, dan aku menjamin terha-

dapnya’. Pertanyaan

‘Barang apakah yang hilang dari kamu’? dalam ayat tersebut penuturnya adalah saudara-saudara Yusuf, sedangkan lawan

tuturnya adalah salah seorang dari pegawai Yusuf. Kontribusi jawaban yang diberikan oleh lawan tutur adalah

Jawaban tersebut bila dicermati dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip- prinsip percakapan (conversational maxim), terutama prinsip kuantitas. Se-

PROSIDING PROSIDING

yang ditanyakan oleh penutur, karena memang itu yang dibutuhkan. Se- mentara, informasi tentang ganjaran bagi yang dapat mengembalikan piala raja belum ditanyakan oleh penutur, namun sudah diinformasikan oleh lawan tuturnya. Dengan demikian, jawaban dari pegawai kerajaan tersebut melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh penanya. Prinsip kuantitas percakapan menye- butkan “sumbangan informasi Anda jangan melebihi dari yang dibutuhkan” (Sperber, 1998:34).

Penambahan tersebut disengaja oleh penuturnya, dan dimaksudkan un- tuk menunjukkan betapa seriusnya penutur berkeinginan mendapatkan piala raja itu. Dalam tambahan jawaban tersebut juga terselip maksud, betapa berat balasan yang akan diterima oleh yang mengambil, dan betapa besar pahala bagi yang menemukannya. Dengan adanya maksud tersebut, kiranya ketidak- sesuaian dengan prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibenarkan.

(2) Q.S. Al-A’râf [7]: 113-114:

Artinya: (113) Dan, beberapa kali ahli sihir itu datang kepada Fir’aun mengatakan, “[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang menang?” (114) Firaun menjawab, “Ya, dan sesungguh-nya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang didekatkan [kepadaku].’

Ayat tersebut berbicara tentang kisah Nabi Musa As. ketika menghadapi raja Fir’aun. Bermula dari penjelasan Nabi Musa kepada Firaun bahwa dirinya adalah utusan Tuhan semesta alam, dan dia diutus kepadanya dengan bukti yang nyata dari Tuhan, maka Musa berharap kepada Firaun agar melepaskan Bani Israil bersamanya. Mendengar ucapan Musa As. dan pernyataannya bahwa beliau membawa bukti kebenaran, maka Firaun berkata, “Jika benar engkau telah membawa suatu bukti, tentang kebenaran ucapanmu, maka datangkanlah bukti itu jika engkau termasuk orang-orang yang benar.” Serta Musa As. menjatuhkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat berubah menjadi ular yang sangat jelas. Kemudian, Musa As. menunjukkan bukti kebenaran yang lain, yaitu dia mengeluarkan tangannya dari bajunya atau dari ketiaknya, maka seketika itu juga tangannya menjadi putih bercahaya, terlihat dengan jelas oleh orang-orang yang melihatnya.

PROSIDING

Setelah menyaksikan apa yang dilakukan oleh Musa As., para pemuka kaum Firaun itu berkata satu sama lainnya, “Sesungguhnya ini, sambil menun- juk kepada Musa As. adalah penyihir yang amat pandai. Musa As. dengan sihirnya itu bermaksud mengeluarkan kamu sekalian dari negeri kamu, yaitu Mesir. Firaun berkata atau mereka satu sama lain berkata, “Apakah yang kamu perintahkan atau anjurkan untuk kita lakukan guna mencegah Musa As. mencapai tujuan itu?”

Sebagai tanggapan terhadap pertanyaan tersebut, pemuka masyarakat Firaun berkata kepada Firaun, “Beri tangguhlah dia, yaitu Musa As. dan sau- daranya, Harun As. jangan tergesa-gesa menindaknya. Tangguhkanlah pada kesempatan lain, dan kirimkanlah beberapa orang ke kota-kota untuk me- ngumpulkan ahli-ahli sihir yang amat pandai dan membawa mereka kepada- mu.” Usulan ini diterima, dan diutuslah sekian petugas untuk memilih penyair- penyair tangguh dan membawa mereka ke pusat pemerintahan Firaun.

