Tuhan dan Kegelisahn
6.3 Tuhan dan Kegelisahn
Manusia tidak lain adalah rencananya sendiri (Sartre dalam Hasan, 1992: 134). Manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri apa pun pilihannya. Manusia tidak berhubungan dengan hal di luar dirinya, termasuk Tuhan, sebab segala yang dipilih, ditentukan, dan dipertanggung jawabkan sendiri.
Dalam diri Nur agaknya mengarah pada keberadaan untuk dirinya. Ia menganggap manusia adalah merdeka dan yakin bahwa penyembahan terha- dap Tuhan itu tidak penting, yang penting adalah menjadi manusia baik dengan sifat-sifat Tuhan. Nur menganggap menyembah Tuhan itu tidak penting, tetapi taat kepada keyakinan bahwa menjadi manusia baik itu lebih penting.Hal semacama itu diyakini betul oleh Nur.Perhatikan kutipan berikut.
“Yang penting ialah manusia sudah dilahirkan, dan kewajibannyalah mengatasi hawa nafsu dan kejatuhan-kejatuhan dosa.Dengan berusaha menjadi manusia baik.Menjauhi perkosaan terhadap segala, terhadap siapa pun. Juga terhadap diri sendiri! Buat manusia yang penting bukanlah taat menyembah Tuhan, biar di gereja, di masjid atau dikelenteng, tapi taat kepada keyakinan: jadi manusia baik. Tuhan bukan hanya di tempat-tempat suci yang tertentu tapi dalam diri setiap manusia itu sendiri. (hlm. 11)
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak lagi menjadi pusat keyakinan Nur. Menjadi diri sendiri, bebas menenetukan, dan terbebas dari perkosaan diri senyatanya merupakan bentuk keberadaan untuk diri sendiri.
Tuhan bagi Nur ada dalam diri setiap manusia, termasuk dirinya. Di bagian yang lain, Nur pun menunjukkan bahwa kesadaran untuk me- nentukan pilihan sebenarnya ada dalam diri setiap manusia. Nur sebagai ma-
nusia juga memiliki kesadaran itu sehingga ketika berada di pusara makam, Nur mengungkapkan alasan ia tidak menjalankan ajaran papanya.
“Papa, papaku, Tuhan tidak menghendaki manusia bersifat pura-pira dan tidak mengerti. Kalaupun aku datang pada Tuhan, ialah karena ia adalah sumber cinta dan dengan cinta itulah aku datang pada-Nya, tapi tidak dengan menyembah-nyembah-nya. Tuhan tidak suka pada orang
PROSIDING
Keyakinan dan pilihan Nur justru menggiringnya pada kondisi gelisah, resah, dan cemas.Kondisi ini terjadi disebabkan oleh keberadaan dirinya yang harus mempertanggung jawabkan segala pilihannya. Akhirnya, kegelisahn
dan kecemasan seperti itu muncul karena terbebani oleh keharusan memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
“Selama hidupku tak pernah aku pergi ziarah, dan pecah pikiranku ingin mengetahui apa perlunya ziarah ke tempat istirahat manusia! Ku- buran membaca perasaan suram leking padaku.Bukan tempat duniaku berpijak. Bukan aku takut mati bila melihat kuburan, tapi kesuraman yang menyayat itulah yang tak kusukai.Sebab hidupku sendiri memang sudah begitu suram sendirian.” (hlm. 5)
Kecemasan dan kegalauan Nur merupakan ujung dari eksistensi pemikian yang iainginkan–kebebasan dalam berpikir (bertindak) sesuai pilihannya sendiri. Meminjam konsep pemikiran Sartre (Hasan, 1992:136), pilihan sendiri, diaktualisasikan sendiri, dan ditanggung akibatnya sendiri, menghantarkan manusia, termasuk Nur, dalam kondisi gelisah dan cemas.
Nur pun pada akhirnya berziarah (meskipun terpaksa) di pusara makam papanya. Bedanya, Nur tidak membacakan Al-Fatihah. Diakuinya bahwa ia lama tidak membaca Al-Fatihah dan di pusara itu pertanyaan muncul tentang dimana papanya berada, surga atau sedang menemaninya di pusara itu. Bagi- nya, berita dari alam “sana” adalah sebuah misteri. Dalam pertanyaan itu
Nur mengutip ungkapan dari Umar Khayyam 1 : “Strange, is it not? That of the myriads who Before us pass’d the door of Darkness through, Not one returns to tell us
of the Road, Which to discover we must travel too.” (Aneh, bukan? Bahwa, dari begitu banyak sebelum kita melewati pintu kegelapan, tidak satu pun kembali untuk memberitahu kita tentang jalan itu, yang untuk menemukan jalan itu, kita harus melakukan perjalanan juga.).
Bagi Nur, ziarah menjadi sebuah renungan sekaligus pengakuan atas rasa keterasingan terhadap papanya, bahkan agama (sebab tidak ingat lagi Al-Fatihah). Perdebatan dalam batin Nur seakan menghadirkan papanya dan menemukan alasan keterasingan Nur, baik pada papanya maupun Tuhan, yaitu keingkaran Nur dari ajaran yang telah ditanamkan papanya. Yang
1 Umar Khayyam adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan pelatih penting dalam Sufisme. Namanya terkenal di dalam literatur Eropa, terutama karena Edward Fitzgerald, yang di zaman Victoria
telah mempublikasikan beberapa kwartrinUmar Khayyam dalam bahasa Inggris. (www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/11 /05/24/llpcrc-tokoh-sufi-umar- khayyam-dikenang-tapi-tak-dikenal)