Fungsi Keluarga (Jawa)

2.1 Fungsi Keluarga (Jawa)

Keluarga adalah kelompok kekerabatan paling kecil dalam tatanan sosial budaya masyarakat. Pengertian keluarga Jawa dalam penelitian ini merujuk pada tulisan Koentjaraningrat dan Frans Magnis-Suseno. Koentjaraningrat (dalam Magnis Suseno, 1984: 16) menyatakan bahwa keluarga inti terdiri dari ayah, ibu, dan anak dan merupakan kelompok kekerabatan dasar dalam hidup setiap orang Jawa. Lebih lanjut, Magnis-Suseno (1991: 169) mengatakan bahwa keluarga Jawa adalah keluarga tempat orang Jawa dapat menjadi dirinya sendiri, ia merasa bebas dan aman, ia jarang harus mengerem dorongan- dorongan dan apabila perlu maka hal itu tidak dirasakannya sebagai hetero- nomi. Oleh karena itu, keluarga merupakan suatu kenyataan yang mempunyai arti istimewa bagi etika Jawa.

Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Itu pertama-tama berlaku bagi pada orang tua. Mereka adalah sumber pertama kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak mereka. Dari mereka ia menerima segala macam kebaikan dan berkat mereka ia memperoleh kedudukannya dalam masyarakat. Mereka memberikan cinta kasih kepada anaknya dan segala apa yang dibutuhkannya tanpa memperhitungkan syarat. Di sisi lain fungsi keluargaadalah melakukan kewajiban-kewajiban yang lebih berat dan hanya dari keluarga,anggota-anggota keluarga tersebut dapat mengharapkan perhatian dan bantuan secara maksimal. Maka, ketika anggota keluarga melalaikan kewajiban-kewajiban terhadap keluarga inti sendiri akan dianggap sebagai suatu kelakuan yang amat tercela (Magnis-Suseno, 1984:16). Pernyataan Magnis-Suseno merujuk kepada ketiadaan fungsi keluarga dan orang tua sebagai individu yang mampu member rasa aman bagi anak. Dengan demikian idealisme keluarga Jawa telah jelas tergambarkan dengan adanya keutuhan pertalian emosi antar individu anggota keluarga yang saling mengun- tungkan dan menguatkan, yaitu “asah, asih, dan asuh”. Pertalian emosional tersebut tidak lain untuk menjaga kehormatan keluarga tersebut. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa fungsi individu anggota keluarga Wulandari tidak berfungsi menjaga kehormatan keluarga, sehingga yang terjadi adalah munculnya hinaan terhadap Wulandari dan orang tuanya.

“Dheweke kuwi bocah buwangan. Dibuwang neng Panti Asuhan Kartini merga wong tuwane ora ngakoni. Mesthine dheweke bocah haram, dene wong tuwane dhewe nganti isin ngakoni lan ngopeni. Aku ora setuju yen anakku sesambungan karo Wulandari, can panti asuhan kuwi. ..” (DW, 1987: 11)

PROSIDING

“Dia itu anak buangan. Dibuang di Panti Asuhan Kartini karena orang tuanya tidak mengakui. Pastinya dia anak haram, sedangkan orang tuanya sendiri sampai malu mengakui dan memeliharanya.Aku tidak setuju jika anakku berhubungan dengan Wulandari, anak panti asuhan itu…” (DW, 1987:11)

Idealisme keluarga Jawa tersebut tidak dialami oleh tokoh Wulandari.Dia sebenarnya mempunyai keluarga, ayah dan ibu, tetapi keduanya hidup ter- pisah karena adanya permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh me- reka berdua. Wulandari sejak kecil dititipkan kepada Bu Sosro, pemimpin panti asuhan Kartini, sedangkan Ibu kandung Wulandari meminta Bu Sosro untuk merahasiakan jati dirinya. Wulandari sadar bahwa Ibunya sudah tega membuang dirinya dari keluarga.

Tangis panelangsa lan keranta-ranta ora bisa diampah maneh. Pranyata wong tuwane dhewe sing pancen negakake dheweke. Rasane wis ora ana pangarep-arep maneh tumrap Wulan bisa ketemu wong tuwane (DW, 1987: 59)

Tangis kesedihandan sakit hati tak bisa ditahan lagi.Ternyata orang tuanya sendiri memang tega terhadap dirinya. Rasanya sudah tidak ada lagi harapan Wulan bisa bertemu orang tuanya (DW, 1987: 59)

Ketiadaan ayah dan ibu kandung dalam kehidupan sehari-hari Wulandari dari kecil sampai dewasa telah membentuk karakter Wulandari menjadi pri- badi yang lemah (inferior). Akhirnya, kelemahan pribadi Wulandari akibat tersebut muncul dalam sikap pasrah dan putus asa terhadap keadaan yang menerimanya, seperti tergambar dalam cuplikan berikut.

“Sejatine wis makaping-kaping aku nyuwun pirsa Bu Sosro sapa sejatine wong tuwaku. Nanging, Bu Sosro ora tau kersa terus-terang.Kuwi wadi ngendikane. Aku ora bisa meksa maneh… (DW, 1987: 16).