Petugas-petugas itu berhasil membawa para penyihir datang ke istana, dan mereka bertanya kepada Firaun, “(Apakah) kami memperoleh upah yang besar, jika kami keluar sebagai pemenang?” Firaun menjawab, “Ya, kamu pasti mendapat upah, dan bukan hanya upah itu saja, sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang didekatkan kedudukannya kepadaku.”

Pertanyaan pada dua ayat tersebut adalah ‘[Apakah] sesungguhnya kami akan mendapatkan upah, jika kamilah yang me-

nang?’ Jawaban yang diberikan oleh lawan tutur adalah ‘Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang

didekatkan [kepadaku]’. Percakapan ini, penuturnya adalah ahli-ahli sihir, sedangkan lawan tu- turnya adalah Firaun. Topik yang dijadikan fokus pembicaraan adalah hadiah yang akan diberikan kepada penyihir-penyihir Firaun jika dalam menghadapi Musa As. mereka mendapatkan kemenangan.

Jawaban tersebut, jika ditilik dari penerapan prinsip kerja sama, dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip percakapan, terutama prinsip

kuantitas. Sekiranya lawan tutur hanya menjawab ‘Ya’ tanpa ada tambahan yang lainnya, maka jawaban itu sebenarnya sudah mencukupi apa yang diminta

oleh penutur, karena memang itu yang dibutuhkan. Informasi tentang kedudukannya akan didekatkan kepada raja jika menjadi pemenang adalah informasi yang sebenarnya belum ditanyakan oleh penutur, namun sudah diinformasikan oleh lawan tuturnya (Firaun). Dengan demikian, jawaban dari Fir’aun tersebut melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh penanya. Prinsip

PROSIDING PROSIDING

Prinsip kuantitas menyatakan bahwa sumbangan informasi jangan mele- bihi dari yang dibutuhkan (do not make your contribution more informative than require ) (Sperber, 1998:33). Penambahan jawaban memang disengaja oleh penu- turnya dan dimaksudkan untuk menunjukkan betapa seriusnya penutur (Firaun) berkeinginan mendapatkan kemenangan dalam pertandingan tersebut. Dengan adanya maksud tersebut, kiranya ketidaksesuaian jawaban terhadap prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibenarkan

Sementara itu, jika dilihat dari prinsip-prinsip yang lainnya, jawaban yang diberikan oleh lawan tutur (Firaun) tersebut telah memenuhi prinsip- prinsip percakapan, seperti prinsip kualitas, yang mewajibkan kepada penuturnya agar memberikankan informasi kepada lawan tutur dengan benar, dan tidak mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.

Jawab pertanyaan (istifhâm) yang berbunyi adalah jawab- an yang diyakini kebenarannya oleh penutur dan lawan tutur. Jawab perta-

nyaan (istifhâm) dengan menggunakan kata ‘Ya’ tersebut dapat ditafsirkan bahwa seandainya nanti para pengikut Firaun keluar menjadi pemenangnya,

maka penutur (Firaun) benar-benar akan memberikan hadiah kepada mereka, dan informasi itu juga diyakini kebenarannya oleh para pengikutnya.

Jawab pertanyaan (istifhâm) tersebut di samping memenuhi prinsip kualitas juga memenuhi dua prinsip yang lain, yaitu prinsip relevansi dan prinsip pelaksanaan, sedangkan prinsip kuantitas dikesampingkan. Ketidakse- suaian jawaban dengan prinsip kuantitas ini ditandai dengan penambahan informasi yang belum ditanyakan oleh penutur, yaitu informasi tentang janji untuk didekatkan pada keluarga kerajaan, jika menjadi pemenangnya.

