Individualistik dan Keterasingan
6.2 Individualistik dan Keterasingan
Dalam kisah Ziarah, Nur merupakan tokoh sentral yang hatinya diselimuti kegelisahan dan keterasingan. Nur adalah salah satu anak laki-laki Mak yang merantau dan jarang pulang sekadar menengok keadaan keluarga. Keter- asingan melekat pada diri Nur. Kebekuan hati dan suasana lebih didominasi oleh bekunya perasaan dan hati Nur terhadap segalanya, baik diri sendiri dan orang lain. Keterasingan dan kebekuan perasaan Nur pada suasana rumah membuat kondisi yang diciptakannya menjadi suasana garing dan jauh dari keakraban, meskipun Nur berada seruang dan bercakap-cakap dengan ibunya. Nur tidak memancarkan aura kebahagian, alih-alih asing dan beku, dan seakan menyimpan beragam pikiran (Ziarah: 1).
Tidak dipungkiri, kebekuan Nur dan Mak disebabkan oleh pendiriannya mengenai hidup yang mengakibatkan dirinya merasa asing dan jauh dari siapa dan apa pun. Di ingatannya pun tak lagi ada papanya. Bahkan, sketsa wajah–bentuknya, warna mata, rupa hidung, bibir—papanya pun tidak muncul. Nur tidak mampu mengingatnya lagi. Nur cenderung bersifat individual, tidak mengenal siapa-siapa, dan terkesan sebagai seorang eksistensialis, yang
PROSIDING
”Ha,” katanya kemudian, “jadi kau ini si Nur! Sudah besar kau!” aku tertawa menghiyakan, sambil bertanya-tanya, apakah yang membuat rasa keasingan dan pemisahan antara aku dengan papa begini? Benar-benarkah aku jadi orang asing terhadap mak, terhadap papa, terhadap adikku si Nona, dan terhadap abang-abangku? Asing karena perceraian 10 tahun itu? Atau karena aku telah banyak mengecap derita hidup dan telah tumbuh dewasa dalam pemikiran dan pandangan tentang segalanya mengenai hidup ini? Karena aku telah mempunyai sikap sendiri terhadap kehidupan ini?” (Ziarah:3)
Rasa keterasingan Nur terhadap segala hal di sekelilingnya, sebenarnya berasal dari pemikirannya yang terlalu jauh sehingga menimbulkan ketidak yakinan dan dugaan-dugaan terhadap hal tertentu. Misalnya, Nur menduga Mak bertanya-tanya tentang dirinya ketika tiba di rumah dan tiba-tiba Mak memagut, menciumi, dan menangisinya. Keheranan atas pertanyaan Nur ter- jawab ketika tidak disadari air matanya berlinang. Ia mengakui bahwa keter- asingan itu hanyalah dari dirinya sendiri (Ziarah: 4)
Sebetulnya, Nur pun tidak menampik kebutuhannya terhadap lawan jenis. Pengakuan kebutuhan terhadap lawan jenis tampak ketika Nur bercakap- cakap dengan Mak. Meski hubungan itu tidak berakhir pada perkawinan, komitmen sebuah hubungan khusus antara seorang laki-laki dan perempuan sempat terjadi di antara Nur dan perempuan yang ia minati, Wina. Di hadapan Mak, Nur mengakui bila Wina hanyalah teman biasa, tetapi dalam hati Nur tersirat bahwa dia sempat memiliki hubungan khusus: “Padahal aku hampir sudah berputus-putus dengannya” (Ziarah: 5). Sekilas Nur mengakui hal itu, hanya saja segalanya tertutupi oleh rasa keterasingan diri dari orang lain.
Rasa keterasingan Nur sangat beralasan dilihat dari pengalaman hidupnya sebelum merantau. Kesendiriannya yang terlalu sering sejak kecil mem- pengaruhi jalan pemikirannya. Pemikirannya selalu berseberangan dengan orang orang di sekelilingnya, khususnya Mak dan Papanya. Ketika ajal men- jemput papanya, Nur dikirimi telegram yang meminta dirinya segera pulang. Tetapi, Nur tidak segera pulang dan berkilah bahwa jenazah akan telah diku- burkan bila ia datang. Itu pun sebetulnya hanyalah alasan melepaskan diri saja. Nur sebetulnya takut menghadapi kenyataan konsekuensi dari pamitan,
PROSIDING PROSIDING
“Cuma begitulah aku.Aku terlalu banyak berseorang diri.Mungkin rasa takutlah itu namanya, tidak mau tahu dengan pamitan. Takut menghadapi perceraian yang akan membawa perubahan di hadapan! Tak tahu aku. Tapi dari kecil aku sudah begitu, dan besar pun aku begitu! Masih pendiam dan tak mau mendesakkan diri, tak mau jadi pusat perhatian! Dan kepen- diamanku itu, kini mungkin lebih banyak menyusahkan orang lain dan aku sendiri.” (Ziarah: 4)