Wacana upakara otonan
Data 11. Wacana upakara otonan
“Pinaka upakara unteng sane patut wenten ring upacara pewetonan inggih punika: daksina pinaka upakara sane katur ring Ida Bhatara Surya, punjung putih kuning katur ring para leluhur rajadewata-dewati, lan ketipat genep katur ring Sanghyang Panca Maha Bhuta. Ritatkala pewetonan sane kapertama mangda sampunang lali ngaturang tumpeng putih kuning sane katur ring Ida Sanghyang Kumara. Munggwing upakara sane lianan, inggih punika: suci, peras, lis, byakala, prayas- cita, penyeneng, gebogan, muah sane lianan, wantah pinaka pengenep kemanten’ (informan).
‘Wujud ritual inti atau yang mestinya ada dalam ritual kelahiran adalah: daksina sebagai wujud persembahan kepada Dewa Surya, punjung putih kuning dipersembahkan kepada para leluhur, dan ketipat genep dipersem-
PROSIDING PROSIDING
Berdasarkan data 11 wacana upakara otonan dapat diketahui bahwa seba- gai wujud inti ritual dalam ritual kelahiran adalah daksina, punjung putih kuning, dan ketipat genep, sedangkan wujud ritual yang lainnya, seperti suci, peras, lis, byakala, prayascita, penyeneng, gebogan, dan yang lainnya adalah pelengkap. Kalau wetonan yang pertama kali sampai sebelum tanggalnya gigi si bayi, ditambah tumpeng putih kuning untuk Sanghyang Kumara.
Daksina adalah lambang persembahan kepada Dewa Surya atau Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Triyodasasaksi. Sesungguhnya Beliau adalah gabungan ketigabelas unsur Tuhan yang disimbolkan dengan tigabelas aksara suci seperti dijelaskan di depan. Dalam kepercayaan umat Hindu, daksina ber- arti selatan yang dikuasai oleh Dewa Brahma atau Dewa Api. Itulah sebabnya, selain wujud ritual berupa daksina, dalam setiap upacara selalu ada dupa sebagai simbol Dewa Agni yang menyaksikan upacara tersebut.
Punjung putih kuning adalah lambang persembahan kepada para leluhur. Biasanya, wujud tersebut dilengkapi dengan lauk ayam yang dipanggang dan gegecok atau urab ‘sayur-sayuran’. Punjung adalah sebuah wujud ritual berupa nasi. Leluhur sama halnya dengan orang tua yang patut disuguhi makanan seperti saat mereka masih hidup. Dengan wujud ritual yang berupa punjung putih kuning lengkap dengan lauknya, diharapkan Beliau melimpahkan rahmat-Nya, sehingga tidak kekurangan sandang pangan. Warna putih dan kuning mengandung makna kesucian dan kebijaksanaan.
Ketipat genep ‘ketupat genap’ adalah lambang persembahan kepada Sang- hyang Panca Maha Bhuta . Yang dimaksud dengan ketipat genep dalam hal ini bukanlah ketipat sari genep, melainkan lima jenis ketupat yang dihaturkan kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta ’lima unsur Tuhan sebagai rajanya para bhuta kala’ . Ketipat ’ketupat’ yang dimaksud adalah : ketipat dampul, ketipat galeng, ketipat gangsa, ketipat gong, dan ketipat lepet.
Lebih jelas tentang wujud ritual yang dimaksud bisa dilihat dalam kutipan wacana berikut ini. “Iki luirnya ngaran Sanghyang Panca Maha Bhuta, Iya mula nyama ajak bareng dumadi, meraga tri buwana, dewa iya manusa iya bhuta iya, mangkin sampun dadi dewa meraga lelima’
PROSIDING
Sane pinih duwur Sang Bhuta Anggapati , menadi dewa maparab I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, labania ketipat dampul mabe taluh brekasem, segehania kepel putih mabe bawang jahe,
Sane nomer kalih Sang Bhuta Mrajapati , menadi dewa maparab I Ratu Wayan Teba, labania ketipat galeng mabe taluh bebek, segehania kepel barak mabe bawang jahe,
Sane nomer tiga Sang Bhuta Banaspati, menadi dewa maparab I Ratu Made Jelawung, labania ketipat gangsa mabe taluh, segehania kepel kuning mabe bawang jahe,
Sane nomer pat Sang Bhuta Banaspatiraja , menadi dewa maparab I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, labania ketipat gong mabe taluh bebek maguling, segehania kepel selem mabe bawang jahe,
Sane pinih alit Sang Bhuta Dengen , menadi dewa maparab I Ratu Ketut Petung, labania ketipat lepet mabe taluh, segehania kepel putih brumbun mabe bawang jahe.” (Suastana, 1991:19—25).