(3) QS.Thâha [20]: 18-19:

Artinya: (18) “Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?” (19) Berkata Musa,

“Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul [daun] dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”

PROSIDING

Dua ayat tersebut adalah bagian dari ayat-ayat yang berbicara mengenai kisah Musa As. Kisah ini bermula dari perjalanan Musa As. Pada suatu malam dari Madyan menuju Mesir, ia melihat api, lalu berkata kepada keluarganya, “Tinggallah kamu,” yaitu tunggulah kamu di tempat ini beberapa saat, jangan melanjutkan perjalanan sampai aku kembali. Nabi Musa As. lalu berangkat menuju ke tempat sumber api itu, ia dipanggil, “Wahai Musa! Aku adalah Tuhanmu yang memelihara dan membimbing-mu, maka tinggalkanlah alas kakimu, sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwâ.” Selan- jutnya, Allah menyampaikan berita gembira sekaligus petunjuk kepada Nabi Musa As. dengan menyatakan bahwa Aku telah memilihmu sebagai nabi, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu untuk engkau amalkan dan ajarkan kepada kaummu. Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan shalat untuk mengingat Aku. Setelah mengurai-kan prinsip akidah yang pertama, yaitu keesaan Allah SWT, kemudian disampaikan prinsip kedua, yaitu tentang kenis- cayaan hari kiamat. Allah menyampaikan kepada Nabi Musa As., bahwa se- sungguhnya hari kiamat akan datang dan pada hari itu setiap jiwa akan dibalas dengan apa yang ia usahakan. Hai Musa, sekali-kali janganlah engkau dipa- lingkan darinya oleh orang yang tidak percaya kepadanya dan mengikuti hawa nafsunya.

Nabi Musa As. mendengar firman-firman Allah tersebut dengan tekun dan penuh kenikmatan. Pikiran dan jiwanya tenggelam dalam alam keruhani- an, maka Allah berkehendak mengembalikan pikirannya ke alam materi, sekaligus menunjukkan kekuasaan Allah dan mukjizat yang menjadi bukti kebenarannya. Dalam konteks itu, Allah bertanya kepada Musa,

‘Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?’ Pertanya- an tersebut bertujuan menyadarkan Nabi Musa bahwa apa yang dipegangnya

adalah tongkat yang benar-benar dia kenal, sehingga jika tongkat itu berubah menjadi ular, maka perubahan tersebut merupakan suatu kenyataan.

Kalimat tanya yang berbunyi tersebut penuturnya adalah Allah, sedangkan lawan tuturnya adalah Musa As. Penutur dalam

tuturannya menggunakan piranti tanya /mâ/apakah. Piranti tanya tersebut tidak difungsikan untuk makna yang sebenarnya, karena Allah sebagai penutur telah mengetahui jawabannya. Pertanyaan tersebut oleh penuturnya difung- sikan untuk penegasan/at-taqrîr. Maksud penegasan adalah penutur menegas- kan bahwa tongkat tersebut hanyalah sesuatu yang remeh sebagaimana tong- kat-tongkat yang lainnya. Namun, dalam hal ini penutur ingin menjadikanya sebagai sesuatu yang luar biasa (Hindawi, 1995:83). Demikianlah kebiasaan

PROSIDING PROSIDING

Dilihat dari sisi jawab pertanyaan (istifhâm) yang diberikan oleh lawan tutur, maka jawaban yang diberikan oleh Musa adalah

‘Ini adalah tongkatku’. Jawaban yang berbunyi ‘ini adalah tongkatku’ adalah jawaban

yang sudah mencukupi, karena itulah yang ditanyakan oleh penutur. Namun, dalam kenyatannya Musa As. memberikan tambahan informasi lain, yaitu tentang fungsi tongkat dan itu sebenarnya belum ditanyakan oleh penuturnya.

Dilihat dari perspektif prinsip-prinsip percakapan, jawaban ‘ini tongkatku’, telah sejalan dengan prinsip-prinsip percakapan, terutama prinsip kuantitas, sejalan dengan prinsip kuantitas, karena memang hanya itu yang

ditanyakan oleh penutur (Allah). Namun, Musa menambahkan jawabannya dengan

‘Aku bertelekan padanya, dan aku pukul [daun] dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada

lagi keperluan yang lain padanya’. Oleh karena itu, jawaban yang diberikan oleh Musa sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip kuantitas yang menghendaki setiap peserta percakapan hendaklah memberikankan kontribusi yang secu- kupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Ketidaksesuaian prinsip kuantitas tersebut disebabkan oleh Musa dalam memberikan informasi fungsi tongkat dan jawaban itu belum ditanyakan oleh penutur.