“Sebenarnya sudah berkali-kali aku bertanya kepada Bu Sosro siapa sebenarnya orang tuaku.Tetapi, Bu Sosro tidak pernah ma uterus terang.Itu rahasia katanya. Aku tidak bisa memaksa lagi…(DW, 1987: 16)

Pernyataan Wulandari “aku ora bisa meksa maneh” menunjukkan bahwa dia sudah pasrah, sudah tidak bersemangat untuk berusaha lebih keras mencari informasi tentang jati diri kedua orang tuanya. Bahkan, kemudian muncul sikap putus asa dalam hati Wulandari, “Rasane wis ora ana pangarep-arep maneh tumrap Wulan bisa ketemu wong tuwane ”. Kelemahan hati Wulandari yang mun- cul dalam sikap pasrah dan putus asa ini menjadi sebuah konsekuensi logis dari seorang anak yang terlepas dari keutuhan keluarga inti. Fungsi keluarga tidak berlaku dalam hidup Wulandari. Konflik batin muncul dalam sikap wulandari yang pasrah dan putus asa.

PROSIDING

Konflik batin yang dialami oleh Wulandari berkembang menjadi konflik antara Wulandari dengan Bambang Trisula dan Rudi. Sebagai seorang anak yang tidak memperoleh hak dari keluarganya menyebabkan hubungan Wu- landari menjadi bermasalah dengan pria-pria idamannya tersebut. Wulandari pernah berpacaran dengan Bambang Trisula, teman SMA-nya, tetapi diputus karena Bambang dan orang tuanya tidak bisa menerima status Wulandari sebagai anak panti asuhan yang tidak jelas asal-usul kedua orang tuanya. Selanjutnya, Wulandari juga gagal berpacaran dengan Rudi, teman kuliahnya, juga karena status sosial Wulandari yang dianggap tidak lebih rendah dari keluarga Rudi. Keluarga Rudi adalah keluarga ningrat yang memegang teguh prinsip hidup priyayi. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga priyayi selalu berusaha menelusur bobot, bibit, dan bebet setiap orang yang akan masuk ke dalam keluarga mereka. Pandangan ke-priyayi-an inilah yang akhir- nya memutus hubungan Wulandari dengan Rudi.

“Apa jalaran aku bocah panti asuhan sing ora karuwan wong tuwane?Rak ngono ta, Luk?........ Lukman rada rangu-rangu. Nanging banjur gelem waleh marang Wulandari, “mbokmenawa bener pangiramu kuwi, Wulan. Wong tuwane Rudi kuwi asal saka Sala.Jarene isih turune ningrat. Kowe rak ya ngerti, ta, piye alam pikirane wong ningrat. Mula bab bibit ya mesthi prinsip kanggone kulawargane Rudi.” (DW, 1987: 34)

“Apa karena aku anak panti asuhan yang tidak jelas orang tuanya? Begitu, kan Luk?... Lukman agak ragu-ragu.Tetapi kemudian mau berterus-terang kepada Wu- landari, “mungkin benar perkiraanmu, Wulan.Orang tua Rudi itu berasal dari Sala.Katanya masih keturunan priyayi. Kamu tahu, kan, bagaimana alam pikiran priyayi. Maka masalah asal-usul ya pasti menjadi pegangan dasar bagi keluarganya Rudi.”(DW, 1987: 34)

Percakapan antara Lukman dan Wulandari semakin memperuncing kon- flik batin yang dialami oleh Wulandari. Sikap pasrah dan rasa putus asa semakin menggelayut di benak Wulandari. Sikap pasrah dan rasa putus asa Wulandari muncul dalam, “Apa jalaran aku bocah panti aku bocah panti asuhan sing ora karuwan wong tuwane?Rak ngono ta, Luk? Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa Wulandari memang benar-benar berasal dari golongan wong cilik, yang lekat dengan predikat negatif jika dilihat dari “kaca mata” priyayi . Bagi priyayi, perceraian merupakan hal yang memalukan serta menu- runkan derajat sosial mereka. Peristiwa perceraian menunjukkan kurangnya budi pekerti dan kemampuan mengendalikan diri orang yang mengalaminya (1983: 144--145). Dengan demikian, sumber permasalahan yang dialami Wu- landari berasal dari keluarganya yang sudah tidak utuh lagi. Latar belakang

PROSIDING

Dokumen yang terkait

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

KADAR TOTAL NITROGEN TERLARUT HASIL HIDROLISIS DAGING UDANG MENGGUNAKAN CRUDE EKSTRAK ENZIM PROTEASE DARI LAMBUNG IKAN TUNA YELLOWFIN (Thunnus albacares)

5 114 11

KAJIAN MUTU FISIK TEPUNG WORTEL (Daucus carota L.) HASIL PENGERINGAN MENGGUNAKAN OVEN

17 218 83

KARAKTERISASI DAN PENENTUAN KOMPOSISI ASAM LEMAK DARI HASIL PEMURNIAN LIMBAH PENGALENGAN IKAN DENGAN VARIASI ALKALI PADA ROSES NETRALISASI

9 139 85

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62