‘Inilah yang disebut Sanghyang Panca Maha Bhuta, Mereka adalah saudara yang diajak lahir, hidup di tiga alam, Mereka adalah dewa, bhuta, dan juga manusia, sekarang telah menjadi lima dewa,’
‘Yang sulung bernama Sang Bhuta Anggapati, menjadi dewa bernama I Ratu Ngurah Tangkeb langit, wujud ritualnya berupa ketipat dampul dengan lauk telor asin, segehan- nya kepal putih dengan lauk bawang jahe,’
‘Yang nomor dua bernama Sang Bhuta Mrajapati, menjadi dewa bernama I Ratu Wayan Teba,
PROSIDING PROSIDING
‘Yang nomor tiga bernama Sang Bhuta Banaspati, menjadi dewa bernama I Ratu Made Jelawung, wujud ritualnya berupa ketipat gangsa dengan lauk telor, segehan- nya kepal putih dengan lauk bawang jahe,’
‘Yang nomor empat bernama Sang Bhuta Banaspatiraja, menjadi dewa bernama I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, wujud ritualnya berupa ketipat gong dengan lauk telor itik yang dipanggang, segehan- nya nasi kepal hitam dengan lauk bawang jahe,’
‘Yang paling kecil bernama Sang Bhuta Dengen, menjadi dewa bernama I Ratu Ketut Petung, wujud ritualnya berupa ketipat lepet dengan lauk telor, segehan- nya kepal brumbun dengan lauk bawang jahe.’
Dengan memohon kepada Sanghyang Panca Maha Bhuta, diharapkan si bayi yang diupacarai akan memperoleh bantuan atau anugerah-Nya, sehingga ia bisa selamat dan terbebas dari gangguan-gangguan yang mungkin akan datang.
Tumpeng putih kuning adalah lambang persembahan kepada Sanghyang Kumara . Wujud tumpeng yang berupa krucut sebagai simbol bahwa Beliau adalah puncak kemahakuasaan Tuhan, sama seperti Saraswati, Kala, dan Ghana. Dengan memohon kepada-Nya diharapkan si bayi akan selalu dalam keadaan selamat.
Lis adalah wujud ritual sebagai lambang senjata Dewata Nawa Sanga ‘sembilan dewa penjaga penjuru mata angin’. Hal itu terlihat dari wujudnya yang dibentuk menyerupai senjata para dewa itu, seperti gadha milik Dewa Brahma, cakra milik Dewa Wisnu. Dengan wujud ritual itu, si bayi diharapkan mendapat dari anugerah kesembilan dewa, yaitu Iswara, Mahesora, Brahma, Ludra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Siwa. Suci adalah wujud ritual sebagai lambang kesucian Hyang Widhi yang dapat mewujudkan ke- bahagiaan rohani dan kemakmuran ekonomi (Wiana, 2001:218—219).
Wujud ritual berupa peras mengandung makna agar ritual yang dilaksa- nakan perasida ‘berhasil’. Byakala dan prayascita dimaksudkan sebagai pem- bersihan lahiriah dan bathiniah si bayi sebelum diupacarai. Khusus untuk
PROSIDING PROSIDING
Penyeneng adalah lambang permohonan agar si bayi selalu terhindar dari segala gangguan. Kata penyeneng berasal dari kata nyeneng’hidup’. Dengan wujud ritual itu si bayi diharapkan akan mendapat umur panjang. Dalam wujud ritual tersebut terdapat porosan sebagai lambang Sanghyang Tri Murthi, kapur sirih agar kulitnya bersih bagai kapur sirih, kapas agar putih halus bagai kapas, beras adalah lambang pangan, benang dimaksudkan sebagai simbol agar memiliki urat dan tulang yang kuat, dan tepung tawar dengan daun dadap sebagai pelengkapnya adalah lambang permohonan agar apa yang diharapkan akan tercapai.