Dalam konteks percakapan antara Allah dan Musa ini, Nabi Musa merasa adanya kenikmatan dan kelezatan yang diraih melalui dialog dengan Allah SWT dan Musa sengaja berlama-lama dalam memberi jawaban agar lebih lama pula kenikmatan itu beliau rasakan. Az-Zamakhsyari mengemukakan bahwa pertanyaan tersebut bagus, maka Musa merasa senang, kemudian memberikan kontribusi jawaban yang lebih, yaitu dengan menyertakan fungsi tongkat (Hindawi, 1995:85). Dengan demikian, keterangan tambahan lawan

tutur yang berbunyi dapat dimaklumi dan dibenarkan, karena adanya alasan-alasan yang kuat untuk

melanggarnya. Bukankah sering terjadi seperti apa yang terjadi pada Nabi Musa dalam pertuturan? Sekiranya ada pertanyaan yang sangat disukai itu dikemukakan,

maka jawaban yang diberikan sangat panjang sebagai bukti rasa senang. Memperpanjang jawaban juga akan tejadi manakala lawan tutur mendapatkan pertanyaan dari orang yang dikagumi atau dicintai, maka jawaban yang

PROSIDING PROSIDING

(4) QS. Asy-Syu’ara’ [26]: 70-71:

Artinya: (71) Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Apakah yang kamu sembah? (71) Mereka menjawab, “Kami menyembah berhala-ber-

hala dan kami senantiasa tekun menyembahnya.” Dua ayat tersebut di atas dan beberapa ayat sesudahnya berbicara tentang

kisah Nabi Ibrahim As. ketika dirinya ingin mengetahui apa yang disembah oleh orang tua serta kaumnya. Keinginan tersebut dapat dipahami melalui percakapan yang dibangun antara kedua belah pihak. Ibrahim dalam per-

cakapan tersebut bertindak sebagai penutur, sedang orang tuanya sebagai lawan tutur.

Bermula dari Ibrahim bertanya kepada bapak dan kaumnya mengenai apa yang disembah, mereka (bapak dan kaumnya) menjawab, “Kami menyem-

bah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya” Mendengar jawaban tersebut, Ibrahim bertanya lagi, “Apakah berhala-berhala itu men- dengar doamu sewaktu kamu berdoa kepadanya atau dapatkah mereka mem- berikan manfaat dan madarat kepadamu?” Mereka menjawab, “Bukan karena itu, kami mendapati nenek moyang kami berbuat seperti ini.” Ibrahim kemu- dian bertanya lagi, “Apakah kamu telah memerhatikan apa yang kamu sembah, dan juga yang disembah oleh nenek moyang kamu? Sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku.” Dialah yang menunjuki aku, Dia memberikan makan dan minum kepadaku, Dialah yang menyembuhkan aku jika aku sakit, Dialah yang mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali, dan Dialah yang aku inginkan memaafkan kesalahanku pada hari kiamat.

Tuturan yang menggunakan gaya bahasa kalimat tanya adalah kalimat ‘Apakah yang kamu sembah?’ Piranti tanya yang digunakan adalah /mâ/apa. Ia adalah piranti tanya yang difungsikan untuk menanyakan benda

yang tidak berakal. Jawaban yang diberikan oleh lawan tutur adalah ‘Kami menyembah berhala.’ Ini adalah jawaban yang sudah mema-

dai dan mencukupi yang dibutuhkan oleh penanya. Namun, lawan tutur sengaja memperpanjang jawabannya dengan menambah jawaban

PROSIDING

‘Kami senantiasa tekun menyembahnya’. Dengan penambahan ini berarti jawaban tidak sesuai dengan prinsip-prinsip percakapan, utamanya

prinsip kuantitas. Prinsip kuantitas menyatakan bahwa sumbangan informasi jangan mele- bihi dari yang dibutuhkan (do not make your contribution more informative than require ) (Sperber, 1998:33). Lawan tutur (Azzar dan kaumnya) dengan sengaja menambahkan jawaban dengan maksud untuk menunjukkan keseriusan dan kontinuitas penyembahan mereka terhadap berhala (Hindawi, 1995:87)

Dengan adanya maksud tersebut, kiranya ketidaksesuaian jawaban dengan prinsip percakapan, terutama prinsip kuantitas dapat dimaklumi dan dibolehkan.

(5) Q.S. Ali Imran [3]: 52:

Artinya: Maka, tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka [Bani Israil], berkatalah

dia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk [menegakkan Agama] Allah ?” Para Hawariyyin [sahabat-sahabat setia] menjawab, “Kamilah penolong-penolong [Agama] Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang- orang yang berserah diri.”

Pertanyaan yang berbunyi dalam ayat tersebut di atas dilatarbelakangi oleh peristiwa sebagai berikut: Bermula dari berita yang

dibawa oleh malaikat kepada Maryam bahwa sesungguhnya Allah menggem- birakan Maryam dengan kelahiran seorang putra yang diberi nama Al-Masih Isa Putra Maryam. Dengan berita itu, Maryam berkata, “Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai seorang anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki manapun.” Sebagai jawabannya, Allah berfirman (de- ngan perantara Jibril), “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki- Nya.” Kemudian Allah memberikantahukan, bahwa Dia akan mengajarkan kepadanya Al-Kitab, hikmat, Taurat dan Injil. Allah mengangkatnya sebagai rasul kepada Bani Israil dengan dibekali mukjizat-mukjizat dari Tuhannya, yaitu Isa dapat membuat burung dari tanah, kemudian ia meniupnya. Dengan seizin Allah, burung dari tanah itu menjadi seekor burung. Ia dapat menyem- buhkan orang yang buta sejak dari lahirnya. Ia dapat menghidupkan orang

PROSIDING

Tatkala Isa mengetahui keingkaran Bani Israil, ia bertanya, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk

[menegakkan Agama] Allah?’ Para Hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.”

Dengan demikian, dalam percakapan tersebut, penuturnya adalah Al-Masih Isa As., sedangkan lawan tuturnya adalah Bani Israil. Piranti tanyanya adalah man /siapakah. Piranti tanya ini difungsikan untuk menanyakan orang atau yang berakal. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sebenarnya (hakikî), yaitu meminta keterangan tentang siapakah yang beriman kepada risalah kenabiannya dan berikhlas dengan seihlas-ihlasnya? Al-Hawariyyun memberikan

kontribusi jawaban dengan ‘Kamilah penolong-penolong [agama] Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah

bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Sampai di sini, sebenarnya lawan tutur (Hawariyyun) telah memenuhi harapan penutur yang menanyakan siapa penolongnya. Piranti tanya yang

digunakan /man/siapa, dan kontribusi jawaban yang diberikan adalah ‘Kamilah penolong-penolong [agama] Allah’. Kenyataannya, lawan tutur (Hawariyyun) dengan sengaja menambahkan jawabannya dengan

‘Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Dengan penam-

bahan jawaban ini, Hawariyyun sebagai lawan tutur telah mengesampingkan prinsip-prinsip percakapan, utamanya prinsip kuantitas. Prinsip kuantitas me- minta agar masing-masing yang terlibat dalam pertuturan memberikankan sumbangan informasi yang secukupnya, tidak melebihi dari yang dibutuhkan (Sperber, 1998:34). Ketidaksesuaian dengan prinsip percakapan ini memang disengaja oleh penuturnya, mengingat adanya maksud-maksud tertentu ingin disampaikan oleh penuturnya. Maksud tersebut adalah menguatkan ja- wabannya sebagai penolong Allah.

PROSIDING

(6) Q.S. Al-A’raf [7]: 12

Artinya: Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam di waktu Aku menyuruhmu? Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.”

Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memerintahkan kaum musyrikin agar mengikuti dengan tekun dan sungguh-sungguh tuntunan kitab suci, sambil memperingatkan tentang siksa duniawi dan ukhrawi. Pada ayat selanjutnya, Allah mengingatkan mereka, betapa banyak nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah yang seharusnya disyukuri. Namun, kenyataannya sangat sedikit dari mereka yang mensyukurinya. Di antara manusia ada yang tidak peduli dengan adanya peringatan dan ancaman, namun berkesan dalam hatinya suatu kenangan. Maka, pada ayat seterusnya Allah menguraikan peristiwa yang pernah terjadi pada masa lalu yang dialami oleh leluhur manusia, yaitu Adam As.

Untuk tujuan mengingatkan tersebut, Allah mengatakan, “Demi ke- agungan dan kekuasaan Kami, Sesungguhnya Kami telah menciptakan leluhur

kamu, yaitu Adam As., lalu Kami bentuk fisik dan psikisnya dan Kami anu- gerahi potensi yang menjadikannya memiliki kelebihan.” Selanjutnya, Kami katakan kepada malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam, maka dengan segera mereka bersujud, tetapi Iblis enggan bersujud.” Atas keengganan iblis bersujud itu, Allah menanyakan sebab yang membuatnya enggan bersujud. Dia berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk tidak bersujud pada saat Aku meyuruhmu”? Iblis berkata, “Aku lebih baik darinya sehingga tidak wajar saya bersujud. Aku lebih baik dari manusia, karena Engkau telah menciptakan aku dari api yang mengandung cahaya, sedangkan Engkau telah menciptakan Adam As. dari tanah.”

Kalimat tanya dalam ayat tersebut di atas adalah ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam di waktu Aku

menyuruhmu?’ Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa pertanyaan tersebut difungsikan untuk menjelekkan/taubîh terhadap sikap yang diambil oleh Iblis yang menolak untuk bersujud kepada Nabi Adam As. Pendapat Az-Za-

makhsyari tersebut juga diikuti oleh para mufasir lainnya, seperti Abu Al- Saud, Al-Alusi dan juga Abu Hayyan. Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa perta- nyaan tersebut dimaksudkan untuk penolakan/inkâr dari penutur terhadap

PROSIDING

Dengan demikian, kalimat tanya tersebut, penuturnya adalah Allah dan lawan tuturnya adalah iblis. Dalam pertanyaannya, Allah sebagai penutur menginginkan jawaban berupa alasan dari lawan tutur perihal keengganannya bersujud kepada Adam. Seandainya iblis waktu itu memberikan kontribusi

jawaban dengan ‘Saya lebih baik darinya’ saja, itu sudah cukup. Memang, itulah yang dibutuhkan oleh penutur. Dengan jawaban “saya lebih

baik darinya”, sebenarnya iblis telah memenuhi prinsip-prinsip komunikasi yang benar, dan tidak menyalahi prinsip pertuturan, terutama prinsip kuantitas.

Kenyataannya, Iblis tidak berhenti pada ‘saya lebih baik darinya’, melainkan memperpanjang jawabannya dengan

‘Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’. Informasi tentang penciptaan Adam dan iblis tersebut belum ditanyakan oleh penutur. Oleh karenanya, tuturan iblis tersebut bila dilihat dari perspektif prinsip-prinsip percakapan telah menyimpang dari prinsip tersebut, terutama prinsip kuantitas. Prinsip kuantitas menghendaki setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya (Sperber, 1998:33)

Maksud yang dituju oleh iblis melalui penambahan jawaban tersebut adalah untuk memberitahukan kepada lawan tutur bahwa dirinya lebih baik dari unsur penciptaan bila dibandingkan dengan Adam.

Dokumen yang terkait

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

KADAR TOTAL NITROGEN TERLARUT HASIL HIDROLISIS DAGING UDANG MENGGUNAKAN CRUDE EKSTRAK ENZIM PROTEASE DARI LAMBUNG IKAN TUNA YELLOWFIN (Thunnus albacares)

5 114 11

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KARAKTERISASI DAN PENENTUAN KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI HASIL PEMURNIAN LIMBAH PENGALENGAN IKAN DENGAN VARIASI ALKALI PADA ROSES NETRALISASI

9 139 85

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62